Motor Jadul
Tugas WTF Creation
Cermin, tema remaja
Hari ini merupakan hari khusus bagi seorang gadis remaja bernama Andini.
Hari pertama sekolah dengan warna seragam yang baru, membuat gadis tersebut merasa tidak sabar untuk segera mengenakannya. Pukul enam pagi dirinya sudah siap untuk berangkat.
“Bapak, Andin sudah siap. Ayo, antarkan sekolah,” pinta Andini yang baru saja menyelesaikan sarapannya.
“Sebentar nduk, bapak keluarkan motor dulu ke depan, ya?” jawab bapak segera bangkit dari duduknya.
Andini mengikuti langkah bapak yang kini sudah berdiri di samping motor besi berwarna merah.
Motor jadul (jaman dulu) yang selalu menemani hari-hari keluarga Andini ini merupakan satu-satunya kendaraan yang dimiliki. Satu-satunya benda mahal dalam rumah kecil mereka.
Bapak Andini menghidupkan kendaraan tua tersebut. Setelah dirasa cukup memanasi mesin, laki-laki tersebut menaikinya diikuti Andini duduk di belakang. Mereka segera membelah jalan raya yang masih belum begitu ramai di jam-jam seperti ini.
Dua puluh menit kemudian mereka sampai di gerbang sebuah Sekolah Menengah Atas negeri. Terdapat gerombolan kecil gadis pelajar di samping gerbang yang melihat kedatangan Andini dan bapaknya.
Setelah mencium tangan bapak, Andini segera berlalu memasuki sekolah. Ketika langkahnya hampir memasuki area sekolah, ada seseorang yang mencekal tangannya. Andini menoleh.
Dilihatnya seorang siswi berparas cantik sedang menatapnya.
“Kamu anak orang miskin, ya?” tanyanya, “motormu ketinggalan jaman banget, deh,” ujar gadis tersebut dengan nada menghina.
Andini terkejut mendengarnya. Selama ini belum pernah ada seseorang yang membahas status ekonominya.
Masa-masa Sekolah Menengah Pertama dihabiskan di desa sang bibi karena ibunya sudah meninggal dunia. Sedangkan bapak Andini baru kembali dari merantau dan pulang membawa kegagalan.
Hanya tersisa tabungan yang ditinggalkan ibunya untuk keperluan sekolahnya.
Karena uang itulah Andini bisa meneruskan sekolahnya yang hampir berhenti karena sang bibi tidak mampu lagi membiayai sekolah Andini.
“Besok-besok jangan make motor butut lagi ke sekolah, malu-maluin sekolah ini, tau?”
Gadis cantik itu berlalu, meninggalkan Andini dalam keadaan malu luar biasa. Siswa-siswi yang lain pun juga memandangnya hina setelah Andini meninggalkan tempat itu dengan kepala tertunduk.
Andini mengira, dia tidak akan bertemu gadis cantik yang belum dia ketahui namanya itu. Namun, kenyataan berkata lain. Pagi ini, dia kembali dicekal oleh orang yang sama, juga dengan pertanyaan yang sama. Andini kembali dibuat malu sepanjang hari.
“Bapak, mulai hari ini Andin nggak usah di antar ke sekolah,” ucap Andini di tengah-tengah sarapan.
Sang bapak menatap putrinya heran.
“Kenapa, nduk?” tanya laki-laki senja tersebut.
“Andini mau belajar mandiri, Pak. Nanti naik angkot saja pake uang saku Andin.”
Kebohongan pertama yang dilakukan sang putri rupanya tercium oleh bapaknya.
“Kamu malu ‘kan kalau di antar naik motor bapak ke sekolah?” tebak bapaknya yang membuat Andini terkejut.
Dirinya sadar, dia tidak bisa membohongi laki-laki di depannya ini.
Wajahnya memerah menahan malu. Matanya mulai berair.
“Maafkan Andin, Pak. Maaf sudah berbohong.” Andini terisak.
Tangan bapak mulai mengelus lembut rambut sang putri. Dirinya paham dengan perasaan yang dirasakan Andini.
“Nduk, bukan mereka yang menghinamu ketika kamu harus dilarikan ke rumah sakit secepat mungkin karena panas, tapi motor butut itu yang mengantarkanmu. Bukan mereka yang mengajakmu membeli keperluan sehari-hari kalau bukan motor tua itu. Bukan mereka juga yang menjadi kaki mesinmu ketika kamu membutuhkannya untuk perjalanan jauh kalau bukan motor jadul itu. Mereka hanya bisa menghina tanpa mau membantu, tidak usah dipedulikan. Motor tua itu yang menjadi teman bapak mencari rejeki sebagai tukang ojek di pasar.” Bapak mengakhiri nasihatnya.
Dilihatnya sang putri menangis semakin keras. Laki-laki tersebut sadar, masa-masa yang dialami sang putri adalah masa-masa labil.
“Sekarang semua terserah kamu. Kalau mau berangkat naik angkot, silakan. Tapi bapak ndak bisa menambah uang sakumu.”
Andini menggeleng keras, masih dengan isakannya.
“Andin di antar bapak saja. Sekarang Andin sudah nggak malu lagi sama motor jadul bapak,” tukasnya cepat.
Andini segera bangkit dan memeluk sang bapak.
“Maafkan Andin, Pak. Andin sungguh menyesal. Andin bangga punya Bapak sebagai orang tua Andin.”
Sang bapak tersenyum lega mendengarnya. Perjuangannya masih panjang untuk membentuk putrinya menjadi manusia yang tidak peduli omongan orang lain. Jaman sekarang orang tua harus benar-benar mempedulikan putra-putrinya jika tidak ingin mereka salah mengambil keputusan.
THE END
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top