Boneka Santa Claus
Dua orang gadis cilik tengah berpelukan, diiringi derai air mata dari keduanya. Tak ingin saling berpisah satu sama lain. Namun, apalah daya mereka yang masih mengenakan seragam merah putih. Kehidupan mereka masih dalam genggaman orang tua.
Sang ibu yang melihat momen haru tersebut hanya bisa tersenyum sedih. Dirinya juga tak memiliki kuasa ketika sang suami dipindah tugaskan ke kota lain.
“Jangan sedih, Ami. Nanti pas libur sekolah, kamu boleh liburan di rumah Yuni,” ucap wanita berpotongan sebahu tersebut.
Kedua gadis cilik tersebut menoleh dengan cepat ke arahnya.
“Boleh, Bunda? Beneran?” tanya Ami, sang putri antusias. Yuni, gadis di sampingnya juga ikut mendengar penuturan ibu dan anak tersebut. Sang ibu mengangguk sembari tersenyum yang membuat keduanya bersorak senang.
Tak ayal, mendung di wajah mereka pun segera tergantikan dengan lengkungan senyum khas gadis cilik.
Akhirnya perpisahan itu menjadi kenangan manis mereka tanpa ada hujan tangis. Ami pergi membawa hadiah pemberian dari Yuni, boneka Santa Claus.
Seminggu sudah keluarga tersebut menempati rumah kontrakan baru mereka. Rumah yang tidak begitu besar namun asri itu tampak nyaman karena lokasi rumah tidak saling berdempetan. Para tetangga pun juga ramah kepada pendatang baru seperti keluarga Ami.
Selepas magrib, Ami beserta keluarganya makan malam bersama. Tak lama kemudian seseorang mengetuk pintu depan. Ibu Ami bergegas menjawab salam sang tamu sembari membuka pintu. Ternyata yang bertamu adalah putra pemilik rumah, Anton.
“Selamat malam, Bu Ridwan,” salam pemuda bermata sipit tersebut.
“Selamat malam juga, Mas Anton. Ayo, masuk dulu, Mas! Ngobrol di dalam aja,” ajak ibu Ami beramah-tamah. Mereka berdua duduk di ruang tamu.
“Begini, Bu Ridwan. Saya mau minta ijin masuk ke kamar belakang. Ada barang saya yang tertinggal di sana dan harus dibawa ke kampus besok ” ujar Anton.
“Oh ... iya, silakan, Mas. Bawa kunci, ‘kan? Soalnya kamar belakang digembok sama Ibu Dina,” jawab ibu Ami memberitahu.
“Iya, mamah sudah kasih kuncinya, Bu. Kalau begitu, saya langsung ke belakang, ya.”
“Silakan, Mas.” Anton berlalu dari hadapan ibu Ami.
Sepuluh menit kemudian Anton berpamitan setelah mendapatkan beberapa barang dari kamar belakang. Kepulangan putra sang pemilik rumah diantar oleh anggota keluarga Ridwan. Mereka berkumpul di teras rumah setelah Anton berlalu. Tidak ada yang menyadari jika kamar belakang tidak terkunci kembali seperti sebelumnya.
Pukul sebelas malam, suasana rumah itu hening. Semua orang tengah mengistirahatkan tubuh mereka di dalam kamar masing-masing.
Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka dari arah belakang. Ternyata pintu kamar belakang—yang berseberangan dengan meja makan—membuka dengan sendirinya. Menampakkan sebuah cermin persegi besar di tengah ruangan. Tidak ada apa pun di dalamnya selain cermin tersebut.
Tak lama kemudian muncul sekelebat bayangan hitam yang keluar dari dalam cermin. Bayangan itu terbang menuju ruangan depan kemudian berbelok menembus pintu kamar Ami yang tertutup.
Dia memasuki salah satu boneka yang berjejer di kamar itu. Boneka yang wajah dan tubuhnya terbuat dari karet dan mengenakan kostum merah Santa Claus dengan topi yang mengerucut itu, menjadi pilihannya. Dalam sekejap, boneka itu hilang.
Ami terbangun di tengah malam karena merasa haus. Dia bangkit untuk meraih sebotol air putih yang selalu tersedia di atas nakas. Setelah minum, gadis remaja itu berniat untuk tidur kembali.
Baru memejamkan mata, dia mendengar suara gagang pintu yang bergerak amat perlahan. Entah kenapa, hal itu membuat Ami penasaran. Ditajamkannya indra pendengarannya baik-baik. Tangannya terangkat untuk menutupi sebagian wajah, menyisakan sedikit celah untuk mengintip.
Pintu terbuka pelan. Di tengah malam yang sunyi seperti ini, suara sepelan apa pun pasti terdengar mengerikan. Tidak terkecuali bagi Ami.
Degup jantungnya mulai bertalu ketika tidak terdengar langkah kaki setelah pintu terbuka. Siapa yang membuka pintu, batin Ami masih dengan mata terpejam.
Dia memberanikan diri membuka mata sebelah kanan yang tidak tertutup lengan. Kondisi ruangan yang terang memudahkan penglihatannya. Betapa terkejutnya dia ketika melihat boneka pemberian Yuni melayang di atas. Dengan posisi terbang seperti burung, boneka itu menatapnya dari langit-langit kamar sambil menyeringai. Wajah boneka yang seharusnya putih menjadi hitam dengan mata merahnya. Tercium bau busuk dari kamar itu. Kemudian boneka itu berbisik, memanggil namanya.
“Ami.” Suara perempuan dewasa yang serak, menyambangi indra pendengarnya.
“Kau, korbanku selanjutnya,” bisiknya parau.
Gadis itu gemetar. Dia menutup mata erat-erat.
Takut!
Itulah yang dirasakannya saat ini. Ingin berteriak, tapi lidah terasa kelu. Otaknya buntu tertutup rasa takut yang amat sangat.
Menunggu, hanya itu yang bisa dilakukannya.
Setelah tidak mendengar suara-suara aneh lagi, dia memberanikan diri membuka mata. Boneka itu tidak ada. Ditiliknya seluruh kamar demi mencari keberadaan boneka itu, nihil.
Dengan sekuat tenaga, Ami berteriak sekencang-kencangnya. Melepas ketakutan yang menekan batin.
Terdengar langkah kaki yang berlarian menuju kamar Ami. Ayah dan bundanya terkejut begitu memasuki kamar putri mereka. Ami, mendelik dengan bibir gemetar. Wajahnya pucat dengan keringat yang mengalir di pelipisnya. Tubuhnya gemetar hebat. Tidak ada suara yang keluar dari mulutnya tatkala orang tuanya bertanya.
Kepanikan sangat jelas terpancar pada wajah dua orang tua tersebut. Ibu Ami segera memeluk putrinya. Dielusnya berulang kali kepala Ami, berharap sang putri segera tenang. Pak Ridwan duduk di samping mereka berdua, menggosok-gosok kaki sang putri yang terasa dingin. Sisa malam itu mereka lalui dengan menunggui Ami yang tiba-tiba demam.
Keesokan hari, kedua orang tua Ami segera memanggil pakde Rinto, salah satu tetua dalam keluarga pak Ridwan yang memiliki kemampuan berkomunikasi dengan makhluk halus.
Setelah menunggu dua jam, barulah pakde Rinto datang seorang diri. Laki-laki tambun dengan kumis tebal itu datang menggunakan ojek.
“Maaf, Pakde, kalau kami meminta bantuan Pakde mendadak. Ami ndak bisa ditanyai, sepertinya dia masih syok,” jelas ibu Ami setelah mempersilahkan sang tamu masuk ke rumah.
“Ndak pa-pa, Nduk. Tapi sebelum itu, aku sarapan dulu, ya? Tadi aku masih tidur waktu kamu telefon. Sekarang perutku meminta haknya,” jawab pakde Rinto. Ibu Ami dan pak Ridwan tertawa mendengar hal itu. Segera mereka menyiapkan sarapan untuk laki-laki yang sudah menduda tersebut.
Selesai makan, pakde Rinto segera mendekati pintu kamar belakang yang tertutup. Dibukanya pintu kamar yang masih berisi cermin besar di tengah ruangan.
Laki-laki itu melangkah ke dalam dan menutup pintu. Entah apa yang dilakukannya di dalam sana.
Satu jam kemudian, pakde Rinto keluar dari dalam kamar. Kemudian dia mengunci kamar itu lagi dengan gembok. Pak Ridwan yang sudah menunggu dengan cemas, mendekati pakde Rinto. Hendak bertanya sebelum tangan pakde Rinto terangkat ke atas, menghentikan semua pertanyaan yang ingin dikeluarkan.
“Jangan bertanya apa pun! Turuti saja omongan Pakde. Kamu pindah hari ini juga ke rumah Pakde, tidak ada pertanyaan lain,” tegas pakde Rinto dengan raut serius.
Pak Ridwan bergegas pergi dari hadapan pakde Rinto yang masih menatap pintu kamar belakang. Tidak sampai dua jam, seluruh pakaian di rumah itu sudah berada dalam beberapa kardus dan koper yang segera dimasukkan dalam bagasi mobil.
Mereka memang tidak membawa barang apa pun karena di rumah itu semua sudah lengkap isinya--sang pemilik rumah meminjamkan barangnya kepada penyewa.
Mereka segera keluar dari rumah tersebut setelah memberikan kunci kepada pemilik rumah. Meski keheranan, Bu Dina menerimanya dengan senyum lebar. Pasalnya, dia tidak perlu mengembalikan sisa uang sewa atas keinginan si penyewa sendiri.
Di perjalanan, pakde Rinto mulai bercerita tentang rumah tersebut yang didengarkan Pak Ridwan dan ibu Ami dengan seksama. Sedangkan Ami, gadis itu tertidur lelap setelah panasnya turun.
“Penghuni kamar belakang itu adalah genderuwo laki-laki yang terkurung dalam sebuah cermin. Ada seseorang yang mengurungnya di sana karena makhluk itu jahat pada manusia. Seseorang yang membuka pintu kamar kemarin bukan manusia, dia istrinya.
Penghuni sebelumnya, sudah diperingati untuk tidak memasukkan patung atau boneka berbentuk manusia karena itu bisa menjadi media makhluk itu untuk membebaskan dirinya. Kalau dia sudah bebas, dia akan kembali mengganggu manusia yang menghuni rumah itu sampai gila atau mati.
Makhluk itu sudah aku kurung lagi dalam cermin, bersama dengan boneka Ami sebagai tumbal. Hanya itu yang bisa aku lakukan untuk menolong Ami,” ujar pakde Rinto mengakhiri ceritanya. Ibu Ami dan pak Ridwan terkejut. Tidak menyangka jika putri satu-satunya mereka hampir menjadi korban dari makhluk halus.
“Terima kasih, Pakde. Terima kasih sudah menolong Ami. Kami tidak tahu harus menghubungi siapa selain Pakde di kota ini,” ucap ibu Ami dengan gemetar menahan tangis.
Pak Ridwan menggenggam tangan sang istri untuk menenangkannya.
Pakde Rinto hanya mengangguk. Dia menatap Ami yang pulas di sampingnya. Ada sesuatu yang dipikirkannya tentang remaja berusia empat belas tahun itu.
Kemungkinan, gadis ini akan bertemu dengan makhluk itu lagi di lain hari. Ketika itu terjadi semoga saja aku masih hidup setelah setengah energiku habis untuk mengurung makhluk itu tadi, batin pakde Rinto sedikit cemas.
THE END
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top