Typing Project Roommate

Oleh: Tree Noktah


Detik jam weker menemani tidur lelapnya.

"Lah, jam berapa ini? Aku harus secepatnya buat." Indina menggeragap, jantungnya berdebar-debar, keringat dingin mengucur di pelipis. Sedikit andrenalinnya terpicu, saat memaksakan diri untuk tetap terjaga. Matanya terasa pedih, hanya untuk memfokuskan pandangan ke jam weker di depan mata, dengan sepontan ia genggam di tangan.

"Astaga, 5 menit lagi midnight. Dua hari lagi harusnya hari membahagiakan bagiku, tepat tanggal 1, November. Tapi ...," keluhnya menatap monitor masih kosong.

"Neng, Neng, jangan gerak-gerak. Ayo tetap berpose yang sama. Tatap monitormu!"

"Siapa, ya?" tanya Indina bingung. Dan, mulai bergumam, "suaranya seperti seorang kakek-kakek? Kenapa dia bisa di kamarku? Mau ngapain malam-malam begini? " Tanpa menoleh ke arah suara itu berasal, ia tetap pada posisinya, menuruti perintah kakek itu.

"Sabar ya, Neng! Sebentar lagi selesai lukisannya. Jadi mohon kerja samanya!"

"Lukisan? Kapan aku minta dilukis? Dan juga, kenapa tengah malam buta begini?" Menyadari keganjilan yang terjadi Indina terus bergumam.

30 menit terlewati dengan kebekuan tubuh dan membisu. Si kakek tua tak ada reaksi, suaranya pun lenyap.

"Mungkinkah ia masih berkutat dengan kuasnya. Rasanya sudah lama aku pertahankan posisi tubuhku," pikir Indina sebelum tiba-tiba teralihkan ke sesuatu yang menggelitik keningnya. Ia terenyak sesuatu mengalir hangat di lengan kirinya, menetes dari kepala. Matanya pun seketika menengok mencari tahu tetesan hangat, berbau anyir itu.

"Ini darah." Telapak tanganya pun spontan mengusap jidat. Merah darah kental terpapar di depan mata, meliputi ke seluruhan telapak tangan.

"Darah apa ini?" Seakan belum percaya ia usap dahinya berulang kali memakai kedua tangan, sambil berucap," ini benar-benar darah."

Kontan ia pun merasa khawatir akan keadaan dirinya sendiri.

"Mungkinkah aku tadi terluka dan aku tak merasakan. Tapi, Kakek ..., kenapa tidak bilang? Lalu lukaku ini, kalau luka kecil darahnya tak mungkin sebanyak ini?" batinnya berbicara. Seketika tubuhnya ia tolehkan agar bisa menilik keadaan si kakek.

"Loh, Kek?" Ia menyadari si kakek pelukis telah terkapar di lantai."Kenapa Kakek tiduran di lantai?" Kakinya pun melangkah mendekat, mencoba melihat si pelukis tua terkapar tepat di samping ranjangnya.

"Arrrrgh!" teriak Indina memecah keheningan tengah malam. Kakek itu terbujur kaku dengan urat nadi terputus, nampak darah mengalir memenuhi lukisan yang ia buat. Tangan kanannya memegang pisau belati. Rupanya kakek itu memotong urat nadinya sendiri. Indina pun kelimpungan harus berbuat apa. Dengan jantung berdegup kencang, ia ingin segera bangkit dan keluar. Dengan sedikit tenaga ia kerahkan, berlari mencari keluarganya.

Degup jantungnya pun turut menggoyahkan pijakan kaki Indina. Fisik yang goyah karena pecutan spikis tadi pun, membuat tubuhnya oleng. Tanpa sadar, kaki kiri tersandung kaki kanannya sendiri. Terpelanting jatuh, hingga kepalanya membentur kerasnya tembok. Tembok itu pun penuh noda dari telapak tangan Indina.

***

"Argh!" Indina terbangun dengan napas terputus-putus. "Untung tadi itu cuma mimpi," ujarnya setelah terbangun dari mimpi buruk. Monitornya pun masih menyala di hadapannya

"Indina konsep cerita 'typing project roommate' kita selesai, belum?" tanya Narendra mendekat.

"Huft! Masih kosong," jawab Indina terlihat sebal. Perencanaan malam Halloween dengan beberapa konsep ruang lingkup sebatas kamar tidur 5×6. Ditambah kesan ketikan cerita di setiap ruang, pemicu andrenalin. Istilah kasarnya, menceritakan hal-hal menakutkan sebelum masuk ke ruang kostum Halloween, Indina mendapat bagian itu.

Anak-anak satu SMA itu mencoba mengerjakan proyek Halloween bersama. Dengan tugasnya masing-masing. Narendra bagian furnitur rumah, Wanda bagian ornamen-ornamen menakutkan, Louis bagian saund effect-nya, Lilia sebagai desain-desain kecil dan undangan.

Entah kenapa, Indina selalu mengeluh mengenai bagiannya itu, padahal membuat cerita adalah salah satu kegemarannya.

"Kalian tahu aku penakut, tapi kenapa musti aku yang kebagian buat cerita horror. Memikirkannya saja aku sudah bergidik," cerca Indina mengedarkan pandangan ke teman-temannya yang sibuk sendiri.

"Kerjakan saja, Ndi!" suruh Narendra sambil tersenyum. "Kamu jagonya buat cerita, 'kan?"

"Ish. Tapi, tunggu dulu. Ini udah pukul berapa?" Indina celingak-celinguk mencari perwujudan jam. Dan menatap Narendra tajam. "Kamu pakai jam tangan, Narendra?"

"Oh, pukul 12 kurang 5 menit, Ndi."

"Kalian gila, ya? Kita di sini semalaman. Sekarang sudah tengah malam." Indina terus celingak-celinguk, tidak paham apa yang terjadi. Begitu ganjil, anak-anak SMA di tempat sewaan sampai selarut ini dan kenapa juga ia masih berada di sini, melewati jam malam yang orangtuanya berikan.

"Udah. Aku mau lanjut pasang plafon kaca lagi."

"Tunggu, Ren. Biarkan teknisi ahli saja yang pasang."

"Nggak. Aku mau lihat senyata mungkin, bila gak terlihat serem mau kugali imajinasi untuk mengalihkan tempatnya," jelas Narendra kukuh dengan pendapat dan keinginannya.

"Terserah saja," jawab Indina ketus. Namun, dalam benaknya ia mulai berpikir,"selarut ini mereka apa tidak takut? Mama, Papa kenapa tidak telpon, ya?"

Pening di area kepala mulai menyerang, terlalu larut begadang.

"Teman-teman, kita pulang, yuk!" ajak Indina mulai gamang. Namun, belum sempat Indina berucap keluhan lagi, suara memekakkan telinga terdengar jelas. Suara cermin pecah dari arah Narendra berbenah setelah merancang, bagai seorang teknisi ahli plafon. Rupanya ia terpeleset tangga saat ia naik dan kejatuhan instalasi kaca plafon akibat bersikeras mau memasang sendiri. Demi memuaskan hasrat imajinasinya.

Semua pun serempak memanggil Narendra. Tanpa terkecuali Indina, bahkan ia berlari mendekati tubuh yang tengah terhampar serpihan kaca. Tubuh Narendra pun terhujam ribuan pecahan kaca. Tak ayal, seluruh tubuhnya bersimbah darah. Entah mengapa, Indina mendekat. Seakan hukum alam, tiba-tiba paku dan tuas penyangga plafon di samping yang terjatuh tadi terpelanting. Bunyi bergemeletak menyeruak. Plafon kaca itu berjatuhan, menggambarkan keotoritasan sang pemasang yang belum piawai.

"Arrgh!" Seketika Indina tertimpa reruntuhan kaca.

***

Degap jantung Indina mulai mengintimidasi pergerakannya. Termakan semua mimpi, Indina mencoba mengatur napas dan mengimplikasikan seluruh penginderaannya, agar dapat bernalar. Dia terbangun di depan monitor laptop-nya lagi. Hening. Kini ia sendirian.

"Ini bukan mimpi lagi, 'kan?" Ia menampar-nampar pipinya keras. Sebelum ia menelaah rasa tamparan, ia teringat tanggal seraya berkata," tidak! Hari ini tanggal ...."

Tepat, ia membalik tubuhnya mencari kalender di kamarnya. Ia kontan menoleh, melingkari tanggal dengan anak mata.

"Ini tanggal 29 lima menit lagi 30, Oktober," racau Indina mulai muring menyadari, tinggal besok semua bagian cerita musti selesai. Namun, satu kata pun belum ia ketik. Masih bertuliskan 'typing project roommate' berkedip-kedip.

Di atas emosinya yang naik turun, aroma menyengat tiba-tiba mengudara.

"Bau apa ini seperti daging gosong? Arrgh, aku lupa menyalakan kompor gas sewaktu menghangatkan ayam goreng." Bergegas Indina turun ke dapur. Kobaran api pun sudah melahap sepertiga bagian dapur. Tak dinyana, tubuh mamanya bergolek tak sadarkan diri di tengah kobaran api. Dengan sigap, Indina mendekati kobaran api itu. Kini seluruh bagian dapur habis dilahap si jago merah. Tanpa mengurungkan niat, Indina pun tetap menyusul ibunya. Kilatan lidah api menyambar dan segera menelan seluruh tubuh keduanya.

***

Panas suhu di tubuh Indina meningkat drastis, peluh di sekujur badan mengucur deras. Tepat di depan monitornya, lagi, lagi, dan lagi. Tubuh yang kini mulai terserang demam panas tinggi, membuat ia lemas. Jarum menit, dan jam pun tepat diangka 12, mengindikasi tengah malam tepat. Terdengar guliran gagang pintu kamar berdecit.

"Sayang, kenapa kamu tidur di depan monitor. Kamu lupa, kamu masih sakit."

"Tapi, Mam. Soal bagian Indina buat besok gak bisa terealisasi dong, Mam?"

"Kamu sudah sukses buat ceritanya. Kan hari ini Halloween-nya, bebarengan sama hari ulang tahunmu beberapa menit lagi sudah masuk tanggal 1, November. Happy birthday, Indina, cantik. Mama bangga, kamu bisa mengerjakan meski itu hal paling kamu takuti. Ayo segera istirahat ke ranjang, biar besok kamu tidak ketinggalan cerita. Sehat pasti menghampirimu."

"Berat sekali rasanya kepala Indina, Mam," jelas Indina mulai beranjak dan terseyok-seyok menghampiri ranjang.

"Oh, Mama hampir lupa. Ini kado dari teman-temanmu, sebelum berangkat perayaan Halloween mereka mampir memberikan ini." Uluran tangan Mamanya memberikan sebungkus kado.

"Kado?" Tubuhnya langsung ia dudukkan, penuh ambisi ingin segera membuka hadiah tersebut. Namun sebelumnya, ia terfokus pada surat yang tersemat, bertuliskan.

Happy birthday, Indina. Kamu keren sudah bisa menyelesaikan permintaan kejam kita-kita ini. Anyway, cepat sehat Indina, kita besok jenguk deh, suerrrr! Jangan terkejut atas hadiahnya, ya?

Sedikit demi sedikit ia robek karton pembukus berbentuk kotak pipih itu. Beberapa detik kemudian, mulai terlihat celah penampakan hadiah. Sebuah lukisan ditangkap indera penglihatannya. Degup jantungnya kuat berdetak, terkejut lukisan dirinya berlumur darah. Hingga, dirinya tak sadarkan diri.


TAMAT

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top