Perserikatan Para Hantu

Oleh: simbaak


Aku baru melihatnya hari ini. Dia duduk di sisi jendela, pada baris ke dua. Kemeja putih lengan panjangnya digulung hingga sebatas siku, tampak jelas memperlihatkan otot-otot tangannya yang keras.

Diam-diam aku tersenyum, merasa beruntung karena sekarang kedua indra pengelihatanku terkesan jauh lebih jeli ribuan kali lipat.

Aku bahkan bisa menyaksikan selembut apa rambut pirang miliknya yang bergoyang akibat tertiup angin pada senja kali ini.

Huh! Sudah lama sekali rasanya aku tak disuguhi pemandangan yang se-so-hawt begini.

Tentu saja! Kaum sebangsaku di negeri ini, kan rupa dan jenisnya nyaris itu-itu melulu. Bingung nggak itu-itu melulu yang kumaksud tuh gimana? Sabar kawan! Nanti, kubocorin dikit.

Sekarang mah biarkan aku meleleh bagai lilin. Biarkan aku hanyut di telaga pesona si 'dia' itu.

Huhuhu! Sulit rasanya buat tidak menarik kesimpulan bahwa dia itu terlalu tampan. Benar-benar kelewat gagah, terlampau kokoh, kebangetan menyilaukannya.

Sial!

Aku nyaris menjerit kegirangan.

Bagaimana coba aku bisa santai saja? Sepanjang dua bulan aku mengikuti kelas belajar bersama ini, teman-temanku cuma sebatas hitam dan putih. Kalau tidak bajunya yang putih ya kulit, mata, bibir atau giginya lah yang ultimate hitam macam arang buat bakar sate.

Makanya, bagiku—juga mungkin bagai teman-temanku yang sok cuek padahal sedetik sekali suka curi-curi lirikan ke si ganteng—dia tuh tidak hantusiawi seujung kuku pun.

Lho? Ada yang kaget? Masa belum ditakuti-takuti sudah kaget. Hihhhh malulah yaw sama kucingnya Romaria!

Yaps. Kami hantu, kawan! Tepatnya sih hantu yang baru lahir termasuk si ganteng yang sejak tadi kupandangi dengan manja itu, termasuk juga dua puluh satu siswa yang berada di ruangan ini.

Ruangan ini maksudnya adalah salah satu ruang kelas yang telah kosong karena siswa-siswinya sudah pada pulang. Iyalah! Ngapain manusia nyaris magrib masih ngedekem di sekolah, gantianlah sama kami para hantu yang juga butuh ilmu supaya pinter. Hahaha.

Saking asyiknya aku tertawa di hati, tahu-tahu muncul Bion—hantu bergigi hitam dan berkepala plontos, teman sebangkuku—yang melolot sambil melet di hadapan mukaku dan hampir membuat mulut ini berteriak ketakutan. Owlaaah, si Tuyul!

"Naksir yah?" tanyanya tiba-tiba sambil duduk di sisiku.

Aku berdesis. "Jangan datang ngedadak begitu bisa nggak?" omelku.

"Yaelah, mana ada hantu yang datangnya nggak tiba-tiba keles," elaknya seraya mulai memainkan kuku-kuku hitam nan dekilnya.

"Sudah kenalan belum?" tanya Bion lagi.

"Sama?"

Dia mengedikan dagu ke arah si hantu baru yang tampak masih saja duduk dengan antengnya.

Aku menggeleng lesu. "Bingung dari mana mulainya."

"Pret beud! Tanya nama kek, status kek, tanya di mana tempat nakut-nakutin favoritnya? Gitu saja mumet lo!"

"Takut pingsan aku kalau denger suaranya."

Bion langsung tertawa terbahak-bahak. Lidahnya yang panjang pun keluar seakan sedang berloncatan, membuat Pong dan Dut kompak memelototkan mata mereka yang sebesar bola pingpong ke arah kami.

Meringis kikuk, Bion lalu berujar, "Maafkan hamba, Ndoro-Ndoro." Detik berselang Bion langsung memicing padaku. "Dan elo, Hayati! Di mana letak jiwa hantu lo? Hantu zaman milineum gini mah haram hukumnya buat pingsan. Iyuhhh!"

"Tau ah! Emang lo sendiri sudah pernah ngobrol sama dia?" tantangku.

Bion menggeleng, membuat kepala polosnya berputar 360 derajat. "Tapi gue sudah cukup banyak denger info dari Miss Palak soal si hantu baru itu."

"Hah? Serius? Ceritaaaaain?" Aku mengayun-ayunkan lengan Bion yang sedang kugengam.

Bion tak serta merta menyanggupi. Dia mengamati wajahku sedetik yang otomatis memancing timbulnya seberkas ingatan yang terpendam jauh di dasar otak sana. Ingatan akan pertemuan pertamaku dengan Bion.

Dua bulan lalu. Ketika, aku tengah kebingungan gara-gara baru saja lahir sebagai hantu. Aku luntang-lantung ke sana-kemari, tidak tahu mau mencari apa, ingin menemui siapa sampai akhirnya Bion menemukanku yang sedang nangkring di atas pohon beringin.

"Kata siapa hantu tidak bisa punya keluarga?" Malam itu Bion mengatakan kalimat tersebut sambil memamerkan gigi-gigi hitamnya.

"Hantu juga makhluk sosial lho. Ada yang suka bergerombol, hang out bareng-bareng. Khusus buat yang baru lahir malah ada sekolahnya." Aku tak tahu Bion bohong atau tidak kala itu. Namun, yang jelas aku memutuskan untuk ikut bersamanya. Dia mengajakku ke sekolah ini, tempat para hantu-hantu menuntut ilmu supaya kelak mahir menakuti. Dan di sini, kami dibimbing habis-habisan oleh Miss Palak sang guru yang kadang merangkap pula menjadi ibunya para hantu baru.

Bion menghela napas memulai celah mulut seolah-oleh dia memang masih mampu bernapas. "Oke gue cerita asal dengan satu syarat."

"Apaan buruuuuu?" kejarku.

Bion nyengir kuda. "Lo kudu gantiin gue buat bantuin Miss Palak nyatet materi soal halloween di depan kelas. Deal?"

Aku membeo.

"Keberatan?" tuntut Bion.

"Materinya halloween banget emang?" kataku ragu-ragu. Pasalnya aku belum pernah jadi pusat perhatian dan tidak ada rencana untuk jadi seperti itu.

Bion mengedikkan bahu kerempengnya.

"Buat apa coba materi kek gitu? Di kita, kan tidak ada perayaan yang kayak begitu. Nakut-nakutin mah bebas kali mau kapan saja. Tidak usah nunggu-nunggu halloween segala. Lagian tidak ada pengaruhnya juga, kan halloween atau bukan? Kalau emang dasar hantunya payah ya tetap tidak akan ada yang bakalan takut. Ribet deh!" gerutuku.

"Biarin sajalah! Turutin apa maunya Miss Palak. Kasihan dia, kemarin habis gatot waktu mau menebar kehororan di bioskop ZZ."

Aku cemberut namun hanya sedetik. Karena mataku tiba-tiba kembali menangkap sosok si hantu baru di ujung ruangan. Demi dia, aku harus berusaha!

"Oke. Aku mau bantu. Jadi, siapa hantu baru itu?" tanyaku to the point.

"Si ganteng itu ... namanya Cameron. Minggu lalu dia lagi di Bali buat mempersiapkan acara pernikahannya," jelas Bion.

"Terus? Dia ketabrak? Atau bunuh diri? Minum racun? Kenapa dia bisa ada di sini?" cerocosku tak sabaran.

"Kepo lo batu banget ye," sindir Bion.

"Yonnnn!"

Bion berbisik, "Katanya sih, dia ditusuk sama calon kakak iparnya."

"Apaaaa?" Medusa mana kiranya yang tega menusuk manusia sebening si Cameron-Cameron itu? Huhuhu!

"Ya gitulah. Mungkin karma."

"Kok?" tanyaku.

"Yang gue denger dari Miss Palak, si Cameron ternyata waktu masih hidup pernah ngeracunin calon istrinya yang lagi hamil."

"Ebuset!" jeritku tertahan. Serem juga yah jadi ragu nih mau naksir!

Bion tak lagi melanjutkan ceritanya karena Miss Palak sudah keburu masuk ke kelas kami.

Berbasa-basi sejenak, Miss Palak yang mukanya putih sekali bagai ditaburi bedak bayi itu pun lantas berkata, "Hayati, kamu dapat nilai paling tinggi lagi minggu ini."

"Wuihhhh!" Beberapa teman-teman sekelasku merespons.

"Prikitiw prikitiw!"

"Terancam lulus nih ye!"

Dan masih banyak kalimat-kalimat tanggapan lainnya yang tak sempat kudengarkan dengan saksama.

"Jadi, sebelum kita ke materi soal halloween. Silakan tunjukkan kepada teman-temanmu bagaimana cara kamu menakuti-nakuti selama seminggu ini Hayati!" Miss Palak menitah macam guru kebanyakan.

Aku sendiri hanya sanggup menggaruk-garuk rambut panjangku yang kusut. "Sebenarnya saya tidak sepandai yang Miss duga lho," jujurku. "Sejauh ini saya bahkan sering tidak tega waktu mau menakuti target. Dan ujung-ujungnya saya suka nangis. Tapi, setelah mendengar saya nangis mereka justru pada ketakutan."

"Serius?" Miss Palak menaikan alis tebalnya.

"Iya. Apalagi kalau saya sudah ketawa kayak gini, 'Hihihihihihi' mereka pasti bakal segera bubar jalan!" Aku menelengkan kepala, merasa heran. Namun, karena pergerakan tersebut aku jadi bisa melihat wajah si Cameron yang sedang menoleh ke arahku.

Wajahnya bule banget dan rasa-rasanya hari ini bukanlah hari pertama aku melihatnya. Si Cameron ... apa aku pernah mengenal orang itu sebelumnya?

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top