Dipuja namun tak disapa


Malam. Sunyi. Gelap.

Betapa aku mencintai ini semua, di saat matahari mulai turun dari singgah sananya. Saat kuasanya digantikan oleh bulan. Aku sangat menyukainya.

Udara dingin terasa saat aku menghirup napas di balik jendela, menyegarkan, embun dan kabut yang semakin turun dan jalanan yang semakin sunyi kala itu, menjadikanku sangat terpesona dengan kemisteriusan malam.

Betapa aku mengagumi salah satu ciptaan Sang Pemilik Alam.

Namun, semua ini karena aku juga memujamu, hai pria misterius yang sudah kehilangan senyum.

.

.

.

Rambut keriting Safia berkibar, karena ditiup angin malam yang mencoba menggodanya dengan usil, jemarinya yang berkuku panjang pun menyisir rambut-rambutnya yang termakan bujukan angin. Matanya yang memiliki iris cokelat menatap seorang pemuda yang berdiri di simpang jalan. Rumahnya atau lebih tepatnya kamarnya memang mengarah langsung ke badan jalan, ia dapat menyaksikan siapa saja yang berada di tempat menunggu bus, dan saat malam adalah waktu yang menjadi primadonanya, ia bisa menyaksikan lelaki yang dulu merupakan teman kecilnya, namun telah berubah saat beranjak dewasa, semenjak kakak perempuan lelaki itu meninggal dunia.

Laki-laki itu sepertinya baru saja pulang bekerja, setiap hari dan tak kelihatan lelah, dengan wajah nyaris tanpa ekspesi dan tampan, juga kulit yang pucat entah karena kedinginan atau memang bawaan tubuhnya. Lelaki itu memakai topi rajut di atas kepalanya.

"Samuel," bisik Safia pada dirinya sendiri.

Lelaki seindah malam yang selalu dipujanya, namun tak juga disapa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top