Yang Aku Percaya
Oleh: simbaak
Mereka bilang aku tidak punya ibu tapi, aku tak percaya. Ayolah, umurku mungkin delapan tahun tapi, aku tidak bodoh. Tanpa ibu, bagaimana caranya aku lahir ke dunia ini? Melalui mantra simsalabim abrakadabra? Yang benar saja!
Sementara itu aku punya seorang ayah yang sangat sibuk bekerja. Meski begitu, aku tak lantas menjadi anak yang keenakan bermain gundu atau monopoli hingga lupa belajar. Aku suka sekali belajar. Khususnya membaca. Setidaknya, aku hampir khatam melahap buku keagamaan untuk yang ke tiga kalinya—bila tak ada aral melintang, jika Reo bisa menahan diri untuk tak menyamperku bermain petak umpet, rencananya akhir minggu ini buku tersebut bakal selesai kulahap.
Kegemaranku membaca buku entah menurun dari siapa. Selama ini aku bahkan jarang mendapati ayah membaca saat di rumah—yaps, bahkan koran sekali pun. Aku sempat bertanya-tanya, apakah ini hobi warisan dari oma? Tapi agaknya pun bukan. Oma jelas lebih hobi duduk bersila sambil memegang remot televisi atau saling sindir dengan oma Tien.
Dua orang di lingkaran hidupku tidak sedikit pun menaruh minat akan bacaan. Sejak saat tersebut aku meyakini bahwa cerita yang kerap oma lontarkan adalah benar. Orang-orang di luaran sana hanya bergunjing soal aku yang terlahir tanpa ibu. Aku jelas punya ibu.Dan kecintaanku ini, bisa jadi ditularkan olehnya.
"Jun?" Suara ayah menyapa dari ambang pintu. Tampak gurat wajah pertengahan tiga puluhnya menyembul mencari keberadaanku.
"Yah?" responku otomatis sambil menutup halaman buku yang sedang kubaca.
"Ada Reo," ujar ayah singkat sambil berlalu kembali ke ruang kerjanya—dugaku.
Melirik tembok biru langit kamarku, terpajanglah jam dinding yang sedang membentuk sudut di pukul 17.25. Sudah seseore ini, ada apa pula Reo mengganggu? Jangan bilang dia ingin menyalin jawaban PR-ku. Dasar si malas satu itu!
Menyimpan bahan bacaanku ke atas meja lagi, aku lalu mengenakan sandal japit bergambar blue dragon yang oma belikan awal bulan kemarin. Kemudian dengan sedikit berlari kusegera menyongsong pintu utama rumah mungil yang dibangun puluhan tahun lalu oleh opa.
Melewati ruang keluarga, aku bergumam meminta izin pada oma yang terlihat bak patung akibat saking fokusnya memelototi serial India sore favoritnya yang membuatku serta merta langsung melongok Reo di luar rumah.
Reo tampak bosan menendang-nendang udara kosong. Ia bahkan tak menyadari kehadiranku di dekatnya.
"Kenapa?" tanyaku to the point tak berniat mengagetkannya sih tapi bocah berambut pelontos itu malah tersungkur ke tanah sambil misuh-misuh.
"Sulit. Jin dan Jun, kan sepaket," balasku asal seraya meraih tangan Reo untuk membantunya bangkit berdiri.
"Korban reborn," cicitnya cukup nyaring untuk terjaring oleh indra pendengaranku. "Ah, sekarang hari apa, Jun?"
Memicinginya heran, aku menghela napas sesaat. "Sabtulah. Kamu sore-sore bertamu cuma mau tanya soal itu? Apa kalendermu dituker sama gorengan atau jangan-jangan malah dimakan tikus yah?"
"Ey! Aku juga tahu ini sabtu kali," ujarnya kesal yang membuatku makin bingung semi sebal. Bagaimana bisa jadi dia yang terganggu dan mendadak beraut masam begitu? Di sini, kan yang merugikan itu dia. Datang di waktu orang sedang bersantai.
"Ya kalau udah tau kenapa perlu tanya?" ucapku melerai emosi.
"Ya karena aku ingin tahu, sabtu ini tanggal berapa?" Sepertinya dugaanku tak keliru bahwa kalender di rumahnya habis dimakan tikus.
"Dua puluh dua," jawabku cepat berharap ia lekas puas dan segera kembali ke rumahnya. Serius, hari sudah kian sore kalau keluarganya mencari Reo, kan bisa menimbulkan masalah.
"Nah itu kamu tahu," balasnya ceria.
"Memang. Siapa bilang aku nggak tau?"
"Sikapmu bilang kamu nggak tau!"
"Hm?"
"Menurutmu apa yang tadi kamu lakukan di sekolah itu mencerminkan kalau kamu ngerti ini hari apa?" Yang kuperbuat di sekolah? Apa sih maunya Reo? Membahas hari saja dia berputar-putar.
"Kan tadi aku udah bilang ini hari Sabtu, tanggal dua puluh dua. Apa masalahnya sih, Re? Daripada ngurusin ginian kamu nggak dapet tambahan uang jajan mending juga kerjain PR buat Senin besok. Kamu belum beres, kan?"
"Buat apa aku ngerjain PR kalau nggak bisa praktikan pelajarannya?"
"Nggak setiap pelajaran harus dipraktikan Re," kataku termakan amarah.
"Tapi, semua guru setuju tuh kalau praktik etika itu penting, Jun. Dan yang kamu lakukan hari ini nggak menandakan kalau kamu siswa berprestasi."
"Siswa berprestasi juga manusia dan anak-anak, Re," tanggapku mendidih. Heran, bocah ini menyimpan tujuan apa sih?
Oh, jadi maksud berbelit-belit omongannya adalah itu. Reo ingin membahas soal kejadian bersama 'orang itu' siang tadi di sekolah. Tsk! Merepotkan saja. Coba tadi aku ke tempat fotocopy sendiri, peristiwa aku yang dihampiri perempuan berkuteks merah pasti tak bersaksi.
"Kamu nggak paham situasinya, Re. Pulang aja yah?" ujarku mencoba bernegoisasi.
Kadang aku bertanya-tanya benarkah Reo baru delapan tahun? Benarkah ia siswa sekolah dasar? Sebab acap kali sifat ngototnya, loyalitasnya, kepeduliannya sanggup mengalahkan orang dewasa.
"Main tenis jelas beda sama hal ini, Re. Main tenis bisa kamu ulik, tapi apa yang kamu lihat tadi mungkin sulit buat kamu untuk memahami."
"Coba dulu sih, baru kamu berhak ngomong gitu. Aku juga belum denger apa-apa, kan dari kamu," kekeuhnya.
"Emang kamu ingin denger apa?" Reo ini apabila telah berkeinginan, asanya kuat sekali hingga aku sering kali mengambil opsi kalah atau mengalah sih lebih tepatnya.
"Ish! Jun mah gitu ah. Jadi, kenapa kamu kasar ke Tante tadi? Dia udah bawain kamu perlengkapan sekolah baru, dia udah nyamper ke sekolah. Kenapa kamu buang pemberiannya dan tolak dia?"
"Karena dia bohong. Puas?" jawabku seadanya.
"Belumlah! Dari mana kamu tau dia bohong?" pancingnya lagi.
"Dari mukanya."
"Aku nggak liat apa pun di mukanya tuh. Emang jidatnya ditulis 'pembohong' yah?"
"Nggak semua hal bisa kamu liat secara gamblang begitu, Re."
"Ya terus?"
Berdecak sekali, aku lantas membuang napas samar. "Tuh, kan kamu susah paham. Pulang aja gih! Besok kuajarin cara jawab soalnya kalau kamu bingung sama pertanyaan PR kita."
"Oh, jadi aku harus bersikap kayak kamu ke ibumu begitu? Mengintilinya kemana-mana, pake baju couple-an, menggelendotinya macem koala. Aku kudu gitu?"
"Aku nggak bilang mesti sama sepertiku, Jun," belanya dengan nada suara makin rendah.
"Denger yah, Re! Nggak setiap anak kayak kamu sama ibumu yang kemana-mana berdua. Yang saling cium pipi. Nggak semua anak kayak kamu dan ayahmu yang bisa berteman."
"Jun...."
"Nggak semua anak punya orangtua lengkap kayak kamu Re. Nggak setiap anak pernah ketemu ibunya Re."
"Jun, aku...."
"Tante tadi cuma ngaku-ngaku, Re. Dia bukan ibuku," tutupku keras lantas berlari ke dalam rumah, menyembunyikan diri di balik pintu kamar.
Mengatur deru napasku yang memburu, mata ini mengabsen ruangan yang tak seberapa luas demi menemukan sebingkai foto di atas nakas. Dan begitu saja aku menjelma sebaagai bocah cengeng.
Betul. Wajah mereka memang sama, meski aku belum pernah sekali pun bertemu ibu, instingku mampu menerjemahkan perihal kemiripan aura kehangatan mereka. Hanya saja, mentang-mentang ini hari ibu, mana mungkin ibuku bangkit dari kubur, kan? Ayah bilang, ibu memelukku yang masih berada di dalam perutnya erat sekali saat mobil yang dia tumpangi terjun ke jurang. Ayah bilang, ibu pergi demi menyelamatkan nyawaku.
Jadi, mustahil ada ibu ke dua. Karena ibuku hanya yang bersama Tuhan dan yang ada di foto itu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top