Pemangku Pilu
Oleh ohmytensionfly
Kedua tangan Fatimah mengepal di sisi tubuhnya. Wajahnya memerah, sekuat tenaga membendung amarah. Dia tidak ingin meledak di sini, karena perempuan itu tidak sudi mengaku kalah.
Tatapannya mengarah lurus kepada sang ayah. Ketenangan yang ditampilkan wajah lelaki paruh baya itu memaksanya mengumpat tanpa peduli rasa hormat. Hari ini, sosok yang selama 25 tahun menjadi teladannya, menghancurkan hatinya hingga berkeping-keping.
"Aku bisa apa lagi? Menolak pun, Mas tidak akan mendengar pendapatku."
Tuturan si pemilik suara lembut nan memilukan itu menambah kadar kemarahannya. Bukan kalimat itu yang ingin Fatimah dengar. Bukan nada pasrah yang seharusnya perempuan itu lontarkan.
Fatimah menekan ego dengan mengembuskan napas perlahan. Kejadian ini memang menyerang nuraninya. Bahkan memorakporandakan logika. Namun sekali lagi, perempuan itu tidak ingin kalah oleh amarah. Sama sekali.
"Kenapa, Pak?"
"Kamu tidak berada dalam kapasitas bertanya, Imah. Ini urusan Bapak dan ibumu."
"Kenapa Imah tidak berhak? Bukankah Imah anak kandung Bapak?" Demi Tuhan Yang Agung, dia berusaha keras menjaga suaranya, agar terdengar normal dan tanpa tekanan. Namun, ungkapan lelaki itu berhasil memutus tali yang nengikat emosinya.
"Kamu cukup diam saja. Dengarkan orang dewasa bicara."
Api kemarahanya kian tersulut. Fatimah tidak sanggup lagi menekan, apalagi menahan amarah yang telanjur muncul ke permukaan. Amarah, yang dengan mudahnya menuntun perempuan lembut dalam kesehariannya itu berbuat kasar; menggebrak meja dengan tenaga penuh, sedangkan tungkai kaki membawanya berdiri secara otomatis.
"Imah anak Bapak dan Ibu. Imah punya hak untuk menyatakan pendapat di hadapan kalian, terutama pada Bapak yang jelas-jelas sudah sangat menyakiti Ibu!"
Fatimah selalu menjunjung tinggi sopan santun; berbicara dengan nada rendah ketika mengobrol orang tua, menunduk saat orang tua memberi nasihat, dan meminta maaf kala melakukan kesalahan. Sesuai ajaran ibunya. Dia tidak pernah semarah ini, apalagi sampai melanggar tata krama. Namun sungguh, demi Zat Abadi Yang Maha Pengasih, naluri perempuannya sangat terluka.
Dilukai cinta pertamanya.
Dia bahkan menepis jemari halus sang ibu yang berusaha meraihnya.
"Imah selalu menghormati Bapak. Bapak tahu itu, kan? Imah selalu percaya, Bapak dan Mas Hakim adalah lelaki yang tidak akan pernah menyakiti Ibu juga Imah!"
"Jangan berteriak pada orang tua, Fatimah!"
Fatiimah tidak sanggup menahannya lebih lama. Dia menangis. Air mata yang berusaha dia tahan sekuat tenaga pun mengaliri pipi. Kemudian, perempuan itu mengambil keputusan yang pasti sangat dibenci ayahnya; berlalu sebelum pembicaraan selesai. Lagi pula menurutnya, berlama-lama diam di antara kedua orang tuanya hanya membuat emosi meledak-ledak. Apalagi, dengan berita yang dibawa Bapak.
***
Perempuan itu terisak-isak. Tangannya menepuk-nepuk dada yang terasa sesak. Harapannya, dengan melakukan itu, apa pun yang menekannya segera menyingkir. Dia ingin bernapas dengan lega, tanpa ada sakit yang menyiksa.
Apa yang harus dia lakukan sekarang? Membawa ibunya pergi dari sini? Menghajar perempuan tak tahu malu yang dengan sengaja menjadi orang ketiga dalam rumah tangga kedua orang tuanya? Atau ... bagaiamana kalau ayahnya dia bunuh saja?
Jemari lentiknya menghapus air mata dengan kasar. Percuma! Sakit hatinya tidak akan sembuh sekalipun laki-laki itu meregang nyawa di hadapannya. Lagi pula, ibunya lebih suka dimadu daripada ditinggalkan. Jika ayahnya pergi. Fatimah tahu, perempuan yang dia cintai dengan seluruh hidupnya itu akan patah hati.
***
"Imah."
Fatimah bergeming. Dia tidak sanggup berhadapan dengan perempuan ini; tidak kuasa menahan sedih kala melihat wajah malaikatnya dipenuhi air mata, takmampu menjaga air muka supaya tetap terlihat tenang.
Perempuan itu merasakan tempat tidurnya bergerak, tapi tetap diam. Sampai tangan sang ibu mengelus lembut kepalanya, dia tidak bisa lagi berpura. Dengan segera, dia memutar tubuhnya, melesakkan wajah ke perut ibunya, dan kembali menangis.
"Tidak apa-apa, Sayang. Kamu anak Ibu dan Bapak. Apa pun yang terjadi, kamu dan masmu adalah anak-anak kami yang paling berharga."
Tidak ada yang ingin Fatimah lontarkan untuk membalas. Dia hanya ingin menangis dan membiarkan jemari sang ibu menyentuh rambutnya dengan lembut. Penuh perasaan.
"Tapi, Sayang ...," sang ibu menarik napas dalam-dalam, "pilihan Ibu untuk merelakan ayahmu menikah lagi, bukan semata-mata karena Ibu sangat mencintainya, Nak. Lebih daripada itu, Ibu tidak ingin kamu dan masmu mengalami hal serupa yang pernah Ibu alami semasa kecil."
Fatimah mengingat itu dengan jelas. Ibunya pernah bercerita betapa sulitnya hidup tanpa didampingi orang tua yang utuh. Masa mudanya berlalu dengan buruk. Hampa. Orang tua ibunya berpisah karena kondisi ekonomi sang ayah, dan beliau ... berjalan tanpa arah. Tidak ada yang peduli padanya setelah perceraian.
"Tapi Imah dan Mas Hakim sudah dewasa, Bu. Imah dan Mas Hakim bisa menjaga Ibu."
"Ibu percaya kamu dan masmu sanggup melakukannya, Nak. Tapi, coba kamu pikirkan, siapa yang akan melindungi ayahmu kelak jika kalian berdua hanya mengurus Ibu?"
Fatimah melepaskan diri. Dia bangkit, mengubah posisinya menjadi duduk berhadapan dengan ibunya. Netranya menatap lurus pada perempuan paruh baya itu. Dia bertanya dalam benak, apa yang ayahnya pikirkan sehingga sanggup menyakiti perempuan berhati malaikat ini?
Sungguh. Imah sama sekali tidak bisa menerima ucapan ibunya. Laki-laki itu sudah menikah lagi. Mengapa mereka harus mengkhawatirkan masa depannya? Sudah pasti ada perempuan lain yang sanggup menjaga dan mengurus, apalagi jika sampai memiliki anak.
Tiba-tiba hatinya seperti diiris-iris. Memikirkan ayahnya memiliki anak dari perempuan selain ibunya terasa sangat menyakitkan. Dia terbiasa dengan kasih sayang laki-laki itu yang hanya diberikan kepada dirinya dan Mas Hakim. Bagaimana ... bagaimana ....
Tidak! Fatimah menjerit dalam hati. Dia tidak akan pernah menerima pernikahan kedua ayahnya. Sampai kapan pun. Selamanya.
***
Denting piano yang mengudara di seluruh penjuru rumah membuat Fatimah segera bangkit. Tanpa memikirkan rambut kusut dan matanya yang sembab, perempuan itu segera berlari untuk mencapai sumber suara.
Berhenti di pintu ruangan khusus alat musik, perempuan itu menyunggingkan senyum simpul. Punggung kokoh sang maestro yang sedang menarikan jemarinya di atas tuts membuat gelenyar hangat merasuki dada. Menimbulkan nyaman yang tak mungkin terbantahkan.
"Berhenti tersenyum, Anak Kecil!" Suara tenor itu menggantikan denting piano.
Fatimah tidak mau membuang waktu lagi. Dia memeluk punggung sang maestro, melingkarkan lengan di pinggangnya, kemudian menangis. Lagi. Sebenarnya, dia sudah lelah menangis seharian. Tapi kehadiran Hakim Gamadi membuat emosinya sensitif kembali.
"Aku ... aku tidak rela, Mas. Demi Allah, aku tidak rela."
"Hus!" Hakim, sang kakak, menepuk pelan punggung tangannya. "Jangan bicara seperti itu. Kata Eyang Uti, pamali bersumpah dengan nama Allah."
Fatimah tidak menggubris. Dia hanya menurut ketika Mas Hakim-nya melepas lilitan lengannya, menuntun agar mereka duduk berdampingan. Perempuan itu kembali memeluk sang kakak ketika posisinya sudah nyaman.
"Tapi Bapak, Mas."
"Lupakan tentang Bapak. Anggap itu sebagai ujian untuk rumah tangga orang tua kita yang sebentar lagi mencapai angka empat puluh. Kamu dan Mas, sebagai anak yang sudah dewasa, yang harus kita lakukan adalah mendukung Ibu supaya tegar menghadapinya, dan berusaha sekuat tenaga membawa Bapak kembali pada kita."
"Kenapa Mas tidak marah? Mas membenarkan poligami?"
Fatimah sedikit kesal ketika Hakim tertawa untuk merespons. Apa yang lucu dari pertanyaannya? Mengapa sang kakak berlaku seperti itu di kala mereka serius? Namun, kekesalannya sirna seketika saat laki-laki yang dipeluknya ini mengatakan sesuatu. Sesuatu, yang sedikitnya, membuat dia bernapas lega.
"Mas sangat marah, Imah. Supaya kamu tahu saja, Mas sudah mengultimatum Bapak untuk tidak datang ke rumah ini selama masih menikah dengan perempuan itu. Tapi, Mas juga tidak bisa membiarkan diri Mas berlarut-larut diliputi emosi. Mas harus mengendalikan diri, supaya bisa menjadi sumber kekuatan untuk kamu dan Ibu."
Perempuan itu sadar, anggapan yang selama ini dia yakini tidak sepenuhnya salah. Bahwa Hakim dan sang ayah tidak akan pernah menyakiti hati mereka. Meski beberapa waktu lalu sang ayah telah menggoreskan luka, dia masih mempunyai Hakim yang bisa dipercaya. Sang kakak tidak akan membiarkannya patah hati.
Fatimah tahu itu.
Namun, dia tidak yakin apakah bisa memaafkan dan merelakan ayahnya menikahi perempuan lain. Karena baginya, seorang suami hanya boleh mempunyai satu istri. Bukan dua.
Setelah kejadian ini, hanya satu hal yang dia yakini; jiwa dan raganya hanya akan berada di pihak ibu, menjaga dan melindungi sang pemangku pilu.
***
Selamat Hari Ibu!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top