Kebahagiaanku
Penulis: VentusHikari
Hidup itu manis, pahit, dan terkadang tawar. Hidup lebih dari 20 tahun membuatku merasakan berbagai rasa tentang dunia ini. Ada berbagai macam orang. Baik, menyebalkan, ramah, ketus, pemarah, plin-plan, sok pintar, sombong, dan masih banyak lagi. Dengan banyaknya jenis-jenis manusia, semua terasa begitu berwarna.
Di hari yang cerah, mataku memerhatikan rel kereta di depan. Seperti biasa, stasiun kereta selalu ramai dengan penumpang. Berebut masuk kereta adalah hal lumrah, tapi jangan juga sampai melukai orang lain. Boleh egois, tapi jangan lupakan naluri kemanusiaanmu. Apalagi jika ada lansia yang menggunakan kereta. Jika mendapatkan tempat duduk, berikanlah kepada lansia. Biarpun lansia ini bukan orang tuamu, tetap hormati.
Yah ... itu sih yang selalu diajarkan oleh orang tuaku.
Oh ya, namaku Vinera, biasa dipanggil Vi atau Vin. Tubuhku ini langsing, tapi tidak begitu tinggi. berambut hitam padat lurus dan memiliki mata cokelat agak lebar. Saat ini aku tengah dalam perjalanan pulang ke rumah orang tua setelah sekian lama tidak kembali.
Terpisah jauh dari orang tua membuatku sering mengingat-ingat ajaran mereka ketika rindu. Saat ini, aku tengah menanti kereta datang. Hatiku ini berdebar-debar tidak karuan. Rasanya tidak sabar untuk segera menemui ibu yang sangat kurindukan!
Mendadak HP di dalam tasku berdering. Dengan cepat, tanganku mengobrak-abrik tas selempang. Duh, HP-ku ini terkubur dalam tumpukan dompet, kertas, pulpen, dan kosmetik. Ribet amat ....
Begitu berhasil mengeluarkan HP, tanganku buru-buru menekan tombol panggilan. Ibu menelepon! He he he, sepertinya sudah tidak sabar akan kepulanganku.
"Ya, Ma!" Suaraku lantang dan ceria saat menerima panggilan.
"Sudah di mana, Vin?" Suara lembut ibu terasa hangat di hati. Ah ibu, aku rasanya ingin terbang ke sisimu dan segera memelukmu! Tunggu ibu, anakmu ini akan segera pulang!
"Masih di stasiun kereta, Ma! Ini kereta lama banget sampai di stasiun! Kesal aku!" Keluh kesal keluar begitu saja dari mulutku. Aih ... jadi ketahuan aku tidak sabaran untuk pulang.
"Tidak apa-apa, Vin. Yang penting kau hati-hati dan sampai di rumah dengan selamat. Hati-hati dengan pelecehan dan juga tindak kejahatan. Jangan jalan di tempat sepi juga!" Nada bicara ibu terdengar seperti khawatir, tapi tidak menutupi kegembiraannya.
Aku terkekeh. Ibu memperlakukanku seperti anak SD saja. "Iya, Ma! Ah, keretanya datang! Sudah dulu, ya?"
"Iya. Hati-hati."
Begitu panggilan terputus, buru-buru kunaiki kereta. Astaga ... padatnya! Beberapa kali aku sampai terdorong supaya penumpang lain bisa muat. Ha ..., ini adalah cobaan. Sabar ... sabar ....
***
Mataku memperhatikan rumah bercat kusam. Luas rumah ini bisa dikatakan cukup besar, tapi tidak besar-besar amat. Dengan pencahayaan lampu, rumah ini terlihat tidak banyak perubahan. Kaca jendela yang bening membuat siapa pun di luar bisa melihat ke dalam dengan jelas. Tentu saja jika tirai jendela dibuka.
Lirikanku berpindah pada pot-pot bunga dekat tiang teras rumah. Wah, bunga kamboja ibu tengah berbunga. Selain itu, bunga bugenvil berwarna putih dan pink sebagian besar mekar. Sejak aku kecil, kedua tanaman ini sudah menghiasi halaman teras. Ada rasa nostalgia melihat bunga ini. He he he ...
Dulu, saat kecil aku iseng-iseng memetik bunga yang mekar dan memasukannya ke dalam bak mandi. Ibu marah sekali melihat bunga kesayangannya dipetik. Meski begitu, tanganku ini masih suka usil. Hum ... jika kupikir-pikir, dulu aku sering melihat iklan TV di mana orang dalam iklan mandi bunga. Karena efek grafis, kukira jika mandi dengan air penuh kelopak bunga, maka aku akan sewangi bunga!
Setelah lima hingga enam kali percobaan, aku sempat heran mengapa orang-orang sekitarku tidak bilang aku wangi? Semenjak itu aku tidak lagi memetik bunga ibu karena kesal. He he he, imajinasiku ketika kecil absurd juga.
Sambil melepas sepatu, aku berseru, "Ma! Aku sampai!"
Tidak sampai semenit, pintu rumah terbuka. Di balik pintu, sosok ibuku yang tercinta memasuki indra mataku. Wajahnya berkerut, tapi tidak menutupi seluruh kecantikannya. Matanya yang cokelat memandangiku dengan sorot rindu. Rambut pendeknya sedikit berantakan. Kuperhatikan ibu sedikit gemukan dibandingkan terakhir kali kulihat.
Aku bergegas memeluk ibu dengan senyuman. Dengan tinggi kami yang kurang lebih sama, kusandarkan kepalaku di bahu ibu.
"Mama!" Kupeluk ibuku seerat-erat mungkin.
"Akhirnya anak mama pulang." Pelukan ibu tidak kalah erat denganku.
Setelah merasa puas dengan kehangatan ibu, kulepas perlahan. Mata kami saling menatap satu sama lain. Aku memang tidak mengetahui isi pikiran ibu, tapi kuyakin apa yang dirasakannya sama sepertiku. Ada banyak hal yang ingin dibicarakan, tapi kami sama-sama bingung harus memulai dari mana. Haa ... ibu, rasa rindu ini begitu membendung sehingga tidak bisa diungkapkan dengan tindakan dan kata-kata saja.
Ibu mendadak mengangguk. Mungkin dia sudah puas menatapiku? Meski begitu, aku masih belum begitu puas. Ah, tidak apa-apa. Masih banyak waktu ....
"Ayo masuk!" Ibu menarikku masuk dengan lembut.
Saat memasuki ruang tamu, terdapat rasa yang tidak bisa kuungkap dengan kata-kata. Ruang tamu ini cukup luas. Ada meja kayu kusam tapi masih dalam kondisi bagus. Beberapa bagian kulit sofa biru mulai robek-robek, tapi masih layak digunakan. Cat ivory yang hampir mendekati putih menimbulkan kesan hangat di tengah kesederhanaan ini.
Tas selempangan kulempar ke atas sofa. Begitu pantatku menyentuh sofa, kulepas seluruh rasa lelahku. Ah ..., akhirnya duduk! Astaga, kakiku pegal sekali tadi! Di kereta tidak dapat tempat duduk. Pas naik bus juga tidak dapat tempat duduk! Astaga! Kakiku yang malang ini pasti menangis bahagia karena sudah tidak dibebankan oleh berat tubuh!
"Mau minum apa?" Ibu menatapiku.
Hm? Minum ... "Teh manis dingin!" Mulutku refleks mengatakan isi hatiku.
Kupijat-pijat kakiku yang lelah sambil melihat ibu menuju dapur. Beberapa saat setelah ibu ke dapur, suara dentingan antara gelas dan sendok terdengar. Hm ... berapa gelas yang ibu buat? Entah mengapa aku seperti mendengar suara dua dentingan gelas yang berbeda.
Ibu keluar dari dapur pas bersamaan dengan selesainya pijatan kakiku. Leganya! Ototku tadi pegal bukan main, tapi kini sudah lebih baik meski tegang di kaki masih dirasa. Di tangan ibu, ada dua gelas teh. Satu teh dingin dan satu teh hangat. Tentu saja teh dingin diberikan padaku.
Segarnya teh memasuki tenggorokanku. Dingin! Enak! Teh ini memang teh biasa, tapi buatan ibu bagiku selalu special. Rasa manisnya pas sesuai seleraku. Ibu ngertiin aku banget! He he he ...
"Vin ..." Mataku melirik ibu ketika teh baru diminum setengah. Tentu saja teh ini mau kuhabiskan dalam satu kali minum. Haus! "Mama mau menanyakan pendapatmu."
Gelas teh kosong kuletakan di atas meja. "Kenapa, Ma?" Ada keseriusan di mata ibu. Kira-kira ada apa ....
"Mama ingin kau tinggal bersama mama."
"..." Haa ...? "Maksudnya ... bagaimana, Ma? Mama ingin aku berhenti kerja di Jakarta dan cari kerja di kota ini?"
"Sebenarnya ... mama juga bingung."
"Kalau Mama bingung, apalagi aku." Kugaruk-garuk kepalaku.
"Begini, maksud mama, apakah lebih baik kau berhenti kerja atau mama jual rumah ini dan coba cari rumah yang berdekatan dengan Kota Jakarta, seperti Bekasi, Tanggerang, atau Depok?"
"Mama mau jual rumah ini!?" Responku sedikit lambat karena terperangah. Jual? Rumah ini? "Ta-tapi Ma, rumah ini, kan, peninggalan Papa ...."
"Mama tahu. Kenangan dalam bentuk benda memang tidak tergantikan, tapi yang terpenting justru di sini." Ibu menunjuk dadanya.
Hati? Itukah yang ibu maksud?
"Kenangan dalam bentuk benda berfungsi sebagai pengingat. Kenangan memang penting, tapi bagi mama, keberadaanmu yang paling penting. Kau adalah peninggalan terindah dari papamu."
"Ma ..." Mataku terasa berair. Perasaanku jadi ... sedih? Tidak, bukan sedih. Terharu, tepatnya.
"Kau sudah besar, tapi hingga kini belum memiliki pasangan. Hidup mama mungkin masih panjang, tapi tidak sepanjang dirimu. Mama hanya ingin bisa sering bersamamu, anak mama satu-satunya. Mama ingin menjadi orang pertama di saat kau berbagi suka dan juga dukamu."
"..."
Mama kesepian. Tetangga memang bisa menghilangkan kesepiannya di hari terang, tapi ketika sudah gelap, tidak ada yang menemaninya. Sendirian dalam rumah ....
Sebenarnya, ketika di kos, rasa sepi sering mendatangiku. Untuk mengusir rasa sepi, aku selalu memutar musik hingga mataku mengantuk. Sesekali aku menelepon atau ditelepon teman hingga larut malam. Kadang-kadang browsing mencari hal-hal menarik ataupun nonton TV—kalaupun ada yang menarik. Aku jarang sekali keluar malam kecuali hari Sabtu atau Minggu. Habis kerja biasanya aku capek banget dan malas untuk ke mana-mana.
Sedangkan ibu, internetan tidak paham. Musik? Paling dari radio atau TV. Ibu punya smartphone, tapi hanya mengerti cara telepon dan SMS. Ha ...
Aku senang ibu sangat memikirkanku, tapi ada rasa berat di hati jika rumah ini terjual. Kenangan ... bersama ayah ....
Aku masih merasa sulit membayangkan jika ini tidak lagi menjadi rumahku. Sejak kecil hingga besar, rumah ini merupakan saksi bisu bagaimana ayah dan ibu membesarkanku. Rasa cinta dan sayang tidak terbandingkan oleh apapun. Hingga kini, masih teringat bagaimana senyuman ayah ketika mendampingiku bermain.
Pernah sekali aku dan ayah tidak sengaja memecahkan barang saat bermain bola di dalam rumah. Ibu marah bukan main dan menasehati kami berpuluh-puluh menit. Terbayang jelas di benakku ayah hanya menyengir—dipastikan tidak begitu menyesali perbuatannya—dengan wajah tertunduk menghadapi amarah ibu. Ibu tidak bisa melihatnya, tapi aku melihatnya. Tentu saja ini rahasia karena ayah menyogokku dengan permen. He he he ...
"Mama yakin ada rencana menjual rumah ini? Aku masih ada kontrak sekitar 6 bulan lagi, jadi tidak bisa berhenti begitu saja ...." Kuungkapkan kedilemaan di hatiku. Kontrak kerja menahan diriku untuk tetap kerja di Jakarta, sedangkan rumah ini penuh dengan kenangan ayah. Bisa saja kontrak dibatalkan secara paksa, tapi aku harus membayar denda yang tidak sedikit.
Ibu kini hidup dengan sisa tabungan yang berasal dari asuransi kematian ayah. Hanya aku yang bekerja, maka kami tidak bisa boros. Gajiku bisa dikatakan hanya cukup untuk memenuhi semua kebutuhanku dan belum bisa membiayai ibu. Tabunganku ... he he he ... jangan ditanya. Jarang-jarang uang di buku tabunganku bertahan lama. Ha ...
"Mama yakin. Dalam setahun, kau pulang ketika libur panjang saja. Akan lebih baik jika rumah kita dekat Jakarta, jadi kau bisa pulang pergi naik kereta menuju Jakarta dan tidak perlu lagi 'ngekos."
"... Jika Mama yakin ... aku setuju." Bagiku, selama manusia hidup, maka kenangan itu akan selalu ada di hati dan dibawa hingga kau mati. Tidak ada yang abadi, tapi kebersamaan akan selalu di dalam hati.
Senyuman ibu menunjukan kebahagiaannya atas persetujuanku. Manusia harus memiliki tujuan dan ambisi. Mengejar mimpi, menjadi sukses, dan bahagia. Ini adalah mimpi setiap manusia. Untuk mengejar mimpi, butuh usaha. Untuk menjadi sukses, harus bekerja keras. Untuk mendapatkan kebahagiaan, maka ingatlah akan orang-orang yang kau kasihi.
Mungkin tidak semua manusia mendapatkan kebahagiaan di awal kehidupannya seperti diriku. Mungkin ada juga orang yang diberi kesuksesan di awal kehidupan. Ada pula manusia yang sukses meraih mimpi sebelum dia menginjak kedewasaan. Semua ini merupakan kehendak Tuhan.
Iri boleh, tapi jangan mempermasalahkan apa yang sudah diberikan padamu. Karena jika apa yang diberikan padamu hilang—entah itu mimpi, kesuksesan, atau kebahagiaan—maka akan sulit untuk mendapatkannya kembali.
Aku sedih atas meninggalnya ayah, tapi juga bersyukur. Bersyukur karena ayah masih sempat meninggalkan kebahagiaan pada kami, aku dan ibu.
The End.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top