Kalender buat Kanaya
Oleh: Tree Noktah. (TNT) Tree_NoktahTNT
Dalam ruang cat oranye yang mulai pudar, karena sudah lama tak tersentuh sedikit pun oleh tangan pria. Kini penuh sesak oleh alat-alat kegiatannya sebagai murid baru di sekolah menengah pertama di kota Jakarta. Tak disangka, itu kali pertama Kanaya bertandang di rumah ibu, namun bukan ibu pilihannya. Sebenarnya, rumah ibunya hanya berjarak satu kompleks dari rumahnya. Namun, ia begitu enggan untuk sekadar berkunjung.
Di dalam kamar yang baru ia tempati, kornea mata coklat gelapnya menangkap angka kalender bergantung di dinding.
"Huft! Kenapa barang itu, masih digantung," teriaknya seakan kiamat sudah datang. Amarahnya pagi itu, tersulut. Dan mulai menggerutu,"Padahal udah gue bilang, gak suka barang itu ditaruh di kamar. Arrgh! Ayah, emang nggak pernah ngebahagain gue sebagai anak semata wayangnya. Terserah dua anak yang suka ngaku-aku. Pokoknya cuma gue, tapi ...."
Air matanya mulai mengembang tertahan. Dia mengalihkan pandangannya, menahan setiap kepingan rasa rindu dan kecewa. Jendela kamarnya menjadi pelampiasan.
"Arrrrgh!" teriaknya sekencang-kencangnya. Tetangga sekitar pun terkesiap, dan memaki Kanaya, namun tak digubris olehnya. Mereka, tentu belum terbiasa akan tabiat Kanaya yang baru kemarin pindah. Dia pindah setelah satu bulan neneknya meninggal. Tadinya ditemani saudara neneknya, tapi karena tinggal di luar kota, terpaksa cuma satu bulan saja.
Anak 14 tahun itu, sering melakukan hal tersebut. Tekanan mental menengarai gadis itu melakukan hal-hal di luar nalar. Bahkan pada usianya, ia baru meneruskan pendidikan, yang seharusnya hampir lulus.
Langkah kaki Kanaya begitu kesal, pijakannya terasa begitu kuat menghujam. Hingga terdengar sampai dapur, tepat di bawah ruang tidurnya.
"Anak ini. Baru kemarin datang, tapi memang dari dulu ia tak suka tinggal bersamaku," gumam ibunya, tepat di bawah sedang menggoreng telur dadar buat sarapan mereka berempat. Dengan mengelus dada, Ratna mencoba bersabar. Namun, sudah terhitung 5 tahun lebih, Kanaya belum bisa menerimanya sebagai ibu. Dia bahkan memilih tinggal bersama neneknya. Namun, sepeninggal neneknya, Kanaya tak punya pilihan lain.
Dengan tergopoh-gopoh membawa perlengkapan sekolah, Kanaya turun.
"Kanaya, yuk sarapan!" suruh ibunya.
"Aku mau langsung berangkat." Langkah Kanaya pergi tanpa menghiraukan Ratna, ibu tirinya. Sedang, dua adiknya duduk manis di meja. Masing-masing berumur 3 dan 2 tahun. Kedua adiknya pun belum cukup dekat dengan Kanaya, mereka cuma bisa terdiam. Tiba-tiba, ia berbalik dan berkata,"Ngomong-ngomong, apa maksudmu memasang kalender di kamarku. Aku kan sudah pernah bilang, aku nggak suka benda itu ada di kamarku."
"Kenapa? Kalender itu penting, buat kita planing hari kegiatan. Bisa terorganisir di tiap angka penanggalannya."
"Halah, nggak guna kalender." Tangan Kanaya langsung merobek kalender 2012 itu, dan tak ambil pusing, dia berlalu pergi dengan air mata yang mulai menggenang.
***
Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan. Hingga 5 tahun berlalu. Kanaya pun optimis akan pilihan tujuan hidupnya. Proses akselerasi pendidikannya berjalan lancar, ia bisa langsung masuk ke perguruan tinggi. Akhirnya anak yang belum bisa memanggil dan menempatkan Ratna sebagai ibunya itu, memutuskan hidup sendiri. Tinggal di rumah kosong milik neneknya, tempat ia dirawat—sebelum pindah. Tidak lupa kalender di rumah itu, tak ada satu pun. Hidupnya tanpa penanggalan, setiap angka mengingatkan pada janji yang tak kunjung terealisasi.
Dering teleponnya pun terdengar.
"Hello, Ra. Ada apa?" Kiara teman kampusnya menelepon, memastikan Kanaya tidak lupa akan kegiatan kunjungan ke kebun binatang buat observasi.
"Tanggal 15 kita musti observasi loh."
"Kenapa musti pake tanggal segala sih. Kabari gue, kalo dah waktunya aja deh, Ra!"
"Uhm ..., emang kenapa?"
"Udahlah, pokoknya gue minta seperti itu. Titik!"
Sejak saat itu, kawan-kawannya pun sudah tidak asing lagi dengan tabiat Kanaya. Soal bila ada acara, atau apa pun yang berhubungan dengan angka kalender, Kanaya tidak bisa menerima.
***
Jakarta, 25 Oktober 2007
Sepuluh tahun lalu, Ratna harus menikah di bawah tangan demi balas budi. Di kejauhan anak 9 tahun itu, menatap ke arahnya penuh kebencian.
"Kanaya, kamu gadis yang cantik," bujuk Ratna ingin segera mendekati hati gadis cilik itu.
"Makasih. Nek, ayo kita pulang!" rengek Kanaya mulai terisak. Sudah dipastikan, gadis kecil itu begitu kecewa. Mengambil hatinya pun begitu sulit bagi Ratna.
Dalam benak Kanaya, ia kecewa atas kebohongan yang dikatakan oleh ayahnya.
"Kanaya, ada hal spesial bulan depan. Tepat tanggal 25 Oktober."
"Benarkah, Yah. Ayah akan menikah dengan Ibu, ya?" Dia begitu antusias beranjak. Berlari menuju kalender dan melingkarinya, agar tak terlupa.
"Iya." Rudy tak sanggup berkata jujur, takut mengecewakan binar mata putri kecilnya itu. Anggap Kanaya, ibu yang ia maksud adalah ibu Naima. Wanita yang cukup dekat dengannya, namun ....
Hingga terbuktilah semua, satu kalimat kebohongan ayahnya itu, membuat Kanaya menangis sejadi-jadinya. Ibu yang di depannya, bukan ibu dalam bayangannya. Yaitu ibu Naima, yang memilih berpisah karena ayahnya sudah sakit-sakitan. Ibu pilihan Kanaya tak sanggup untuk itu, setelah vonis dokter menyatakan kanker stadium 4 yang diderita ayahnya, hanya menyisakan waktu hidup lebih maju atau mundur dari perkiraan. Sudah pasti, ia memilih pergi.
Naima memang sudah bisa mendapatkan hati putri kecil itu, namun ia tak sanggup hidup sendiri, bila ayahnya pergi. Kanaya pun tidak tahu akan hal itu. Dia masih cukup kecil untuk bisa memahami hal itu.
Ratna pun hadir dengan polosnya, lewat kehendak takdir melalui ketimpangan ekonomi ayahnya. Ditambah lagi kebakaran restoran membuat luka permanen di kaki ayahnya. Rudy pun mencoba membantu memakai uangnya.
Selentingan kabar menyebarkan isu, bahwa Rudy mencari pendamping hidup yang mau merawat putri kecilnya. Rumor itu pun sampai ke telinga ayah Ratna, jadi ia pun menawarkan putri semata wayangnya untuk dijadikan istri. Ratna gadis cantik itu, memang anak penurut, ia pun tak banyak menuntut. Pastilah, ia setuju apa pun yang diminta ayahnya.
Sore itu, perjanjian pertemuan dua keluarga ditetapkan. Kanaya dan ayahnya pun mulai bersiap.
"Ayah, kita mau ke mana? Asik. Jalan-jalan, ya?"
"Nanti jangan rewel ya, Kanaya? Janji!" Senyum dipertahankan Rudy di samping dengan menggenggam tangan putri kecilnya.
"Uhm ... janji!" Dengan tingkah polosnya ia jawab, dan mulai mengeluarkan kekritisannya, khas anak zaman sekarang. "Memang kita mau beli es krim di mana?"
"Oh, Kanaya pengen es krim. Nanti kalo kita udah pulang, ya?" Tanpa menjawab, Kanaya cuma memanyunkan bibirnya. Seakan ia sudah tahu, bahwa ini bukan sekadar jalan-jalan.
Sesampainya mereka di rumah Ratna. Kanaya kecil duduk manis di samping ayahnya, di kursi depan teras. Mata Kanaya mengerjap, ia merasa asing di rumah itu.
"Ini rumah siapa sih, Yah?" tanya Kanaya. Sebelum ayahnya menjawab. Pemilik rumah keluar.
"Silakan masuk, Pak!" Luncuran suara lembut menyambut hangat mereka. Ratna membuka pintu, penghuni rumah itu, hanya ia dan ayahnya. Ibunya sudah tiada.
Mata dua gadis itu beradu tatap, saling mengaitkan hati. Ratna jatuh cinta pada kesejukan wajah Kanaya, salah satu ciri paling mendasar atas hormon kesiapannya menjadi calon ibu. Namun wajah itu, hingga kini tidak bisa ia sentuh.
***
Jakarta, 21 Desember 2017
Kanaya bahagia, kegiatan yang digeluti sudah jadi tujuan selama ini. Setiap pagi bercengkerama dengan hewan, menanamkan segala kasih sayangnya. Baginya, binatang tidak mungkin berbohong, mereka hanya mengikuti nalurinya. Itulah sebabnya, Kanaya memilih jalan hidup seperti itu. Namun, kesendiriannya memupuk rasa sepi. Dan di setiap harinya, ia merasa ada hal yang kurang di hidupnya. Meski begitu, ia pun masih tidak peduli. Hanya, melakukan tugasnya sebagaimana mestinya.
"Perkembangan Dori, nampak signifikan." Dia memeriksa gajah yang tengah berbadan dua. Namun, jurnal kesehatan tetap kosong di bagian penanggalannya. Rutinitas yang sulit, bila mengandalkan ingatan.
"Ayolah Kanaya, catat tanggalnya!" bujuk temannya.
"Udahlah, nanti gue tanganin sendiri." Ia masih bersikukuh dengan pedoman hidupnya itu, seraya berlalu pergi.
Malam saat di rumah mau mencatat, ia lupa menaruh jurnal kesehatan Dori. Meski gontok di hati karena malas harus berhubungan dengan kalender. Dia musti tetap profesional, demi kepentingan bersama.
"Males banget, sebenarnya kutaruh di mana tadi." Dalam benak ia kesal. Ke sana, kemari, mondar-mandir.
Dia obrak-abrik seisi rumah.
"Oh, aku tadi ketiduran di kamar nenek. Apa mungkin di sana?" gumamnya. Dia langsung menuju kamar neneknya, meski ia tahu kemungkinan 25% saja keberadaan jurnal tersebut di sana. Dengan hati yang tengah kacau karena harus mencatat tanggal, ia pun lampiaskan dengan mengobrak-abrik kamar neneknya juga. Sebuah laci penuh peralatan menjahit, membuatnya termenung. Ingatannya, menerawang kisah bersama sang nenek.
"Loh, apa ini?" Sebuah jurnal dengan terselip selembar sobekan kalender di dalam, membuat ia penasaran. Tingkatan kesehatan dan penanggalan yang dilingkari, membelalakkan mata.
"Jadi, Ayah selama ini mengidap leukimia. Bahkan kami, tiga anaknya tidak ada satu pun yang bisa menyembuhkan." Air matanya jatuh, terisak hingga dadanya sulit bernapas. Di balik selembar kalender itu, tertulis sesuatu:
Kalender buat Kanaya. Sengaja ayah tulis di sini, untuk permintaan maaf atas kebohongan ayah. Ingat kalender yang Kanaya lingkari ini. Tangan mungilmu membuat ayah tak sanggup berkata jujur. Namun jika saatnya kupergi, ayah lega sudah menitipkanmu kepada Ratna, gadis yang punya tatapan kasih seperti ibumu. Dia bersedia memberikan kasih sayangnya, terlihat dari tatapan keluguannya. Apalagi dia berpegang teguh pada amanah. Jadi sengaja ayah menyuruh nenekmu menyimpannya, agar kamu dewasa dahulu. Mungkin pemikiran matang, bisa membuatmu lebih bisa memahami.
Ayahmu tercinta.
"Kenapa Ayah tidak bilang. Nenek pun melewatkan kalender ini." Pikirannya pun berkelindan, antara rasa sedih mengetahui yang sebenarnya dan juga rasa bersalah terhadap ibunya. Dia remas secarik kalender, erat.
Tanpa peduli waktu telah larut malam, ia beranjak berlari ke rumah ibunya. Tak selang beberapa lama, dengan napas putus-putus, Kanaya perlahan mengetok pintu rumah ibunya itu.
"Siapa, ya? Larut malam begini bertamu," gumam Ratna di balik jendela."Kanaya!"
Pintu itu pun segera ia buka.
"Kanaya."
"Maafkan aku, Ibu! Aku sudah tahu segalanya. Sekarang cuma Ibu dan adik-adik yang kumiliki, izinkan aku menjadi anakmu!"
"Tak perlu izin. Kamu memang telah menjadi buah hatiku, Kanaya." Mereka berdua berpelukan.
Kanaya yang buta penanggalan pun tidak tahu, bahwa hari itu malam 22, Desember. Malam menyambut hari ibu. Bagi Ratna, momen itu begitu tepat. Ketiga putrinya telah berkumpul. Bahkan ia sudah sanggup memeluk gadis yang selama ini memisahkan jarak, karena kebencian pada setiap kolom lingkaran angka kalender.
Esok paginya, mereka berempat asik memasak. Merayakan hari Ibu, sekaligus kembalinya Kanaya. Tidak lupa Ratna memberikan sesuatu.
"Ini Kanaya. Kalender buat Kanaya. Akhirnya kamu bisa lepas dari kebencianmu selama ini. Ibu senang."
"Makasih, Bu. Kupasang, ya? Biar kita optimis menyambut tahun yang baru."
Kalender pun terpasang di rumah dengan empat penghuni perempuan, penuh kesiapan menghadapi tahun yang akan datang.
Selesai
"X!:
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top