4 :: Go Dream
Written by @m_00nlight
***&***
Aku melihat mereka yang seperti biasanya, bertamasya lagi setelah ujian akhir telah selesai. Namun, kali ini berbeda dari biasanya. Arkan, Dinda, Corner, Rani, dan Irvan itu merayakan kelulusan wisudanya di luar Bandung. Tepatnya ke Bogor.
Aku mendengar dari yang mereka ucapkan itu, kalau di sana ada tempat yang bagus untuk wisata atau sekadar buat foto-foto. Misalkan saja, Jembatan Kayu Gantung yang bisa menikmati keindahan alam atau Bukit Alesano yang bisa berkemah di sana dengan dikelilingi pemandangan Kota Bogor.
"Akhirnya kita tamat kuliah juga!" seru Corner.
"Lo mah nggak pernah belajar. Selalu aja nunggu jawaban dari Dinda," sindir Irvan.
"Yee ... Yang kasih aja diam," balas Corner.
"Inda, apa perasaan lo saat Corner yang duduk di sebelah lo selalu ribut untuk minta jawaban?" tanya Arkan dengan pura-pura mengambil botol minuman soda itu sebagai (microphone.)
Dinda tersenyum menggoda. "Sebenarnya pengen gue sumpal dengan sepatu."
Semua tertawa keras kecuali Corner yang cemberut. "Lo tega banget, Da. Gue ini pacar lo!"
Dinda mengulurkan lidahnya. "Biarin!"
"Udah, udah! Mari kita poto-poto aja, mumpung masih nunggu giliran," tukas Rani menengahi sambil menentengku di lehernya.
"Kuuuy!!!" seru Irvan dengan hebohnya.
Kemudian, mereka berempat sudah bergabung dan memasang gaya-gaya yang narsis. Sedangkan Rani, ia mengarahkanku di jarak yang tak jauh lalu tanpa butuh waktu yang lama juga, Rani ikut berkumpul di barisan.
(Jepret!)
"Eh, lagi dong!" pinta Irvan.
Dari mereka berlima, yang paling suka berfoto itu adalah Irvan. Gaya-gayanya selalu bikin mereka ketawa cekikikan.
"Elo lah yang pergi!" sambut Rani sedikit teriak.
"Tolong dong, Ran. Lo yang paling dekat abisnya."
Rani berkomat-kamit sambil berjalan menghampiriku. Aku selalu ingin tertawa melihat tingkahnya dan Irvan yang suka beradu mulut. Namun, aku tak bisa.
(Jepret!)
"Coba liat," kata Irvan.
"Nanti aja, itu tuh udah giliran kita. Dinda sama Corner mau minjem kamera gue," jawab Rani yang memindahkan aku ke tangan Corner.
"Siap?" tanya Corner kepada Dinda.
Dinda menganggukkan kepalanya, dan paralayang pun terbang ke udara.
"Wohoo!!!" teriak Corner sembari mengarahkanku di depannya tinggi-tinggi dengan tongsis.
Dinda sesekali tersenyum, sesekali menutup mukanya. Aku tidak tahu kenapa, mungkin sedikit ketakutan.
"Hati-hati, Or. Itu kamera milik Rani, harganya selangit. Jangan sampe jatuh."
"Iya sayang," sahut Corner.
"KALIAN CEPAT BALEK YA!" teriak Irvan yang masih dapat kutangkap. "JANGAN ASIK PACARAN!"
"BERISIIKK!!!" Corner berteriak kembali.
"Selanjutnya mau ke mana nih?" tanya Arkan.
"Terserah aja," sambut Rani.
Dari mereka berlima, memanglah Rani orag yang suka ikut-ikutan saja. Tanpa ingin mengusulkan.
"Ke Kota Bunga saja." Dinda merekomendasikan.
"Kota Bunga? Itu ... Itu Little Venice?" tanya Irvan.
"Yups."
"Ya sudah ke sana ya," ucap Arkan lalu melajukan mobilnya membelah jalanan.
"Mendingan kalau lo mau lihat, perginya ke Eropa beneran. Lah, ini yang kawe-kawe pasti enggak seindah asli dong," lerai Corner.
"Ih ...! Di sana katanya sih bisa dayung gondola lagi, udah kayak asli kok. Lo nggak usah sok kaya deh, Cor, macem lo udah kaya aja, mau ke Eropa segala. Nikahin aku aja masih belum sanggup."
Corner mencubit pipi kiri Dinda dengan gemas. "Baru wisuda beberapa hari aja udah kode-kode mau dilamar."
"Cieee ...." Arkan dan Irvan menimpali.
Sontak, Dinda menjadi gugup. "Apaan sih! Siapa juga yang mau nikah dengan lo! Kalian juga apaan cie cie!"
"Sebelum nikah, ya kerja dulu. Kasihan Dindanya yang nanti nggak sanggup menyusui," ledek Rani yang membuat semua orang tertawa.
Ya, seperti biasanya. Terkecuali Corner. Karena pria muda berkulit sawo matang itu gampang cemberut, sehingga dia yang paling sering dibuli.
"Eh, omong-omong soal kerja. Kalian mau kerja apa? Udah pada dipikirin belum?" tanya Arkan.
Irvan menaikkan alis kanannya, berpikir sejenak. Begitu juga Dinda, Corner, dan Rani.
"Hm ... Kalau gue sih mau lanjut belajar fotografer," sahut Rani.
"Gue mah pengennya santai-santai dulu aja," kata Irvan cengengesan.
"Kalau Corner sampe gitu, udah gue sepak ke laut," cela Dinda.
Corner mengelus hidung mungil Dinda dengan gemas. "Ya nggak mungkin lah, gue masih ada impian yang pengen gue capai."
"Apa?" tanya Irvan penasaran.
"Sutradara," jawab Corner dengan bangga.
"Kalau lo, Din?" tanya Arkan.
"Gue sih mau kerja jadi perawat aja."
"Ciee ... Perawat si (baby) Corner ya," goda Irvan mentoel pipi Corner.
Corner lekas menepis tangan Irvan. "Kalau Dinda mau sih gue terima-terima aja."
Dinda langsung mencubit lengan Corner. "Enak aja!"
Mereka sungguh harmonis, seperti sebuah keluarga. Namun, suatu saat mereka akan berpisah untuk mengejar impian masing-masing. Tapi, aku yakin, ikatan tali persahabatan mereka tak akan kendur dan putus seberapa jarak jauhnya mereka.
"Arkan mau kerja apa?" tanya Rani.
"Gue? Gue mau jadi pilot, membawa manusia-manusia terbang menembus awan," sahut Arkan tertawa cekikikan.
"Ngakak lo, mau kerja pilot tapi ambil jurusan apa!" ejek Corner.
"Elah! Lo mah sama aja, ikut Dinda ambil jurusan kedokteran tapi mau kerja jadi apa."
"Udah, udah. Kalian ini sama aja," ucap Rani. "Saling berkaca kalian."
"Sampe kita." Arkan memberitahu.
🌠
Hari telah sore, mereka berlima sekarang menuju ke sebuah bukit berencana untuk berkemah di sana.
Setelah ke Little Venice tadi, mereka sepakat untuk melewati hari kebersamaan mereka yang terakhir kali sebelum menjemput impian mereka.
Yang kuketahui adalah, mereka senang bisa liburan bersama-sama, namun pasti juga sedih. Persahabatan mereka sudah berlalu selama hampir sepuluh tahun lamanya.
"Masih jauh, Ar?" tanya Dinda.
"Sudah dekat kok. Justru di sana malam itu indah," ucap Arkan.
Dinda itu perempuan yang tangguh kelihatan di luar, tapi sebenarnya ia takut. Dan ketinggian dan kegelapan yang paling ia takutkan. Sempat aku mendapati dirinya yang menangis di dalam ingatakanku, karena takut dengan mematikan lampu saat ulang tahun ketujuh belasnya.
"Tapi ngeri kali, Ar. Kalian kan tahu gue takut gelap."
Corner semakin mengetatkan pelukannya di pundak Dinda. "Ada gue kok."
"Berasa nyamuk kita ini," sindir Irvan.
"Gue lebih berasa lah bego, gue di samping Dinda." Rani menimpali.
"Kapok lo, ngakak. Lihat mereka mesra-mesraan." Irvan tertawa terbahak-bahak melihat Rani yang canggung lewat kaca spion.
"Pengen gue gampar tuh mulut terong," cebik Rani.
"Sstt! Kita udah sampe ini." Arkan menengahi.
"Akhirnyaaa!!!" seru Irvan.
"Nyalain lampunya dulu dong," perintah Dinda.
"Iya, iya." Corner sontak mencari alat penerangan.
Namun beberapa menit sudah berlalu, masih belum menemukan lampu teplok.
"Woi, lampu teplok siapa ambil?" teriak Corner.
"Lah, bukannya tadi lo yang megang di tas cokelat itu?" tanya Arkan.
"Mana gue pegang," ujar Corner.
"Duh ... Senter hape aja kalo nggak," timpal Dinda yang merinding ketakutan.
Suasana semakin gelap, namun syukurnya di depan itu masih ada cahaya minim dari kota Bogor yang menemani kegelapan mereka.
"Dapat!" ucap Rani. "Kalian sih, tinggal di mobil jok belakang."
"Udahlah, yuk. Makan dulu. Dah laper banget," ucap Irvan.
"Gue lebih laper lah, kan gue yang nyetir. Udah capek, laper lagi. Untung nggak pingsan," sahut Arkan.
"Ya, terima kasih Mas Arkan Dzikaro," tangkis Dinda, Corner, Irvan dan Rani bersamaan.
Usai acara makan panggang-panggang, mereka menyalakan lampu api unggun. Lalu masing-masing berdoa kepada Yang Maha Esa.
"Kalian jangan sampai lupain gue ya, kalau Dinda dan Corner udah rencana nikah, jangan lupa kondangannya." Irvan menghapus air matanya disertai dengan tawa kecil.
"Dasar, tahunya makan doang," sindir Rani.
Aku tahu, Rani sebenarnya daritadi sedih. Ia tak ingin mengucap sampai jumpa, dia selalu lebih suka mengabdikan semuanya di dalam ingatkanku daripada mencurahkan keluar.
"Poto, yuk!" ajak Rani yang mengeluarkan aku dari kalungan lehernya dan meletakkannya di tripod panjang.
(Jepret!)
Rani kembali menentengku di lehernya kemudian menyimpan tripod itu di dalam tas ransel yang berjarak tak jauh darinya. Air mata menetes mengenaiku.
Semua orang pasti akan sedih, ketika harus berpisah dengan sahabat yang sudah menganggapnya sebagai keluarga kedua.
Arkan menyadari Rani yang menghapus buliran-buliran itu dengan kasar.
"Eh, gimana kalau kita berteriak di sana? Jangan bersedih mulu, suatu saat pasti kita akan kembali bertemu." Arkan mengusulkan.
Mereka sepakat menganggukkan kepalanya, kemudian berdiri dan mendekati ke ujung bukit. Saling memegang tangan satu sama yang lainnya.
"Satu ... Dua ... Tiga ...," Arkan memberi aba-aba.
"Mari kita berjuang demi impian kita!" seru Corner.
"Go, Dream!" teriak mereka bersamaan sembari mengangkat tangan ke udara.
**&**
August, 19 2019; 08.09 p.m
A part of The WWG,
Fii
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top