Plain Girl

Selama ini, gebetan gue semua cewek yang cantik dan modis, karena itu emang tipe cewek yang gue suka. Dan pastinya itu adalah hal yang wajar bagi cowok normal seperti gue. Dan pastinya lagi sebagian besar cowok mengakui bahwa mereka lebih menilai seorang cewek dari cara mereka bergaya, tampak feminim dan modis, plus dengan rambut panjang yang tergerai indah! Siapa sih cowok yang gak kelepek-kelepek sama tipe cewek kayak gitu?

Tapi, ya, yang jadi masalahnya, gak setiap cewek cantik, feminim maupun modis sekalian gak sesuai dengan apa sebenarnya dalam diri mereka. Kelihatannya aja, gak ada yang menyangka kalau dibalik itu mereka bisa menjadi serigala ganas atau kayak orang kesurupan –apalagi saat belanja dan ngelihat diskon besar-besaran.

Feminim. Feminim? Cewek feminim itu identik dengan cewek yang anggun. Gue pikir, kalau gue jadian sama cewek yang feminim, doi akan selalu pegang tangan gue kalau dia sedang takut atau minta perlindungan. Kita sebagai cowok merasa lebih gagah dihadapan mereka. Tapi yang gue sebelin, setiap cewek feminim yang gue kenal itu kebanyakan manja dan selalu ingin diperhatikan. Perasaan mereka terlalu halus untuk lo mainin. Sekali aja lo ketahuan serong, PLAK! Mampus lo kena bogem!

Cewek modis. Waduh, gue angkat tangan deh! Baru aja pedekate, sebentar-sebentar mereka bakal nanya ke kita 'gimana penampilan gue hari ini?'. Kalau lo salah jawab, pasti itu cewek menganggap lo cowok kampungan. 'I~h, kamu gak seru deh!'. Walau dandanan mereka lebai, bilang aja 'gaya lo keren hari ini, gue suka!' walau dalam hati, baju lo alai beud!

Jadi, cewek yang gimana lagi coba yang ideal buat gue? Secara, segi fisik gue oke, tampang gue oke, wajah ke-indo-an walau gue gak tahu nenek moyang yang mana kawin sama bule atau kawin sama penjajah? Yang pasti gue tahu, bokap sama nyokap asli Indonesia, so pasti gue asli orang Indonesia. Apa lagi coba yang kurang sama gue? Ekonomi keluarga gue juga lumayanlah.

Prestasi? Gue selalu masuk sepuluh besar di sekolah gue. Gue juga sering ikut lomba, lomba cerdas cermat dari tingkat kelurahan sampai tingkat kecamatan –lomba adu cepat makan kerupuk– bahkan sampai tingkat provinsi –lomba nebak judul lagu gitu.

Link pertemanan gue juga luas, dari dunia nyata sampai dunia maya, dari dalam negeri maupun luar negeri –walau sering lihat status yang gak ngerti sama sekali bahasanya sekali pun. Teman facebook gue aja hampir tiga ribuan, dari yang umurnya kecil dari gue –anak-anak, keponakan gue bahkan adik-adik sepupu, sampai yang umurnya besar dari gue –kakak gue, nyokap-bokap, kakek-nenek gue *jangan kaget!*, de el el, lah! Pokoknya banyak! Twitter pun gitu, banyak yang nge-follow gue lantaran photo profile gue yang bergaya di tepi pantai sambil pegang gitar –padahal rencananya mau ngamen.

Yah, gitu lah tentang hidup gue. Intinya, gue sekarang lagi cari cewek. Gue udah bosen ngejomblo, gak enak! Gak ada yang untuk ditelpon saat galau, tempat curhat, yang bisa gue ajak untuk makan bareng, gak ada yang kasih gue kado saat ulang tahun atau pun yang megang tangan gue saat pulang sekolah. Hambar! Yaa, walau gue nge-jomblo udah sekitar. . . sepuluh hari. Bener-bener gak enak, apalagi gue ngerasa ilfeel aja lihat teman gue pada berdua-duaan pulang sekolah bareng, pada goncengan. Huft!

"Hah? Lo pedekate sama Shifa? Gak salah pilih, lo Kal?"

Baru aja gue ngomong soal cewek yang lagi dekat sama gue ke sobat-sobat gue. Biasa, setiap sekali seminggu kita berempat pada ngumpul bareng, kalau gak di rumah gue, palingan di rumah Doni, Mika atau Andri, sobat-sobat galau gue, atau gak. . . di warteg. Mungkin, kayak arisan ibuk-ibuk, kita bakal ngomongin masalah cewek, walau di awal kita pasti bakalan ngomong tentang game PS terbaru atau pun jadwal main futsal bareng.

"Emang apa masalahnya sama Shifa, Do?" balas gue dongkol.

"Yee, lo tahu sendiri 'kan, Shifa itu bukan cewek! Dia itu lebih identik ke anak perempuan. Anak kecil, Kal, A-NAK KE-CIL!"

"Kecil dari mana? Orang dia seumuran kita!" gue makin kesal.

"Maksud Doni itu, Kal, Shifa itu. . . . . . ."

"Mulai, deh, kumat loe, Ndri!" ejek Mika.

Ya, setiap akan bicara, Andri selalu berpikir dahulu hingga ia menghabiskan waktunya untuk berpikir dari pada bicara, lalu ia mulai termenung.

"Shifa Azzikra, umur enambelas tahun, lahir tanggal lima di bulan September. Selalu rangking lima besar di kelas, jarang bicara, selalu dengan bando hello kitty di kepalanya. Ia tampak selalu antar jemput oleh ayahnya ke sekolah dengan motor, selalu tampak bawa bekal makan siang sehingga ia jarang makan di kantin. Sampul bukunya selalu gambar boneka barbie, begitu pula dengan pena, pensil, penghapus bahkan kotak pensilnya. Tasnya saja bergambar teddy bear, benar-benar seperti anak SD!"

"Loe kok tahu detail tentang dia?" tanya gue heran.

"Gue 'kan sekelas sama itu anak! Lupa lo ya?" jawab Mika, ia menepeleng kepala gue, membuat tatanan rambut gue berantakan, gue langsung memperbaikinya.

"Iyee, gue tahu! Cuma gak nyangka aja sedetail itu."

"Walau begitu, dari gaya bicaranya saja sudah ketahuan bagaimana kehidupannya. Pasti ia anak manja, bro!" kata Doni menakuti.

"Gue rasa gak, deh," balas Andri yang tiba-tiba aja membela tentang Shifa.

"Maksud lo?" gue semakin bingung.

"Soalnya. . . . . ."

"MULAI KUMAT LO!!" sorak kami bertiga.

"Udah! Jangan lo dengerin si Andri, kelamaan! Mending lo cari cewek lain aja. Kayaknya ntu cewek gak asik, bro! Apalagi kayaknya bokapnya protektif sama anaknya. Bisa-bisa, saat lo ngapel ke rumahnya, yang ada lo kena guyur sama bokapnya. Mau lo?"

"Huaa, jangan-jangan bokapnya langsung nyuruh lo kawin sama anaknya! Haha!" ejek Doni.

Perkataan kedua sobat gue semakin membuat gue kesal! Gak ada satu pun dari mereka yang mendukung hubungan gue dengan Shifa, walau belum jelas. Benar-benar pertemuan yang gak asik! Langsung aja gue pergi dari mereka, gue jalan kaki pulang! Karena rumah Mika hanya beberapa meter jaraknya dari rumah gue.

"Haikal!"

Gue menengok kebelakang. Gak tahunya Andri, si lola alias loading lama menyusul gue. Sebenarnya kita berempat masih dalam satu komplek yang sama, sehingga rumah kami berdekatan.

"Lo pulang?" tanya gue.

"Gak, gue tidur di jalan," balas Andri sebal. "Ya, iyalah gue pulang."

Gue hanya diam dan kembali berjalan.

"Kalau gue, sih, setuju aja lo sama Shifa. Anaknya baik kok, gue 'kan juga satu kelas sama ntu anak. Cuman. . . . ." Andri kembali pada kumatnya, ia terdiam dan seperti orang yang kehilangan pikiran. Kosong.

Gue menerpuk tangan tepat di depan matanya, menyadarkannya dari lamunan.

"Sorry, gue jadi lupa apa yang harus gue omongin."

"Ya, udah. Kapan-kapan aja. Ntar kalau lo udah ingat, lebih baik lo catat dulu, nanti kasih tahu ke gue."

"Oh, gitu, ya. Ya, deh. Gue bener-bener lupa!" katanya cengingisan.

Di persimpangan, kami pun berpisah jalan. Karena gang rumah gue dengan Andri itu beda arah. Tanpa gue sadari, seorang cewek mengendarai sepeda lewat di belakang gue dan melewati Andri. Dan Andri tahu siapa cewek itu, barulah ia tahu apa yang akan ia katakan! Tapi sayang, gue udah masuk ke dalam rumah.

* * *

Esok harinya di sekolah.

Gue sebenarnya kesel banget dengan apa yang dibilang teman-teman gue tentang Shifa. Gue tahu gaya dan tingkah laku Shifa emang layaknya anak SD, tapi gue merasa dia memiliki sisi cewek SMA yang seharusnya. Maka karena itu, setelah pulang sekolah nanti gue coba mengajak Shifa pergi jalan bareng sama gue.

"Boleh."

Gue gak nyangka, respon cewek itu ringan dengan ajakan gue. Setelah bel pulang sekolah berbunyi, gue langsung tancap gas ke kelasnya Shifa yang gak jauh dari kelas gue. Semua orang pada menatap ke arah kami berdua, termasuk teman-teman sekelasnya Shifa, dan juga Mika dan Andri, dua sahabat gue yang sekelas sama cewek ini.

Respon gue senang banget dan tersenyum ke arah Mika dan Andri, menandakan sebentar lagi gue menang, gue akan buktikan kalau Shifa bukanlah anak kecil. Gue suruh Shifa untuk nunggu gue di gerbang karena gue mau ambil motor gue di parkiran. Sambil menghidupkan motor, gue tersenyum mengingat seminggu yang lalu gue udah dapat SIM dan motor bokap boleh gue bawa ke sekolah. Plus, kini gue bisa ngajak cewek nge-date dengan motor gue.

Shifa telah berada di gerbang sekolah. Ia telihat mengetik sms lewat handphone monoponiknya.

"Ngirim sms ke siapa?" tanya gue.

"Ke ayahku, agar tak usah menjemputku hari ini," jawabnya ringan.

"Emang lo harus lapor ke ayah lo setiap ada apa-apa, ya?"

"Tentu saja. Agar ayahku gak cemas tentangku dan pekerjaannya gak terganggu."

Gue hanya mengagguk. Gue menyodorkan satu helm biasa ke Shifa dan menyuruhnya naik. Gue berpikir: dia anak penurut. Cuma itu.

Gue manancap gas, melajukan motor dengan kecepatan standar. Gue berpikiran dari awal untuk ngajak cewek ini ke mall. Biasanya, kalau cewek diajak ke mall apalagi ke tempat baju pasti. . . bisa lo bayangin sendiri deh gimana respon cewek kalau melihat baju, apalagi hari ini ada diskon besar-besaran.

Setiba di mall, memarkirkan motor, barulah kami masuk ke mall lewat pintu samping dekat parkir. Awalnya gue langsung aja ngajak cewek ini ke pusat pembelanjaan baju, namun. . .

"Ada apa?" Tiba-tiba saja ia berhenti berjalan dan memegang perutnya.

"Aku lapar. Boleh tidak makan dulu?" tanyanya.

"Oh. Gue pikir lo tadi sakit perut. Ya, udah kita makan di. . . di sana aja," gue menunjuk ke salah satu cafe yang ada di lantai satu ini.

"Mmm. . . apa gak mahal makanan di sana?" ragunya.

"Gak tuh, biasa aja."

"Kita makan di pinggiran aja, ya."

"Di luar maksud lo? Kalau kita makan di luar untuk apa gue ngajak lo ke mall?" heran gue.

"A..aku gak punya uang cukup makan di sana. La..lagian kan, aku ikut karena kupikir kamu minta ditemanin pergi beli baju," katanya takut.

"Astaga!" gue menepuk kening gue, ada rasa agak kesal karena ini cewek ngira gue gak bakal mentraktirnya. Ini cewek mikir gue gak punya uang?

"Gue ngajak lo, berarti gue yang traktir."

"Di..traktir ya?"

"Iye!"

"Tapi, ma..hal."

"Udah lo cerewet amet! Makan aja ribet! Kayak gak pernah ditraktir aja!" kesel gue.

"Emang gak pernah."

Eh? Dari responnya yang polos itu rasanya gue ingin banget ketawa. Pipinya memerah, ditambah bunyi keroncongan perutnya yang terdengar menjerit-jerit. Gue menariknya masuk ke cafe itu dan memesan dua piring nasi goreng seafood dan dua gelas jus jeruk. Dari responnya yang ling-lung, gue yakin kalau cewek ini belum pernah sama sekali makan di cafe, makanya dia gak tahu mau pesan apa walau buku menu ada di tangannya.

"Lo gak pernah, ya, makan di sini?" tanya gue. Dia menggeleng sambil menundukkan kepala. "Sama teman-teman lo, gitu?" tanya gue masih gak percaya. Responnya tetap sama.

Pesanan kami datang, dan kami mulai makan bersama. Gue lihat Shifa hanya menggunakan sendok saat makan, tak sedikit pun ia menyentuh garpunya. Ia mulai melahap sesendok nasi goreng, "Enak!" pujinya.

"Gue gak yakin lo gak pernah makan kayak gini," kata gue cengingisan.

Ia menggeleng, ia tampak seperti anak kecil yang kesenangan mendapatkan hal yang baru yang belum pernah ia temui sebelumnya.

"Aku biasanya makan di luar sama ibu dan ayahku. Kalau gak ke kedai nasi ampera, atau gak sate atau bakso," balasnya sambil mengunyah makanannya.

"Sama ortu? Lo gak pernah hang out gitu sama teman-teman lo?"

Ia terdiam. Ia menggeleng, namun tersenyum padaku, "Tapi sekarang 'kan sudah!" jawabnya ceria. Gue menunjuk ke arah gue, Shifa mengangguk. Ia kembali menyuapkan nasi ke mulutnya.

Dengan jawabannya, berarti. . . apa dia gak punya teman? Setelah itu, gue gak berani bertanya apa-apa lagi. Gue takut menyinggung perasaannya. Tapi, itu berarti dia masih anggap gue teman dong?

Gue udah kenal Shifa dari kelas satu. Ia dulu sekelas sama gue, dan awalnya gue merasa ia jadi bahan bicaraan dan populer di kelas karena gayanya yang lucu dan kekanank-kanakan, sehingga banyak yang penasaran tentang dirinya. Banyak cowok yang mengerjainya, setidaknya mencari perhatian dan merayunya. Dulu gue gak begitu tertarik degan kehadirannya, gue lebih milih nge-date bareng cewek-cewek cantik di sekolah, walau itu harus kakak kelas.

Namun suatu hari ada tugas kelompok, dan Shifa sekelompok dengan gue. Gue minta ke teman-teman sekelompok gue untuk mengerjakan tugas itu setelah pulang sekolah. Namun kenyataannya hanya Shifa yang tinggal di kelas. Hanya kami berdua yang mengerjakan tugas itu hingga selesai. Sebenarnya, yang paling banyak mengerjakannya adalah Shifa, sedangkan gue waktu itu sibuk dengan sms dari cewek-cewek yang pedekate sama gue dan Shifa-lah yang menyelesaikannya hingga akhir. Gue ngerasa hari itu adalah hari terjahat gue, walau sekian banyak hari gue suka selingkuh.

Setelah makan, kami pergi ke pusat belanja baju. Gue pikir, gue bakal melihat sisi ke-cewek-annya Shifa saat melihat baju, apalagi diskon besar-besaran. Namun. . . responnya biasa saja!

Setelah lebih dari setengah jam saja membuatku bosan dengannya. Tingkahnya seperti anak kecil yang jalan bareng dengan ayahnya, terkadang malu-malu, diam saja melihatku memilih baju, atau tak sengaja menjatuhkan setumpukkan baju karena keingintahuannya. Dia memang seperti anak kecil, tapi lebih tepatnya pendiam dan unsocial. Tapi satu yang gue suka, dia gak cerewet dan hanya menurut dengan apa yang gue suruh. Rasanya bukan nge-date sama cewek, rasanya jalan bareng adek gue sendiri. Tapi bedanya adek gue cerewet banget kalau gue lama-lama memilih baju –itu sekitar lima tahun yang lalu saat gue sekeluarga beli baju bareng untuk lebaran.

Akhirnya gue bawa pulang aja ini cewek ke rumahnya dengan perasaan kecewa. Namun jalan yang ditunjuknya pulang adalah sebuah toko kue dan gue tahu toko ini punya siapa!

"Ah, ini bukan rumahku. Aku kerja di sini sambil membantu ibuku."

"Ini 'kan, toko kue milik ibunya Andri."

Ia mengangguk, "Iya. Andri Firmansyah, teman sekelasku. Kok tahu?"

"Dia sahabat gue!" kata gue dengan ekspresi facepoker.

Tiba-tiba saja Andri keluar dari toko kue itu dan menyapaku.

"Aku masuk ke dalam dulu, ya. Terimakasih atas traktirannya tadi, Haikal. Dan tumpangannya juga." Shifa pun berlalu saja di depan gue. Ia menyapa Andri dan berlalu juga.

"Haikal! Gue baru ingat apa yang ingin gue bilang!" katanya antusias.

"Kalau Shifa kerja di sini?" tebak gue.

"Iya! Aduh, sorry, ya, seharusnya gue kasih tahu lo lebih cepat. Sebenarnya dia udah seminggu kerja di sini ngegantiin ibunya yang sakit. Dia anak yang baik kok, Kal. Makanya gue lebih mendukung lo jadian sama ntu cewek dari pada cewek-cewek yang pernah lo deketin."

"Ah, udahlah. Dia gak asik!" patah gue.

"Lo, sih, cari cewek yang pecicilan! Coba lo buka hati loe ke cewek yang lebih baik, dari pada cewek yang suka hura-hura. Gue aja mau dijodohin sama Shifa sama nyokap gue. . ."

"Ya, udah! Lo ambil aja tu cewek," kesal gue.

"Yah, lo jangan kayak gitu, bro! Gue sama Shifa cuma teman. Gue sendiri gak punya perasaan apa-apa sama ntu cewek. Lagi pula. . ."

"Apa?"

"Dia suka sama lo kali! Lo gak heran, kenapa cewek kayak dia yang jarang bicara, yaa, bisa lo bilang dia unsocial, tapi dengan mudahnya menerima apa pun ajakan dari lo. Dia gak pernah minta waktu untuk terlambat atau pun bolos kerja, hanya kalau lo yang ngajak dia jalan."

Gue coba untuk memahami maksud sobat gue yang satu ini. Gak biasanya Andri bisa bicara sebanyak ini. Biasanya ia tergagap atau putus sambungan saat berbicara dengan orang lain.

"Kenapa lo segitunya menanggapi hubungan gue sama Shifa?"

"Gue kasihan aja, Kal. Itu cewek gak punya teman. Ia selalu pulang cepat demi membantu ibunya buat kue, terus dia yang nganterin pakai sepeda. Ibunya udah lama kerja di toko kue nyokap gue, dan gue sebenarnya udah tahu Shifa sebelum masuk SMA. Dia sering main ke toko ini, tapi selalu di dekat ibunya. Jangankan gue ngobrol sama ntu cewek, gue sapa aja dia langsung kabur ke ibunya. Sekarang aja udah SMA, dia ngebantu ibunya kerja di sini."

Gue terdiam. Jika apa yang dikatakan Andri itu semua benar, tak ada salahnya gue pikir ulang kedekatan gue dengan Shifa. Selama ini yang gue tahu punya hubungan dengan cewek itu sekedar hiburan semata, dan gue menilai semua cewek itu sama. Tapi gue harus pikir ulang tentang cewek satu ini. Dia berbeda, banget malahan. Tapi, kalau gue memutuskan untuk hubungan dengannya itu sama dengan cewek-cewek sebelumnya rasanya gue gak bisa. Dia cuma cewek lugu, cewek baik-baik. Gue akan merasa bersalah jika gue menganggap enteng perasaan Shifa ke gue.

Jadi menurut kalian, apa gue harus meneruskan hubungan gue dengan gadis lugu yang satu ini?


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top