SAYONARA

Oleh: Tika Putri


"Astaga, A! Lo ngapain di sini?"

Tanpa menoleh pun aku tahu siapa yang berteriak dari bawah pohon. Kuisap lagi sebatang rokok yang terselip di antara telunjuk dan jari tengahku. Pandanganku tetap lurus ke depan, tertumbuk pada pepohonan rindang yang bergoyang tertiup angin. Rumah pohon di halaman belakang rumah Ilalang adalah tempat favoritku di saat pikiran sedang ruwet. Terlebih di sore hari seperti ini, pemandangan matahari terbenamnya bisa membuat hati tenang.

"A, lo ngerokok?" Mata Ilalang seolah mau meloncat dari singgasananya ketika melihatku mengembuskan asap rokok, tepat saat dia duduk di samping kiriku. "Lo gila! Gimana kalo Bang Naga tahu? Parah lo, A!"

Ilalang merebut batang rokok yang tinggal separuh lalu membuangnya jauh-jauh dari kami. Kuhela napas panjang, rasa sesak yang kurasakan masih saja bercokol di dada. Kutekuk kedua lutut, lalu membenamkan wajahku di antaranya.

"Asoka Sunduz Raihanun, lo ini kenapa? Bukannya lo baru dipingit sama Bunda? Kenapa lo malah minggat macem ini? Lo memang gue kasih konci rumah, tapi bukan buat ajang melarikan diri gini, A. Trus kelakuan lo ini udah kelewat batas. Sejak kapan lo ngerokok? Lo ngambil rokok gue?"

"Baru juga nyoba, La, lagian aku cuma minta sebatang doang. Gitu aja ngamuk. Pusing banget kepalaku kaya mau pecah," sahutku lirih.

Kudengar helaan napas panjang. "Gue gak habis pikir. Asoka yang gue kenal, selalu berpikir pake logika. Bukannya malah lari ke rokok kek gini. Kalo Ayah, Bunda ato Bang Naga tahu lo ngerokok di rumah gue, bisa mampus gue, A. Awas kalo lo berani nyentuh rokok lagi!" ancamnya serius. "Lo berantem sama Bang Naga?" tanyanya kemudian.

"Ck, mana pernah Bang Naga marah sama aku. Kamu tahu sendiri, dia itu sabar banget." Kurebahkan tubuh di lantai rumah pohon, kujadikan kedua telapak tangan sebagai bantalku. Kutatap langit-langitnya yang penuh dengan tempelan kertas dengan berbagai catatan kecilku dan Ilalang.

Ilalang menyusul berbaring di sampingku. "Lo udah kasih kabar ke Bunda?"

Aku menggeleng. "Aku nggak bawa HP, La. Sengaja kutinggal di Panti."

"Ah, lo parah. Pasti Bunda bakal ngehubungi gue, trus gue kudu bilang—"

Terdengar alunan heavy metal dari kantong celana Ilalang. "Nah, lho. Ini pasti Bunda yang nelepon," dengusnya. Dia mengeluarkan ponsel, lalu menyodorkannya padaku tanpa melihat layarnya. "Lo yang angkat, gih!"

Aku menggeleng.

"Yaelah, A." Dering telepon terhenti, tapi sedetik kemudian ponsel Ilalang kembali berteriak kencang. Ilalang menatap layar ponselnya. "Bang Naga yang nelepon. Gue musti jawab gimana?"

Kuhela napas panjang. "Terserah. Kamu 'kan jago bikin alasan."

Ilalang mengangkat tubuhnya untuk duduk sambil melotot padaku. "Assalamu'alaikum, Bang."

Kupejamkan mata sejenak. Baru sedetik, bahuku digoyang kasar oleh Ilalang. Mau tak mau aku membuka mata, bangkit dan kembali memfokuskan diri pada Ilalang.

"Maaf, Bang, tadi gue baru ke WC. Iya, nih, Asoka ada di sini." Ilalang menjauhkan ponsel dari telinganya, lalu berbisik padaku, "Dia mau ngomong sama lo."

Aku masih menggeleng.

"Duh, maaf, Bang. Asoka-nya baru nggak bisa jawab telepon. Dia baru maskeran, ntar kalo dipake buat ngomong bisa pecah dah tuh muka." Ilalang tertawa sumbang sambil menendang kakiku kasar.

"Tenang aja, Bang. Asoka aman di rumah gue. Ya, kan, wajar ... namanya juga orang mau kawin, Bang. Pasti pengin kelihatan kinclong. Harusnya Abang seneng dong."

Aku memutar bola mata, dasar mulut belut. Licin.

"Iye, Bang, iye. Ntar Asoka gue anter balik, orang masih sore gini. Tenang ajalah, Bang, sebelum tengah malem gue janji mulangin dia. Pokoknya serahin calon manten ke gue, bakal gue kasih tips membahagiakan suami."

Kucubit paha kanannya kuat-kuat, hingga gadis berambut lurus sebahu ini menjerit kesakitan. Kurang ajar benar cewek satu ini. Bikin malu.

"Bang, calon bini lo sukanya main fisik, nih. Ati-ati, Bang, jangan-jangan lo dirantai pas malem pertama."

Kuacungkan jari tengah pada Ilalang sebagai bentuk protesku.

Bukannya takut, Ilalang malah tergelak melihat reaksiku. "Udah, Abang tenang aja, nyantai di rumah. Asoka kagak kenapa-kenapa, Bang. Bilang deh ke Bunda, biar beliau nggak cemas," ucapnya sesaat sebelum memutus sambungan telepon.

"Bang Naga bilang apa, La?" tanyaku.

"Biasa, nyuruh lo hati-hati." Ilalang menyandarkan punggung ke dinding rumah pohon. "Sebenernya ada masalah apa, A? Lo belum siap kawin?"

Kuembuskan napas panjang. "Kurang lebih."

"Njir! Dua hari lo kawin, masih bisa bilang belum siap. Apa, sih, yang kurang dari Bang Naga 'mpe lo kagak yakin gini?"

"Dia nggak ada kurangnya. Sempurna. Akunya aja yang kurang ajar. Udah dikasih jodoh sesempurna Bang Naga, tapi masih belum bisa nerima dengan ikhlas."

"Jangan-jangan lo kagak cinta sama dia? Ngaku, deh, A!" Ilalang menatapku miring, "Jangan bilang kalo hati lo itu ikut terbang ke Melbourne." Ilalang memajukan tubuhnya sembari melotot dengan wajah tak percaya padaku.

Aku terdiam. Tidak membantah pun tidak mengiyakan pernyataannya.

"Astaga! Gila lo! Terus kenapa lo mau dikawinin sama Bang Naga, A?" Suara Ilalang naik satu oktaf.

Aku mengerutkan dahi, setengah memicing pada Ilalang. "Apa kamu pikir, aku bisa nolak? Aku nggak punya hak untuk nolak permintaan Ayah dan Bunda, La. Siapa, sih, aku ini? Cuma anak yang dibuang sama orang tuanya, yang kebetulan pungut sama Bunda. Kalau aku nggak diasuh Bunda, bukan nggak mungkin saat ini aku udah mati di jalanan."

Emosiku sedikit tersulut dengan pertanyaan Ilalang yang seolah menyalahkanku.

"Sori, A. Maksud gue bukan kek gitu. Gue cuma gak ingin lo terjebak dalam pernikahan tanpa cinta. Lo tahu sendiri, bokap nyokap gue cerai gara-gara nikah gak pake cinta. Mereka korban perjodohan, dan akhirnya setelah ada gue, mereka baru nemuin cinta masing-masing. Gue gak mau anak-anak lo ngalamin nasib kek gue."

Aku memicing sejenak, menghalau bayangan buruk akan masa depan pernikahanku dengan Bang Naga. Memikirkan akan sebuah perceraian membuat bulu kudukku merinding. Kuusap tengkuk lalu memijat perlahan pelipisku yang mulai berdenyut.

"Aku juga nggak mau anak-anakku nggak bisa merasakan kasih sayang orang tua sepertiku, La. Sama sekali nggak mau. Makanya, bagaimana pun caranya aku harus bisa mempertahankan pernikahanku kelak. Sedari awal menyetujui permintaan Ayah, aku yakin bakal bisa mencintai Bang Naga.

"Semua yang ada dalam diri dan pribadi Bang Naga sangat mudah untuk dicintai. Bang Naga itu sosok suami impian, La. Kamu tahu sendiri, kan, gimana cewek-cewek ngejar-ngejar Bang Naga. Bang Naga tipe lelaki penyayang, bertanggung jawab, sabar, dan yang jelas dia bisa jadi imam yang bisa membimbingku jadi wanita yang lebih baik. Tapi ...."

"Tapi masalahnya, lo belum bisa melupakan Gi." Ilalang memutus ucapanku.

"Aku tahu, aku salah. Aku udah mengkhianati kepercayaan Bunda."

"A, gue nggak bilang kalau lo berkhianat atau apalah itu namanya. Yang gue tekankan di sini, lo bakal memulai sebuah rumah tangga dengan cara memaksakan diri. Dan itu nggak oke banget. Mumpung masih ada waktu, pikirin lagi, A."

Aku memandang sinar jingga di ufuk barat. "Aku nggak bakal nunda atau membatalkan pernikahanku, La. Aku nggak bisa melihat Ayah Bunda kecewa."

"Astaga, La! Lo udah gila. Jadi lo tetep mau nikah tanpa dasar cinta?" Ilalang menggeleng berulang kali.

"Aku yakin bisa mencintai Bang Naga," ucapku tegas.

"Asoka-Asoka, gue nggak habis pikir. Kok bisa, sih, lo suka sama Gi? Kalo gue, jelas milih Bang Naga yang bening dan dewasa."

Aku tersenyum miring. "Iya, sih, kalau dipikir-pikir, jelas lebih ganteng Bang Naga. Gi 'kan item. Sudah gitu Gi, kan, orangnya selengekan. Dia juga iseng, sering banget ngejahilin kita berdua. Gi juga jarang bisa serius, kalau diajak ngobrol sering bercanda. Kalau ngobrol sama dia, bawaannya ketawa mulu."

"Tapi lo nyaman sama dia," tambah Ilalang cepat.

"Aku juga nyaman sama Bang Naga, La. Sejak aku pindah ke Mentari Jingga, Bang Naga-lah yang selalu melindungiku. Saat aku sakit, Ayah dan Bunda yang memperhatikanku, menyuapi dan merawat sampai aku sembuh. Mereka-lah rumahku."

"Mereka memang rumah lo ... sekarang, tapi bukan yang lo harapkan jadi rumah lo di masa depan."

Kulirik Ilalang sambil memonyongkan bibir. "Ngobrol sama kamu itu bikin tambah ruwet! Kasih solusi, kek."

"Lhah, gue bisa apa coba? Masalah hati, gue gak bisa ikut campur. Kagak ada yang bisa ngerubah perasaan lo, selain diri lo sendiri. Usaha, A! Bikin Gi pergi dari hati lo."

"Aku juga udah berusaha, La. Sejak Gi ngelanjutin kuliah di Australia, aku udah berusaha ngubur perasaanku."

"Ya, berarti lobang yang lo gali kurang dalem. Gitu aja kok repot."

Aku menoyor kepala Ilalang dengan gemas. Walau sebenarnya apa yang dia katakan ada benarnya. Aku kurang bersungguh-sungguh untuk menghapus nama Giraffa Camelio Pardalis dari hatiku. Aku masih sering menggali kuburan cintaku.

"Sejak kapan, sih, lo suka sama Gi? Aneh aja gitu, kok gue baru sadar sekarang."

"Kapan?" Aku membeo pertanyaannya dan terdiam cukup lama. "Nggak tahu, La. Aku bahkan nggak pernah nyangka, dia bisa mengambil alih kepemilikan atas hatiku sedemikian parah. Aku juga nggak tahu kenapa bisa menjatuhkan hati ke dia. Padahal jelas-jelas aku bakal patah hati. Padahal aku sadar, perbedaan kami terlalu jauh. Dan yang jelas, Gi nggak pernah menganggapku lebih dari seorang teman. Aku bego banget, ya, La." Air mataku menggenang tanpa bisa kucegah.

Ilalang memajukan tubuhnya, lalu memeluk bahuku sembari mengusap punggungku berulang kali. "Ssst .... Jangan ngomong gitu, A. Kalo lo bego trus gue apaan? Otak tiarap?"

Kudorong bahu Ilalang sambil tersenyum. "Ini nih yang bikin aku susah ngelupain Gi. Kamu sama dia itu sama persis, selalu bisa bikin aku ketawa. Gi juga gitu, kan, La. Dia selalu tahu kalau aku sedih, dan dalam sedetik dia bisa bikin aku senyum. Kamu inget waktu aku dihukum Bunda gara-gara pulang kemaleman, kan? Waktu itu aku sedih banget, kecewa pada diriku sendiri karena udah ngecewain Bunda. Kamu inget, kan, yang bikin aku semangat lagi si Gi? Kamu aja gagal, La, cuma Gi." Lagi-lagi bendungan air mataku jebol.

"Lo jangan kek gini, A." Ilalang kembali memelukku. "Lo harus kuat. Lupain Giraffa. Inget! Dua hari lagi lo kawin. Gimana ceritanya lo kawin sama Bang Naga, tapi hati lo masih ke Gi."

"Iya, La, aku tahu," ucapku di tengah isak tangis, "tapi biarin kali ini aja aku nangis. Aku janji ini terakhir kalinya nginget-nginget Giraffa. Kemarin-kemarin aku masih bisa sok tegar, tapi begitu mendekati hari pernikahan, aku jadi sadar kalay udah nggak bisa mengharapkan perhatian dari Gi lagi. Aku harus menjauh dari dia. Sudah nggak boleh ada lagi Giraffa di hatiku, dan satu-satunya lelaki yang ada di hidupku cuma Bang Naga, calon suamiku. Nggak akan ada lagi Giraffa atau pun laki-laki lain. Dan itu bikin aku hancur."

Kuhela napas panjang. Berat rasanya mengatakan hal yang bertolak belakang dengan isi hatiku. Namun, aku harus melakukannya. Rasanya tidak semudah membalik telapak tangan, karena enam tahun bukanlah waktu yang singkat. Nama, sosok dan kepribadian Giraffa telah terpatri di lubuk hatiku. Namun, aku tidak bisa membiarkan lelaki itu mendiaminya lebih lama lagi. Giraffa tidak berhak.

"Bantuin aku melupakan dia, La," pintaku lirih. "Aku nggak yakin bisa kalau sendirian."

Ilalang memberi jarak di antara kami, memegang kedua bahuku sembari menatapku. "Gue bantuin lo. Apa pun caranya."

"Bantu aku mengusir Gi, ya. Jangan biarkan aku teringat padanya. Larang aku untuk menghubungi, memberi kabar atau pun membalas telepon dan SMS-nya. Bantuin aku untuk memutus komunikasi kami, La."

"Segitunya, A? Dia sahabat kita, lho." Ilalang melepas pegangannya di bahuku.

Aku memutar bola mata. "La, aku bingung sama kamu. Tadi nyuruh ngelupain Gi. Giliran aku mau berusaha lebih keras, eh, malah dibantah."

"Sori, A," Ilalang meringis, "kalo menurut lo cara itu yang terbaik, gue ngikut aja. Gue bakal membatasi komunikasi gue sama Gi."

"Lhah, kenapa kamu jadi ikut-ikutan aku, La?"

"Lo tahu sendiri, mulut gue ini kadang kagak ada remnya. Gue khawatir keceplosan ngasih informasi gak penting tentang dia. Pokoknya gue mau lo lupain Gi, atau lo batalin kawinan lo itu." Ilalang mendorong dahiku dengan ujung telunjuknya perlahan. "Satu lagi. Gak ada ceritanya gue denger lo selingkuh, ya, A. Gue bakal ngebenci lo sampe ke akar-akar kalo lo sampe selingkuh."

"Sebrengsek-brengseknya aku nanti, aku nggak bakal mengkhianati Bang Naga. Seperti apa pun kehidupan rumah tanggaku nanti, aku janji akan terus memegang teguh komitmen yang kuucapkan. Aku akan berusaha jadi istri yang terbaik baginya, karena Bang Naga adalah masa depanku sedangkan Gi adalah masa lalu. Pegang ucapanku, La."

Ilalang meremas telapak tanganku sembari tersenyum. Kupalingkan muka menatap langit malam yang terhampar di hadapanku. Kupicingkan mata dan menghela napas panjang.

Terima kasih atas persahabatan yang kamu berikan padaku, Gi. Terima kasih akan hari-hari penuh tawa. Terima kasih, Cinta Pertamaku. Selamat tinggal.

TAMAT

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top