Dilema Usia 23 Plus

Oleh: Irma Haryuni


"Cari laki-laki itu yang agamanya taat, sama orang tua eman, sopan santun, baik, ngga harus kaya, asal tanggung jawab dunia akhirat," tutur ibuku seraya melipat pakaiannya. Aku yang sedang menyetrika merasakan hawa gerah dari setrika, ditambah dari topik yang diangkat ibuku. Cari jodoh. Alamaaak ... umur aku udah berapa sih? Baru juga 23 plus, sudah rajin disindir tentang jodoh. Iya, aku emang jomblo, ngga punya cowok, tapi apa harus banget aku gandeng cowok ke rumah cuma buat mastiin aku juga sedang cari jodoh? Mendadak pikiranku jadi kusut. Kulanjutkan setrikaan yang menumpuk, tanpa berniat menjawab tutur kata ibuku.

"Kamu kenapa mutusin Zaki?"

"Ha?" atensiku beraksi secepat kilat begitu namanya disebut.

"Ya ... gitu," gumamku ngga berniat untuk bercerita.

"Dia itu kalem, ngga neko-neko, alim, sopan. Pasti kamu milihnya Jono yang motornya kinclong dan gede itu kan?"

Aku memutar bola mata jengah. Lagi. Oh My God ... Jono? Please deh, dia cuma teman kuliah, tak ada sangkut pautnya secuil pun. Ampun aku, makin gerah banget ini.

"Lah ngapain sama Jono. Jono kan udah punya cewek."

"Terus kenapa kamu putus?"

"Lah, urusan anak muda Bu. Udah ah, capek, mau beli es jus," alihku seraya menggulung setrika dan menempatkan baju ke lemari dengan tergesa-gesa.

"Dasar anak ini!" seru ibuku saat aku udah ngeloyor pergi. "Kamu mau ke mana? Temen ibu mau datang nanti sore. nmPulangnya jangan kesorean!" seru ibuku, dan aku bukannya menjawab malah lari ngibrit dan berbelok bersembunyi.

Bah! Cari cowok se-perfect itu? Ada sih, ada, tapi sama cewek yang sholehah dunia akhirat. Nah aku saja masih belum istiqomah. Shalat juga kalau capek, lupa, ketiduran atau malah males, masih mengikuti nafsu, terkadang meninggalkannya. Ya, memang sih, harus memperbaiki diri, bahkan Rasulullah aja bertaubat setiap hari 100 kali buat terus memperbaiki diri. Okelah, PR-ku memperbaiki diri. Tapi kalau aku mengharap laki-laki yang seperti ibu sebutin kayaknya emang kelihatannya terlalu muluk. Ngga harus alim ulama, ustad atau mondok kan? Asalkan iman islam dipakai aja dalam sehari-hari. Ya Allah, kenapa mikirin jodoh aku terbebani banget ya?

Memang jodoh hanya perlu dipasrahkan dan berusaha melalui jalan Allah, ngga perlu neko-neko, pasrahkan aja. Kalau dipikir seperti itu simple, tapi untuk ikhlas menjalaninya, diaplikasikan dalam sehari-harinya itu masih berat. Entah dari segi ibadah, ikhlas dalam segala rintangan dan cobaan, kan jodoh juga ngga langsung dikasih. Kadang kita ketemu dengan orang yang menurut kita baik, tapi ternyata gagal. Bertemu dengan yang pas, tapi ternyata buaya darat. Naudzubillahimindzalik. Tapi yang lebih berat saat kita memikirkan kehidupan pernikahan.

Hal yang membebani pikiranku adalah kehidupan setelah pernikahan. Bukan prosesi pernikahan yang kudu begini, begitu, biaya inilah itulah. Inginnya aku sih, sederhana saja, tidak perlu mewah. Karena aku pribadi di umur dua puluh tahunan sekarang ini, ada banyak pikiran dan kejadian yang menumbuhkan rasa takut akan komitmen pernikahan. Kupikir hanya karena aku broken home, sehingga hanya bercermin pada kehidupan rumah tangga yang ngga harmonis. Tapi kenyataan yang terkadang ditemui, seputar pernikahan yang gagal, anak yang jadi korban dan lainnya. Banyak yang sudah menikah, dalam jangka beberapa bulan sudah memutuskan bercerai. Bahkan yang sudah mempunyai anak pun tetap memilih bercerai. Ini hal yang sangat kutakutkan. Harus dihindari.

Pernikahan bukanlah mainan, sandiwara, jalan untuk bersenang-senang, sekedar memuaskan nafsu, atau hanya melengkapi hidup. Pernikahan itu ibadah yang lama, bahkan akan dibawa ke akhirat. Pernikahan itu sunah, untuk melengkapi sebagian jiwamu kosong, tetapi bukan hanya jiwamu yang ada dalam pernikahan. Tetapi jiwa pasanganmu, jiwa keluargamu, jiwa pasangan keluargamu, jiwa anak-anakmu, dan lingkup sosialmu dan pasanganmu. Maka hal yang paling membuatku tak mengerti adalah proses perkenalan alias ta'aruf. Bukankah itu tidak sesederhana kedengarannya? Untuk mencapai keyakinan ke jenjang yang lebih serius?

Huft, memang inginnya aku tidak mau pacaran lagi. Aku jengah pacaran. Mungkin karena hubunganku tidak pernah sukses, tapi yang jelas aku tidak nyaman dengan berpacaran, terlebih bila ingat dosa atau fitnah. Tapi hal apa saja yang harus kupersiapkan untuk berani menjalani ta'aruf? Sedangkan ta'aruf harus ditata baik untuk bertemu atau mengobrol. Seolah nanti calon kita dapat menyembunyikan sifat aslinya. Masuk akal 'kan?

"Woi!" pekik seseorang di telingaku, yang sukses membuatku terjungkit dan terjedot. "Napa lo jongkok udah penuh kagak pindah-pindah?" Ohya aku malah larut melamun di gang sempit seraya mengukir-ukir tulisan jodoh di dalam bentuk hati. Segera kuhapus tulisannya mengenakan kakiku seraya bangun dan menggesekkan sandal ke tanah.

Mukanya sukses kutampol. "Penuh isi ATM gue Bung!" sahutku berdiri memiringkan tubuh, seolah di dalam saku celanaku berisi segepok uang yang berat.

Ia terkekeh. "Pantes banget lo begitu. Kayak Aw Kerin," timpalnya mencibir.

"Apaan tu? Aw Karin kali?" tanyaku penasaran.

"Aw ... kentir kemarin!" Sukses ia terbahak-bahak sepuas hati seraya memegangi perut. Bibir merahnya selalu menganga lebar saat tertawa, mengundang napsu untuk kusumpal mulutnya.

"Gue sumpel juga nih mulut! Jangan gendeng lo! Diem. Bujang kelakuan kek terong-terongan, masih aja yang dibahas Aw Kerin. Heol," hardikku kesal.

"Btw, gimana persiapan lo?" tanyanya mengedip jail.

"Persiapan apenye?" Ini orang mulai mau ngocol lagi.

"Ono... yang ama kenalan Mama lo," sahutnya menaikkan setengah alis.

"Apaan si? Si Kadir? Lo kalau mau ngajak ribut mendingan jangan sekarang, Yo! Atau gue ngga akan nanggung nyiksa lo," ancamku jengah.

"Ya kali, Gojek itu lagi yang lo bahas," ia mendecak dan menekuk lengannya ke pinggang, "yang kemarin lo balik pas Isya tuh, yang lo buru-buru banget sampe sendal jepit lo kolep."

"Oh... emang gimana apanya si, maksud lo?" Aku tambah bingung.

"Ngga usah pura-pura depan gue Di..., gue tahu lo udah demen kan?"

"Gue ngga ngerti arah pembicaraan lo. Mending to the point aja deh, lo lagi bahas apa... dan menjurus ke mana.... Sebelum swallow gue nangsang di pala lu!"

"Bahas cowok yang kemarin ke rumah lo pake mobil, dan lo udah cocok kan ama diaaa ...?" Diyo berdecih seraya mengerutkan kening. "Gue tuh peka Di... gue tahu---"

"Tunggu dulu," cegatku menjepit bibirnya dengan kedua jariku.

"Cowok?" Aku melebarkan mata.

"Banci!" sahutnya setengah jengkel.

"Banci ...?!!" Aku meninggikan suara tak percaya.

"Bolot lo," jengahnya memutar kepala.

"Lo ngibulin gue ya?!" kesalku. Diyo malah melewati dan meninggalkanku. "Bentar dulu sih..... gue beneran ngga tahu," kataku mencekal tangannya.

"Kenapa lo ngga tahu?"

"Kan semalem gue kabur."

Diyo menatapku datar. "Tapi lo kan bisa lihat orangnya," alihnya seketika.

"Gue ngga lihat Yo, gue nginep di rumah Nana," jawabku tegas.

"Ngga usah bohong napa si? Bilang aja lo demen, iya gue bentar lagi nikah sama dia. Beres," kata Dio seraya melangkah cepat meninggalkanku. Otomatis aku nguber dia.

"APA?! NIKAH?!!" semprotku di depan mukanya. Diyo mundur mendadak. Sampai terjungkal ke tanah saking terkejutnya. Tapi aku hanya terperangah. Diyo mengusap wajahnya dan mendapatkan sesuatu di tangannya. Sesuatu yang ikut menciprat dari mulutku. Jigong. Aku buru-buru mengatupkan mulut, menahan gelagak dan kabur secepatnya.

***

Anye memandangku jengah. "Gue ngga tahu cowoknya kayak apa! Lo juga kagak nyuruh gue ngintip. Ya udah gue pergi malam itu."

"Harusnya lo ada inisiatif kek, penasaran gitu ada rame-rame apa," aku ngotot pada Anye. "Eh itu tetangga gue rame-rame ada apaan ya? Si Nadi beneran dilamar Jungkook? Minimal lo penasaran kayak gitu Nye!"

"Na-jis!" umpat Anye ngeloyor ke dapur. "Lagian lo bego apa gimana Di? Napa ngga nanya Diyo aja? Dia kan liat tu laki."

"Ah, elo Nye, Diyo kan suka ngerjain gue lo tahu sendiri kan, ntar dia ngibulin gimana?"

"Ya urusan lo sih. Apa lo nanya Mama lo sana," ujar Anye seraya sibuk menyeduh teh manis.

"Ih, ogah! Entar gue dilarak dikawinin gimana?"

Tiba-tiba deru mobil terdengar dan dua buah mobil Honda Jazz terparkir di depan rumahku. Jendela dapur Anye yang menghadap depan rumahku otomatis jelas terlihat rombongan tersebut mulai keluar dari mobil.

"Anjir! Itu Nye? Rombongan cowok yang mau dijodohin ama gue?" Aku melotot melihat bapak-bapak berusia sekitar 50 tahun keluar digandeng beberapa orang, mengenakan jas rapi, dan menyengir lebar. Kumisnya kontras dengan gigi-gigi besarnya.

"Anjir Nye! I-itu Nye!" Anye langsung mendekat dan melihat arah tunjukku. "ANJAY NYE! Masa gue dijodohin sama bapak-bapak kumisan?!!"

"A-ASTAGHFIRULLAH DI!" pekik Anye tak kalah keras. Sontak aku membekap mulutnya erat-erat.

"Gue kabur dulu ya! Kalau ada apa-apa kabarin gue!" bisikku memohon pada Anye dengan mengeratkan peganganku pada bahunya. "Oke? Gue kabur dulu untuk beberapa minggu. Bye," dramaku meringis pilu, mengecup kening Anye sebelum keluar dan kabur.

***

"Lo ke mana sih Di? Balik cepetan! Mama lo marahin gue mulu dikira gue bawa kabur lo! Ogah banget!" Diyo langsung berteriak di seberang telepon begitu kuangkat.

"Kampret lo! Udah mau ngomel aja? Ya udah, bye," ujarku sebelum menutup telepon.

"Tunggu Di," cegah Diyo.

"Napa?"

"Gue ... ada ... ada yang perlu gue omongin. Sebenernya gue ngga tahu ini bener apa engga, tapi gue perlu omongin ini," jelasnya gagap.

"Ah elo! Mau ngutang aja belibet! Biasanya juga langsung ngomong. Lo jangan bikin idup gue makin ribet deh, ngga usah kampret gitu kalo mau ngerjain."

"Gue serius Di. Gue tahu lo mau dilamar atau dijodohin atau apalah, tapi... gue perlu ngomong ini dulu sama elo."

Mendadak ada jalaran panas di pipiku. Ini apaan si Diyo. Kalau cuma ngerjain, jangan salahin aku kalau dia kukirim ke saudaranya di Afrika Barat, Simpanse.

"Mau apa lo? Buru, gue sibuk."

"Gue ... gue serius sama lo."

"Hm?" aku bergumam yang artinya "terus?".

"Gimana Di?"

"Apanya yang gimana?!" kesalku.

"Gue serius ama lo!"

"Iya, gue tahu, makanya ini gue tungguin, lo serius mau ngomong apa?"

"Astaghfirullah Di!... Gini ni penyakit lemot lo! Mana ada yang mau ama lo selain gue. Gue suka dan serius sama lo. Lo mau ngga nikah ama guee...!" Diyo menjerit di akhir kalimat setelah menghinaku. ANJAY! Ini apaan?!

"LO GILA YA? MAU MATI?!" bentakku kesal.

"Kok gila si Di? Gue serius...."

"Kalau lo mau gini terus, urus idup lo sendiri! Lamaran tuh bukan hal bercandaan. Canda ngga segila itu!" Aku membanting handphone kesal ke atas kasur. SIALAN! Diyo ngerjain gue di saat begini? Bikin mood makin parah aja.

"Siapa Nad?"

"Orang gila!"

"Nyantai dong lo ..., btw lo kapan mau balik? Kagak dicariin?"

"Kagak! Mau kabur selawase!"

"Lo gila banget Nad. Mending lo pulang dan bicarain sama Mama lo Nad. Lo ngga bisa lari dari masalah. Biar gimana pun ini ada sangkut pautnya sama lo. Kudu lo yang nyelesain itu," tutur Athaya seraya menatapku teduh. Gila ini anak dewasa banget sih, beda jauh sama aku.

"Jadi ... coba lo ke depan deh, udah ada Mama lo," sambungnya mengamit lenganku.

"APA? LO NJEBAK GUE? Gue ngga mau kawin sama Om-Om Yaaa, gue ngga mau, please lepasin gue."

"Emang siapa Om-Omnya?" tanya Mamaku yang ternyata sudah ada di depan kamar.

"Mama mau ngejodohin aku sama Om-Om itu kan?"

"Om?" Mama mengernyit. "Kayaknya kamu salah paham Nad, dia bukan Om-Om, dia baru aja berusia 32 tahun."

"Apa? Muka kumisan dan ubanan gitu!"

"Ubanan? Kayaknya engga deh Nad. Kumisan sih iya, tapi kan kumisnya rapi Nad."

"Rapi apanya sih Ma? Mama ngga pakai kacamata sih, coba dilihat lagi Ma... itu Om-Om banget Ma, Nadi ngga mau. Titik."

"Permisi. Maaf Bu Kusuma. Kalau Nadi ngga mau ngga apa-apa Bu," ujar seseorang dari balik dinding. Laki-laki memakai kemeja putih, terlihat dewasa, rambutnya rapi ke belakang, rahangnya tajam dan tirus, kumis tipis, brewok tipis. Perfect. Walaupun tipeku sebenernya semacam Kim Jungkook, tapi kalau ada yang lebih matang kenapa engga? Eh, tunggu dulu. Ja-jadi... orangnya ini? Lalu yang kemarin siapa? Aku sukses menganga. Mama terkikik tertahan, Athaya menepuk-nepuk bahuku.

"Enggak Nak Rendi. Ini Nadi emang suka gitu. Kucing-kucingan."

"..." Aku hanya bisa menganga bingung.

"Ini Nak Rendi yang mau Mama kenalin. Lagian siapa yang mau jodohin kamu? Kamu aja kali yang minta dijodohin. Iyakan?" Mata Mama membulat menggoda.

Seketika membuatku membeku dengan muka yang panas. Malu banget. Asem.

***

"Diyo!" panggilku saat lihat Diyo di masjid. Rumahku dekat masjid, jadi aku solat di masjid pas Maghrib dan Isya. Sengaja biar tepat waktu dan ngga ketinggalan.

Diyo melirik sekilas namun tak menghentikan langkahnya. "Sombong amat lo."

"Girang amat lo. Gimana sama si Duda itu?" tukas Diyo membuatku tersentak. Kok Diyo gini sih. Iya, Rendi ternyata Duda. Duda beranak satu, umur 3 tahun.

"Lo kok ngomongnya gitu sih? Ngga enak didenger orang." Aku sebenarnya ngga keberatan sama anak, atau status. Tapi lebih ada khawatiran, orang yang pernah bercerai, apa bisa menjamin pernikahan selanjutnya ngga bercerai? Sama yang pertama saja cerai, gimana yang kedua?

Diyo tidak menghiraukanku dan malah mempercepat langkahnya. "Lo kenapa si Yo? Kelakuan lo kayak cewek PMS tahu ngga?"

"Lo tanya gue kenapa? Gue berniat ngelamar lo, tapi lo ngeremehin gue!" sentaknya membuatku menciut. Raut mukanya menyiratkan emosi yang dalam. Jadi dia serius? Aku menatap matanya dengen seksama. Dia ngga bohong. Gimana ini?

"Ka-kalau gitu gue pulang dulu Yo," pamitku tergagap, dan langsung berlari ke rumah.

***

Setelah beberapa minggu aku istikharoh, bermunajat kepada Allah, aku merasa sedikit lebih lega. Kak Rendi memang baik dan mapan, statusnya juga tidak masalah. Anaknya walaupun aktif tapi penurut. Tetapi mungkin hatiku lebih condong ke Diyo. Sahabatku sedari TK. Meskipun mulutnya suka bicara nyablak sembarangan, tapi dia cuma berniat bercanda. Menghibur. Meskipun pekerjaannya hanyalah karyawan kontrak di PT, tapi aku tahu dia tanggung jawab. Dia juga punya adik yang butuh dibiayai, orang tua sudah meninggal kecelakaan, dan aku menyaksikan keuletan dia dalam mencari nafkah. Dan Allah Maha Pemberi Rejeki, yang membuat insya Allah aku siap dengannya. AAMIIN.

Sekarang kami berdoa bersama sebelum prosesi lamaran sederhana ini bisa berjalan lancar dan berkah. Cincin emas 4 gram dan beberapa jajanan hantaran yang dibawakan. sudah cukup. Bagiku hal tidak terlalu kubutuhkan sekarang, itu tidak perlu. Jadi ini sudah lebih dari cukup. Yang justru perlu dipikirkan untuk keperluan yang lebih penting ke depannya.

"Lo emang gila ya Yo? Lo ngelemar gue pake ngehina gue! Lo pikir gue apaan? Eh?"

"Sori Nad, gue ngga maksud. Lo tahu gue kan? Gue beneran serius sama lo. Udah lama gue suka sama lo. Tapi gue ngga berani ngutarain karena lo tahu sendiri, gue ngga ada waktu untuk mikirin cinta-cintaan, gue harus jagain adik-adik gue. Tapi sekarang gue yakin kita sama-sama dewasa, sudah waktunya membangun rumah tangga."

"Lo serius banget ya Yo?" Air mata tak luput jatuh saat haru begitu menyelimuti hati. Aku memeluknya erat. "Makasih ya Yo. Gue mau kok."

****

"Kamu sungkan sama saya ya Nadi?" tanya Kak Rendi saat melihatku makan dengan canggung di sebuah restoran berdua bersamanya. Ini pertama kalinya aku dan dia berduaan. Biasanya kami mengobrol ditemani anaknya, Rafi, atau sama ibuku. Entah kenapa menjalani perkenalan bersama Kak Rendi membuatku serba salah. Antara canggung, tidak nyaman, dan terbebani. Kak Rendi terlalu dewasa, sedangkan aku masih suka bertingkah kekanak-kanakkan. Aku takut kalau membuatnya malu karena dinner bersamaku. Dan rasanya sangat aneh berdua bersamanya. Aku jauh lebih nyaman bila ada Rafi.

Itu sekilas yang kurasakan saat bersama Kak Rendi. Aku menjadi orang lain. Mungkin memang butuh waktu untuk bisa membuatku lebih terbuka, tetapi lamaran mendadak dari Diyo tak bisa kuabaikan. Dan Allah menjawab dilemaanku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top