Dictionary Love
Oleh: Tree Noktah
Dia, gadis istimewa penggugah keterikatanku kepada 'manusia'. Ya, memang diriku sepertinya bukan manusia. Setidaknya, spekulasi itu muncul dari cibiran dan tatapan sinis yang selalu aku dapatkan, yang notabene seorang mantan pecandu zat adiktif dan'pecinta musik cadas' ini. Untuk pertama kalinya aku tatap binar mata yang me-'manusia'-kan diriku. Memang ini juga kali pertama aku berada, dan beradaptasi di kota tempat tinggalnya. Kota yang indah nan membius setiap rasa kekagumanku terhadap semua keanggunannya. Benar saja, termasuk dia, gadis berkacamata, yang tengah memandang langit.
"Pagi ... kota Bandung." Suara renyah gadis itu menyeruak memenjarakanku di ujung jalan. Tanpa menghiraukan lalu-lalang kendaraan, aku terpana kepadanya.
Rutinitas pagi itu seperti biasa, berangkat sedini mungkin agar mendapat tempat berkarir yang sesuai keinginan diri. Sebenarnya, itu hanya kamuflase agar kedua orangtuaku tak cemas terhadap keberlangsungan masa depanku. Aku sengaja berangkat pagi-pagi sekali, agar tidak mendapati tatapan iba dan paling membuatku merasa semakin bersalah.
Sejak saat itu, penangkapan secara paksa di suatu jalan kotaku sebelumnya, berdasar atas pelaporan warga terhadap tingkah gaduh kami. Ya, aku dan kawan-kawan yang bertingkah tak layak disebut 'manusia'. Dan, penyalahgunaan obat-obatan terlarang pun membuatku harus meringkuk di dalam panti rehabilitasi, untuk kurun waktu yang belum ditentukan. Misal, hingga kepulihanku tiba, baru bisa kembali ke keluarga. Sudahlah, sungguh tersiksa mengungkit masa lalu. Begitu kelam, itu membuatku jatuh semakin dalam. Dengan sengaja, aku bersama kedua orangtuaku ke tempat baru ini untuk melupakan hal itu. Anggapku, suasana dan masyarakat yang baru bisa memberi sedikit ruang bagi seorang yang memiliki masa lalu kelam. Tak lantas masa laluku itu, mempengaruhi dalam meniti masa depanku yang lebih baik.
Baru 1× 24 jam aku tiba di kota Bandung. Rasanya kalau hanya diam, tak akan bisa membuat perubahan yang signifikan di hidupku. Namun nyatanya, ini adalah sebuah lembaran baru, dan siap aku torehkan hal-hal yang lebih indah dari sekedar bermain-main. Apapun jalan takdir untukku bertemu 'dia', adalah pengobat dahagaku terhadap, 'apa itu yang dinamakan dengan cinta'.
"Maaf, Nona?" tegurku, saat dia tiba-tiba, entah dari mana sudah berada di hadapanku. Membawa sebuah kamus yang cukup besar, penampilannya cukup rapi buatku. Tak lupa, sebuah kacamata silinder bergantung di hidung mungilnya.
"Maaf, siapa kamu? Kelihatannya aku belum pernah melihat sosokmu di daerah ini."
"Kamu begitu rupawan, Nona." Tanpa sadar aku berucap. Sebuah pujian langsung mencuat dari bibir ini, ungkapan kejujuran hati. Tentu, gadis yang belum kuketahui namanya itu pun mengacir, karena mendapati pria asing yang tiba-tiba memujinya.
"Maaf, aku tak mengenalmu." Gadis itu berlari tergesa-gesa. Itu karena aku, ataukah dia terburu-buru karena sesuatu. Suara debuman pun terdengar, namun mata ini tak hentinya menatap gadis yang semakin jauh itu.
Rasa-rasanya aku sangat tidak sopan, tiba-tiba melayangkan pujian tanpa mengenalkan diri dahulu. Namun, semua telah berakhir begitu saja. Meski, kediamannya sudah kuketahui, itu semua hancur karena kesepontananku. Mungkin di matanya aku hanya seorang lelaki hidung belang, memuji demi hal bertanda kutip. Semua pikiran ini semakin membuatku kecewa. Tanpa sadar, kuperhatikan sebuah benda. Benda jatuh, yang debumannya tak kuindahkan.
"Ini kamus. Pasti milik gadis Itu," pikirku mengambil kamus Itu. Air mukaku mulai berseri, mendapati sebuah jalan untuk lebih mengenalnya. Mungkin ini jalan takdir, menemukan benda bagian dari gadis itu. Bisa saja, ini sebuah jalan mengenalkan diri berlabel pengembalian barang.
Seharian kulalui dengan peluh mengucur. Ke sana kemari mencari tempat yang mau menerima seorang mantan pecandu barang haram ini, agar dijadikan karyawan mereka. Demi tatapan paling aku hormati di rumah. Malang-melintang di seluruh penjuru kota, akhirnya diterima juga di sebuah minimarket. Tak dipungkiri, diterima sebagai karyawan minimarket saja, sudah membuatku senang. Daripada di kotaku yang terdahulu, malah tak ada satu pun memberi kesempatan bagi seorang mantan pecandu, sepertiku.
Malam pun aku teringat kepadanya, kamus di tanganku selalu mengingatkan akan kecantikannya. Hingga larut malam aku belum bisa terlelap. Kuambil sebuah pena, untuk mengungkapkan sebuah perasaan.
Maaf!
Aku kurang sopan waktu itu. Tiba-tiba muncul menghadang jalan. Sungguh aku tak bermaksud membuatmu bingung. Inilah aku pertama kali bertemu, telah bisa mengagumimu. Mungkinlah seseorang sepertiku tak berkesempatan merasakan apa itu saling memiliki, atau bahkan seseorang yang tak layak kaubalas perasaannya. Sepenggal surat ini kuperkenalkan diri.
Revan. (0834—7690—××××). Kusematkan pula nomor telepon, agar bisa lebih terjalin hubungan, anggapku.
Ke esokan paginya, aku sempatkan ke kediamannya, basa-basi mau mengembalikan barang. Meski aku berputar lebih jauh, karena jalan tempat bekerjaku tak searah dengan rumahnya. Aku tetap menyempatkan sepagi mungkin, agar bisa bertemu, dan juga tidak telat bekerja.
"Assalamualaikum!" Kuserukan salam agar penghuni rumah itu keluar. Namun apa yang kudapati, lengang, sepi, bagai tak berpenghuni. Rumah itu kosong, belum sempat kuberkenalan, masak dia sudah pindah? Rona optimisku berubah menjadi psimis seketika.
5 hari berselang, selalu kusempatkan diri jalan kaki menuju rumahnya. Hitung-hitung olahraga, tapi dia tak pernah kutemui.
"Emang dasar, Ayah saja yang berlebihan. Masa jam 5 pagi menemui 'manusia' seperti Ibuku, beliau super sibuk," seru Eliana, di sampingku menyela ceritaku di salah satu stasiun radio.
"Bagaimana kelanjutannya, Bapak dengan istri bisa bersatu? Siapa itu yang ikutan bergabung?"
"Ini Eliana, buah hasil cinta antara Bapak Rasyid dan Ibu Hanna," celetuk Eliana lagi, mencoba menjelaskan kepada si penyiar.
"Nggak usah dengarkan anak ini! Pulang-pulang sudah buat gaduh. Saya lanjutkan ceritanya saja, ya?" Eliana di sampingku tampak memanyunkan bibirnya. Namun, ia melihat lekat ke arahku mencoba mendengarkan ceritaku.
Benar yang dikatakan Eliana, waktu itu Hanna sibuk dengan kegiatannya sebagai penerjemah. Rupa-rupanya, saat pertama kali bertemu, saat ia akan setor data menerjemahannya, hari-hari berikutnya dia berkutat dengan artikel-artikel menerjemahnya lagi. Hal itu menengarai terabainya seorang yang ingin bertamu.
Sampai hari ke-7, mulai merasa kecewa tak menemukan sesiapa di rumah 7 × 14 m itu. Antara percaya dan tidak, aku coba menggantungkan semua kepada kehendak pilihanku untuk melemparkan kamus berisi pengungkapan rasaku ini ke depan rumahnya. Tentu, dengan pembungkus karton agar rapi. Di dalam rumah yang aku tempati sekarang ini, dulu hanya dia, istriku dan ibunya, penghuninya, pantas saja sepi.
Menanti menuai hasil ketidakpastian itu butuh kesabaran ekstra. 2 hari berlalu sejak kulemparkan kamus itu. Tak disangka, dia membalas perasaanku. Lewat nomor itu ia mengucapkan rasa terima kasih, kalau itu bukan jawaban, mungkin bisa jadi jalan untukku mendekatinya. Chat basa-basi buat sekedar mengenal diri masing-masing. Sampai pada akhirnya, di titik kejujuranku. Kukatakan rasa sukaku, bukan sekedar suka sebagai teman, namun perasaan yang lebih. Dan juga, kucoba jujur mengutarakan tentang dunia hitam yang pernah kuterjerumus di dalamnya. Orang yang kukasihi harus tahu apa yang telah menimpa perjalanan hidupku. Cinta itu menuntut kejujuran, bagiku. Setidaknya, aku sudah berusaha jujur kepada Hanna, apapun pilihannya, itu haknya.
Tak ayal, 5 hari berselang ia tak membalas pesan. Mungkinkah ia kecewa, atau benar ia tak menerimaku? Namun itu semua, sudah konsekuensi yang telah aku perhitungkan sebelumnya. Saat itu aku pun memutuskan tak menengok ke kediamannya, aku takut mengganggu ketentramannya. Pada penghujung hari ke-6, tiba-tiba chat itu, ia balas.
Maafkan aku. Aku belum sempat membalas chat-mu. Jujur, bukannya aku menghindar setelah mendengar kejujuranmu. Aku hanya melihat kesungguhanmu yang sekarang. Karena 'manusia' , butuh proses untuk jadi lebih baik. Dan atas jawaban itu, aku juga merasakan keberadaanmu.
Kini, kupegang potret berbingkai di depanku. Benda kedua pengingat 'dia', pengisi sesaat yang tak akan kuganti. Selain sebuah kamus yang kutempatkan di tempat paling istimewa, bernama 'dictionary love' kamus sebagai bukti cinta kami, bukan kamus untuk mengerti cinta anak-anak 'manusia'. Peristiwa tabrakan beruntun itu, merenggut senyumnya. Aku sempat bertanya, kenapa Tuhan tidak sekalian mengambilku? Namun aku tahu, aku masih dibutuhkan puteriku, Eliana. Ini takdir terbaik, bisa menemani puteri semata wayangku menuju biduk rumah tangganya, kelak. Dia penyemangat dan penyempurna hidupku, kini. Eliana mulai terisak di sampingku.
"Kenapa Ibu pergi begitu cepat, Ayah?" Aku pun termangu, tak sanggup memberi jawaban, mulut seakan terkunci, menyadari dia telah pergi dan selamanya tak akan kembali. Sambungan telepon pun aku tutup, tak kuasa menahan emosi kesedihan. Aku pun memeluk puteri semata wayangku, menenangkan rasa sedih akan kerinduaannya pada sosok gambaran di dalam korne matanya, yang senantiasa mengajarinya sebagai 'wanita' seutuhnya. Setidaknya, dia sudah melaksanakan kewajibannya itu.
Terima kasih Hanna, kamu selalu di dalam hatiku. Tepat dua tahun lalu aku masih bisa menatap wajah ketulusanmu, menerima segala kekuranganku. Hanya satu kalimat yang bisa selalu aku ucapkan 'terima kasih telah menempatkanku, di tempat spesial dalam sekejap hidupmu.
Selesai
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top