Harapan-Harapan Kecil
Pagi itu sepi, seperti biasanya. Hanya saja tidak benar benar sepi. Bagaimana ia menjelaskannya? Boron tidak tahu. Ia hanya seekor kucing kampung cebol dengan surai selegam arang yang bahkan menaiki tangga teraspun ia kesulitan. Jadi, diam di sana dan memandangi permadani rumput basah dengan kedua mata peraknya yang tajam mungkin adalah hal terbijak yang pernah ia pikirkan.
"Membosankan sekali." Boron berbicara untuk pertama kali pagi itu dengan suara saduran kalung kelintingannya. Suara itu tidak pas. Ia kurang menyukai bagaimana suaranya terdengar. Ia lebih suka suara manusia bernama Hendric yang terdengar gagah, atau suara Lilian yang lembut, atau suara manusia lain bernama Deo yang walau agak serak masih lebih bagus dari suaranya. Walau begitu suara manusia yang ia dapat membuat pemiliknya tercinta selalu tersenyum. Ah, indahnya nostalgia.
Ia terus menggerutu dan hanyut dalam lamunan di bawah hujan. Ralat, di bawah atap teras sampai akhirnya sesuatu memaksa perhatiannya untuk teralih.
"Dan inilah dia, Jenderal Boron si suara lucu. Bagaimana pagimu, Tuan Boron?" Kucing tetangga, Kori, menyapa dari atas tempat favoritnya, susuran rumah sebelah, dengan suara menggoda. Kucing berbulu pendek dengan warna kelabu dan belang di sana sini itu sejenis American-short hair cat mahal. Menyapa ramah sembari menggoyang goyangkan ekor. Well, tidak terlalu ramah sih.
Boron tidak menggerakkan kepalanya, ia sudah tahu siapa itu hanya dari suara saduran kalungnya. Membuat iri, "Aaa, membosankan, Kolonel." Boron dia sesaat, ia berpikir bahwa pertanyaan retoris diperlukan setelahnya. Mungkin ia salah. "Dia juga masih belum bangun?"
Dari pangkal matanya Boron melihat kucing betina itu memiringkan kepala ke kanan sembari menjatuhkan ekornya mengikuti gravitasi. Gerakan yang membuat ia spontan memutar bola mata. Ia salah bertanya, dalam hati ia tertawa hambar.
"Un? Sudah tidak ada harapan, kau tahu? Kita, kucing punya indera tambahan, kita tau mana yang begi--,"
Kucing hitam itu sudah tidak mendengarkan kalimat selanjutnya. Ia takut menjadi paranoid kalau terus mendengarkan perkataan Kori yang pesimis setiap kali topik itu diangkat. Baik sengaja maupun tidak. Bukan berarti dia hipokrit atau bagaimana, hanya saja jiwa bersemangat Boron masih saja menyala terang, tidak ada ruang untuk hal hal negatif di dalamnya. Tidak ada.
Un?
Benarkah tidak ada?
Perlahan telinga Boron yang semula kaku ke atas jatuh hingga hampir menyentuh matanya. Ia mulai tertular rasa pesimis Kori. Dan mengetahui hal itu, ia tak suka! Persetan kucing jalang itu.
"... Dan begitulah para kucing. Bukan berarti aku berkata hewan peliharaan lain seperti, maaf, anjing itu bodoh atau bagaimana, tapi kadang mereka terlalu tidak logis dan berharap pa--,"
"Kori." Boron memotong, sudah cukup ia mendengar ceramah tentang kucing dan anjing dan cara berpikir logis yang berbeda. Well, siapa juga yang memilih terlahir di antara keduanya? Tidak ada. Tepat sekali!
"... Ya?"
"Mau cari angin?" Kali ini Kori menengadah, dilihatnya langit kelabu di atas sana. Dan ia mengetuk ngetukkan cakar depannya yang empuk ke atas susuran kayu. Ia berusaha menirukan gerakan majikannya, namun gagal karena tidak menghasilkan suara apapun.
"Ayolah, petualangan baru. Mungkin sedikit basah, tapi tidak masalah, kan? Kau bisa pakai sepatu boots seperti di tv, apa itu namanya? Ah, sudahlah, pergi dan cari petualangan baru sana."
"Miau, kau bercanda kan?" Seketika hening. Segala suara yang ditimbulkan percakapan pagi itu seakan sirna tak berbekas. Tatapan Kori yang kini lekat pada sosok hitam yang memandang jalanan sepi di hadapannya itu perlahan menjadi semendung cuaca sekarang. Tidak ada suara yang benar benar menginterupsi kecuali rintik rintik yang mengenai pot dengan bunga layu di atasnya, jalanan berlumpur, rumput mengering, dan atap atap rumah yang seakan mati.
Keheningan yang menyadarkan mereka, betapa sepi kota yang dulu pernah ramai.
"Un! Aku tidak suka ini. Kau yakin mau ditinggal sendiri?" Kori tahu dan ia ingin menolong, namun tidak ada cara lain untuk menolongnya kecuali dengan membuat dia terbangun. Sesuatu yang agak mustahil kecuali membawa dia pergi dari sana. Kori mengerutkan alisnya ketika memandang cakar cakar kecil miliknya "Huh, terserah padamu sajalah, Jenderal. Jangan lupa makan ya, mungkin aku akan pergi sampai malam." dengan langkah langkah kecil, kucing itu pergi, melompat melewati pagar pagar kawat berkarat dan hilang bahkan sebelum sempat ditemukan.
Senin tahun 20xx akan menjadi satu lagi, hari yang panjang dan penuh penantian.
Boron tidak sabar mendengarnya.
Benarkah?
***
Warna kelabu, oranye, dan putih yang bergerak cepat di latar kota yang kelabu terlihat hanya seperti distraksi ataupun fatamorgana. Mereka bergerak sangat cepat, melewati gorong gorong dan bebatuan bekas reruntuhan gedung dengan lompatan lompatan kecil yang presisi. Kori menemukan apa yang dicarinya seumur hidup. Iya, dia menemukannya. Bersama Libet si anjing golden retriever dan Momo si kucing kampung putih dengan satu mata yang buta. Mereka baru bertemu tapi rasanya seperti sudah berkenalan sebelum lahir ke dunia.
Ya, seperti kata Boron pagi itu ia pergi. Mencari petualangan? Mungkin hal itu tidak sepenuhnya mengada-ada. Mereka memang melakukan petualangan kecil untuk mencari makanan, rekan yang tersesat, dan juga tidak lupa "harta yang hilang".
Begitulah mereka menyebutnya, benda bnda berharga yang bisa menjadi harapan baru bagi Boron. Sang jenderal perlu diberi harapan. Ya, dan mereka telah menemukan harapan itu tepat di bawah cakar-cakar mereka. Bukan berusaha menjadi hiperbola atau terlalu banyak perumpamaan karena kenyataan memang begitu adanya.
"Uh, Kolonel Kori. Bisa kita berhenti sebentar saja? Libet sepertinya mulai tertinggal, dan uh..." Kori terbangun dari lamunannya. Ah, kenapa ia begitu jahat pada kawan kawan barunya? Mungkin berlari halang rintang bagi Momo bukan masalah besar. Dia kucing, berlari sudah seperti hidupnya apalagi kalau ada anjing galak di ujung gang yang memergokinya membawa sejumput sarden hasil curian. Hm ....
Kori memelangkan langkahnya, ia terlalu bersemangat. Dan ketika ia melihat denga. Kedua mata hitamnya, ia sadar dirinya sangat keteraluan membiarkan anjing kecil yang mengekor itu berlari seperti kesetanan.
"Maaf kawan, rekan seperjuanganku. Ehehehe, wanita ini terlalu bersemangat untuk pulang dan mengangkat sampanye kemenangan sambil berteriak eureka. Ah, kau tau aku sudah menanti--" Kori berhenti berbicara, ia merasakan sesuatu yang lembut menyentuhnya dengan hati hati. Ia beralih pada Momo yang memberikan pandangan bingung. Sesuatu yang membuat Kori lagi lagi sadar sesuatu yang tabu. "Un! Maaf maaf, aku berkata aneh lagi ya, ahahaha."
"Tidak. Hanya agak mirip manusia(?)"
Un?
Mirip manusia?
Mirip katanya(?)
"Ohooo, maksudnya minum sampanye sambil berkata eureka ya?" Kucing itu mengangguk antusias sebelum menendang Libet yang melamun untuk membantunya terlihat lebih meyakinkan. Kori terkekeh, "Well, tuanku amat suka sampanye! Dia bilang sampanye bagus untuk perayaan besar tapi tidak bagus untuk sehari hari. Tapi kucing tidak minum sampanye Un! Itu hanya metafora." aku merindukannya.
"Hooo, aku pernah dengar kata sampanye dari sebuah toko. Waktu itu aku sedang menguras bak sampah dalam gang yang terhubung ke pintu belakangnya." Libet, untuk pertama kalinya bercerita setelah akhirnya "harta yang hilang" berpindah dari menyumpal mulutnya menjadi tersampir di sisi tubuhnya, aman di dalam 'kantung ajaib'. Suara saduran dari kalung anjing yang ia kenakan bergemeresak di sana sini. Dalam hati Kori berpikir mungkin pemilik bisa memeperbaikinya. "Monyet tidak berbulu yang menggunakan kain putih itu berkata dengan aneh sekali! Dia terus menumpuk berbagai kata yang tidak benar, menghancurkan artinya."
Dan mereka mulai berjalan dengan langkah yang lebih lambat dari tadi. Ya, mereka akan berjalan dan menikmati hari hari terakhir di tempat ini.
"Karena aku akan dapat mata baru(?)"
"Karena kalung suaraku akan diperbaiki."
"Karena Jenderal Boron akan senang!"
***
Ketika mereka menginjakkan kaki di halaman yang Kori tinggalkan pagi itu, hujan telah berhenti, langitnya gelap, dan angin menjadi tidak terlalu bersahabat. Dingin, namun tidak satupun yang berkomentar. Libet hanya terus menggoyang goyangkan ekornya, Momo mengangkat kepalanya tinggi, dan Kori-lah yang memimpin semuanya masuk menuju rumah sang jenderal.
Kucing betina itu menuntun kawan kawannya menuju lubang hewan peliharaan yang terletak di belakang rumah. Seperti biasa, kegelapan yang lebih pekat mengelilingi mereka, tapi tidak perlu waktu lama Kori kembali berjalan. Pengelihatannya masih bagus dan ia cukup hapal lika-liku koridor di setiap jengkal rumah itu. Ia tidak keberatan.
"Gelap, Kori."
"Tentu tentu," jawabnya singkat. Sayangnya Momo tidak puas dengan jawaban semacam itu.
"Kenapa gelap?" Kali ini Libet berhenti. Matanya yang cokelat meneliti kucing putih di belakangnya dengan tatapan aneh.
"Bisakan tidak menanyakan hal tidak penting(?) bukannya dah jelas kenapa gelap?"
Momo bersenandung, matanya terpejam beberapa saat sebelum melihat Libet tepat di mata, "Kenapa?"
Saat itu juga Anjing itu merasakan emosi menggumpal dalam dadanya. Apakah kucing ini sebodoh itu atau dia berusaha mempermainkannya, yang jelas ia jengkel sekarang, "Tentu karena lampunya mati!"
"Kenapa mati?"
"Ya karena mereka mati, bodoh. Argh ... Ya mereka mati. Titik."
"Mati?"
"Iya. Mati."
"Masa?"
"Iya."
"Kok tau?" Oke, ia tak tahan lagi. Libet menerjang kucing itu hingga terjungkal ke belakang, membuat keributan yang tidak perlu. Kori menghela napas frustasi, ia yang semula berusaha mengabaikan sikap kawan kawan baru yang kekanak-kanakan akhirnya berhenti dan membalikkan badan untuk pertama kali. Ia tahu mereka lelah, tapi haruskah di saat seperti ini. Di rumah ini?!
Kori mendesis, "Ugh! Bisa nggak sih kalian tenang, Un!" Keduanya mendadak berhenti bergerak, "Aku tau kalian lelah dan sebagainya dan sebagainya, tapi jangan di sini bisa kan, Un?!"
"Un? Uh ... Maaf."
"... maaf, Kori. Momo mulai duluan!" kucing putih itu menatap anjing di hadapannya dengan mata tunggalnya. Apakah ia baru dengar seseorang menumbalkan dirinya?! Yang benar saja.
"Jangan lagi...."
Mereka kembali berjalan melewati lorong menuju ruang utama. Momo dan Libet berusaha tidak saling berdekatan, tapi mereka juga tidak mulai melempar argumen jadi Kori membiarkannya untuk sekarang.
"Kita sampai." Kori tidak menunggu respon dari anjing dan kucing di belakangnya, tanpa keraguan dengan kedua cakar depannya ia memberikan dorongan lembut pada pintu dan perlahan celah yang semula kecil melebar. Momo mengernyit mendengar bunyi miris yang dihasilkan pintu kayu itu dan Libet berusaha menguntip ke dalam. Penasarannya mengalahkan segala suara, mungkin seharusnya peribahasa menggunakan anjing sebagai subjek.
Curiosity kill the dog. :/
"Kori?" Sosok hitam yang terduduk di lantai memandang tamu tamu tak terduga itu dengan mata perak yang penuh pertanyaan. Kori hanya bisa tertawa hambar. Tentu saja ini Kori, asli dan satu satunya di dunia. Tidakkah itu kentara.
"Yup! Dan aku bawa teman!" Kori memberikan tanda agar dua teman yang ia maksud ikut masuk ke dalam kamar. "Ini Momo, dan anjing ini Libet. Kau tau, banyak petualangan hari ini, seperti katamu pagi tadi!"
"Momo siap melayani anda, Jenderal." Momo menundukkan kepalanya dengan luwes dan terampil, membuat senyum penasaran tergantung di wajah kucing hitam itu.
"Ah, begitukah."
"Boron Boron! Kami menemukannya, kau tau? Harta yang hilang!"
"Benarkah?"
"Ya! Sekarang kau bisa melakukan panggilan bantuan untuk tuan pemilik!" Mendadak ekspresi tertarik Boron lenyap, matanya perlahan berhenti menatap tamu tamunya. Perubahan yang tentu disadari mereka. Momo tampak bertukar pandang dengan Libet yang menjulang di atasnya. Perasaan mereka cemas, mereka mencium sesuatu yang tidak beres.
"Err, ada yang salah, Jenderal Boron?" Tidak ada jawaban. Keheninangan yang canggung kembali menyelimuti keempat hewan itu. Tidak ada yang sanggup untuk memecah keretakan yang terasa menyesakkan, tapi Kori tidak suka. Momo dan Libet juga. Namun hanya Kori yang cukup bernyali untuk mengatakan sesuatu. Sebuah kata.
"Kenapa?" Pandangan perak Boron mengebor langsung ke dalam pikiran Kori. Sesuatu yang jarang dilakukan kucing hitam itu setelah semua ini terjadi. Kori berharap ia tidak salah mengartikannya. Ia berharap semua ini akan berakhir dengan lebih baik.
Mata baru, kalung yang diperbaiki, dan kebahagiaan. Kori berharap sekarang ia tidak dapat mendengar.
"Ah, dia tidak tertidur. Tuan pemilik hanya tertidur terlalu lelap." Dan air mata Jenderal Boron untuk pertama kalinya terjatuh ke lantai.
*tamat*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top