Terima Kasih, Istriku!

"Mas, nanti malam aku lembur. Jadi Mas tidak perlu menungguku untuk makan malam." Seorang wanita berparas ayu tampak sedang menyisir rambutnya, membuat sebuah gelombang di bagian ujungnya. Sesekali dia merapikan tatanan jambulnya itu dengan telapak tangannya hingga menyerupai milik Syahrini. Cetar membahana!

"Lagi?" Seorang pria yang tengah duduk di atas ranjang, mendengus sebal.

Ini sudah kesekian kalinya wanita cantik itu meminta ijin pada suaminya dalam tiga bulan terakhir. Tepatnya sejak wanita itu mendapat promosi jabatan baru di kantornya.

"Iya, Mas. Aku harus mempersiapkan materi untuk presentasi Pak Bagas besok pagi."

Deg...

Nama itu seketika menghentikan detak jantung pria tersebut saat meluncur dari mulut wanita yang saat ini tengah sibuk berdandan di depannya.

Bukan, itu pasti Bagas yang lain bukan yang dia kenal karena nama itu memang cukup pasaran. Pria manis berlesung pipit itu berusaha menenangkan diri.

"Kan, seharusnya Mas Dion tahu kalau istri Mas sekarang ini sudah diangkat menjadi sekretaris direktur utama yang baru di kantor. Aku sudah bukan pegawai biasa lagi, Mas. Jadi sekarang tanggung jawabku lebih besar dari sebelumnya," lanjut wanita yang bernama Erlina itu, sebelum kemudian mengatupkan kedua belah bibir tipisnya untuk dipoles lipstick berwarna merah menyala pada permukaannya.

Dion memandang lesu wajah istrinya lewat pantulan cermin meja rias. Dia mendapati jika wanita itu terlihat makin cantik dan sensual saja hari demi hari, dengan dandanan yang makin berani pula. Tubuhnya juga semakin montok dan berisi. Dion sungguh tidak pernah menyangka bila wanita sederhana dan polos yang telah dia nikahi selama lebih dari dua tahun itu, ternyata mahir dalam urusan merias diri. Bahkan pada saat pernikahan mereka dulu, Erlina hanya menggunakan lipgloss dan make up seminimalis mungkin.

Lalu kenapa sekarang mendadak wanita kalem itu berubah jadi menor dan seronok? Apa mungkin ini adalah tuntutan profesi baru yang mengharuskan dia berpenampilan seperti itu? Atau jangan-jangan dia... Ah, sudahlah. Dion tidak mau terlarut dalam pikiran negatifnya. Toh, dia juga senang dengan perubahan pasangan hidupnya itu. Semakin menarik, menggairahkan dan menyegarkan mata.

Dion bangkit dari ranjang dan merangsek mendekati istrinya yang sedang duduk di depan meja rias. "Kalau kamu lembur terus seperti ini, kapan suamimu dapat jatahnya, sayang?" rajuk Dion sedikit manja, berhembus tepat di depan telinga istrinya sambil membungkukkan badan sedikit agar bisa memeluk pinggang ramping wanita itu dari belakang.

"Bukannya kemarin lusa sudah, Mas?" Wanita berparas cantik itu langsung menarik jengah tubuhnya yang terduduk untuk segera berdiri hingga pelukan suaminya itu pun terlepas. Dia lantas meraih parfum Chanel favoritnya di atas meja hendak disemprotkan ke arah tubuhnya.

"Ya, ya... aku tahu, sayang. Tapi apa perlu sampai kamu jatah aku tiga hari sekali seperti ini? Kamu kok tega banget sama adik kecilku, sayang. Dia sudah sangat merindukanmu."

"Maaf, Mas. Aku sudah tidak bisa lagi memenuhi hasrat Mas setiap hari seperti dulu. Aku terlalu capek dan lelah, Mas. Aku tidak kuat kalau setelah kerja lembur dari kantor lalu masih harus lembur lagi sama Mas di ranjang."

Merasa gerah dengan debat pagi yang sering terjadi akhir-akhir ini, Erlina langsung meraih tas kerjanya yang berwarna hitam mengkilap ber-merk Prada. Authentic bukan kw super seperti yang dijual di Tanah Abang. Wanita cantik itu langsung bergegas keluar kamar meninggalkan suaminya yang masih berdiri terpaku di depan meja rias.

Erlina memang selalu pergi ke kantor sendiri setelah Dion menghadiahi sebuah mobil Toyota Yaris berwarna merah sebagai hadiah di hari ulang tahunnya.

Sama halnya dengan Dion. Dia mengalah sambil hanya menatap pias siluet tubuh istrinya yang berlalu melewatinya hingga keluar dari kamar. Dion menghela nafas, mencoba sabar. Dia tidak ingin perdebatan kecil itu berubah menjadi pertengkaran rumah tangga yang hebat. Sepertinya, adik kecil Dion harus puasa dan jablay lagi malam ini.

Tidak mau terlarut dalam kesuntukkan pikirannya, Dion lebih memilih untuk segera bersiap-siap pergi kerja. Dia segera bergegas untuk mandi.

Dengan hanya berlilit sebuah handuk di bawah perutnya yang mulai membuncit, Dion melangkahkan kaki keluar dari kamar mandi menuju ke lemari pakaian untuk segera memilih baju kerjanya.

Rupanya jadwal kerja yang padat telah membuat Erlina mulai melalaikan hal-hal kecil yang biasa dia lakukan untuk suaminya itu dulu. Sekadar menyiapkan baju kerja atau sarapan pagi untuk Dion pun sudah dia tinggalkan. Perlahan dia mulai berubah menjadi wanita karier yang sangat sibuk. Bukan lagi seorang ibu rumah tangga yang sederhana, polos dan berdedikasi pada suami.

Mendadak, Dion tersadar sesuatu saat membuka lemari pakaian hendak memilih baju kerja. Pria itu menggelengkan kepala heran melihat selera Erlina yang semakin berkelas saja dari hari ke hari. Wanita itu mulai menggilai barang-barang branded. Koleksi tas dan box sepatu ber-merk-nya mulai menjejali ruang demi ruang di dalam lemari milik mereka. Semuanya asli dan pasti harganya membuat kantung kering.

Sungguh janggal. Terbesit rasa penasaran di pikiran Dion, berapa gaji yang Erlina terima hingga dia mampu membeli barang mahal seperti itu?

Namun Dion adalah suami yang baik, dia tidak mau mencampuri uang milik istrinya. Anggap saja itu uang tambahan selain jatah uang bulanan darinya, yang sebenarnya sudah terbilang lebih dari cukup jumlahnya. Tapi tentu tetap tidak akan bisa membeli barang bernilai fantastis sebanyak koleksi milik istrinya itu sekarang. Terlebih Erlina mendapatkan semua itu hanya dalam waktu singkat. Tepatnya sejak dia menduduki jabatan baru tiga bulan yang lalu di kantornya. Pasti pimpinan baru perusahaan tempat istri Dion bekerja itu sangat baik dan loyal hingga salah satu karyawannya mampu mengoleksi barang-barang branded semewah itu.

Sebenarnya timbul sedikit rasa curiga dalam hati kecil Dion, jika istrinya itu tengah bermain api dengan bos barunya. Terlebih Erlina sering lembur atau bahkan menginap saat dinas luar kota dengan pria yang barusan dia ketahui bernama Bagas itu. Tapi Dion selalu menepis pikiran negatifnya. Dia tidak ingin meragukan kesetiaan istrinya meski kenyataan semakin jelas dari hari ke hari. Dia selalu berusaha meyakinkan diri jika rumah tangganya baik-baik saja. Dia percaya jika wanita itu akan selalu setia seperti dirinya yang tidak pernah berselingkuh dengan siapa pun. Dion menganggap hal itu hanya sebuah sikap profesionalisme dari Erlina sebagai sekretaris terhadap atasannya.

Tidak mau berkutat terus dengan dugaan-dugaan yang membuatnya malah semakin gundah dan sakit hati, Dion segera menyahut sebuah kemeja berwarna biru dongker dan celana panjang hitam sebagai pakaian kerjanya hari ini.

Setelah berpakaian rapi, Dion segera meninggalkan rumah dengan mengendarai sebuah mobil Mitshubishi Pajero putih menuju tempat kerjanya. Dia memiliki bisnis sebuah bengkel automotif warisan mendiang ayahnya.

**********

"Woii... Yon, pagi-pagi sudah melamun saja!"

Suara Bram sukses mengagetkan sahabatnya yang sedang duduk melamun di atas kursi kerjanya itu.

"Eh... Bram! Kapan kamu masuknya? Gila, ngagetin aku saja! Sudah seperti hantu saja kamu ini, Bram. Tiba-tiba nongol!"

"Wah... wah... yang melamun situ, yang disalahin kok malah aku ckckck... Kenapa lagi Yon, mukamu sampai lungset kayak baju belum diseterika gitu? Hmm... aku tahu! Ini pasti masalah yang sama seperti yang kemarin-kemarin, kan? Heran, gila kerja juga yah istrimu itu sampai menelantarkan suaminya! Apa dia nggak takut suaminya disamber cewek lain?"

"Entahlah, Bram. Lina berubah banget belakangan ini. Aku seperti tidak mengenalnya. Dia seperti sangat berambisi dengan karirnya, menjadikan kantor seolah rumah keduanya. Dia selalu berdalih jika hal itu demi untuk tabungan anak-anak kita nantinya. Padahal dia tidak perlu bekerja pun, aku masih sanggup membiayai saat kami memiliki anak kelak." Dion menghela nafas, mencoba menjernihkan pikirannya yang tidak kunjung membaik sedari tadi. "Huh... aku hanya tidak ingin ribut dengan Erlina saat ini. Dia setuju untuk punya anak saja, aku sudah sangat bersyukur. Jadi lebih baik aku mengalah. Aku tidak mau menambah beban pikirannya dengan masalah rumah tangga kami. Pekerjaan yang padat sudah cukup menyita pikirannya. Aku takut dia akan susah hamil jika terlalu stres. Semoga kehadiran momongan bisa menjadi solusi ketidakharmonisan kami berdua belakangan ini."

Dulu, Erlina memang cukup pengertian untuk tidak mau segera memiliki anak di awal pernikahan mereka. Dia takut membebani suaminya yang masih pontang-panting beradaptasi dengan usaha warisan sang ayah mertua yang meninggal akibat serangan jantung dan diabetes.

Namun, semenjak dua bulan yang lalu saat dirasa kondisi ekonomi keluarga kecilnya sudah lebih dari cukup, wanita itu sudah mengijinkan Dion melepas pengaman saat mereka berhubungan badan. Terlebih dia juga sudah memiliki penghasilan sendiri yang lumayan besar dengan jabatan barunya. Maka, sudah tidak ada lagi alasan bagi wanita itu untuk menunda memiliki momongan.

Hal itu tentu saja disambut baik oleh Dion, yang memang sangat menginginkan kehadiran seorang anak setelah dua tahun lebih mengarungi bahtera rumah tangga bersama Erlina. Dia juga ingin memberikan cucu pertama pada sang ibu tercinta yang sudah menanti-nantikan karena Dion adalah anak tertua dalam keluarganya. Dion berharap semoga istrinya itu cepat terisi kandungannya.

"Yang sabar yah, Yon. Mungkin saat ini istrimu itu sedang memandang jauh ke depan. Dia ingin menata masa depan yang cerah bagi anak-anak kalian berdua. Dia ingin memberikan yang terbaik sebagai seorang ibu."

"Semoga seperti itu, Bram." Dion menghela nafas. Entah kenapa tiba-tiba terlintas koleksi barang-barang mahal milik Erlina di otaknya.

"Lho, kenapa jawabanmu seperti tidak yakin gitu, Yon?" Bram menangkap keraguan yang tersirat pada sahabat baik sekaligus bosnya itu.

"Sudahlah, Bram. Jangan dibahas lagi masalah ini. Mungkin aku yang terlalu pesimis. Sepertinya memang benar ucapanmu itu, Erlina pasti melakukan semua ini demi masa depan keluarga kami berdua. Sebagai suami, aku harus bisa mendukungnya. Bukan malah berkeluh kesah seperti ini." Dion cepat-cepat meralat ucapannya. Sepertinya, dia tidak mau membahas terlalu jauh urusan pribadinya dengan Erlina. Dion tidak mau jika dia sampai keceplosan menceritakan apa yang baru dilihatnya pagi ini, hingga menimbulkan kesan negatif pada istrinya itu di mata Bram. Bagaimanapun juga menjaga nama baik istri sendiri juga merupakan tugas utama seorang suami.

"Anyway, kamu darimana saja, Bram? Kok, baru jam segini muncul. Bahkan aku sudah berada di kantor ini terlebih dahulu sebelum kamu datang." Dion buru-buru coba mengalihkan topik sebelum Bram bertanya lagi tentang masalah rumah tangganya.

"Hmm... sorry, Yon. Aku tadi lupa memberitahumu. Ada klien langganan kita menelfon untuk menderek mobilnya yang terparkir di halaman sebuah hotel. Ya sudah, aku mendatangi lokasi tersebut dulu sebelum ke kantor dan meminta Rusdi untuk membawa mobil derek ke sana."

"Oh, begitu. Memang kenapa mobilnya, Bram? Mogok?"

"Bukan mogok, tapi keempat bannya semua kempes. Tidak ada anginnya sama sekali. Gila, niat banget tuh yang ngempesin bannya. Sudah aku coba pompa manual beberapa kali, tapi tetap tidak bisa. Sepertinya ada beberapa butir paku yang sengaja ditancapkan pada bannya. Ckckck... makin gila saja tingkah anak muda jaman sekarang!"

"Lho kamu tahu dari mana Bram, kalau pemiliknya masih muda? Terus mobilnya jenis apa?"

"Sama seperti mobilmu, Yon. Tapi yang ini berwarna hitam. Parahnya lagi, ternyata yang punya mobil itu masih duduk di bangku SMA, lho! Gila, umur berapa dia, tuh? Sudah mengendarai mobil sekelas pemilik bengkel hahaha... " sindir Bram sambil terkekeh. "Aku sempat bertatap muka langsung dengan pemiliknya saat mengambil kunci mobil di rumahnya. Ternyata bukan hanya tumpangannya yang kece tapi wajahnya juga ganteng banget. Ada turunan bule-bulenya gitu. Dia itu anaknya Pak Prakoso, Yon."

"Ow, yah? Sejak kapan Om Prakoso balik ke Sura... Hmm... sebentar, Bram!"

Belum sempat Dion bertanya balik pada Bram perihal kapan teman baik mendiang ayahnya itu kembali ke Surabaya, hand phone di saku celananya tiba-tiba bergetar dan menderingkan ringtonenya dengan berisik.

Wajah Dion terlihat sumringah saat mendapati nama istrinya yang terpampang di layar ponsel. Tumben sekali wanita itu menghubungi pada saat jam kerjanya, pikir Dion dalam hati. Tidak mau membuang waktu, Dion segera menempelkan gadget itu pada telinganya.

"Ya, sayang. Ada apa?" sapa Dion dengan antusias.

"Maaf, apa ini benar dengan saudara Dion?"

Deg... suara itu, suara itu lagi! Pikiran Dion mendadak menjadi blank saat mendengar suara yang tidak asing baginya. Sungguh familiar namun sudah cukup lama tidak pernah menyapa. Kini, suara itu kembali bergaung lagi di gendang telinganya hingga membuat pria itu terpekur dalam diam.

"Halo... halo... halo... Dy..."

Suara itu terus memanggil namun Dion masih saja dalam kebisuannya. Suara itu benar-benar membuat dunia Dion seakan runtuh dalam sekejap. Suara yang selalu ingin dia hindari seumur hidupnya namun kini terdengar lagi, merontokkan batinnya. Hati dan pikiran Dion sejatinya masih belum siap mendengar suara itu kembali.

Untungnya, senggolan Bram membuat Dion tersadar dari lamunan yang baru saja menenggelamkannya tanpa ampun. Dia sangat peka melihat kondisi sahabatnya yang tampak tersentak hebat dan terpaku setelah menerima telfon itu.

"I-iya saya Dion... I-ini siapa, yah?" Dion pura-pura bertanya meski dia tahu dengan jelas siapa pemilik suara tersebut, sambil berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdetak kencang tidak karuan. Dion sangat gugup luar biasa.

"Kamu tidak perlu berpura-pura, Dy. Kamu pasti tahu siapa aku. Kamu juga pasti mengingat betul suaraku sama seperti aku yang selalu mengingat suaramu. Tapi biarlah kuperjelas lagi supaya kamu lebih yakin. Aku Bagas, mantan yang kamu buang demi wanita yang saat ini sedang berada di UGD. Benar, istrimu itu barusan pingsan di kantor. Sepertinya dia kecapean. Dan sebagai atasan yang baik aku telah mengantar dia ke rumah sakit. Aku sedang berada di RS Dr Soetomo sekarang. Kamu, cepatlah kemari!"

"Ba-baiklah... Bay... sorry maksudku Bagas. Aku segera kesana!" Dion menjawab dalam kegundahan hatinya.

"Senang mendengar kamu memanggilku dengan nama itu lagi, Dy. Meski kamu buru-buru meralatnya."

Bagas langsung mematikan telfonnya setelah suara beratnya berakhir, meninggalkan Dion yang masih tampak ling-lung kebingungan. Pikirannya berkecamuk. Tapi kali ini bukan karena terlalu khawatir dengan keadaan Erlina. Dia yakin istrinya itu baik-baik saja dari sikap tenang yang ditunjukkan Bagas. Ada hal lain yang membuat perasaannya jadi sangat risau saat ini.

Tidak, Dion tidak siap untuk bertemu lagi dengan Bagas setelah beberapa tahun berlalu. Ini sungguh di luar dugaannya. Dia belum menata hati dan menyiapkan mental untuk bertemu lagi dengan pria itu.

Sebenarnya siapa Bagas hingga mampu membuat Dion menjadi sepanik itu, melebihi kekhawatiran pada kondisi istrinya?

TBC

Haloooo........

Hahaha.... jumpa lagi dengan saya si penulis abal-abal yang moodnya suka lari-lari kayak maling kancut.

Anggap saja ini pemanasan buat mulai menulis lagi. Cerita ini nggak bakal panjang mungkin cuma 3-4 bab saja. Yah, itung-itung buat membangun feel untuk melanjutkan hutang cerita saya yang lain hahaha...

Maap yah kalau ceritanya kali ini absurd dan aneh kayak yang nulis aja gimana. Soalnya jadi kaku lama nggak ketik-ketik di Wattpad hahaha...

Maap lagi jika typo bertebaran hehe...

NB: yang di mulmed itu Wonbin sebagai Dion. Kiri: sebelum married. Kanan: sesudah married.

Kali aja ada yang suka dengan cerita ini, kutunggu vomennya yah.

Thank You.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top