Togel Si Mbah

Sumadi terhenyak dari tidurnya pagi ini, terbangun dari mimpi yang membuat otaknya berpikir keras. Dia langsung turun dari dipan tempat tidur, tidak memedulikan rasa pening di kepala. Bahkan mata senjanya yang berkunang-kunang pun sama sekali tidak ia pedulikan.

Tangannya yang sudah menonjolkan urat-urat hijau itu mulai menggulung bagian bawah kasur kapuk—tempat tidurnya. Dia menyimpan sesuatu di bawah kasurnya, menyimpan benda yang menjadi patokan dalam mengartikan semua mimpi-mimpi. Baginya mimpi bukan hanya sebuah bunga tidur, melainkan sebagai pertanda yang sengaja diberikan Tuhan kepadanya untuk dipertaruhkan. Dia tidak pernah meremehkan mimpi-mimpi yang selalu bertandang di setiap malam nyenyaknya, meskipun mimpi-mimpi itu menyisakan gubuk reot di usia sejanya.

Mulutnya komat-kamit tak jelas saat memungut buku kecil bersampul merah dengan gambar-gambar hewan di bagian depannya. Dia menepuk-nepuk permukaan atas buku itu sambil berjalan menuju ruang tamu. Dia sudah menemukan buku tafsir mimpi yang sudah seminggu ini tersimpan rapi di bawah kasur.

Sumirah—istrinya—menolehkan kepala saat melihat suaminya berjalan ke ruang tamu. Dapur yang menjadi satu dengan ruang tidur itu terlihat begitu pengap meskipun pintu belakang terbuka lebar. Kepulan asap dari kayu bakar terlihat mengambang dan memenuhi seluruh ruangan. Sumirah menghela napas panjang, sudah hafal kebiasaan suaminya.
"Habis mimpi apa, Pak?" tanyanya dengan nada lelah. Dia sudah cukup lelah melihat suaminya yang seperti ini. Seperti yang dikatakan orang 'tua-tua keladi, semakin tua semakin menjadi-jadi', dalam kasus suaminya, bukan menjadi-jadi soal wanita melainkan soal togel. Seluruh usaha dan harta benda yang dikumpulkan Sumirah habis tak bersisa karena kegemaran Sumadi dengan permainan togel.

Sumadi hanya berlalu tanpa menggubris pertanyaan istrinya. Dia lebih mementingkan membaca buku tafsir mimpi dan menghitung-hitung angka yang pas. Berharap dia akan beruntung kali ini dan bisa membayar hutang yang sudah terlanjur menganak-pinak.

"Orang tanya malah nggak digubris! Lama-lama aku bakar buku itu!" Dengan tubuh rentanya, dia mengangkat panci yang isinya sudah meletup-letup— menandakan air untuk teh hangat sudah matang. "Oala Gusti ... manusia semakin tua malah semakin menjadi-jadi. Nggak eling tuwone! Togel terus kerjaannya. Eh ... mbok yo berhenti, Pak!"

"Wes ta lah, iso meneng ora! Aku ini juga membantu bayar hutang-hutang!" Sumadi mulai buka mulut. Gerutuan Sumirah sanggup membuat telinganya pekak. Dia bermain togel itu untuk membantu istrinya membayar hutang-hutang atas usaha istrinya yang telah bangkrut.

Sumirah adalah anak keturuanan ningrat yang mempunyai warisan pabrik sutra dari orangtuanya. Usaha yang ia kembangkan hingga ke manca negera itu berakhir dengan mengenaskan. Pabriknya bangkrut, alat-alat untuk memintal sutra hingga menjadi kain itu terjual semua bahkan rumah dan tanah yang berjumlah hektare itu ludes. Menyisakan gubuk reot yang dibangun di atas tanah sepetak, sisa tanah milik Sumirah.

Pernikahan Sumirah dengan Sumadi hanya membawa kebangkrutan dalam hidup Sumirah. Kegemaran suaminya terhadap togel tidak pernah hilang sampai sekarang. Sumadi tidak pernah kapok meskipun dia sering menelan pil pahit dalam permainan togel.

"Uang dari Sutaji itu disimpan! Jangan dibuat togel!"

Sumadi mendengus kesal mendengar ocehan istrinya. Sumirah tidak pernah sejalan dengannya.

Dari kejauhan, Endang berdecak kesal melihat bapaknya sibuk dengan buku pembawa kebangkrutan itu. Bapaknya tidak pernah berubah, dia tidak tahu bagaimana menyadarkan bapaknya. "Kok togel terus toh, Pak'e!"

Sumadi mendongakkan kepala saat ekor matanya menangkap kehadiran Endang—anak keduanya. "Tekan pasar, Nduk?"

"Bukunya ditutup, Pak. Sana main sama cucu-cucunya daripada lihat buku togel!"

Sumadi hanya melengos, Endang sama saja dengan Sumirah, sama-sama cerewet. Dia enggan beradu mulut dengan anaknya.

Endang berdecak sekali lagi sambil masuk ke kamar yang sekaligus menjadi dapur itu.

"Tekan pasar, Nduk?" tanya Sumirah sambil menyeduh teh manis untuk suaminya.

Endang meletakkan kacang panjang dan kerupuk ke atas kursi kayu reot. "Iya, Bu."

"Rame pasarnya?" tanya Sumirah. Paling tidak, ada yang disyukuri Sumirah dari kebangkrutannya, dia menghasilkan satu anak perempuan yang tangguh dan hebat seperti Endang.

Anak kedua dari pernikahannya dengan Sumadi ini sangat mirip dengan dirinya.
Endang adalah seorang pekerja keras, sejak kecil dia membantu segala upaya Sumirah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dari berjualan di pasar hingga menjadi pembantu di rumah megah milik ibunya yang telah dijual. Dan sekarang, Endang menjadi pedagang pasar yang sukses, dia memiliki beberapa lapak untuk dikontrakkan dan beberapa meter tanah yang sedang ditanami padi. Sumirah bangga dengan anak perempuan satu-satunya ini, tapi dia tidak mau menyusahkan Endang. Sumirah lebih memilih tinggal di rumah gubuk bersama suaminya ketimbang harta Endang dihabiskan oleh Sumadi. Sumirah tidak mau hidup Endang sama dengan hidupnya, cukup dia saja yang menderita dengan tingkah suaminya itu.

"Sepi, Bu," jawab Endang.

"Bentar lagi hari raya kurban, Nduk. Pasti bentar lagi rame, banyak orang ngunduh mantu."

Endang meraih gelas yang dipegang Sumirah, menggantikan ibunya membawakan segelas teh hangat untuk ayahnya. "Aamiin, Bu. Semoga aja rame."

Terdengar suara kekehan dari Sumadi, dia sudah menghitung mimpinya dengan benar. Sumadi yakin kalau kali ini dia menang togel.

Endang meletakkan segelas teh dengan sebuah embusan napas kesal. "Pak, nggak ada ceritanya orang kaya karena togel! Yang ada orang bangkrut karena togel,kayak Bapak sekarang!"

Masih dengan pandangan menatap ke arah buku, Sumadi meraih teh hangat sambil terkekeh—bahagia dengan angan-angannya. Telinganya sudah bebal dengan omelan Endang dan Sumirah.

"Pak!" Endang sudah tidak tahan melihat tingkah Sumadi.

"Opo toh, Nduk?" Sumadi mengangkat kepalanya.

"Kelakuan Bapak ini bisa ditiru cucunya! Bapak suka kalau hidup cucu-cucunya kayak Bapak?!"

Sumadi semakin terkekeh di sela-sela seruputannya meminum teh. "Nduk, lihat Sutaji!"

Endang mengembuskan napas kesal mendengar nama kakak pertamanya disebut.

"Bocah kae sudah punya motor berapa?"

"Tapi itu nggak halal, Pak!"

"Halal nggak halal itu urusan gusti Allah, yang penting bagaimana kita berusaha!"

Mulut Endang menceng kanan kiri mendengar Sumadi menyanjung Sutaji—kakak pertamanya—yang gemar bermain judi. Seperti kata pepatah, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, Sutaji tidak ada bedanya dengan bapaknya yang gemar berjudi.

"Ajaran apa itu, Pak?!"

"Sutaji bisa kaya dari main kartu setiap malam. Kamu tahu sendiri motornya banyak, tanah yang ia sita banyak dan rumahnya gede. Wes ta lah, Nduk ... kamu diam saja!"

Pucuk dicinta ulam pun tiba, si pemilik nama Sutaji yang tengah diperbincangkan mereka datang dengan motor meraung-raung. Mulut Endang berdecak kesal melihat kakaknya naik motor besar berwarna merah, motor yang bernilai puluhan juta. Endang yakin kalau kakaknya itu menang judi lagi semalam.

Sumadi tertawa lebar menyambut kedatangan putra tercinta. Dia bangga dengan putranya yang memiliki sifat seperti dirinya.

"Assalammualaikum," sapa Sutaji ketika memasuki rumah reot itu.

Endang dan Sumadi menjawab salam Sutaji bersamaan, namun bedanya, Endang menjawab dengan ketus.

"Gimana, Le?" tanya Sumadi.

Sutaji sudah mengambil duduk di sebelah bapaknya. "Apanya, Pak?"

"Tadi malam?"

"Menang lagi, Pak." Sutaji merogoh saku jaket bagian dalam lalu mengeluarkan dua lembar uang berwarna biru. "Aku kasih sedikit, Pak."

"Disimpan! Jangan dibuat togel, Pak!" sergah Endang.

Sutaji mengangkat kepalanya untuk melihat adiknya. "Kamu nggak usah ikut campur!"



Note:

Cerpen ini aku buat untuk mengenang mendiang ibu mertua dan bapak dari ibu mertua.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #cerpen