Sepenggal Waktu
Hatchi ... Hatchi ....
Entah sudah berapa kali aku bersin dalam seharian ini, bahkan jari tanganku tak sanggup menghitungnya. Inilah hal yang paling aku benci dari hujan. Alergi hujan? Mungkin saja. Dokter yang menanganiku saja angkat tangan dengan penyakit ini. Normalnya manusia memiliki alergi terhadap udara dingin, debu atau makanan. Sedangkan diriku, aku alergi hujan. Konyol. Hampir 29 tahun lamanya aku mengalami alergi konyol ini. Ingat! Aku bukan alergi dingin, aku bahkan bisa bertahan dalam suhu minus derajat tanpa bersin, tetapi jika hujan mulai turun, bersin itu muncul seperti sebuah kutukan.
Aku memang benci hujan, tetapi aku selalu merindukan hujan. Seperti saat ini, aku rela keluar rumah, menerjang hujan dengan menggunakan motor sederhanaku. Aku ingin menemui seseorang. Dia selalu mengingatku ketika hujan turun. Sebisa mungkin aku harus ada disampingnya ketika hujan, karena hanya waktu singkat inilah yang membuatku dekat dengannya. Sepenggal waktu yang membuat dadaku terasa hangat dan damai.
Motor sederhanaku sudah terparkir di halaman rumah tempatku bermain dulu. Membuka jas hujan yang sudah basah kuyup dengan bersin yang tak kunjung hilang. Sungguh menyiksa.
"Sayang, kamu kehujanan?" Sebuah suara yang familar juga mendamaikan itu menyapaku.
Aku meletakkan jas hujan hitam di atas kursi kayu. Bibirku tertarik sempurna ke atas ketika melihatnya. Aku langsung memeluknya dengan hangat. Ritual yang tak boleh aku lewatkan ketika bertemu dengannya.
"Aku kira kamu nggak datang." Seorang wanita berusia lebih tua dariku berdiri di ambang pintu sembari melipat tangan.
Aku merenggangkan pelukanku. "Pasti datanglah, Kak."
Wanita yang ada dihadapanku menangkup pipiku dengan kedua tangannya. "Mau aku buatkan teh manis hangat?"
Aku hanya mengangguk sembari memegang hidungku yang mulai memerah. Wanita itu merangkul lenganku, menuntunku masuk.
"Kakak sudah siapkan bahan merajut di dapur." Aku mengangguk paham ketika kakakku berbisik pelan di telinga. Dia menepuk pundakku perlahan. "Selamat menikmati." Aku membalas ucapannya dengan sebuah senyuman.
Sekarang dia sibuk berkutat di dapur, meracik teh hangat untuk kuminum. Aku menikmati saat-saat ini, walaupun kutukan bersin ini sungguh menggangguku. Memperhatikan wajahnya yang tak semuda dulu lagi membuatku ketagihan dikala hujan turun. Seperti merindukan kehangatan dikala dingin melanda. Ya, wajahnya begitu hangat dan menentramkan. Tangannya yang lembut menuangkan air hangat ke dalam cangkir polos milikku. Mengaduk dengan perlahan menggunakan sendok kecil. Aku hanya memperhatikannya dengan takzim. Tidak mau melewatkan sedetik pun pergerakannya.
"Ayo diminum."
Sekali lagi aku tersenyum. "Terima kasih."
Dia tersenyum bahagia ketika melihatku menyesap teh hangat buatannya. "Bagaimana?"
"Teh buatan Ibu tidak ada duanya."
Dia terkekeh lalu menarik kedua pipiku sambil menggoyang-goyangkan kepalaku. "Dasar tukang gombal."
"Ke-gombalanku bisa membuat Ibu tertawa, kan?"
Tawanya semakin keras, membahan ke seluruh penjuru dapur.
"Apa Ibu akan membuatkanku syal?"
"Ah iya. Aku lupa kalau aku janji akan membuatkanmu syal. Aku harap bersinmu hilang ketika mengenakan syal buatanku."
"Aku berani jamin, syal buatan Ibu adalah obat paling manjur untuk menghentikan bersin ini."
Dia tertawa riang mendengar ucapan gombal yang aku lontarkan untuk kesekian kalinya. Tangannya meraih benang dan alat-alat untuk merajut yang telah disiapkan kakakku. Ini adalah ritual yang selalu dia lakukan ketika hujan turun.
"Bagaimana hari-harimu?"
"Baik, sangat baik." Jawabku.
Jari telunjuknya mulai menggulung beberapa benang sedangkan tangan yang satunya memegang alat merajut. "Bisa kamu ceritakan untuk Ibu? Sembari menemani Ibu merajut."
Sekali lagi, ini adalah ritual yang selalu dia lakukan ketika hujan. Aku mengulang cerita yang sama setiap kali bertemu dengannya. Cerita tentang hari pertamaku ketika bekerja di sebuah perusahaan asuransi. Menceritakan bagaimana tahap wawancaraku, apa saja yang aku lakukan setelah itu dan juga tugas-tugas yang harus aku kerjakan.
Ibuku sakit. Ya, dia menderita penyakit dimensia atau nama kerennya alzheimer. Sebuah penyakit yang bisa disebut sebagai penyakit pikun. Tetapi, dalam kasus ibuku berbeda. Penyakitnya, membuatnya ingin melupakan sepenggal kisah buruk yang melandanya, termasuk orang yang menyebabkan semua hal buruk itu terjadi. Selain disebabkan oleh faktor genetik, penyakit ini bisa terjadi jika mengalami sebuah cedera yang membuat trauma di kepala. Ibuku mengalami kedua-duanya.
Lalu, apa yang ingin dia lupakan?
Aku. Dia ingin melupakanku. Anak kandungnya. Sungguh sesak jika aku mengingat kejadian itu. Andai aku bisa mengulangnya, hal ini tidak akan terjadi pada ibuku. Selalu saja sebuah penyesalan datang di akhir peristiwa.
Aku ingat dengan betul peristiwa itu. Setiap pergerakannya masih melekat dalam pikiranku. Hafal setiap kalimat yang ia ucapkan. Malam kelam yang menuntunku untuk kembali ke jalan-Nya. Malam kelam yang membuat ibuku lupa dengan diriku. Anak kandungnya.
"Berhentilah demi Ibu, Nak." Mata ibuku sudah banjir oleh air mata. Pipinya basah, bibirnya bergetar menahan tangis. Dia, orang yang seharusnya aku hormati dan aku sanjung berlutut di hadapanku pada malam itu.
Aku hanya meringkuk di pojokan kamar dengan tangan yang sibuk meracik barang haram untuk aku nikmati.
"PERGI!!!"
"HENDRA! Itu Ibumu! Buang barang haram itu atau aku laporkan polisi!" Kakakku berang melihat sikap kurang ajarku.
"Jangan Niken! Jangan!"
"Bu, dia nggak akan sadar kalau dia nggak masik buih!"
Tanganku yang gemetar mulai menyalakan korek api. Aku ingin segera menikmati barang haram itu. Aku ingin sebuah ketenangan.
Kakakku melangkah masuk ke dalam kamar, dia merebut pemantik dari tanganku lalu menendang alat-alat yang aku pergunakan untuk menikmati barang haram itu.
"AAAHHH!!!" Aku berteriak kalap lalu mendorong kakakku hingga terjerembab di samping tempat tidurku.
"Hendra!" Ibu berteriak sembari mencegah pergerakan tanganku.
"Sebaiknya Ibu dan Kakak jangan mencampuri urusanku!"
Tangis ibu semakin menderai. "Aku mohon, Nak. Berhentilah memakai barang haram itu. Demi ibu, Nak."
"Lepaskan, Bu!"
Ibu menggeleng lirih. "Tidak. Kamu anakku. Ibu tidak akan melepaskanmu. Ibu akan membantumu."
"AKU BILANG LEPASKAN!!!"
Brak ....
Malam itu aku melakoni perangai sebagai anak durhaka. Membentak ibu lalu mendorongnya hingga tersungkur. Kepala bagian belakangnya terantuk ujung meja hingga darah berceceran di kamarku. Aku lebih memilih barang haram itu ketimbang ibuku sendiri.
Kini, ibuku lebih memilih dimana aku belum terlahir di dunia ini. Melupakanku, anak kandungnya. Aku rasa itu hal yang setimpal atas perbuatanku. Tetapi, ada masa dimana dia selalu mengingatku. Ketika hujan turun, karena aku selalu bersin waktu air itu tumpah dari langit. Seperti sebuah anugerah singkat yang diberikan Tuhan untukku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top