Secangkir Rindu untuk Ajik
Kehilangan... satu kata yang sanggup membuat hati berdenyut sakit, terkadang kehilangan itu sendiri sanggup menuangkan rindu yang membuncah di relung hati. Seperti pagi ini, seorang wanita berumur tiga puluh tahunan sedang berkutat di depan penggorengan, mengadu spatula dengan wajan untuk mengaduk biji kopi. Dia sedang merindukan seseorang dari masa lalunya. Semerbak wangi biji kopi di atas penggorengan memenuhi indra penciuman seluruh penghuni rumah sederhana itu. Tubuh-tubuh menggeliat mulai melakukan pergerakan, wangi kopi itu telah mengusik nyenyaknya tidur mereka.
Suami dari wanita itu mulai melangkah gontai menuju dapur. Mencium aroma kopi di atas penggorengan, membuatnya tahu kalau istrinya sedang merindukan seseorang yang sudah lama berpulang.
“Kangen Ajik, Ma?” tanya pria itu ketika sudah berada di dapur. Kini ia telah duduk di kursi dengan menyandarkan sikunya di pinggiran meja makan.
Wanita itu menoleh sekilas lalu sibuk membolak-balik biji kopi yang ada di atas penggorengan. “Udah bangun?” Dia balik bertanya tanpa memedulikan pertanyaan suaminya karena tanpa dijawab pun pasti sudah tahu jawabannya apa.
“Wangi kopi sanggup mengembalikan kesadaran orang yang sedang tidur,” jawabnya sambil menggaruk tengkuknya.
Wanita itu hanya diam, tidak menjawab dan terus mengaduk biji kopi yang mulai berubah menggelap. Pria itu memandang redup punggung istrinya yang bergoyang ketika mengaduk biji kopi, dia selalu sedih setiap kali istrinya membuat bijian kopi itu menjadi bubuk kopi yang siap diminum. Baginya secangkir kopi buatan istrinya sanggup menorehkan rasa bersalah yang berkepanjangan dalam dirinya. Kalau saja dia tidak jatuh cinta dengan wanita ini mungkin dia tidak akan sedih ketika memyesap secangkir kopi dan kalau saja dia menyerah dengan cintanya, mungkin saja dia bisa merasakan manisnya kopi walaupun tanpa sesendok gula.
“Pagi,” sapa seorang anak laki-laki berumur sembilan tahunan yang memasuki dapur dengan rambut berantakan —khas orang baru bangun tidur.
“Pagi, Nak,” balas pria itu dengan senyuman lebar.
Anak itu menatap ayahnya lalu menatap punggung ibunya yang dibalut daster oranye. “Mama habis mimpiin Kaki?”
Wanita itu mulai menghela napas panjang ketika tebakan anaknya mengena. “Iya, Mama habis mimpiin Kaki.” Dia mulai mengangkat wajan lalu mematikan api di dalam tungku. “Kaki minta dibuatin kopi kesukaannya. Digoreng di atas tungku seperti yang dilakukan Nini setiap pagi.”
Anak itu menopang dagu sambil memperhatikan ibunya mengambil alat-alat untuk menumbuk biji kopi. “Apa aku boleh bertanya?” tanyanya sambil melihat kedua orang tuanya secara bergantian.
“Mau tanya apa?” Pria itu ikut menopang dagunya.
“Kenapa Mama nggak pernah mengajak aku ke rumah Kaki? Kenapa aku baru tahu kalau ternyata aku punya Kaki di hari meninggalnya Kaki?”
Wanita itu sempat menghentikan gerakannya saat mendengar rentetan pertanyaan dari anaknya, lali dia kembali dengan kesibukannya lagi. Sedangkan ayah dari anak itu menatap redup istrinya yang mulai memasukkan biji kopi ke dalam lumpang.
“Sebenarnya apa yang terjadi?” lanjut anak itu yang benar-benar ingin tahu alasan kedua orang tuanya yang tidak pernah membawanya ke rumah kakeknya.
Pria itu memindahkan pandangan dari istrinya ke anaknya yang meminta sebuah jawaban. Dia menghela napas sebelum membuka mulutnya. “Sebenarnya kami takut untuk datang ke sana.”
Anak itu mengernyitkan dahinya setelah mendengar jawaban ayahnya. “Kenapa?”
Pria itu menyandarkan punggungnya di sandaran kursi kayu tempatnya duduk. “Kamu sudah besar dan kamu tahu makna dari nama-nama orang Bali. Kamu tahu kalau nama Ayah berawalan I Gede... itu berarti ayah dari kasta yang rendah sedangkan nama Mamamu berawalan Dewa Ayu....” Pria itu tidak melanjutkan kata-katanya, dia memandang lagi punggung istrinya.
“Apa ... Aku boleh tahu ceritanya?”
Wanita itu melirik melalui ekor matanya lalu mulai menumbukkan kayu di atas lumpang untuk menghancurkan bijian kopi yang sudah matang dan suaminya mulai bercerita diiringi suara tumbukan kopi yang bertalu-talu.
................................
“Pokoknya Ajik ndak setuju kalau kamu menikah dengan Sukar!”
Pradya menatap penuh keberanian ke arah bapaknya. “Sukar lelaki yang baik, Ajik. Pradya juga menyukai Sukar, lagipula perbedaan kasta di jaman sekarang sudah nggak begitu berarti lagi.”
Seorang wanita paruh baya berjalan menghampiri dua orang yang tengah bertikai itu dengan membawa secangkir kopi Kintamani yang baru sesai diseduh. “Sudah... biarkan Pradya menikah dengan Sukar. Meme setuju-setuju saja, kalau ingin kasta kita tetap tertinggi... Kita bisa melamar Sukar agar kastanya ikut kasta kita.”
“Enggak! Aku tetap nggak setuju.” Pria paruh baya itu menatap tajam ke arah anaknya. “Kamu anak Ajik satu-satunya, Ajik nggak mau kasta kita turun hanya karena kamu menikah dengan Sukar! Ajik nggak akan pernah merestui! Sebaiknya kamu putuskan hubungan dengan Sukar lalu mencari pria lain yang mempunyai kasta yang sama dengan kita! Ajik bisa kenalkan kamu dengan anak teman-teman Ajik!”
Pradya mengepalkan tangannya kuat-kuat. Dia tidak mau diatur-atur seperti ini, dia tidak mau menikah dengan orang yang tidak ia cintai. Lagipula masalah kasta bisa diatasi dengan cara melamar pihak laki-laki agar bisa mengikuti kastanya. Bapaknya benar-benar orang yang tidak mau menerima sesuatu yang baru, orang yang selalu mempertahankan pemikiran kuno di jaman serba modern ini.
Pradya berdiri dari kursinya dengan wajah penuh derai air mata. “Pradya dan Sukar sama-sama mencintai, kalau Ajik nggak menyetujui pernikahan ini, berarti Ajik akan kehilangan putri Ajik satu-satunya.”
Pria itu tak kalah sengitnya, dia menggebrak meja hingga membuat kopi di dalam cangkir itu tumpah di atas meja hingga mengotori taplak merah yang menutup indah meja tua itu. “Kamu mau apa? Kawin lari? Pergi saja kalau kamu berani!”
“Ajik, jangan berkata seperti itu! Dia anak kita satu-satunya, semua masih bisa di atasi.”
“Kamu diam saja!” Pria itu mengacungkan jarinya ke arah istrinya. “Aku kepala ruamh tangga di sini, aku hanya nggak mau dibuat malu oleh anak pembangkang ini!”
Pradya mengusap air matanya. “Baik kalau itu yang Ajik mau. Pradya lebih baik pergi daripada membuat Ajik malu!” teriaknya sambil berlari memasuki kamar.
..........................
Pradaya, wanita yang tengah menumbuk biji kopi itu menangis tanpa suara ketika mengingat peristiwa itu. Dia tidak menyesali pernikahannya dengan Sukar, tapi yang dia sesalkan adalah dia tidak bisa menemani Bapaknya ketika melewati masa kritis. Dia takut kalau sakit bapaknya bertambah parah ketika melihatnya, tapi ternyata pemikirannya salah. Disaat-saat terkhir Bapaknya berpulang, Bapaknya menyebut namanya tiga kali untuk menyampaikan kepada Sang Hyang Widhi bahwa dia begitu merindukan putri satu-satunya dan menyesali semua keputusannya.
“Karena itulah Ayah dan Mama nggak berani menemui Kaki lagi. Kami takut kalau Kaki akan memisahkan kami.” Sukar mengakhiri ceritanya.
“Justru kalian menemui Kaki di saat dia tidak bisa bicara lagi. Sebenarnya aku menginginkan bersenda gurau dengan Kaki, tapi sayangnya aku baru mengetahui kalau aku masih punya Kaki di hari berpulangnya.”
Pria itu membelai lembut rambut cepak anaknya. “Maafkan kami, Nak.”
“Lalu ... Kenapa Mama selalu membuat kopi setiap kali merindukan Kaki?”
Sukar menarik napas dalam-dalam sambil melihat istrinya yang menangis tanpa suara. “Kaki begitu gemar dengan kopi, apalagi kopi yang diolah secara tradisional.” Matanya terus mengamati gerakan istrinya yang menumbuk kopi. “Jadi ... Setiap kali mamamu merindukan Kaki, dia selalu membuat kopi Kintamani kesukaan Kaki. Digoreng di atas tungku dan ditumbuk halus di dalam lumpang, seperti yang Nini lakukan ketika Kaki masih hidup.”
Pradya mengusap ingus dan air matanya dengan ujung dasternya sambil terus menumbuk biji kopi itu hingga halus. Hanya ini yang bisa ia lakukan ketika dia merindukan Ajik-nya. Tidak ada yang hilang dari sebuah kenangan ketika kehilangan itu menyergap dirinya. Kenangan yang ia lalui bersama Ajik-nya akan selalu terlintas di dalam ingatannya ketika dia membuat bijian kopi itu menjadi serbuk kopi. Menuangkannya ke dalam cangkir dan mempersembahkan secangkir rindu untuk Ajik-nya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top