Marry You


Aster putih.

Sebuket bunga aster putih itu bertengger indah di jok bagian depan sebuah mobil yang dikendari oleh seorang pria. Sesekali mata hitam kecoklatannya melirik bunga aster yang ia letakkan di sana. Sudut bibirnya terangkat ke atas dengan sempurna.

Bunga aster putih memiliki arti yang sangat besar untuknya. Selain melambangkan sebuah kepolosan dan kemurnian, aster putih juga merupakan bunga favorit pujaan hatinya. Ya ... hari dia ingin menunjukkan kemurnian hatinya.

Beberapa bulan yang lalu dia seperti orang gila yang hilang arah. Kekasih hatinya menghilang tanpa kabar. Membuatnya frustasi dan kelimpungan. Separuh hatinya pergi entah kemana, hingga menyisakan sepotong hati yang kosong melompong. Sepotong hati itu menunggu sepotong hati yang lainnya untuk kembali. Terasa begitu sesak jika hanya memiliki sepotong hati tanpa memiliki pasangannya.

Lima bulan masa getir itu ia lewati hanya dengan meratap dalam sunyi.

Lima bulan masa getir itu membuatnya tenggelam dalam tangis.

Lima bulan masa getir itu ia habiskan dengan merutuki diri sendiri tanpa ampun.

Sebuah hembusan panjang keluar dalam satu dorongan ketika ingatannya mengingat masa-masa getir yang melandanya. Sekarang, masa itu telah ia lewati. Masa getir itu berbalas indah. Semoga hari ini kekasih hatinya tidak menghindarinya.

Mobil mini-nya berhenti di loby parkiran sebuah rumah sakit ternama di kota ini. Senyumnya terus mengembang indah, seindah sebuket aster putih yang berada di genggamannya saat ini. Berjalan dengan sedikit berlari menuju tempat kekasih hatinya berada. Dia sudah tidak sabar melepas rindu yang buncah dalam hatinya.

Hanya membutuhkan waktu tak kurang dari lima menit untuk sampai di depan ruangan yang ia tuju. Pintu kamar inap itu sedikit terbuka, matanya menangkap dua orang yang berbeda usia sedang menatap suasana luar di balik kaca. Perlahan dia melangkahkan kakinya tanpa suara. Dia ingin memberi kejutan untuk seseorang yang saat ini sedang duduk di kursi roda. Telapak lebarnya menyentuh pelan pundak wanita yang berdiri di belakang perempuan berkursi roda itu.

Mata perempuan setegah baya itu melebar disusul dengan mulut yang menganga, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Pria itu meletakkan jari telunjuk ke atas bibirnya, memberikan isyarat kepada wanita paruh baya itu untuk menutup mulut. Tiba-tiba mata wanita separuh baya itu berkaca-kaca, mengembangkan senyum bergetar menahan tangis. Pria itu tersenyum damai sembari melirik bunga aster putih yang ada di genggamannya. Wanita paruh baya itu mengangguk pelan lalu menangkup pipi pria itu, dia tahu kalau dia harus memberikan waktu untuk mereka berdua.

Pria itu tersenyum mengiringi kepergian wanita paruh baya itu. Kini matanya terfokus kepada perempuan yang duduk di atas kursi roda itu. Pria itu mengulurkan sebuket bunga aster dari bagian belakang tubuh perempuan itu. Tatapan hampa perempuan itu kini berubah menjadi tatapan penuh keterkejutan. Dia langsung menolehkan kepalanya, matanya melebar ketika menatap sosok yang ia pikirkan selama ini.

"Da- Dafa?"

Dafa mengembangkan senyum penuh arti kepada perempuan itu. "Sebuket aster untuk Thifa. Apa kamu menyukainya?"

Athifa menggelengkan kepalanya berkali-kali. Ujung matanya mulai menggelayut sebutir air bening. "Tidak!" Dia mencoba menutupi rambutnya yang hanya tinggal beberapa helai. "Tidak! Kamu tidak boleh melihatku seperti ini!"

Masih dengan senyuman hangat, Dafa meletakkan sebuket bunga aster itu di atas pangkuan Athifa. Meraih tangan Athifa yang sibuk menutupi rambutnya yang mulai menunjukkan tanda kerontokan. "Aku mencintaimu yang dulu dan sekarang."

Air bening itu mulai keluar dari sudut matanya, membentuk parit di kedua pipinya. "Aku ... aku tidak mau kamu melihatku seperti ini."

"Aku lebih gila lagi kalau tidak melihatmu sama sekali."

Athifa menggigit bagian dalam bibirnya, dia tidak sanggup berkata-kata.

Jari-jari Dafa membelai lembut pipi Athifa, membersihkan air mata yang membasahi pipi Athifa. "Aku merindukanmu seperti seorang pujangga merindukan senja. Aku mencintaimu seperti Tuhan mencintai umatnya. Seburuk apapun dirimu, aku tetap mencintaimu, Thifa."

Tangis tanpa suara itu, kini berubah menjadi sebuah isakan yang menyayat hati.

Dafa meraih buket bunga aster dari pangkuan Athifa. "Marry me."

Athifa menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Dia terkejut dengan ucapan Dafa. Tidak menyangka Dafa akan berbuat sejauh ini. Tetapi Athifa menggelengkan kepalanya dengan yakin.

"Maaf, aku tidak bisa."

"Kamu tega meninggalkanku dengan status perjaka?"

"Aku tidak bisa ...." Terhenti sejenak karena tangis yang terus menderai. "Hidupku tidak lama lagi ...." Athifa tergugu ketika melanjutkan kata-katanya. Tergugu mengingat hidupnya yang tak lama lagi.

Dafa mencium kening Athifa dengan lembut lalu menggenggam kedua tangan Athifa. "Aku ingin menjadi suamimu di akhir hayatmu, Thifa. Aku ingin menggenggam tanganmu ketika saat itu tiba. Aku mencintaimu. Menikahlah denganku, hum?"

"Tapi ...."

"Kamu tidak mencintaku?"

Athifa tidak sanggup menjawab. Hatinya sangat mencintai pria yang ada di hadapannya saat ini. Dia tidak bisa membohongi diri sendiri.

"Apakah menganggukkan kepala sesulit itu?"

Athifa masih tergugu.

"Marry me, Thifa."

Athifa mengigit bibirnya kuat-kuat lalu dengan perlahan dia menganggukkan kepalanya.

Sebuah senyum lebar dan bahagia mengembang di bibir Dafa. Jari-jarinya menyapu semua air mata yang membasahi pipi Athifa lalu terhenti ketika menyentuh sudut bibir Athifa. "Aku rindu dengan bibir ini. Boleh, aku mengecupnya?"

Tangis Athifa terhenti ketika mendengar ucapan Dafa. Dengan wajah bersemu merah, Athifa mengangguk sekali lagi.

..........

Cerita ini terinspirasi dari anakku yang berumur 6 tahun. Dia menyukai teman sekelasnya yang mempunyai penyakit Leukimia.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #cerpen