Ketika Cinta Berisyarat
Pagi ... bagiku pagi adalah awal yang indah. Dimana awal dari sebuah janji mulai terukir, harapan-harapan baru mulai muncul seiring terbitnya sang fajar.
Pagi ... bagiku pagi adalah sesuatu yang indah. Dimana aku duduk berdua dengan kekasih hatiku di depan teras. Menikmati sang surya yang mulai memasuki pekarangan rumah kami. Membuat titik embun seketika berubah menjadi titik-titik pelangi yang indah di atas dedaunan dan bunga. Menyesap secangkir teh hangat buatan kekasihku, bercerita tentang mimpi yang telah kita lalui semalam.
Kami bukan seperti pasangan yang lainnya. Yang selalu ramai ketika bercerita, yang selalu riuh dengan tawa yang menderai. Aku dan kekasihku bukan seperti mereka, kami memahami dalam diam, bercerita dalam isyarat dan tertawa lewat tatapan mata.
Dan ... pagi ini, aku merindukannya. Merindukan kehadirannya disetiap pagi. Merindukan secangkir teh buatannya. Merindukan perbincangan penuh dengan isyarat.
Jari-jari lemahku sibuk menggurat garis rahang di selembar foto berbingkai. Menelusuri setiap jengkal wajah foto kekasihku. Senyumnya indah, seindah pagi yang selalu kukagumi, matanya seperti sebuah cermin hingga aku bisa memahami dirinya lewat sorotnya.
Aku teringat ketika pertama kali kita bertemu, tepat di pagi hari, potongan waktu favoritku. Waktu itu aku sedang bercengkerama dengan teman satu komunitasku di depan mini market yang menyediakan tempat nongkrong untuk anak-anak muda. Aku sedang membuat proyek dengan teman-teman komunitasku, proyek yang bisa menguntungkan untuk orang-orang sepertiku dan teman-temanku.
Aku sedikit terusik dengan pandangannya sejak dia menjejakkan kaki memasuki mini market itu. Aku menangkap basah pandangannya yang selalu terarah ke teman-temanku, pada dasarnya kami memang berbeda. Komunitasku sering mendapatkan pandangan kasihan dari orang-orang yang melihat kami. Bagaimana tidak kasihan, kami riuh dalam pembicaraan yang sunyi dan juga kami tertawa di dalam sunyi.
Sekilas sudut mataku menangkap dia -kekasihku- duduk di kursi dekat dengan mejaku dan teman-temanku. Saat itu aku akan melanjutkan menerangkan proyek pembuatan website kepada teman-temanku.
"Mana pensilku?" Tanyaku kepada teman-temanku.
Teman-temanku hanya cekikikan, diam tak mau memberi tahu.
"Mana pensilku?" Tanyaku sekali lagi dan kurang ajarnya, mereka lebih memilih nyengir kuda, tak mau memberi tahuku.
Entah kenapa, tiba-tiba tawanya menderai dengan riuh. Minuman yang masih di mulutnya hampir muncrat karena menahan tawa. Aku dan teman-temanku -yang sedari tadi tertawa- memandang sinis ke arahnya. Kami sadar kalau kami tidak seperti dirinya dan kami juga sadar kalau sebenarnya kami sedikit memalukan, tapi bukan berarti kami bisa ditertawakan seenak hatinya.
Dia menelan air minum yang ada di mulutnya. "Maaf, bukan maksudku menghina."
Aku dan teman-temanku terperangah melihat ucapan maafnya.
"Kamu mengerti apa yang kita maksud?" Tanya Rudi, teman akrabku.
"Boleh aku bergabung?" Tanyanya sekali lagi.
"Kamu sama dengan kami?" Tanya Rudi sekali lagi. Bisa dibilang diantara kami, Rudi yang paling banyak bicara.
Dia mengembangkan senyum lebar hingga gigi rapinya terlihat. "Tidak," jawabnya sembari mengibaskan tangannya berkali-kali.
"Silakan," temanku yang lainnya memberi isyarat untuk mempersilakan dia bergabung dengan kami.
Dia tersenyum manis, beranjak dari kursinya. Aku hampir menahan napasku ketika menyadari langkahnya yang mulai mendekatiku. Tubuhku kaku, pupil mataku melebar ketika melihat wajahnya yang hanya berjarak sejengkal dari wajahku. Lagi, dia tersenyum dengan indah di dekat pelupuk mataku, tangannya menggantung di udara lalu menyentuh bagian atas telingaku.
Dia menggoyang-goyangkan pensil yang sedari tadi aku cari. Menyerahkan pensil itu ke genggamanku, "Kamu lupa meletakkan pensilmu. Pensilmu ada di daun telingamu."
Aku hanya diam melongo melihat penjelasannya. Hingga tanpa kusadari benih itu mulai menancapkan akarnya di dalam hatiku.
"Hai ... namaku Ara."
Dia mulai memperkenalkan dirinya, mengetahui namanya yang seindah wajahnya. Tidak memandang komunitasku sebagai orang-orang yang pantas dikasihani, bisa berbaur dengan teman-temanku dan aku melihat hatinya yang begitu tulus lewat sorot mata beningnya.
Semenjak saat itu, dia selalu menghadiri pertemuan yang diadakan komunitasku. Dia cukup banyak membantu proyek yang sedang aku kerjakan dengan teman-temanku. Saat itu, dia sedang menempuh kuliah di jurusan design grafis, mata kuliah yang ditempuhnya sangat membantuku untuk merampungkan proyek ini.
Pertemuanku dengannya semakin intens. Setiap dia pulang kuliah, aku selalu menyempatkan waktuku untuk menjemputnya dengan motor bebekku. Dulu aku bekerja sebagai editor majalah anak-anak. Duduk berlama-lama di depan komputer tanpa harus pergi ke kantor karena bahan-bahan yang harus aku periksa dikirim lewat e-mail jadi semua bisa aku atur waktunya.
"Kita mau kemana?" Tanyaku.
"Ke tempat biasanya." Jawabnya dengan senyum yang selalu mendamaikan.
"Melihat senja?" Dia mengangguk bersemangat. Menyetujui pertanyaanku.
Aku memacu motor bebekku menuju ke arah bandara udara di kota ini. Potongan waktu favorit Ara begitu kontras dengan potongan waktu favoritku. Ara menyukai senja sedangkan aku menyukai pagi. Itu tak masalah buatku, bagiku menikmati senja di sampingnya sama saja seperti menikmati sinar mentari pagi lewat mata beningnya.
Tempat favoritnya adalah hamparan rumput yang terbentang di sisi bandara. Disana aku dan Ara bisa melihat kesibukan pesawat yang berlalu lalang, desingan baling-baling yang terkadang sedikit menelisik telingaku dan tentunya awan putih semburat merah di ufuk barat.
"Kenapa kamu suka senja?"
Dia menyibakkan anak rambut yang menutupi bagian wajahnya, memegangi rambutnya yang tengah berkibar terkena angin sore itu.
"Karena senja itu indah."
"Bukankah lebih indah pagi?"
Ara menggelengkan kepalanya, "Bagiku senja yang paling indah. Dia adalah potongan waktu yang paling tulus."
"Tulus?"
Ara tersenyum tipis, matanya kembali menatap matahari yang mulai tenggelam di ujung cakrawala. "Sebuah ketulusan pasti terlihat indah, begitu juga dengan senja. Dia tulus membiarkan dirinya muncul hanya sesaat diantara pagi dan siang. Jadi menurutku senja itu indah."
"Kamu juga indah."
Ara mengernyitkan dahinya.
"Karena kamu tulus berteman dengan orang sepertiku."
Seperti biasa, Ara tersenyum dengan indahnya. Senyuman yang sanggup membuatku hampir menahan napas, membuat pipiku memanas dan mendamaikan hati. "Aku ingin kita seperti ini. Selamanya."
Saat itu aku kecewa dengan maksudnya. Apa maksudnya dengan seperti ini? Hanya teman? Tidak bolehkan lebih dari sekedar teman? Ya ... aku jatuh cinta dengannya, saat pertama kali senyum itu menancapkan akarnya ke dalam hatiku.
Aku mencoba menahan rasa kecewa itu dengan sekuat tenaga. Aku cukup tahu siapa diriku, Ara terlalu sempurna untukku. Sejak saat itu aku mulai menghindarinya, tapi entah kenapa dia selalu berusaha mencariku. Setiap kali aku tidak datang menjemputnya dia selalu mengirim pesan singkat menanyakan kabarku. Bahkan dia nekat datang ke rumahku dengan membawa sekotak kue buatan ibunya. Kedekatan kami cukup membuat orang tuanya mengerti keadaanku, kebaikan hati orang tuanya menurun dengan sempurna dalam diri Ara. Itu yang membuatku terus mencintanya.
Hingga pada suatu hari aku dihadapkan pada kenyataan yang sanggup menyayat perih hatiku. Saat itu adalah hari ulang tahun Ara, dia mengundangku untuk makan malam bersama keluarganya. Sebagai orang yang begitu mencintainya, undangan makan malam itu sangat berarti untukku. Aku sudah mempersiapkan semuanya seperti buku novel dari pengarang favoritnya dan juga bunga angrek ungu kesukaannya. Semua aku siapkan dengan sempurna. Sialnya, saat itu aku mendapat tugas yang mendadak dari atasanku, aku harus menyerahkan tugas pekerjaanku sebelum jam lima sore itu. Tentu saja hal itu membuatku sangat terlambat hadir di undangan makan malam itu.
Pukul enam sore aku sudah bergegas ke rumah Ara. Mempersiapkan ribuan kata maaf supaya Ara tidak cemberut dengan keterlambatanku. Lelaki mana yang tidak sedih ketika melihat pujaan hatinya memasang wajah terlipat-lipat? Tentu tidak ada.
Ketika aku membuka daun pintu rumah Ara yang sedikit terbuka, aku menangkap sebuah pemadangan yang sanggup menikam hatiku secara buas. Sendiku terasa melemas ketika melihat seorang pria normal sedang berlutut di hadapan Ara. Melamarnya. Sesak, itu yang aku rasakan, genggaman dikedua tanganku melemah. Bunga dan kado yang ada di kedua tanganku jatuh berdebam secara bersamaan. Debam itu membuat mereka yang ada di sana menoleh ke arahku.
Aku melihat wajah Ara yang sumringah seakan-akan ingin memberitahukan bahwa saat ini dia bahagia. Tubuhku terhuyung kebelakang, aku mulai memundurkan langkahku. Aku harus pergi dari sini secepatnya. Dadaku terlalu sesak melihat semua ini. Kenyataan yang memperjelas siapa diriku dan siapa Ara. Tubuhku berbalik untuk mengambil langkah seribu. Lari. Menjauh dari Ara dan kenyataan pahit ini. Persetan dengan penjelasan yang pada akhirnya membuat hatiku mencelos.
Sejak saat itu, aku pergi menjauh dari Ara dalam artian sesungguhnya. Aku pindah dari kota asalku, menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan dan membunuh dengan tega perasaan yang sudah bertunas ini. Dua tahun yang sulit bagiku dan dua tahun rasa itu masih tetap utuh, tak berkurang.
Hingga pada akhirnya takdir mengguratkan penaNya. Mempertemukan aku dengan Ara untuk pertama kalinya setelah dua tahun pergi tanpa alasan dan kabar. Saat itu adalah hari pernikahan Rudi - teman akrabku-, Rudi tak jauh bedanya dengan diriku tidak sempurna. Berbulan-bulan dia membujukku untuk datang ke acara pernikahannya. Ya ... aku sempat tidak mau datang karena menginjakkan kaki ke kota asalku sama saja membuka kembali luka yang belum sepenuhnya pulih. Tapi, apa daya, aku tidak sanggup menolak permintaanya. Aku berjanji hanya datang sebentar di akad pernikahannya saja, setelah itu aku langsung kembali ke ibu kota.
Setelah bercengekerama lama dengan teman-temanku yang lainnya dan juga Rudi yang gugup tak karuan. Aku memilih tempat duduk di dekat pintu masuk, menyaksikan acara itu dengan khidmat.
Tiba-tiba sebuah tangan mungil menepuk pelan bahuku.
"Hai."
Aku terperangah dengan sosok yang ada di depanku. Sosok yang terlihat lebih cantik daripada yang dulu.
"Bagaimana kabarmu?" Aku bergeming, masih belum sepenuhnya menyadari situasi ini. "Setelah lama tidak ketemu kamu semakin terlihat pendiam."
Aku memperbaiki posisi dudukku. "Aku baik-baik saja. Kamu sendiri?"
Dia tersenyum indah. Masih sama seperti dua tahun yang lalu, "Aku tidak baik-baik saja setelah kamu pergi tanpa pamit."
"Maaf."
"Hanya itu?"
Aku mengernyitkan dahi, "Maksudnya?"
"Aku tahu kamu pasti marah setelah melihat peristiwa dua tahun yang lalu."
Sontak aku terkejut melihat tebakannya. Aku mengibaskan tanganku berkali-kali. "Tidak. Untuk apa aku marah?"
"Cemburu?"
Mataku terbelalak lebar. Skak mat. Aku dibuat mati kutu oleh tebakannya.
"Aku senang melihatmu cemburu. Tapi, aku sebal dengan sikapmu yang seperti anak kecil. Lari begitu saja."
"Apa maksudnya? Bukankah kamu sudah mempunyai tunangan."
Ara menggeleng dengan pelan, "Dia temanku satu kampus. Saat itu aku tidak mengundangnya untuk acara makan malam, tapi dia datang dengan tiba-tiba bermaksud ingin memberi kejutan untukku. Memang benar kalau malam itu dia melamarku. Kamu tidak mau tahu apa jawabanku untuknya?"
Aku hanya bergeming, tidak melakukan gerakan apapun. Hanya menanti jawabannya.
"Karena aku lebih senang kalau kamu yang melamarku."
Seketika itu bulu kudukku meremang, aku terperanjat senang melihat gerakan tangannya. Seorang wanita yang sempurna ternyata juga menyukaiku, menyukai seorang tuna wicara sepertiku.
Sebuah tangan mungil sedang menyentuh pipiku, membuyarkan lamunanku di pagi hari. Lamunan mengenang mendiang istriku.
Aku mengangguk pelan sembari menggenggam tangan mungil itu. "Kakek kangen sama Nenek?" Aku tersenyum menahan tangis melihat gerakan tangan cucuku yang mulai pandai menggunakan bahasa isyarat.
Dia memeluk tubuhku yang sudah rapuh ini dengan tangan mungilnya. Mengecup lembut pipi keriputku.
"Aku juga kangen nenek. Tapi, Kakek nggak boleh sedih karena ada Vya yang nemenin Kakek."
Aku hanya tertawa dalam sunyi sambil mengelus lembut rambut indah cucuku.
.......
Cerita ini terinspirasi ketika saya sedang nongkrong dengan keluarga kecil saya. Saat itu saya melihat beberapa orang yang mempunyai kekurangan dalam pendengaran sedang mengobrol sunyi di dalam keramaian.
Mereka terlihat begitu asyik dengan dunia mereka, hingga membuat saya tak henti-hentinya bersyukur atas apa yang aku punya
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top