Dia, Alula

Pergi bukan berarti melepaskan.
Mundur bukan berarti kalah.
"Dia akan ikut denganku." Suaranya yang lembut mengalun memenuhi ruangan. "Kau tidak perlu khawatir. Aku ... em ... kami tidak akan merepotkan dirimu lagi." Lanjutnya seraya memamerkan senyuman manis.
Senuman manis yang mungkin saja untuk terakhir kalinya dia perlihatkan pada seseorang yang ada di hadapannya saat ini.
Dia, laki-laki dengan ekspresi wajah datar. Bibirnya tetap terkunci rapat, dengan tatapan mata tajam menusuk. Tersimpan kemarahan yang sewaktu-waktu siap meluluhlantakkan apa pun yang ada di dekatnya. Bukan tidak menyadari semua itu, hanya saja, wanita berparas elok itu berusaha untuk abai. Mengatur napas dan juga ekspresi wajah serta suaranya setenang mungkin. Dia tidak ingin berada di pihak yang kalah. Tidak.
***
"Mama,"
"Oh, hai. Kenapa, Sayang?" Suara anak perempuan di dekatnya seakan menarik dirinya kembali ke masa kini.
"Mama, kenapa Papa tidak pernah pulang? Aku rindu Papa, Mama. Apakah ... Papa malu karena aku sakit?" Denyutan dalam rongga dadanya terasa sampai ke buku-buku jemarinya. Terdiam dalam kalut. Mencoba merangkai huruf untuk menjadi sebuah kalimat jawaban.
"Em ..."
Suara bel rumah terdengar nyaring menginterupsi ucapan wanita dewasa itu. Embusan napas lega lolos dengan sempurna dari rongga parunya. Untuk saat ini dia selamat. Ah, haruskah dia mengucapkan ribuan terima kasih pada orang yang sudah memencet bel tadi?
"Alula! Shaila! Apa kalian ada di dalam?" Terdengar teriakan dari luar pintu. Ibu dan anak itu masih terdiam dalam keheningan.
"Mama, itu suara Aunty Dena," Shaila, gadis kecil berusia 7 tahun itu menyadarkan lamunan sang ibu, Alula.
"Iya sebentar! Mama buka pintu dahulu." Alula segera berdiri, melangkah tergesa menuju pintu depan.
Membuka daun pintu lebar-lebar dan memerhatikan seorang wanita seusia dirinya.
"Halo, Alula, aku bawakan kalian makanan. Aku tahu pasti kalau di lemari penyimpananmu tidak ada bahan makanan." Cerocos wanita itu sambil melangkah melewati sosok Alula tanpa di persilakan. "Mana keponakan cantikku?" Sambungnya. Wajahnya terlihat sangat ceria saat melihat sosok Shaila yang duduk di sofa tua.
"Shaila sayang, kemarilah." Dia memanggil Shaila yang masih terdiam.
"Dena, kenapa kau repot-repot membawakan kami makanan?" Alula berdiri tidak jauh dari sosok Dena, tamu tidak di undangnya.
"Oh, ayolah, Alula. Kau itu masih keluargaku, ingat itu," jawabnya sambil mondar mandir mengambil piring dan memindahkan makanan yang dia bawa. Sedangkan Alula menatapnya sendu.
Dena meletakan sebagian bawaannya di meja dapur, dan sebagian dia hidangkan di meja makan. Melihat banyak makanan enak terhidang, Shaila tampak sangat antusias.
"Aunty, apa makanan ini boleh kumakan?" Tanyanya tidak sabar. Netra bulatnya menatap Dena lalu beralih ke arah makanan.
"Tentu saja, Sayang, semua ini untukmu, keponakan cantikku yang paling istimewa" Dena mengelus lembut surai hitam Shaila penuh sayang. Mendapat perlakuan manis dari Dena membuat Shaila tersenyum malu-malu.
"Alula, kenapa kau malah berdiri di sana? Tegur Dena sambil menatap Alula yang masih mematung. Melamun.
"Ka-kalian makanlah. Aku masih kenyang," jawabnya sedikit terbata. Sebuah senyuman manis dia perlihatkan pada Dena, seolah ingin mengatakan bahwa aku baik-baik saja.
Dena meletakan makanan yang hendak digigitnya. "Andai saja dia tahu bahwa kalian ..."
"Stop, Dena! Kumohon, jangan di teruskan." Pintanya penuh harap. Dena mengedikkan bahu tak acuh, lalu kembali melanjutkan makan.
"Dia itu siapa, Aunty?" Celetuk Shaila. Menatap sang ibu dan juga Dena bergantian.
***
Sementara itu, sepasang anak manusia tengah menikmati hidangan makan malam dalam keheningan. Hanya suara denting sendok yang beradu dengan piring terdengar memenuhi ruangan.
"Sampai kapan, sampai kapan kau akan mengabaikanku seperti ini?"
Hening.
"Aku lelah, kupikir dengan berada di sampingmu setiap saat, akan mengubah hatimu, cintamu dan seluruh perhatianmu tercurahkan hanya untukku." Wanita itu terkekeh diakhir ucapannya. Seolah tengah mengejek kebodohannya sendiri yang rela bertahan dalam sebuah ikatan suci berbalut luka.
"Nyatanya ... tiga tahun aku hanya memiliki ragamu saja, sedangkan hati dan pikiranmu hanya kau pusatkan pada perempuan udik itu dan juga anak cacatnya."
Prak.
Laki-laki dengan ekspresi wajah datar dan dingin itu meletakan sendok makannya di meja dengan keras. Tatapan matanya berkilat penuh amarah. Ucapan terakhir wanita di seberang meja betul-betul sudah membuat dirinya mengingat akan kenangan beberspa tahun yang lalu. Kenangan pahit yang membuat dirinya hidup dalam bayang-bayang rasa bersalah. Melihat orang yang sedari tadi di ajak berbicara olehnya marah, nyali wanita menciut seketika.
"Kau selalu mengatakan lelah setiap saat. Tapi kenapa masih bertahan dan berada di sini, Eliza?" Ucapan laki-laki terasa seperti tusukan ribuan jarum yang menghujam hati Eliza.
Tidak bisakah lelaki itu berbicara santai penuh cinta, seperti yang sering dia lakukan selama ini? Lagipula ... apa yang salah dari ucapannya tadi? Bukankah benar adanya jika putri yang di lahirkan wanita udik itu cacat?
"Kenapa kau diam? Tidak adakah niatan untuk keluar sendiri dari kediamanku?" Lagi dan lagi, perkataan menyakitkan memasuki genderang telinga Eliza.
Tidak bisakah laki-laki itu mengucapkan kata-kata bujukan supaya Eliza tetap bertahan di sana?
Apakah perjuangannya selama hampir enam tahun ini sia-sia belaka? Karena sampai detik ini Abiyan hanya menganggap dirinya makhluk tak kasat mata. Bagi Eliza, Abiyan lebih mirip Suami Titipan, terlihat, tapi tak bisa di sentuh. Ada, tapi seperti beda alam.
Abiyan meninggalkan meja makan tanpa memedulikan Eliza yang menatap dirinya penuh harap. Dia bergegas menaiki tangga dan menuju kamar tidurnya. Mengambil ponsel dan menghubungi seseorang yang selama ini selalu berada di dekat kedua orang yang teramat dia sayangi.
["Aku akan datang ke sana, untuk menjemput mereka."] Ucapnya penuh penekanan.
["Coba saja kalau kau bisa membujuknya,"] Abiyan mendengus. Namun, tak dipungkiri jika rasa takut itu ada. Takut jika mereka yang ingin dia perjuangkan kembali menolak dan menjauhinya.
["Apa pun jalannya, aku tidak peduli,"] desis Abiyan penuh tekad.
["Enam tahun, Abi, kau membiarkan mereka dalam penderitaan, kau membiarkan mereka hidup dalam kesusahan, sedangkan kau di sana hidup penuh kemewahan. Benar-benar tidak tahu malu,"] Abiyan mengusap wajah kasar.
***
"Mama, di depan ada tamu," Alula menoleh pada Shaila. Meletakan gunting yang dia pergunakan untuk memotong kain.
"Mama tidak dengar. Bisakah kau memanggil kakakmu dan minta tolong padanya untuk membuka pintu?"
"Baik, Mama," Shaila beranjak pergi. Sedangkan Alula menatap putrinya dalam diam. Kenangan enam tahun silam kembali berputar seperti pita kaset.
"Mama, aku sama Kakak tidak mengenal orang itu, dia berkata ingin bertemu Mama." Shaila berdiri di samping Alula yang masih fokus pada mesin jahitnya.
"Di mana Kakakmu?"
"Tentu Mama tahu, Kakak sedang berpacaran sama buku-bukunya," ujar Shaila sambil terkekeh. Alula tersenyum mendengar putrinya tertawa.
"Kau sangat cantik, Shaila," pujinya sambil membelai pipi Shaila.
"Karena aku putrimu, Mama," jawab Shaila penuh kebanggaan.
Interaksi antara ibu dan anak itu tak lepas dari penglihatan seorang laki-laki yang sedari tadi diam mematung di ambang pintu.
"Alula." Suara berat itu menembus pendengaran Alula. Seketika tubuhnya menegang kaku dengan raut wajah gelisah.
"Mama, tamu itu memanggilmu." Bisik Shaila. Gadis kecil itu merasa heran melihat laki-laki dewasa datang berkunjung ke rumah mereka. Selama ini yang sering datang hanya Dena dan beberapa pelanggan jahitan sang mama.
"Alula, aku datang." Suara itu kembali terdengar sebelum penglihatan Alula mengabur dan menghitam bak jelaga.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top