🍒 Why never be Honest?

Cerita olehku

WHY never be honest? Mengapa tidak pernah saling jujur mengakui.

Dari sekian banyaknya pertanyaan hanya satu pertanyaan itu yang selalu hinggap di benakku. Mengapa dan mengapa. Hingga akhirnya kejujuran itu terkuak namun dalam bingkai cerita kehidupan yang berbeda.

Clara Diana, aku mengenalnya sebagai seorang bankers yang handal. Idenya cukup unik untuk bisa diterima di kalangan kepala unit dan juga kepala cabang untuk bisa memajukan unit serta cabang yang dipimpinnya. Harusnya dia tidaklah ditempatkan sebagai salah satu kepala cabang kelas empat yang aku tahu sesungguhnya kapabilitas dia mampu untuk bisa memimpin lebih daripada itu. Atau mungkin sebagai supporting branch leader yang berinovasi untuk melakukan banyak terobosan guna menaklukkan beberapa perusahaan besar yang akhirnya bersedia untuk bermitra dengan kami.
Penampilannya cukup eksentrik, sebagai seorang bankers dan yang aku lihat dia tidak selalu girly layaknya ibu-ibu kepala cabang yang lain.

Dia bisa memainkan perannya, dengan siapa dia sedang berhadapan. Kalau hanya tentang meeting Cluster searea aku yakin cukup dengan rok panjang juga sepatu boots, juga jilbab penutup kepala yang sederhana tapi cukup menarik dan memenuhi kaidah sebagaimana fungsinya jilbab itu untuk seorang muslimah, bukan hanya sebagai penutup kepala saja tetapi juga menjulur ke dada namun bukan seperti anak pondokan yang hanya di jepit di bagian bawah dagu.

Berbeda jika harus gathering dan juga meeting yang didalamnya ada petinggi dari kantor pusat atau dari regional. Pakaian Seragam Nasional atau setidaknya mengenakan pakaian dinas lengkap dengan setelan blazer juga stiletto yang membuatnya semakin terlihat 'mahal'. Sapuan make up yang dikenakan juga tidak terlalu bold, flawless namun sangat pas mengimbangi bulat mata yang dimilikinya, tipis bibir yang selalu tersenyum menularkan ceria ke semua orang dan juga mancung hidungnya yang orang kata mirip wanita berkebangsaan india.

Kalau dilihat dari namanya, bahkan orang lain akan menganggap dia bukanlah seorang muslimah tapi nyatanya aku salah.

Pertama kali aku melihatnya di meeting Cluster awal bulan ini. Clara cukup friendly namun sepertinya memang dia memilih untuk menarik batas. Dengan siapa dan bagaimana dia mulai bercanda dengan rekan-rekan kerja lainnya.

"Vokal banget ya, bu Clara. Pindahan dari area sebrang dengar-dengar." Penampilannya memang memukau setiap mata. Siapa yang tidak terusik coba, bahasanya lugas, lancar berbicara, tidak membosankan karena banyak ice breaking baik sengaja ataupun tidak selama dia memaparkan progker cabangnya yang ketika dia datang menjabat mendapat peringkat nomer dua dari bawah searea.

"Pembawaannya kalem gitu, bisa nggak ya bawa cabangnya membumbung?" Jawab Hamzah yang duduk di sebelahku.

"Emang track record di cabang sebelumnya bagaimana?" Jujur aku memang baru mengenal Clara dan juga bertemu dengannya kali ini.

"Not bad, tapi juga nggak spesial banget. Cuma sepertinya dia bisa pulang kampung karena campur tangan petinggi yang lagi dekat dengannya?"

"Affair maksudnya?"

"Dengar-dengar sih bukan, hanya dulu pernah satu kantor dengan Clara."

"Siapa memangnya?" tanyaku penasaran.

"Mr. Yogantha."

"What, serius? Bussiness and Retail Banking Section Head Regional maksudnya?"

"Iyalah siapa lagi Mr. Yogantha kan cuma satu itu, kemarin aku lihat di area mereka ngobrol akrab banget sudah seperti saudara bahkan banyak yang bilang kalau pak Yoga hampir selalu minta pendapat Clara untuk memutuskan sesuatu."

"Sesuatu?"

"Tempat makan siang, menu makan, atau yah semacamnya."

Aku hanya diam mendapati informasi itu. Bukan hal yang tabu lagi kedekatan pegawai dengan atasan akan memberikan pengaruh atas penilaian kinerja juga perputaran roda kebutuhan pegawai pimpinan yang memang harus bergeser setiap periode tertentu. Oh jadi karena sedikit nepotism dengan pak Yoga, yang membuat Clara bisa balik kampung.

"Kenapa Brow, cantik?" tanya Hamzah setelah aku tidak lagi bertanya tentang siapa dan bagaimana Clara Diana.

"Buta kalau bilang dia nggak cantik, wajah india kulit arab gitu."

"Suka? Istri mau dikemanain, lagian dia juga sudah bersuami kali."

Aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Hamzah. Selalu seperti itu, image badboy emang melekat erat kepadaku. Padahal kenyataannya banyak fitnah yang sesungguhnya tidak seperti yang mereka sangkakan kepadaku. Benar adanya jika fitnah itu memang jauh lebih kejam daripada membunuh. Aku merasakan efeknya yang sangat luar biasa.

Suka main perempuan, membuat baper mereka hingga patah hati, atau bahkan membuat para suami menjadi super cemburu hingga nyaris melakukan penganiayaan kepadaku. Intinya image negatif itu melekat erat padaku walau aku sendiri tidak pernah melakukan apa pun seperti yang mereka tuduhkan.

Mengenai rumah tanggaku, entahlah bisa dibilang seperti apa. Kami telah dikaruniai 2 orang anak, namun sepertinya apa yang aku beri masih terasa kurang di mata istriku. Dia bahkan pernah menggugat cerai atas pernikahan kami namun aku menolak dan mematahkan dengan bukti yang menuduhku tidak pernah menafkahinya. Juga karena berita miring yang santer beredar di lingkungan kerjaku, tentang aku yang dianggapnya sebagai badboy, bastrad man, dan entah predikat unik apalagi yang disematkan kepadaku.

Kami memang tinggal satu kota namun tidak lagi tinggal seatap. Karena aku memilih tinggal di kost sementara dia dan kedua anakku tinggal bersama orang tuanya. Jangan tanya mengapa aku tidak menyusulnya di rumah mertuaku, sudah. Aku sudah menyusulnya dan memintanya ikut bersamaku. Tapi dia menolak dan aku tidak mungkin tinggal di rumah orang tuanya karena mereka tidak mengizinkanku tinggal. Ya, sejak pernikahan kami yang tidak direstui mereka sejak itu pula batas tak berupa itu dibangun oleh mertuaku walaupun aku berusaha untuk menghapusnya. tapi lagi-lagi mereka tetap dengan pendiriannya, aku tidak akan pernah layak menjadi suami dari anaknya dan ayah dari kedua cucunya.

Miris bukan ceritanya, namun di luaran yang beredar adalah cerita bagaimana tidak sopannya aku kepada mertua. Merendahkan mereka dengan memilih tinggal di kost dan menelantarkan kedua anak dan istriku dengan menitipkannya kepada mertua. Allahu Rabb, aku hanya memiliki dua tangan yang hanya bisa kupakai untuk menutup kedua telingaku bukan untuk menutup mulut mereka yang bicara tidak sesuai dengan kenyataannya. Sekali lagi aku tidak seperti yang mereka tuduhkan, sumpah demi Allah aku berusaha untuk mempertahankan namun seolah aku tidak pernah dihargai sebagai seorang suami.

Hingga akhirnya aku menyerah atas takdirku. Aku melepaskannya bukan karena aku tidak menyayangi kedua anakku namun karena aku tidak ingin membiarkan hubungan ini menggantung tanpa sebuah kejelasan selain itu aku juga baru mengetahui motif apa dibalik kebaikan istriku sekarang. Yah, kami belum sepenuhnya sah bercerai di Pengadilan Agama namun mataku mengetahui sendiri dia bertunangan dengan laki-laki lain.

"Sindhu, mewakili Cluster untuk berangkat ke Songgon ya. Ada event regional saya harus berangkat ke Malaysia mendampingi Area Manager bersama MBCM yang lainnya juga." Pak Adit memintaku mewakilinya

"Saya Pak? Nggak salah pilih Pak, saya hanya Ka Unit loh. Nggak BM yang lain saja Pak, yang lebih kompeten begitu."

"Kamu yang laki-laki Ndhu, perjalanan ke Songgon itu memakan waktu lebih dari 7 jam dari sini. Kasihan kalau perempuan yang berangkat. Nanti ada Clara dan juga Hamzah yang ikut ke sana dari area ini."

"Saya sama siapa Pak Adit?"

"Ajak laki-laki saja semuanya. Koordinasi dengan Clara dan Hamzah juga ya kemungkinan pak Farhan tidak ikut juga ke Songgon." Clara dan Hamzah memang tidak lagi satu tim dalam Cluster dengan unitku namun kami masih berada di satu area yang sama sehingga meski tidak lagi bertemu dalam meeting bulanan namun kami masih sering bertemu di tele conference ataupun video conference dengan Area Manager atau Regional Manager.

Hutan Pinus Songgon, daerah yang nyaris tidak ada signal karena berada di tempat yang sedikit jauh dari pemukiman warga. Hari jumat dan sudah terdampar di sini sebelum sholat jumat dimulai. Saat aku datang kulihat sudah ada Suzuki Swift sport warna putih telah terparkir di area parkir Songgon. Dengan hanya melihat plat nomornya saja aku yakin mobil sport modifikasi warna putih itu milik Clara.

"Hai, mas Sindhu sudah sampai juga? Mana yang lainnya?" Clara menyapaku dengan senyuman khas miliknya.

"Hai Claire, yang lain lagi ke belakang. Eh kamu bawa mobil sendiri?" tanyaku.

"Nggak kuat kali Mas bawa mobil, aku setir sendiri yang bener." Duh kan senyumnya, tapi apa ini ya Allah? Aku memang laki-laki yang sudah tidak memiliki ikatan dengan wanita manapun tapi Clara? Dia masih sah menjadi istri orang lain. Tidak ada ceritanya menjadi pebinor terlebih memiliki cita-cita untuk melakukan itu. Tapi sungguh senyumnya benar-benar melumpuhkan duniaku.

"Sindhu, tuh ada Clara lagi GR untuk performnya ntar malam. Nggak mau lihat?" Hamzah tiba-tiba mendekatiku dan menghancurkan lamunanku tentang Clara.

"Perform? Emang pake begituan? Kan aku belum ada senjata untuk itu , Brow."

"Siapa bilang kita, Clara yang perform. Dia kan yang ngemci sama temen-temennya tuh." Hamzah mulai menunjuk Clara yang sedang berada di atas panggung bersama dua teman wanitanya yang lain.

"Clara ngemci?"

"Kamu nggak tahu kalau di regional dia sudah biasa ngemci?" Aku menggeleng, satu fakta lagi yang tidak pernah kuketahui tentang Clara. Nyatanya aku memang tidak pernah tahu tentang dia. Andaikata bisa dekat mengapa aku menjadi insecure untuk bisa mengenalnya lebih jauh. Clara so high, so smart, dia terlalu mahal untuk bisa disentuh. Ramah namun selalu berbatas.

"Kejar kalau ingin dekat."

"Gelo kamu, Zah. Dia bersuami." Hamzah hanya tersenyum tanpa kuketahui apa arti dibalik senyumnya.

Riuh cicit burung meremajakan telinga. Hamparan hijau penyejuk mata dan juga puluhan tenda mini menjadi pemandangan yang kini ada di depan mataku.

Songgon memang memukau dengan pesonanya. Sayangnya bagiku itu tidak lebih indah dari senyum Clara yang kucuri diam-diam saat dia bercengkerama dengan beberapa petinggi dan juga rekan kerja yang tidak ku kenal sama sekali. She's a good influencer, she's a good in public speaking, dan secara otomatis she's a good in public relationship too.

Terbukti kan dari peringkat kedua paling bawah kini cabangnya membumbung naik menyalip hingga ke tengah klasemen di pertengahan tahun pertama ini padahal dia baru 5 bulan menjabat. Bahkan famous di area karena menjadi rising star. Yap, Clara goal membuka lebih dari seribu rekening dalam satu bulan dengan menggandeng salah satu sekolah sekaligus menampung pembayaran SPP sekolah tersebut. Memindahkan rekening pinjaman para guru dari bank tiga huruf yang cukup melejit ke cabangnya hingga menutup dan menghijaukam target pemberian kredit serbaguna untuk pegawai. Selain itu juga goal untuk penggarapan rekening gaji dua perusahaan yang meski bukan dalam skala besar namun cukup untuk memberikan kontribusi positif di cabangnya.

Ah iya, jangan dilupakan bahwa kini dia juga sedang menggaet para dokter untuk berperan serta mewujudkan program pemerintah cashless melalui PDKTnya dengan IDI. Proyeksi dana cabang yang biasanya setiap bulan merah membara di angka 52% pencapaiannya kini bisa mulai menguning pekat di angka 89% - 92%. NPL stabil, penyaluran kredit berhasil menembus angka 98% dari target ambisius regional. Itu artinya dia telah berhasil melampaui sekitar 7% real target yang ditetapkan area.

Siapa dulu yang pernah meragukan kapabilitasnya hingga berani cari muka di depan Area Manager dan mengatakan bahwa Clara itu hanya sekedar pegawai tanpa prestasi. Perolehan angkanya berbicara lain, Bung. Walau secara agregat pertumbuhan bisnis cabangnya belum maksimal tapi effort yang dilakukan Clara bersama tim jelas menjadi lirikan tersendiri oleh Area Manager.

Ah ngomong-ngomong tentang itu, rasa kagumku semakin menjadi. Tapi sekali lagi aku harus ingat masih menapak di bumi. Itu artinya, sebanyak apa pun aku mengaguminya tentu aku harus menghormatinya sebagai seorang wanita. Apakah rasa kagum itu berubah menjadi cinta? Aku sendiri tidak berani mengartikannya.

Malam ini Clara tampil dengan begitu dinamis, memberikan joke hingga akhirnya membuat kami berbaur dan membuat acara semakin semarak ketika Regional Manager dimintanya untuk bernyanyi di atas pentas. Aku pikir dia akan berjoged ria, nyatanya aku salah. Aku justru mendapatinya di mushola, dia sedang khusuk melaksanakan sholat isya' sampai akhirnya dia menyadari keberadaanku yang memperhatikannya dari jauh.

"Mas Sindhu, mau sholat atau__?"

"Sudah tadi, kamu baru sholat juga? Kirain tadi ikut joged bareng RCEO." Dia justru menanggapi dengan senyuman dan menjawab dengan entengnya. "Job deskku hanya ngehost, setelah RCEO nyanyi tadi lunas sudah makanya aku langsung ke sini. Mau sholat sebelum acara tadi musholanya penuh dengan bapak-bapak jadi nggak nyaman juga. Lah mas Sindhu juga kenapa baru sholat?"

Aku harus menjawab apa kalau sebenarnya aku ke mushola bukan untuk sholat melainkan karena aku melihat Clara berjalan menuju mushola setelah dari kamar kecil. Di mushola tidak ada seorang pun jadi aku berniat untuk berjaga saja. Jangan berpikir aku meninggalkan kewajibanku, tidak. Aku telah shalat di awal waktu seperti kata Clara bersama bapak-bapak tadi.

"Eh, sebenarnya tadi dari kamar kecil terus lihat kamu jalan ke mushola makanya aku berdiri di sini saja. Karena di mushola nggak ada orang." Memilih jujur sepertinya lebih baik daripada aku mencoba mengarang cerita. Ah lagian aku tidak berbakat sekali menjadi penulis cerita.

"Owh, makasih loh. Tapi sudah sholat kan?"

"Sudah dong, bersama bapak-bapak seperti katamu tadi."

"Owh iya Pak." Clara mencoba untuk mengajakku bercanda dengan memanggilku 'pak'.

"Aku belum setua itu kali Claire, harus banget ya dipanggil pak?"

"Hahaha," dia terbahak kemudian mengucapkan maaf dan kami kembali ke tempat dimana pesta berlangsung malam ini. "Maaf, tapi benar kan bapak dua anak. Eh Mas, apa kabar dua ponakanku itu? Pasti lucu ya, boleh dong kapan-kapan aku main dengan mereka."

"Owh boleh banget, pasti Zaqi dan Zandya senang sekali."

"Zandya sudah bisa apa ngomong-ngomong?" Clara selalu semangat ketika berbicara tentang anak-anak. Jiwa keibuannya seolah meronta untuk bisa terpuaskan. Beberapa kali memang aku cerita tentang kedua anakku itu dengannya saat berchating ria. Seperti yang pernah aku bilang sebelumnya, Clara sangat ramah namun selalu berbatas.

"Sudah bisa panggil babah beli baju."

"Ih lucuk, kapan-kapan deh aku beliin baju buat dia. Pasti dipake kan dari onty paling cantik loh." Clara kemudian tertawa. Aku tahu tawanya tulus tapi aku semakin takut. Berdekatan dengannya membuat naluri laki-lakiku bergolak. Antara hati menginginkan dekat tapi akal menolak. Aku masih waras untuk tidak mengganggu kehidupan dan privasinya.

"Kamu mau balik kapan, Mas?"

"Malam ini mungkin. Kamu?"

"Maunya juga, tapi mataku nggak bersahabat untuk bisa mengemudi malam hari jika tidak tidur siangnya. Eh kamu kan sama teman-teman ya Mas? Setirin aku dong, ntar biar siapa gitu ikut di mobilku jadi kita tidak berdua. Tenang si swift pake 2 pedal kok." Tuhan ini sesungguhnya sebuah kesempatan namun aku tahu siapa aku dan siapa dia. Naif jika aku tidak bahagia, Clara yang memintaku dengan mulutnya sendiri. "Please," dia memohon dengan gayanya yang menggemaskan di mataku.

Aku diam, ingin menolak tapi hatiku menginginkannya. Bisa satu mobil dengannya, kapan lagi kesempatan itu datang. Tapi__, ah mengapa otakku menjadi lemot begini untuk berpikir sampai akhirnya suaranya menggema di gendang perunguku. "Biasanya hooh-hooh aja Mas Sindhu jalan sama cewek, cie elah sama aku nggak mau. Okelah fix, kita temenan saja." Katanya sambil tertawa meledekku. Dari awal memang sudah kukatakan bahwa aku ini terkenal badboy jadi wajar jika Clara pun juga berpendapat seperti itu.

"Emang kita nggak temenan sekarang, maunya?" pancingku.

"Ya kali aja jadi__" tiba-tiba ada teman menyapanya dan dia memilih untuk menjawab sebentar.

"Jadi__"

"Jadi apaan?" Ini nih yang menggemaskan dari Clara, dia yang memuat statement terpotong setelah aku tanya malah dia bertanya kepadaku terus aku bertanya kepada siapa dong? Pohon pinus yang daunnya saling berpelukan?

"Lah kamu yang ngomong tadi kali aja jadi__apa gitu selain teman."

"Emang kamu maunya jadi apa Mas?" tanyanya. Bukan genit, tidak sama sekali. Tidak ada senyuman, tidak ada kerutan, Clara menampilkan wajahnya dengan datar sedatarnya.

"Jadi apa ya, sahabat." Aku mencoba untuk menjawab sambil kami terus berjalan dan duduk di sebuah gazebo yang ramai dengan teman-teman kami.

"Nah itu tahu, kalau sahabat berarti mau nyetirin aku."

"Apaan woi?" Suara Hamzah menggema.

"Nih, mas Sindhu nggak mau setirin aku Pak Hamzah. Alamat deh aku balik besok pagi."

"Lagian ya ngapain njenengan tadi setir sendiri, Bu. Kan bisa bareng-bareng kami."

"Kan ditinggal tadi karena di rumah masih ada keluarga__"

"Eh iya, lupa." Hamzah tertawa lirih. "Ndhu, tuh kode. Setirin gih sampe kotanya saja, kita bareng-bareng, iring-iringan pulangnya. Ntar biar mbak Lutfiya ikut mobil kalian."

"Gimana yah?" Jawabku masih bingung. Sungguh aku tidak ingin menolak tapi aku takut. Takut semakin tidak bisa lepas dari pesona Clara.

"Ya sudah deh gampang, ntar kalau kuat ya medal sendiri kalau nggak ya besok pagi saja habis subuh baru berangkat, lagian sekalian mampir ke kota sebelah."

"Ngapain Bu?"

"Ngudal kenangan." Jawab Clara kemudian memilih pergi meninggalkan kami.

Seolah gayung bersambut, setelah dari Songgon percakapanku dengan Clara mengalir saja seperti halnya air hujan yang jatuh ke sungai lalu menuju ke pantai. Darinya aku banyak belajar tentang strategi bisnis. Bagaimana bisa mendapatkan dana sementara kami tinggal di kota yang tidak terlalu besar lahan bisnisnya dan juga roti yang tersedia sudah banyak di makan oleh lembaga-lembaga lainnya. Ah kata kuncinya cukup simpel, sentuh mereka dengan hati dan ketulusan. Dengan kata lain ngemis, mungkin tapi itulah dunia perbankan saat ini.

"Aughhh fotonya, kapan ini mas diresmikan?" Pada akhirnya Clara mengucapkan juga. Aku memutuskan untuk menikah lagi dengan seorang perempuan yang bersedia menjadi istri sekaligus ibu dari dua anak-anakku. "Congratulation."

Kami memang tidak lagi berkomunikasi, jelas ketakutanku membawaku untuk cepat mengambil langkah. Aku tidak ingin dicap sebagai perebut istri orang. Dan sampai dengan Clara mengetahui bahwa aku akan menikah kembali, dia tidak pernah tahu bahwa aku pernah menaruh harap kepadanya. Cukup hanya aku dan Tuhanku yang mengerti. Walau sebenarnya Hamzah menyayangkan mengapa aku begitu cepat mengambil keputusan.

"Jangan pernah menyesal di akhir Sindhu."

"Apaan Brow? Kalau diawal bukannya pendaftaran yah namanya atau sekarang sudah diganti?" Hamzah hanya tersenyum kecut tanpa berniat untuk menanggapi ucapanku.

"Aku hanya mengingatkanmu. Selamat buat kamu, semoga dengan kamu memilih untuk menikah kembali semua fitnah yang kamu terima perlahan meredup."

"Aamiin."

Kain batik couple kuterima sebagai hadiah perkawinanku dengan Lidya dari Clara. Ini bukan surprise yang kuterima hari ini sebenarnya. Aku shock dan sangat terkejut saat mendengar issue bahwa Clara memilih resign disaat promosinya naik menjadi BM kelas 3. Sesungguhnya apa yang menjadi alasannya mengorbankan pekerjaan disaat kariernya begitu cemerlang. Saat semua mata tertuju padanya, saat penghargaan demi penghargaan mulai menyebutkan namanya untuk bisa maju dan menerima hadiah di mimbar penghargaan. Bukankah ini mimpinya, bukankah ini tekadnya untuk membuktikan kepada orang-orang yang underestimed kepadanya dulu. Bukankah ini satu perolehan besar dimana legitimasi itu telah diperolehnya dari banyak khalayak tanpa harus dia gembar-gemborkan bahwa dia bisa dan dia mampu untuk melakukan yang terbaik? Lalu apa masalahnya?

"Aku ingin memperbaiki dan memperdalam akhiratku, Mas." Ah benar sudah, alasan yang cukup terprediksi dari awal aku mengenalnya. Dia ramah namun berbatas, dan kini aku tahu batas itu apa. Ya, marwahnya sebagai seorang muslimah dan wanita yang harus taat kepada suami.

Cinta yang bijaksana dan cinta yang dewasa untuk dapat membedakan mana rasa cinta yang sesungguhnya atau hanya sebatas mengikuti ego atas keinginan yang kita punya saja karena sejujurnya cinta tidak menuntut banyak hal bahkan tidak perlu ada alasan untuk merasakan kebahagiaan. Karena cinta sejati ialah kebahagiaan itu sendiri. Dengan memberikan cinta secara tulus kamu akan menemukan titik kebahagiaan yang tidak akan bisa dibayar oleh apapun bahkan ketika kenyataan tidak sesuai harapan. Mungkin demikianlah yang bisa aku gambarkan tentang perasaan Clara kepada suaminya.

Sayangnya seiring berjalannya waktu berganti, bulan berlalu dan tahun pun telah menampakkan angka yang baru kejutan berikutnya harus kudengar di indera perunguku.

"Clara divorce, Ndhu." Hamzah berkata pendek.

"Hah? Serius? Nggak mungkin deh dia cinta banget sama lakinya."

"Itu yang dari dulu aku coba kode ke kamu tapi kamunya nggak nyambung."

"Maksudloh?"

"Kamu pikir dulu Clara ngapain setir sendiri ke Songgon?"

"Kalian tinggal kan?"

"Iya, karena kita berpikir bahwa Clara yang menyelesaikan masalahnya dengan suaminya akan lama. Mertuanya juga datang ke rumahnya saat itu. Tapi dia berkata she doesn' t know what will be happen. Suaminya menekan untuk menuruti semua apa katanya, Clara tidak diperbolehkan bekerja, tapi dia belum yakin untuk mundur."

"Masalahnya apa tidak boleh bekerja?"

"Ya kita bekerja di lembaga keuangan kan?"

"Haram?" Ah mengapa aku baru mendengarnya sekarang tentang ini. Menyesal pun tiada guna, nasi sudah menjadi bubur. Sayangnya Hamzah mengangguk atas pertanyaan terakhirku. Ya Rabb, setelah Clara merelakan semuanya dia harus ditinggalkan oleh suaminya?

"Mengapa kamu tidak cerita Brow?"

"Cerita apa?"

"Cerita kalau Clara memang bermasalah dengan suaminya dari awal. Dia sering cerita ke kamu?" Hamzah menggeleng lalu menjawabnya. "Justru karena aku tidak pernah tahu bagaimana pastinya makanya aku nggak bisa cerita ke kamu, dulu. Aku pikir dia cerita sendiri padamu."

"Tidak pernah, Clara tidak sekalipun pernah menjelekkan suaminya di hadapanku. Itu juga yang membuatku sadar dan mundur teratur."

"Jadi beneran dulu kamu__"

"Naif kalau aku jawab tidak. Kamu sendiri kalau di posisiku pasti juga tidak akan menolak pesonanya."

"Tidak berada di posisimu saja sudah banyak yang ngincer dia, tapi kamu tau sendiri bagaimana Clara memberikan batas tak kasat mata itu."

"Iya, dia memang 'mahal'."

Mentari masih sama, menyapa dunia setiap hari tanpa jeda walau terkadang mendung menggelayut dan tangisan langit tumpah ke bumi. Aku masih di tempat yang sama, berada di level posisi yang sama hingga akhirnya sebuah SK memberangkatkanku segera untuk kembali bertugas. Kali ini aku harus bertugas di kota dimana Clara berada. Ya aku tahu she's alone now. Aku hanya mengirimkan pesan untuk memberinya kabar.

Clara Diana

Hai apa kabar?

Lama, bahkan hari telah tertutup dan matahari telah muncul kembali namun belum juga centang dua yang ada di log pengiriman pesanku berubah menjadi biru. Hingga dua hari kemudian dia baru membalasnya.

Hai mas Sindhu, i'm good.
Long time no see, how are you too?

Baik
Eh aku mutasi di sini loh sekarang

Loh iyakah?
Waduh musti menunaikan janji nih

Janji apaan?🤔🤔

Hei i ever promise you
When you move to my town, i will make time to cook for your lunch.
Remember that?

😭😭😭

Kok nangis, why?
I will do, wait ya.

Aku nangis karena nggak ngerti apa yang kamu ucapkan Clara. Bahasa Indonesia please.

Benar saja, Clara membuatkan kudapan dan juga makan siang sekaligus satu paket untuk istriku di rumah. Bukan hanya untukku tapi makanan yang dia bawa bisa dimakan olehku dan satu tim di bawahku. Dari awal aku memang sudah yakin dia baik, tapi jalan takdir manusia siapa yang pernah tahu. Andai saja, ah berandai-andai itu pada akhirnya akan membuatku melupakan rasa syukurku atas nikmat yang telah Tuhan berikan padaku.

Sayangnya hatiku menolak untuk tidak bertanya. Keisenganku akhirnya membuatku sadar bahwa Clara memang tetap seperti Clara yang aku kenal dulu.

Why never be honest, Claire?

Honestly that feels funny is known now, when everything can't longer be canged

But may be the story will be different if we try to be honest

Do you believe in God?

Tentu saja, itu yang paling utama

That's the key
Someday you will be really grateful that God gave you what you needed instead of what you thought you wanted

Claire, are you ok?

I will,
although it will feel much heavier

Doa terbaikku untukmu
Semoga Allah memberikan ganti yang lebih barokah untuk masa depanmu.

Aamiin

Can we still be bestfriend?

I hope

Ok, i hope too

Tidak ada kejelekan atas sebuah kejujuran. Jujur itu baik dan sepenuhnya kebaikan. Karena dengan jujur tidak akan mencari kebohongan yang lain untuk menutupi kebohongan yang kita buat di awal. Namun ada kalanya bahwa diam akan menjadi lebih baik untuk tidak menimbulkan fitnah.

Mengenai Clara, ada hal yang tidak bisa terbantahkan atas hati di balik kata cinta. Tapi sebagaimana cinta orang dewasa dan penuh pertanggungjawaban aku memilih untuk setia. Ya, aku hanya bisa berdoa semoga Allah mengirimkan orang terbaik untuknya. Dia yang bahkan tidak pernah menatapku dengan genit saat wanita lain berharap memiliki kesempatan itu. Dia yang selalu tersenyum namun mahal dengan batasnya. Dia yang tidak pernah berusaha mempersulit orang lain meski sesungguhnya memang sulit untuk diputuskan. Dan dia yang selalu pasang badan untuk tim yang dipimpinnya.

I'm very proud. Bahwa selama aku berada di kota ini, tidak sekalipun aku dengar cerita miring dari seorang Clara Diana. Yang sering aku dengar adalah dedikasi dan prestasimu selama bekerja di sini. 'Seperti yang kamu tuliskan, Claire, bahwa suatu saat kamu juga pasti akan sangat bahagia saat Tuhan memberikan apa yang kamu butuhkan bukan atas apa yang kamu inginkan.'

✏ -- the end -- ✏

Blitar, 03 Juni 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top