🍒 Radio Amatir
Story olehku
"Kilo Echo Nano Alfa Lima Alfa Nano, Bravo Omega Lima Echo Hotel?"
"Break di copy, dengan siapa dimana?" ah rasanya sudah seperti penyiar radio sungguhan. Memainkan alat yang tersebut sebagai handy talky yang tersambung dalam komponen elektronika dimana Okta sendiri tidak tahu bagaimana caranya bekerja.
Entah mulai kapan Fiona Oktariza, gadis yang masih berseragam putih biru itu berkenalan dengan elektronik yang tersebut sebagai radio breaker. Saat dunia masih belum segempita kini atas media komunikasi. Saat radio masih menjadi sesuatu yang selalu berharga keberadaannya sebagai teman dengar dikala sendiri ataupun disela aktivitas. Saat dunia belum mengenal apa itu namanya youtube, facebook, instagram, whatsapp bahkan HP saja mungkin masih dalam sinetron yang bisa dinikmati setiap malam apa setiap minggunya bukan striping seperti saat ini.
Kerutan di mata memang menjadi pengingat bahwa usia Okta tidak lagi muda, menapak tua lebih tepatnya. Dua belas tahun berlalu dari seperempat abad yang diberikan Allah kepadanya. Bukan waktu yang singkat bukan untuk mengingatnya secara detail?
Adalah seorang Awan, Lembayung Setiawan. Laki-laki yang dikenal Okta melalui panggilan break di radio amatir yang dimiliki oleh pamannya.
"Ta, naik sepuluh ya."
"Siap Mas Awan."
"Turun seratus kemudian naik tujuh." Awan mengulang bahasa radio amatir itu untuk berbicara berdua dengan Okta.
"Mas Awan memangnya sudah kelar skripsinya?" tanya Okta ditengah percakapan mereka. Keduanya memang belum pernah bertemu namun entah mengapa saat Okta mengudara berniat untuk bercakap-cakap selalu saja bertemu dengan Awan di sana.
"Sudah selesai tinggal nunggu wisuda doang."
"Ah aku juga pengen cepat besar biar bisa disebut anak kuliahan."
"Apaan anak kuliahan, rok seragam aja masih biru begitu. Tadi di sekolah ada PR nggak? Sudah dikerjakan?"
"Eh iya ada, PR Fisika bantuin yah yah yah."
"Ya sudah diambil dulu, aku sholat seperempat jam lagi stand by disini ya?" Okta bersiap setelah Awan memintanya.
"Oke deh kakakku yang baik hati dan tidak sombong."
Bukan siswa yang bodoh, Okta bahkan selalu ikut dalam peringkat sepuluh besar setiap pembagian raport di akhir catur wulan sehingga bukan hal yang sulit juga bagi Awan berbagi ilmu dengan gadis yang telah dianggapnya adik ini.
"Mau SMA di kecamatan nanti?" tanya Awan saat mereka berbincang di radio amatir seperti biasanya. "Ujian nasional susah di depan mata loh. NEMnya harus bagus ya."
"Iya, doain juga Mas. Mau lanjutin di kota saja, biar ganti suasana dan teman-temannya juga."
"Naik motor nanti?" tanya Awan lagi.
"Mana mungkin, sepeda motor cuma satu dipake ayah. Lagian aku juga belum cukup umur untuk buat SIM. Naik angkutan umum saja."
Rasanya percakapan itu masih terngiang jelas di telinga Okta meski sudah lama berlalu. Dan benar saja, dengan hasil nilai yang diperolehnya Okta bisa melenggang menjadi siswa di SMA teladan yang ada di kota tinggalnya. Membanggakan bukan menjadi salah satu siswa di SMA favorit dengan siswa pilihan yang memiliki NEM tertinggi di kotanya.
Gadis remaja yang sedang mencari jati diri. Kesibukan Okta sebagai siswa tentu saja bertambah, selain harus menyerap semua ilmu yang diberikan di bangku sekolah dia juga harus aktif di kegiatan ekstrakurikuler, les mapel dan juga kegiatan lain yang jauh bisa menampung hobinya selama ini.
Akrab sebagai pengurus OSIS selama SMP membuat Okta juga terlibat kembali sebagai pengurus di SMA. Tidak berbeda jauh dari sebelumnya, masih seputar informasi dan komunikasi bahkan kini merambah ke dunia fotografi. Menjadi kru mading membuatnya hampir setiap hari mencari berita yang dirasa epik untuk ditampilkan di majalah dinding sekolah setiap minggunya. Beberapa inovasi juga dilakukan supaya bacaan itu menjadi akrab bagi seluruh siswa yaitu pesan cinta berbentuk ucapan 'Dariku Untukmu'.
Tidak berhenti di sana, kesibukan Okta semakin bertambah manakala dia diterima sebagai copilot siar program radio JJS setiap hari setelah pulang sekolah. Bahkan nyaris Okta sampai di rumah setelah adzan maghrib. Rasanya sepakat jika masa remaja paling indah adalah masa SMA. Masa dimana seseorang mulai mengenali potensi apa yang dimilikinya, menggali dan terus menggali.
Lalu apa kabar dengan Awan?
Masih sama seperti sebelumnya, predikat kakak semakin melekat setelah keduanya dipertemukan pada suatu acara. Sebenarnya acara om Wira, teman Awan sekaligus pamannya Okta.
"Kamu nggak malu punya teman sudah tua sepertiku Ta?"
"Memangnya mengapa harus malu?" tanya Okta.
"Aku sepuluh tahun lebih tua dari kamu loh."
"Jadi aku ada yang ngajari bikin PR fisika dan matematika dong. Mas Awan memangnya malu punya teman masih kicik kek aku?" Awan terbahak kemudian mengacak kepala Okta dengan lembut.
Kiranya memang benar, tidak ada persahabatan yang berdasar atas hubungan kakak adik tanpa ada embel-embel di belakangnya. Hubungan baik keduanya, kedekatannya meskipun begitu sama Wira dapat melihat sesuatu yang beda atas perlakuan Awan kepada ponakannya.
"Ponakanku itu, masih persiapan UMPTN. Kalau mau main-main sama yang lain saja."
"Aku nggak pernah main-main dalam hidup, Wir."
"Itu tadi ngapain curi-curi pandang mesum gitu?"
"Busyet bahasamu,"
"Okta itu__" ucap Wira yang langsung dipotong oleh Awan sebelum mereka berpisah. "Aku tidak pernah main-main, pegang kalimatku ini."
Jika sekarang ada banyak cara untuk masuk bangku kuliah, dahulu hanya ada dua jalan PMDK dan saringan melalui UMPTN. Jika keduanya tidak masuk berarti harus bersiap menjadi mahasiswa ekstensi atau kuliah di universitas swasta.
"Aku antar ya?"
"Mas Awan memangnya ada kerjaan di sana?" tanya Okta saat Awan menawarkan diri untuk mengantarnya ke kampus. Ah, jangan berpikir akan diantar dengan menggunakan mobil mewah. Mereka akan naik bus bersama-sama.
"Enggak, cuma ingin antar kamu saja."
"Teristimewa dong akutuh rasanya." Okta tersenyum menanggapi meski sedikit kikuk melihat tatapan Awan kepadanya.
"Sedari dulu dong."
"Ah masa?" tanya Okta seolah tidak percaya namun lagi-lagi Awan hanya tersenyum menanggapi lalu mengusap kepala Okta seperti biasa.
Terbiasa nyaman, mendapatkan perlindungan, memperoleh perhatian, serasa memiliki seorang kakak meski kenyataannya Okta adalah anak sulung yang memang tidak mungkin memilikinya. Bersama Awan sepertinya memang rasa nyaman itu mengalir sangat alami, bersama bergesernya waktu, selama bergantinya hari ataupun berlalunya bulan bahkan tahun berlari.
"Kamu tidak ingin membuka hati, Ta?"
"Untuk apa?"
"Memiliki orang istimewa di hati. Aku lihat sejak aku kenal denganmu belum pernah sekalipun kamu bercerita tentang rasa sukamu kepada laki-laki. Kok kesannya yang istimewa buatmu itu hanya matematika dan fisika, karena itu yang sering menjadi topik perbincangan kita."
"Pacaran maksudnya?"
"Mungkin."
"Buang-buang tenaga banget, mending mikir matematika sama fisika Mas, pikiran tenang, rapor aman, bebas omelan. Mas Awan sendiri kenapa nggak nikah-nikah hayo?" Awan tersenyum kemudian menarik jemari Okta untuk dimainkan lalu ditautkan dengan jemari miliknya.
"Kemarin aku dikenalin ibu dengan pegawai bank BUMN."
"Cantik?"
"Cantiklah, perempuan kok."
"Terus, mas Awan gimana?" Okta menatap Awan sekilas namun Awan tidak berniat untuk menjawab pertanyaan Okta. Lama mereka terdiam sampai akhirnya Awan memulai ceritanya.
"Jangan potong ceritaku sebelum aku menyelesaikannya. Kamu mau mendengarnya?"
"Cerita apaan sih? Bikin penasaran aja, kisah perjodohanmu dengan wanita pilihan ibu? Lagian kenapa nggak dipilih salah satu aja sih Mas Awan, ibumu pasti memilihkan yang terbaik loh untuk anaknya. Usia sudah cukup untuk membina rumah tangga, pekerjaan juga sudah ada. Apa lagi yang di tunggu?"
"Mau dengar nggak?"
"Ya sudah cerita aja."
"Lah kamunya juga ceriwis banget, cuma jawab iya atau enggak saja jadi panjang kali lebar kalimatnya."
"Ya sudah, iya. Ayo cerita, kapan mulainya ini?"
"Ok, tapi jangan dipotong sebelum selesai ceritanya."
"Iya."
"Janji?"
"Iya."
"Iya apa?"
"Iya janji, ishh kapan mulainya sih?" Awan tersenyum dengan tetap memainkan jemari Okta.
Entahlah ini hanya perasaan Okta atau memang atmosfer percakapan dan gestur tubuh mereka yang semakin membuat dada Okta bergetar lebih cepat dari biasanya. Bukankah selama ini hubungan mereka memang selayaknya kakak dan adik. Okta menghalau perasaan aneh tang menyergapnya tiba-tiba.
"Ibu memang beberapa kali mengenalkanku kepada wanita. Bisa dibilang mereka cukup menyenangkan untuk dilihat, pekerjaan yang alhamdulillah, sayangnya bukan itu yang aku inginkan, karena bukan mereka yang aku harapkan__"
"Memangnya yang dicari seperti apa?"
"Aku sudah bilang kan, jangan dipotong sebelum aku menyelesaikannya."
"Eh iya__" Okta tersenyum nyengir, "maaf."
"Cinta itu terkadang memang lucu, awalnya aku menyangkal. Rasanya seperti tidak mungkin aku menyukainya, dia masih lugu, dia masih polos, bahkan bisa dibilang mandi saja mungkin dia masih belum bisa sendiri. Intinya aku tidak ingin dicap sebagai pedofil, tapi sekali lagi hati tidak bisa disetir layaknya mobil atau sepeda motor yang bisa mengantarkan kita ke tempat tujuan. Hatiku sudah berhenti dan jatuh cinta pada gadis kecil yang suka bermain radio amatir, yang suka banget ngomong papa alfa charlie alfa romeo, yang masih pakai rok biru kalau sekolah, dan sekarang sudah jadi mahasiswa bahkan telah beneran menjadi penyiar radio bukan lagi radio amatiran sekelas handy talky lalu menggombal di udara tapi memang radio beneran. Jangan tertawa, karena aku tidak sedang bercanda sekarang. Dari banyaknya wanita yang dikenalkan oleh ibu, nyatanya hanya Fiona Oktariza yang berhasil mencuri hatiku untuk tetap melihatnya, memandangnya sebagai seorang wanita, bukan sebagai gadis kecil yang bingung dengan PR matematika atau fisikanya." Awan menghela nafas sesaat. Memperhatikan Okta sekilas, wajah yang nampak terkejut atas kejujurannya baru saja. Namun Awan tahu, dia tidak lagi bisa mundur, seorang laki-laki dewasa akan bertanggung jawab atas apa yang telah diucapkannya.
"Hanya saja aku tidak tahu, apakah gadis kecil yang masih lugu itu juga memiliki perasaan yang sama denganku atau tidak, gimana menurutmu?"
Okta hanya membeo saat Awan telah menyelesaikan kalimatnya dan kini sedang menunggu jawaban darinya.
Sepuluh detik,
Dua puluh detik,
Tiga puluh detik,
"Kok diam? Tadi belum waktunya ngomong sudah menyela. Sekarang giliran bicara mengapa malah diam?"
Tidak ada jawaban dari bibir Okta, bahkan dengan cepat dia menarik tangan yang dimainkan oleh Awan sedari tadi.
"Okta__" masih juga bungkam.
"Tata__" belum ada jawaban.
"Fiona Oktariza, mau nggak menerima aku sebagai orang yang istimewa di hati kamu sebagaimana adanya kamu di hatiku?"
Helaan nafas terdengar begitu dalam oleh Awan. Sepenuhnya dia bisa memahami, mungkin ini hal yang mengejutkan bagi Okta sehingga Awan tidak berani menuntut hal yang lebih meskipun hatinya sangat ingin bersambut.
"Mas Awan, ini sangat mengagetkanku. Tidak ada angin, tidak ada hujan, ucapanmu seperti guntur yang menembus langsung ke jantungku. Untung aku nggak pingsan." Maksud hati berniat untuk bercanda supaya suasana tidak kaku namun mengapa justru terdengar sangat garing karena raut serius yang ditampilkan Awan. "Garing yah?" Okta mencoba untuk tersenyum meski terlihat sangat kaku. Ya, tentu saja dia menyamarkan detak jantungnya yang bertalu.
"Bagiku, Mas Awan itu layaknya seorang kakak. Kita memang dekat dan aku sangat senang, nyatanya meski jarak usia kita membentang tidak menjadi alasan untuk berteman. Layaknya om Wira, Mas Awan itu ya memang aa' untukku. Kalau seiring bergantinya waktu rasa itu berubah__"
"Tidak ada yang berubah Iik-ku sayang, dari kita bertemu pertama kali aku sudah yakin dengan perasaanku kalau aku menyukaimu. Hanya saja aku butuh waktu untuk meyakinkan diriku sendiri dan juga agar aku tidak dicap sebagai pedofil."
"Iik__?"
"Kamu bilang aku sebagai aa' kan? Salah kalau aku sebut kamu iik-ku?" Okta hanya bisa menggeleng untuk menjawabnya.
"Kamu nyaman nggak denganku?"
"Nyaman."
"Seneng nggak kalau seperti ini?"
"Maksudnya?" tanya Okta.
"Berangkat kuliah diantar, yah meskipun tidak dengan menggunakan mobil karena aku belum memilikinya. Diperhatikan, disayangi__"
"Aku bukan cewek matre ya__"
"Aku tahu, itu sebabnya aku menyukaimu. Apa adanya kamu."
"Tapi aku masih pengen kuliah, A'. Belum ingin menikah secepatnya."
"Siapa yang ingin menikah secepatnya?"
"Usia Mas Awan itu bukan main-main untuk pacaran."
"Panggil A' saja, aku lebih suka kamu memanggilnya itu."
"Iya, A'. Dengar cerita A' Awan tentang bagaimana ibu mengenalkan dengan wanita-wanita mengapa membuatku menjadi insecure ya?"
"Itu ibu, bukan aku."
"Tapi tetap saja A', aku masih juga semester satu. Masih jauh untuk berpikir menikah."
"Tapi kamu nyaman kan jalan denganku, Ik?"
"Kalau nyaman tentu saja nyaman, aku sudah anggap kamu sebagai kakak."
"Ya sudah, kita jalani saja apa yang membuat kita nyaman. Intinya aku serius, aku juga sudah bilang kepada Wira saat kamu masih SMA kemarin."
"Jadi om Wira sudah tahu?" Awan mengangguk pasti.
Empat tahun, delapan semester pada akhirnya berhasil membuat Okta menjadi sarjana. Jangan ditanya bagaimana dia harus berjuang. Tentang hati, nyatanya seorang Awan telah berhasil membuat air matanya meleleh deras. Bagaimana tidak, saat hati Okta benar-benar telah terbuka untuk Awan. Laki-laki itu seolah menghilang raib ditelan bumi. Bahkan saat Okta telah memiliki HP dan mencoba menghubungi Awan untuk memintanya menjemput saat pulang ke kotanya.
Setiap kali tersambung, ceritanya selalu sama, sang ibu yang mencarikan jodoh untuk sang putra mahkota. Cerita yang sebenarnya semakin membuat nyali Okta menjadi semakin ciut. Ya, nyalinya harus berbanding terbalik dengan rasa insekuritas yang dirasakannya.
Perasaan dongkol, marah dan kecewa bercampur menjadi satu. SMS hari ini bisa jadi dibalas minggu depan atau mungkin bulan depannya. Mengapa semuanya menjadi berubah? Dimana perhatiannya dulu, dimana janjinya dulu, apa karena Okta menggantungkan jawaban tanpa kepastian hingga akhirnya Awan menyerah?
Nyatanya untuk bisa move on itu tidak semudah jatuh cinta.
Entahlah, rasa kecewa itu berujung hingga akhirnya Okta memilih untuk jatuh cinta lagi. Obat paling mujarab bagi para pemuja cinta yang galon alias gagal move on adalah memilih untuk jatuh cinta kembali.
Kesibukan baru, aktivitas yang pada akhirnya berhasil untuk menenggelamkan sosok Awan dari hati Okta. Pekerjaannya sebagai salah seorang pegawai di lini depan sebuah layanan masyarakat milik BUMN yang mengharuskannya bertemu dengan ratusan orang setiap harinya.
"Okta, dilarang menikah selama satu tahun pertama terlebih menikah dengan teman satu instansi."
"Siap Pak."
Peraturan tetaplah peraturan dan Okta memilih untuk mematuhinya. Selain memang belum ada calon, dia memang belum berniat untuk menikah. Hingga suatu hari Awan mendatanginya dan mengajaknya untuk menikah.
"Enak bener ya A', datang, nongol tiba-tiba, lalu ngajak nikah. Kemarin-kemarin waktu aku butuh, Aa' kemana? Cuma cerita kalau dikenalin ibu dengan wanita-wanita itu?"
"Ik, dengerin dulu."
"Hatiku bukan kertas, A'. Yang kalau robek bisa disambung dengan selotip, bukan. Dulu Aa' yang minta giliran aku sudah oke Aa' hilang ketelen bumi. Itu kita cuma deket loh, gimana kalau kita married? Aku butuh dijemput ntar Aa' balas WA aku bulan depannya. Bisa mati berdiri aku. Nggak ada nikah-nikahan. Aa' kalau pengen nikah, nikah saja sama wanita pilihan ibunya Aa'. Nggak usah ngajak aku nikah, aku nggak mau. Katanya serius, mana? Dikenalin dengan keluarga saja enggak. Aa' ke rumah juga nggak mau. Kenal sama ayah juga nggak. Ayahku bukan om Wira, asal Aa' tahu."
"Ik, tapi aku maunya nikah sama kamu."
"Nggak ada nikah-nikahan. Kalaupun aku nikah, itu bukan dengan Aa'. Aku nggak mau ya A' ntar ditelantarin seperti kemarin. Kalau ada maunya aja Aa' baik setengah mati, giliran sudah dapet ngilang. Ogah banget, nikah aja sama wanita pilihan ibumu itu."
Belum puas dengan pertemuannya, Awan akhirnya mengajak sang adik menghadap orang tua Okta. Bertemu dengan ayah dan ibunya. Sedangkan Okta, dia sedang berada di rumah Wira.
"Saya mohon maaf Bu. Dari awal kenal memang niatnya serius, tapi sepertinya dik Okta salah faham dengan maksud saya."
"Kalau kami itu sebenarnya ngikut maunya anak saja loh Mas Awan karena mereka yang nantinya menjalani kehidupan bukan kami. Okta dari kecil memang keras kepala, kalau dia ingin dia pasti akan berusaha untuk mendapatkannya. Kalau dia sudah berkeras___" ibu Okta mencoba untuk menjawab Awan. "Tapi coba saja siapa tahu dia bisa luluh, yoh kalian juga sudah dekat. Dia ada di rumah Wira."
"Ya sudah, Pak, Bu, kalau begitu kami ke rumah mas Wira. Maaf sebelumnya tentang cerita mas Awan kepada mbak Okta tentang ibu menjodohkan dengan wanita putra dari teman-temannya ibu. Karena dari awal mas Awan tidak pernah cerita kalau menyukai mbak Okta. Kalaupun kami tahu dari awal pasti tidak akan seperti ini ceritanya." Kali ini adik Awan yang berbicara dihadapan orang tua Okta.
"Nggak apa-apa Mbak Neni, semoga Okta bisa berpikir jernih ya."
"Aamiin, kami permisi dulu Bu. Assalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam."
Penolakan Okta atas Awan bukan hanya isapan jempol yang bisa berubah hanya karena sekarang Awan datang menunjukkan keseriusannya dan berjanji untuk tidak menghilang seperti sebelumnya.
"Nggak bisa Mbak Neni, bilang sama kakakmu aku nggak mau menikah dengannya. Kok sepertinya nggak laku saja. Sudah ngomong suka sama aku, tapi tetep saja cerita ibunya mau ngejodohin sama wanita lain. Memangnya dia nggak cerita kalau sudah memilihku__"
"Demi Allah nggak Mbak Okta, mas Awan nggak pernah cerita."
"Jadi serius macam apa yang dia maksudkan?" Okta berbicara dengan Neni seolah Awan tidak ada di sana padahal dia duduk di samping Neni. "Aku nggak mau menikah dengan mas Awan, titik."
Dengan tidak sopannya Okta beranjak pergi meninggalkan semua orang yang ada di ruang tamu di rumah Wira. Tapi Awan masih berusaha, dia mencoba untuk menemui Okta di kantor, menelponnya sampai Okta dibuat risih dan harus mengganti nomor ponselnya.
Takdir bergulir, pernikahan Okta benar terjadi sesuai dengan catatan ilahi. Dan benar, Okta memang ditakdirkan tidak bersanding dengan Awan di pelaminan. Bahkan Okta sendiri tidak mengundangnya untuk datang memberikan ucapan selamat.
Hidup berbahagia, tertawa dan penuh suka cita. Tentu saja itu adalah doa sekaligus harapan mesti tidak bisa dipungkiri beriak akan datang dalam setiap kisah kehidupan rumah tangga. Tidak pernah terlintas dalam benak setelah 11 tahun berlalu dari diucapkannya akad nikah, Okta harus berdiri di ruang pendaftaran Pengadilan Agama.
"Taqoballallahu minna wa minkum, Ayah, Mama. Maafin semua yang telah mbak lakuin ke ayah dan mama. Lebaran ini memang berbeda tapi tidak akan merubah makna. Okta akan selalu menjadi anak yang baik untuk kalian berdua." Tradisi sungkeman di hari raya pertama begitu hangat terasa meski Okta kini telah sendiri.
Luapan rasa kasih sayang yang tetap akan sama dari kedua orang tua membalas apa yang disampaikan oleh Okta kepada mereka. Hingga ketupat opor telah berpindah tempat, berganti dengan tema perbincangan yang lebih santai.
Cerita demi cerita mengalir, menyisakan tawa, decak kagum bahkan rasa nyeri di ulu hati. Bukan untuk berghibah namun upaya untuk bisa bermuhasabah diri, instropeksi diri menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
Anggukan serta janji yang terucap mewarnai percakapan antara seorang ibu dengan putri yang begitu dicintainya. Sampai akhirnya cerita itu membawa mereka ke perbincangan yang terlupakan dalam 14 tahun terakhir.
"Mbak masih ingat temennya om Wira yang dulu ngajak kamu nikah dulu?"
"Mas Awan?"
"Iya, Awan. Dia belum menikah loh Mbak sampai sekarang."
"Astagfirullah Mam, mama yakin?"
"Ayahmu yang cerita."
"Ayah tahu dari mana?"
"Kemarin ayah bertemu dengan pak Faizin, dia bilang kalau temennya om Wira yang suka sama putrinya ayah sampai sekarang belum nikah. Kalau memang putri ayah sudah bercerai, boleh nggak kabar ini disampaikan kepadanya."
"Ayah jawab apa Mam?"
"Ya ayahmu bilang, monggo saja."
"Pak Faizin cerita apalagi Mam?"
"Temannya om Wira, dinas di Depag, rumahnya di Bojongsono."
"Mas Awan memang temannya om Wira, Mam. Tapi dia tidak bekerja di Depag. Terakhir aku ketemu kalau tidak salah di sebuah madrasah. Lagian rumahnya bukan di Bojongsono tapi di Ambean."
"Ambean kan kecamatannya Bojongsono. Madrasah juga masuk ke Depag kan Mbak?"
"Mama yakin, Mam. Duh mam dulu aku menolaknya kasar banget loh. Nggak kebayang bagaimana perasaan mas Awan saat itu, ya meskipun pada waktu itu mbak juga belum ada calon tapi cara nolak mbak___sombong banget."
"Kata pak Faizin berulang kali dijodohin gagal terus katanya nggak ada yang sreg, nggak ada yang cocok. Nggak pengen memaksakan hati. Terus ditanya, lah pengennya yang seperti apa. Jawabnya, dulu aku pernah seneng sama orang tapi sayangnya dia nggak seneng sama aku sampai diajak nikah dia nggak mau__"
"Mama, jangan bilang mas Awan nggak mau nikah karena pernah aku tolak dulu__"
"Mama nggak tahu Mbak."
"Ya Allah ya Rabb, seandainya itu benar. Jahat banget aku Mam. Mbak aja sekarang sudah 37 mas Awan berarti sudah 47 dan belum menikah, ya Rabbi. Berdosa banget aku Mam, astaghfirullah jangan-jangan__"
"Jangan-jangan apa Mbak?"
"Bisa jadi penyakit yang Mbak derita itu karena__"
"Secara nggak sadar telah menyakitinya?" Okta mengangguk mendengar lanjutan kalimat oleh ibunya yang sengaja dipenggalnya. "Minta maaflah kepadanya, senyampang bulan syawal juga."
"Aku tidak punya kontak mas Awan, Mam."
"Tanya om Wira."
"Om Wira saja sering tanya ke aku khabar mas Awan seperti apa. Pasti tidak punya nomornya." Okta akhirnya memainkan gawai miliknya. Mencari di beberapa media yang mungkin saja ada petunjuk untuk bisa kembali menghubunginya, meminta maaf lebih tepatnya.
Lembayung Setiawan, "Mam, ketemu ini dia baru saja post 2 hari yang lalu."
"Minta tolong ommu sana, jangan lewat telepon. Ajak dia bertemu dan sampaikan permintaan maafmu. Kalau om tidak bisa mengantar, ayah atau mama siap untuk mengantarmu."
"Ya Allah, mengapa ceritanya jadi seperti ini?" Pada akhirnya Okta memilih untuk mengirimkan direct message untuk menyapa Awan terlebih dulu.
Lembayung Setiawan
Assalamu'alaikum,
Dalam beningnya hati pasti ada keruhnya prasangka,
Begitu juga dalam santunnya sapa akan ada celanya saat berkata.
Meski dalam suasana yang telah berbeda namun tidak akan merubah fitrinya hati untuk memaknai kemenangan, inshaallah.
Selamat berhari raya
Eid Mubarak
1 Syawal 1442 H
Taqoballallahu minna wa minka
Atas semua keruhnya prasangka,
Atas segala celanya perkataan,
Atas seluruh sikap, perilaku dan semua hal yang menyebalkan serta membuat sakit hati dimasa lalu,
From the deepest of heart hopefully it can be forgiven, I beg you.
Although, may be it to be late for say that, i'm so sorry 🙏🙏🙏
Waalaikum salam, sama" & tiada ungkapan yang tepat selain selalu saling memaafkan. Senyampang kita masih diberikan kesempatan untuk saling menyapa & yakinlah sebaik"nya prasangka hanya milik Allah saja.
Piye kabare lama banget tidak dengar kabarnya
Masih ingat sama aku, Mas?
Kabar alhamdulillah baik, tambah lemu. Ternyata beberapa tahun silam aku nggak salah mengenali orang ya. Panjenengan ngasto di madrasah 🙏🙏 nyuwun duka kalau nggak menyapa, pertama karena takut salah orang, kedua njenengan dikelilingi sama siswa-siswi
Iya tho. .maaf yaa sepintas ingat dan koyo gak percaya...masa keluyuran di situ
Ada orang kantin yang berurusan sedikit dengan kantorku jadi aku main ke sana untuk survey
Oh iya mas Awan, nomer HPnya masih yang lama? Boleh aku save nomernya? 081330701XXX
Njenengan gimana kabarnya Mas, sampe lupa nanya yang utama
Nomernya tetap saya ... 081233XXXXX
Alhamdulillah kabarnya tetap baik"
Pindah ke WA ya Mas
Bingung kan jadinya, meski percakapan itu terkesan lancar namun tetap saja masih tidak banyak yang berubah dengan Awan yang dulu. Okta mengirim pesan kapan, Awan membalasnya kapan sampai mereka sudah berpindah ke WA pun semuanya juga tetap sama, lama.
[18/5 21.14] Fiona Oktariza: Ini nomer HP Okta di save ya Mas
[19/5 17.01] Aa' Awan: Siap...
[24/5 10.38] Fiona Oktariza: Assalamu'alaikum Mas
Tadi aku nelpon panjenengan sepertinya masih repot ya
Ada yang mau tak aturke sedikit, kira-kira njenengan longgar saget ditelpon jam berapa?
[24/5 11.22] Aa' Awan: Wa'alaikum Salam...
[24/5 11.23] Aa' Awan: Bisa sekarang ..
[24/5 12.12] Fiona Oktariza: Pake nomer hallo ya
Janji temu itu telah diutarakan oleh Okta sesuai dengan pesan yang disampaikan ibunya. Hanya saja helaan nafas berat itu seolah menyadarkan Okta. Pasti tidak akan mudah untuk Awan bertemu dengannya. Menganggap semua seolah tidak pernah terjadi apa-apa
"Dor, kok diem saja Mas?" jeda beberapa saat kemudian suara Awan kembali terdengar. "Kapan ya, Ta?"
"Kabari aku lewat WA ya Mas, I know you have to arrange your schedule so I will waiting for. Ya sudah kalau begitu telponnya aku tutup dulu ya Mas."
"Sudah begitu saja? Ditutup telponnya."
"Loh iya, aku menunggu kapan bisa ketemu."
"Ok, makasih ya sudah telpon."
"Sami-sami Mas Awan. Assalamu'alaikum."
"Waalaikum salam warahmatullahi wabarakaatuh." Telpon terputus dan selang satu jam kemudian Okta mengirimkan pesan kepada Awan. Intinya dia menunggu kapan Awan memiliki waktu untuk bisa bertemu dengannya.
[24/5 13.10] Fiona Oktariza: I'm looking forward to see you as soon as possible
Nyatanya yang terjadi, semua bukan hanya soal waktu tapi mungkin juga menyiapkan hati termasuk di dalamnya. Buktinya sembilan hari berlalu pesan terakhirnya terkirim namun dalam log percakapan centang dua itu tidak juga berubah warna menjadi biru.
Bukan perkara yang mudah. Okta baru menunggu sembilan hari. Sedangkan Awan tersakiti 14 tahun dalam kebungkaman. Sungguh bukan untuk mengulang cerita yang belum tuntas, Okta hanya ingin menyelesaikan bagiannya yang memang harus dia selesaikan. Tidak ada yang tahu bagaimana takdir akhirnya bermuara.
Ataukah harus mengudara kembali untuk bisa menyembuhkan luka itu?
Ah bahkan bangkai dari radio amatir milik om Wira tak diketahui lagi dimana rimbanya. Pada akhirnya Okta hanya bisa menunggu, entah sampai kapan dia harus melakukannya. Setahun, dua tahun, sewindu?
Papa Alfa Charlie Alfa Romeo
Mengajakmu gombal di udara
Memang cinta asyik dimana saja
Walau di angkasa
✏ -- the end -- ✏
Blitar, 02 Juni 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top