🍒 Pelabuhan Terakhir

a stories by @MarentinNiagara

✏✏

Bukan menjadi janda. Tapi memutuskan untuk belum menikah dengan satu orang anak itu rasanya memanglah seperti janda. Janda rasa perawan atau perawan rasa janda.

Entah hati bak malaikat atau memang sedari awal sudah terlahir sebagai hamba yang tidak bisa menolak, hingga takdir hidup membuatnya menjadi seorang ibu tanpa harus mengandung dan melahirkan.

Dialah Raihanun Afsana, wanita berjilbab dengan kacamata minus yang selalu bertengger di pangkal hidungnya.

Merasakan menjadi seoran yatim piatu sedari kecil membuatnya tidak pernah membiarkan orang lain merasakan hal yang sama seperti dirinya. Pernah hampir menikah dengan seorang pria. Namun lagi-lagi karena masalah nasab, keluarga calon suaminya menolak.

Hingga saat inipun Inun tidak pernah tahu siapa ayah dan ibunya. Yang dia tahu bahwa sejauh ingatannya, dia hanya tinggal di sebuah panti asuhan dengan seorang ibu panti yang menggantikan peran sebagai orang tuanya.

Dari awal dia tahu bahwa dia berbeda dengan teman-temannya. Tak jarang tersebut sampai di telinga Inun saat beberapa orang tua temannya melarang putri mereka untuk sekedar berdekatan dengannya bahwa anak haram tidaklah pantas untuk dijadikan teman.

Salah apa yang dilakukan Inun hingga dunia seolah mencibirnya.

Meski hampir tidak memiliki teman, disekolah Inun bukanlah siswa yang mau mengalah untuk berprestasi. Bahkan dia selalu menjadi juara pertama di setiap pengambilan raport.

Hingga suatu ketika setelan SMA, dia memilih untuk melanjutkan sekolah sebagai seorang perawat dengan sebuah beasiswa.

Usianya yang kini mungkin bisa dikatakan tidak muda lagi sebagai seorang yang masih betah melajang. Ya, sekarang Inun telah bekerja sebagai seorang perawat di sebuah rumah sakit umum di kota tempat tinggalnya.

"Ummi, nanti kalau sudah besar aku ingin menjadi tentara. Biar bisa selalu jagain ummi karena nanti aku jadi orang yang kuat." celoteh riang dari bibir Fadlan.

Inun mengasuh Fadlan sedari dia bayi hingga kini Fadlan hendak masuk TK.

Jika bertanya adakah sebuah kesakitan atas sebuah pengharapan semu?

Dulu Inun pernah berharap suatu ketika dia bisa memiliki keluarga yang utuh. Memberikan kehangatan untuk putra-putrinya sebagai seorang ibu yang di dampingi seorang suami yang mencintainya. Hingga akhirnya ada seorang lelaki yang begitu menawan hatinya datang memberikan sebuah pengharapan lebih. Bolehkan Inun bermimpi kala itu?

Saat semua sudah dipersiapkan. Bahkan Sandrio telah berjanji untuk mempertemukannya dengan kedua orang tua saat itulah dunia serasa membalikkan mimpinya dan membuatnya jatuh tersungkur dengan seluruh luka lebam di tubuhnya.

"Jadi kamu tidak tahu siapa orang tuamu?" tanya ibu Sandrio saat mereka di pertemukan dalam perjamuan makan siang yang sederhana. Sengaja Sandrio mengajak Inun untuk mengunjungi rumahnya dan bertemu dengan ayah ibunya.

"Iya, Bu. Dari kecil memang saya tinggal di panti asuhan."

Hening, tidak ada pertanyaan lagi dari bibir orang tua Sandrio. Suasana tambah menegang saat ayah Sandrio berkata, "Menikahi wanita itu karena 4 hal. Agamanya, nasabnya, kecantikannya, serta hartanya."

Tidak perlu dijelaskan secara detail, Inun sudah bisa menangkap maksud dari ucapan itu. Ya, dia memang anak panti, yatim piatu atau sebenarnya dia bukan anak yatim piatu tapi dibuang karena tidak diinginkan kehadirannya oleh keluarganya. Atau mungkin dia anak hasil dari perzinaan hingga akhirnya membuat keluarga membuangnya.

Sudut mata Inun berair. Mencoba menekan rasa dan amarah yang ada di hatinya. Setiap orang berhak memilih dan jelas pilihan orang tua adalah yang terbaik untuk putra dan putri mereka.

"Inun aku mencintaimu, aku tetap menginginkan pernikahan ini dengan atau tanpa restu dari orang tuaku. Karena aku tidak sedikitpun melihat cela darimu." ucap Sandrio.

"Mas Rio, menikah tanpa restu orang tua itu sama hanya menikah tanpa rido dari Allah. Apakah Mas mau menjalani hidup seperti itu?"

"Tapi aku mencintaimu."

"Minta lebih kepada Allah, supaya bisa membukakan restu orang tua Mas untuk kita."

Namun semuanya terlambat. Orang tua Sandrio ternyata telah menentukan dengan siapa seharusnya Sandrio menikah. Harusnya sedari awal Inun menghitung risiko ini karena dari kecil memang banyak orang yang tidak menyukai karena ketidaksempurnaannya. Seandainya boleh memilih, mungkin Inun tidak usah dilahirkan di dunia dulu.

Tapi itulah artinya kita diajarkan bagaimana nikmatnya bersyukur. Dengan air mata dan remuknya hati, Inun masih setia bersahabat dengan sajadah sebagai hamparan sujudnya ketika melangitkan semua doa yang menghiasi ujung bibirnya. Allah maha kaya atas semuanya.

Tidak ingin berduka terlalu lama. Inun kembali beraktivitas, fokus terhadap pekerjaan dan memperbaiki ibadahnya. Dia hanya butuh Allah untuk bisa diajaknya bicara dan bercerita.

"Nun, bisa menggantikan aku untuk shift siang Nun?"

Jika Inun mengiyakan berarti hari ini dia harus bekerja 16 jam sehari. Namun setelah mendengar alasan dari temannya bahwa dia harus menyelesaikan sesuatu yang penting maka dengan sukarela Inun menganggukkan kepalanya. Toh baginya tidak masalah jika harus menginap sekalipun di rumah sakit. Dia belum memiliki tanggungan apapun.

Terbuat dari apakah hatimu, Inun?

Jam 22.00, double shift yang dijalani Inun telah dirampungkan. Dengan mata lelah dan tubuh yang memang perlu untuk diistirahatkan. Inun berjalan perlahan menuju panti tempat tinggalnya. Namun di tengah jalan dia menemukan sebuah kardus dengan tangisan lirih seorang bayi di dalamnya.

Semula Inun ragu tapi setelah dia berpikir matang sebaiknya dia memang membawa bayi itu ke panti. Memberikan pertolongan karena berada di luar malam hari untuk seorang bayi sangat mengkhawatirkan. Sebelum besok akhirnya dia harus melaporkan kepada pihak yang berwajib.

Tidak ada yang tahu bagaimana takdir berpihak kepadanya hingga bayi itu akhirnya sekarang memanggilnya dengan sebutan Ummi. Tidak lagi tinggal di panti, Inun memilih untuk pindah di sebuah kontrakan bersama Fadlan. Mengasuhnya dan memberikan cinta kasih seorang ibu kepada bayi mungil yang dia temukan tergeletak di jalan.

Kini saat dia harus bekerja, dengan sangat berat hati harus menitipkan Fadlan ke daycare karena tidak mungkin menitipkan bayi itu ke panti asuhan. Membayar seorang pengasuh selama dia bekerja. Meskipun berat tapi Inun semangat untuk melakukan itu, dia harus kuat untuk hidup Fadlan. Sepertinya memang Fadlanlah kini yang menjadi semangat hidupnya bersinar kembali.

"Kalau mau jadi tentara berarti Fadlan harus rajin belajar dan selalu menurut apa kata Ummi." kata Inun saat anaknya sedang menyampaikan cita-citanya.

"Iya, karena Fadlan sayang sama Ummi." kemudian Fadlan mencium pipi Inun. Yah, sedikit skinship yang terjadi diantara mereka yang membuat hati Inun menghangat.

Jika ada yang bertanya, adakah keinginannya untuk memberikan ayah kepada bocah usia 4 tahun itu? Raihanun masih enggan untuk memulai. Bahkan kini dia mulai asyik dengan kehidupannya yang baru sebagai seorang ibu walau dia belum pernah menikah dan melahirkan.

Memberikan perlindungan untuk Fadlan bukan berarti dia melupakan untuk bisa melindungi diri sendiri.

Suatu malam Inun yang baru pulang dari rumah sakit, seperti biasa dia harus menyusur jalanan sepi untuk bisa kembali ke rumahnya. Kini Inun tak lagi menitipkan Fadlan ke daycare biasanya karena memang di rumah sakit kini disediakan daycare khusus untuk balita dan anak-anak.

Bersama Fadlan yang telah tidur di gendongannya Inun berjalan. Hingga di belokan rumah kontrakannya matanya menyipit memastikan. Ada seseorang yang sedang terkapar di jalan tanpa ada yang berniat untuk menolongnya. Jalanan memang sudah mulai sepi.

Ingin rasanya membangunkan Fadlan namun melihat Fadlan yang terlelap tidak tega rasanya Inun mengusiknya. Seorang wanita paruh baya tergeletak tak berdaya, dengan sedikit goresan di pelipis dan sedikit keluar darah segar. Inun memeriksa nadinya berdenyut itu artinya wanita itu masih hidup.

Beruntunglah ada orang lewat yang bersedia membantu mengangkat wanita itu ke rumah kontrakannya. "Terima kasih, Pak."

Dan itulah Raihanun. Meski dia sedikit kesusahan pantang baginya melihat orang lain susah. Hingga wanita itu tersadar dari pingsannya.

"Dimana saya?"

"Ibu di rumah saya, nama ibu siapa? Apa yang terjadi pada ibu hingga membuat ibu terjatuh di jalan raya?" tanya Inun.

"Motorku? Tasku?"

"Astagfirullah__" bibir Inun beristighfar seingatnya tadi si ibu tergeletak di jalan tanpa apapun juga. Sepeda motor atau tas yang disebutkan tidak dilihat oleh Inun.

"Maaf Bu, tapi ketika menemukan ibu pingsan di jalan saya tidak melihat sepeda motor dan juga tas yang ibu sebutkan." kata Inun pelan.

Kedua mata itu saling bersirobok pandang. Ada ketakutan luar biasa yang terbaca oleh Inun di mara wanita paruh baya itu.

"Tadi dihadang oleh dua orang laki-laki besar kemudian meminta untuk menghentikan sepeda motor dan meminta tas___Innalillahi." seperti mengingat sesuatu yang memberatkan kemudian air mata menetes di kedua matanya.

"Ibu selamat di sini. Beberapa luka sudah Inun obati, sebaiknya Ibu beristirahat malam ini di sini. Besok pagi jika ibu sudah kuat, inshaallah Inun akan mengantarkan ke rumah Ibu. Maaf kalau boleh tahu siapakah nama Ibu dan dimana alamat rumah Ibu?"

"Alfianti." kemudian menyebutkan alamat dimana dia tinggal. Sebenarnya Inun tidak begitu tahu dimana alamat yang disebutkan tadi hanya saja dia bisa bertanya kepada orang ataupun dengan google map.

"Maaf kalau boleh tahu apa yang terjadi dengan ibu?"

Entahlah melihat sorot mata teduh Inun membuat cerita dari bibir Alfiah mengalir dengan lancar. Awalnya dia memperoleh telepon yang mengabarkan bahwa putra satu satunya mengalami kecelakaan dan menyebutkan rumah sakit tempat Raihanun bekerja.

Percaya, tentu saja karena penelpon sepertinya memang sangat mengenal sang putra. Iqbal Alrosyad, sebuah nama yang disebutkan oleh Bu Alfianti. Mengetahui itu sang Ibu langsung mengeluarkan sepeda motornya untuk langsung melihat putranya ke rumah sakit. Sayang belum sampai di rumah sakit dia harus mengalami peristiwa naas itu.

Diberhentikan oleh dua orang tidak dikenal, meminta tas namun Bu Alfi mempertahankannya kemudian entahlah apa yang terjadi hingga kini sekarang dia berbaring di sebuah kamar tanpa benda apapun yang dia bawa dari rumah.

"Ibu hanya sendiri?"

"Ibu tinggal bersama Iqbal Nak Inun, ayahnya baru saja meninggal beberapa bulan yang lalu. Itu sebabnya mengapa Ibu sangat khawatir mendapat telepon yang mengabarkan Iqbal kecelakaan. Dari tadi siang HPnya Ibu hubungi tidak bisa. Padahal biasanya setelah mengajar anak itu langsung pulang." jelasnya.

"Mas Iqbal itu__?"

"Iqbal itu seorang guru. Alhamdulillah dia mengajar di SMA Taruna Bakti Nusantara." salah satu sekolah favorit di kota Inun tinggal.

Inun hanya mangguk-mangguk kemudian meminta izin kepada Alfi untuk menelpon RS. Memastikan apakan benar ada pasien atas nama Iqbal Alrosyad.

"Jadi Nak Inun ini dokter?"

"Bukan Bu, saya perawat. Kebetulan bekerja di rumah sakit yang ibu sebutkan tadi. Sebenarnya tadi saja baru pulang dari dinas dan mengetahui Ibu di jalan. Makanya saya minta tolong seseorang untuk membawa Ibu ke rumah ini. Maaf ya Bu kalau saya lancang. Tapi sebaiknya Ibu istirahat. Besok pagi kita buat laporan ke kantor polisi, mengingat malam ini tidak mungkin saya yang melapor sendiri."

Sedih tentu saja. Kehilangan harta benda namun bagi Alfi keselamatnya perlu juga disyukuri. Setelah Inun mengatakan bahwa tidak ada pasien yang bernama Iqbal Alrosyad rasa khawatir tentu jelas kentara dari raut muka wanita paruh baya itu.

"Iya, jangan. Ini sudah malam sebaiknya Nak Inun istirahat. Terimakasih sudah menolong ibu."

Semua berjalan baik, Inun mengantarkan Alfi ke rumah sakit untuk memeriksakan luka di di tangan dan kepalanya. Kemudian bersama mereka mendatangi kantor kepolisian.

"Ibu, sebenarnya bukan Inun tidak ingin ada Ibu Alfi di rumah. Hanya saja sebaiknya Inun antar pulang ya, karena mungkin nanti Mas Iqbal mencari keberadaan Ibu."

"Ibu juga tidak ingin merepotkan Nak Inun terus."

"Inshaallah tidak Bu."

Beruntunglah Inun bahwa pagi ini dia sedang off dinas dan bisa mengajak Fadlan mengantarkan Bu Alfi sekalian jalan-jalan yang jarang sekali dilakukan oleh Inun dan Fadlan.

Banyak pertanyaan sesungguhnya di dalam benak Alfi. Melihat ketulusan hati Inun rasanya memang dia tahu bahwa wanita yang menolongnya ini adalah wanita yang sangat baik. Namun melihat si kecil Fadlan dan tidak ditemukannya sosok laki-laki di rumah Inun, Alfi hanya meraba dalam hati. Mungkinkah?

"Ummi kita akan kemana? Apa nanti bisa bertemu dengan Abi?" suara Fadlan mengoyak lamunan Alfianti.

Raihanun hanya tersenyum mendengar permintaan sang anak. Beberapa minggu terakhir ini Fadlan memang sedang getol menanyakan tentang sosok yang bisa disebut sebagai Abi. Hal itu bermula dari kegiatan di sekolahnya yang harus melibatkan ayah untuk mengikuti serangkaian acara father's day yang diadakan oleh sekolah Fadlan.

Semula Fadlan sangat bersemangat namun setelah sampai di sekolah dia mengetahui bahwa hanya dirinya yang datang bersama Ummi membuat hatinya patah dan setelah itu Fadlan jadi sering menanyakan tentang seorang Abi kepada Inun.

Bagaimana mungkin?

"Memang Abinya Fadlan kemana Nak Inun? Maaf." lirih suara Alfi membuat Inun terdiam tanpa kata.

Bukan tidak ingin menjawab namun Inun tidak memiliki jawaban yang pas yang bisa diucapkan untuk tidak melukai hati sang putra.

"Allah merencanakan sesuatu yang indah di depan. Jangan khawatir." kata Alfi saat mengetahui Inun tidak segera menjawab pertanyaannya.

"Maaf Bu, terkadang memang ada hal yang tidak bisa kita ceritakan kepada orang lain. Bukan karena kita tidak mau namun untuk menjaga hati semuanya." kata Inun setelahnya.

Benar sekali, ada banyak rahasia yang memang tidak perlu Alfi tahu dari seorang Raihanun Afsana. Hingga taksi online yang ditumpangi Raihanun berbelok tepat di rumah Alfianti. Disanalah tampak seorang laki-laki muda yang terus memainkan HPnya. Sepertinya sedang menghubungi orang namun tidak juga tersambung.

Saat mengetahui sebuah mobil asing masuk ke halaman rumahnya. Laki-laki itu menatap tajam. Raihanun sempat melihat sorot mata itu dari dalam mobil. Sepertinya itu adalah putra laki-laki yang Bu Alfianti maksudkan.

"Itu Iqbal Nak Inun. Mari turun dulu, Ibu kenalkan. Fadlan kita ke rumah Uti dulu ya." ajak Alfianti. Fadlan turun terlebih dulu dengan Alfi sedangkan Inun membayar taksi onlinenya terlebih dulu.

Entah apa yang dibicarakan Ibu dan anak itu saat mereka bertatap muka. Yang jelas saat Inun turun dari mobil mereka berdua sedang berpelukan. Sedangkan Fadlan menatap dengan tatapan penuh tanya.

"Ummi, apakah ini Abinya Fadlan?"

Sejauh itukah ternyata mimpi Fadlan untuk memiliki seorang ayah hingga kini Raihanun dibuat belingsatan di depan laki-laki yang tidak bisa dikatakan biasa saja. Parasnya cukup membuat mata tidak berkedip untuk beberapa lama saat melihatnya.

"Maafkan Fadlan, Bu, Mas Iqbal. Sayang, sini." Inun menarik Fadlan ke dalam gendongannya kemudian berkata dengan sangat lembut kepada Fadlan."Om Iqbal ini bukan Abinya Fadlan."

"Terus Abinya Fadlan siapa Ummi? Mengapa teman-teman Fadlan memiliki Abi sedangkan Fadlan tidak?" tanya Fadlan dengan muka polosnya.

"Bal, ini Raihanun yang menolong Ibu semalam." kata Alfi mengenalkan Inun kepada putranya setelah merak duduk di ruang tamu.

"Mba Inun maturnuwun loh. Semalam memang saya pulang agak larut, karena harus mengantarkan siswa lomba ke luar kota sedangkan HP ketinggalan di sekolah."

"Iya Mas sama-sama. Hanya saja maaf untuk tas dan sepeda motor Ibu___"

"Yah mau bagaimana lagi, semua itu musibah. Yang penting Ibu selamat saya sudah sangat bersyukur. Karena harta saya yang paling berharga ya tinggal ibu."

"Makanya to Bal, kamu ini segera menikah supaya ibu punya teman untuk ngobrol. Kamu juga nggak sendiri, apa-apa ada yang nyiapi."

"Ibu ini mulai lagi kan. Iqbal masih belum mapan secara finansial Bu."

"Rezeki itu Allah yang atur, kalau kamu mau nunggu jadi PNS belum tentu tahun depan ada pendaftarannya." kata Alfianti. Sebenarnya Inun merasa canggung berada diantara percakapan mereka. Membicarakan hal semacam ini seolah menguak luka lamanya kembali menganga.

"Ummi__kapan kita bertemu Abi." tiba-tiba kembali suara Fadlan membuat bibir Inun melengkung ke atas. Sementara Alfi mengisyaratkan kepada Iqbal untuk mengajak anak usia TK itu bermain.

"Fadlan ya namanya?" tanya Iqbal.

"Iya."

"Main yuk sama Om di luar." ajaknya.

Fadlan diam, menatap Inun kemudian menggeleng lemah meski Inun mengangguk memberikan persetujuannya.

"Aku nggak mau."

"Fadlan nggak boleh jadi anak nakal dong." kata Inun.

"Fadlan mau main sama Abi, Ummi. Bukan dengan Om." air mata Fadlan kemudian menetes. Sepertinya memang hati anak itu sedang sakita dan membutuhkan obat segera. Jika itu obat kimia bisa segera Inun belikan ke apotik tapi obat psikis yang diminta Fadlan afalah seorang Abi. Dimanakah Inun mencarikannya?

"Okey kalau begitu, Fadlan boleh kok memanggil Om Iqbal dengan sebutan Abi." suara Iqbal tentu saja membuat kening Inun berkerut.

Sungguh dia tidak ingin memberikan mimpi terlalu tinggi untuk putranya. Namun melihat binar bahagia yang terpancar dari bola mata putranya seolah bibirnya menjadi kelu untuk menolak kebaikan Iqbal.

"Abi Iqbal?"

"Iya, ayo kita main di luar. Fadlan mau?"

"Mau." kemudian Fadlan langsung turun dari pangkuan Inun dan berdiri namun kemudian berbalik sambil mengucapkan sesuatu kepada Inun. "Ummi, Fadlan main dulu sama Abi ya. Fadlan sayang sama Ummi. Uhibbuki fillah." Cup, Fadlan mendaratkan ciumannya ke pipi Inun dengan cepat.

"Maaf." hanya itu yang bisa di sampaikan Inun kepada Iqbal saat Iqbal menggandeng tangan Fadlan untuk mengajaknya bermain di luar.

Air mata Inun kembali menetes. Melihat itu tentu Alfianti tidak akan membiarkannya. Dengan figur seorang ibu kemudian dia menenangkan hati Raihanun. Mencoba untuk mengerti keadaan Inun yang menjadi orang tua tunggal untuk putranya. Hingga akhirnya bibir Inun bercerita tentang siapa dirinya juga tentang Fadlan.

"Mashaallah, jadi Fadlan itu__"

"Meski demikian saya tidak ingin dia tahu Bu. Bahwa dia itu bukan darah daging saya. Bairlah dia mengenal orang tua meski itu hanya seorang ibu. Saya tidak ingin dia merasakan hal yang sama seperti yang saya rasakan." kata Inun. Alfianti mengerti kemudian dengan sedikit bimbang dia bertanya mengapa Raihanun tidak segera menikah.

"Tidak ada keluarga yang mau menerima keadaan saya Bu. Saya tinggal di panti sejak saya kecil, bahkan siapa orang tua saya saja saya tidak tahu. Jika nasab wanita adalah hal yang paling diutamakan, mungkinkah Allah memberikan qodar ini kepada saya untuk melebihkan kesabaran dan pembelajaran akan ikhlasnya sebuah hati?" kata Raihanun.

Alfianti hanya diam. Jika Allah menjodohkan, dia bersedia menerima Raihanun dengan segala paket komplitnya. Hanya saja bagaimana dengan Iqbal Alrosyad?

Hari, minggu dan bulan berganti. Semenjak kejadian kecelakaan itu rasanya Raihanun sudah seperti anak sendiri untuk Alfianti, bahkan tak jarang Iqbal seringkali mengajak Fadlan menginap di rumah mereka. Fadlan yang menerima kehadiran Iqbal sebagai figur seorang ayah, sementara Iqbal yang memang sangat menyukai anak kecil tidak merasa terganggu. Bahkan dengan senang hati berusaha memberikan yang terbaik, terlebih setelah mengetahui siapa Fadlan yang sesungguhnya.

"Bu__" suatu malam sepertinya memang Iqbal ingin mengutarakan maksud hatinya kepada sang ibunda.

"Iya."

"Menurut Ibu, apa pantas Iqbal di usia yang sekarang ini sudah memiliki anak seusia Fadlan?" tanyanya sambil memijit kaki Alfianti.

"Pantas tidak pantas itu hanya menurut pandangan manusia."

"Lalu, jika Iqbal memutuskan untuk menikahi wanita yang lebih tua dari Iqbal apakah Ibu keberatan?" tanyanya kemudian.

"Bahkan Nabiullah menikahi janda yang lebih tua 15 tahun daripadanya. Lalu apa yang harus ibu beratkan?"

"Kalau dia gadis tapi sudah memiliki putra?"

Terjawab sudah siapa wanita yang dimaksud Iqbal. Alfi tersenyum bahagia. Inun memang tidak menampakan keakrabannya kepada Iqbal, mereka saling menjaga meski keduanya sama-sama menyayangi Fadlan.

Usia Raihanun yang tujuh tahun lebih tua dari Iqbalpun telah menegaskan mengapa Inun tidak pernah berharap banyak atas laki-laki yang kini sangat dekat dengan putranya.

"Jadi Ibu bersedia, menjadikannya menantu meski orang lain menganggap bahwa dia tidak memiliki nasab yang bisa dipertimbangkan?"

"Memilih wanita itu memang karena empat perkara anakku. Tapi dengan melihat perangai Raihanun yang seperti itu, cukup sudah membuktikan kepada ibu bahwa dia di besarkan di lingkungan yang sangat baik."

"Kalau begitu, tolong minta kepada Mbak Inun untuk menjadi pelabuhan terakhir Iqbal ya Bu. Iqbal malu." kata Iqbal kemudian berlalu dari kamar Ibunya sebelum sang Ibu memberikan petuah panjang kali lebarnya.

Ya, harusnya Iqbal meminta sendiri. Bukan melalui ibunya. Namun sikap anggun Inun membuat Iqbal tidak mampu untuk sekedar menyampaikan maksud hatinya. Biarlah ibu menjadi kepanjangan lidahnya. Karena Iqbal sadar, dia bukan pria romantis yang pandai mengumbar janji manis.

Iqbal hanya seorang laki-laki yang mendamba untuk bisa memiliki cinta sejati. Dan selamanya pilihan itu jatuh pada sang memilik hati, Raihanun Afsana.

✏ -- the end -- ✏

Blitar, 19 Januari 2020

Mana yang nulis, yang nulissss inihhhh mana???? 😂😂😂😂

Silakan kirim ke email author ke
[email protected]

Akan saia publish tentunya melalui proses editing typo tanpa mengurangi isi cerita.

Berminat untuk gabung?
Ayo...ayooo...ayoooooo 😍😍😍

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top