🍒 Mantan TKW (1)

a story by @MarentinNiagara

✏️✏️

Menginjakkan kaki di negeri sendiri setelah 5 tahun berada di negeri orang. Mashaallah, air mata tidak bisa berhenti menetes saking haru dan bahagianya.

Alifia Lovata Kalila, perempuan yang lahir dari pasangan PNS di salah satu kota yang ada di Pulau Jawa ini memang pada akhirnya memutuskan untuk bekerja di luar negeri sebagai seorang TKW setelah apa yang dimilikinya dan puncak karirnya harus berakhir dengan tiba-tiba.

Alif, lulus sebagai sarjana ilmu komputer dan informatika. Dari lulus kuliah, dia telah bekerja di salah satu perusahaan yang bergerak dalam bidang perhimpunan dan penyaluran dana dari dan kepada masyarakat. Sebagai koordinator IT regional, posisi kerja yang setingkat dengan kepala cabang kelas 2. Hanya saja dia sebagai supporting unit dan penentuan arus transaksi yang berada dibalik layar seolah dianggap remeh oleh banyak orang yang tidak mengetahui seberapa pentingnya dia di perusahaannya.

Alif bukanlah seorang gadis lajang, dia telah menikah bahkan sudah lebih dari 5 tahun berumah tangga namun keluarganya juga belum bertambah. Dia masih berdua bersama suaminya. Suami Alif sendiri adalah lulusan teknik sipil yang bekerja mandiri untuk pengerjaan beberapa rumah. Tidak selalu ada pemasukan jika dia lepas proyek bahkan dalam satu bulan juga tidak akan ada pemasukan sama sekali.

"Lif, kamu tahu kan kalau pekerjaanmu itu haram. Bergelung dengan riba dan itu termasuk dosa besar." Fauzi, suami Alif mengucapkan kalimat dengan nada kasar. Kalimat yang kembali terdengar dan menjadi hal yang biasa diperdengarkan kala Alif terlambat datang dari kantornya.

"Kamu tahu apa tugasnya seorang perempuan? Surgamu itu mudah kalau kamu memenuhi 4 perkara. Nurut sama suami." Fauzi meninggalkannya dengan mata yang merah karena marah.

Alif bukan tidak mengerti, tapi ketahuilah dia juga butuh makan setiap hari dan Fauzi yang memang berasal dari keluarga kaya dengan pola makan dengan menu yang luar biasa cukup membuat keuangan mereka menjadi kocar-kacir. Sementara satu tahun yang dimiliki Fauzi untuk menghidupi Alif sebagai istrinya itu bukan lagi 12 bulan namun bisa jadi hanya 6 atau bahkan hanya 5 bulan saja. Maksudnya dalam setahun itu Fauzi hanya memberikan uang nafkah kepada Alifia hanya 5 atau 6 kali.

Alif hanya meremas hatinya. Capek karena baru saja pulang kerja dan sampai di rumah dia masih harus mendengar kalimat kasar dari suaminya. Terkadang sambil mengguyur air di mukanya saat dia mandi air matanya tumpah sendiri sebagai pelampiasan hati.

Salah siapa, Fauzi adalah pilihannya ketika dulu dia mengajukan calon suami kepada kedua orang tuanya. Ayahnya yang memang sangat mencintai Alif mengatakan jika memang Fauzi berasal dari keluarga yang baik dan dia juga berniat baik untuk meminang Alif, ayahnya memberikan persetujuan untuk menikah.

"Lah iya lo Lif, itu rumah warisan eyang untuk bapakmu bisa dipakai berdagang. Kamu ini apa nggak pengen usaha sendiri kok milih kerja saja ikut orang, mana kerjanya di lembaga seperti itu. Ingat mati, umur nggak ada yang tahu." Setali tiga uang dengan Fauzi, ibu mertua Alif juga menuntutnya untuk bisa mengajukan resign dari perusahaan yang telah membesarkan namanya.

"Iya Bu, nanti Alif pikir dulu."

Hingga sampai adik Fauzi menikah dan terdengar kalimat nyaring yang sangat memekakkan telinga Alifia.

"Sudah lama menikah kok belum jadi-jadi toh. Bisa nggak cara membuatnya? Tahu jalannya apa nggak, apa perlu diajari biar cepat jadi."

"Apa memang dibumpet ya?"

"Kebanyakan kan kalau wanita karier nggak mau repot ya begitu, KB dulu. Nggak mau direpotkan dengan urusan anak."

Andaikata kaki Alif buatan China mungkin dia sudah tidak sanggup berjalan pulang ke rumah dengan kepala tegak. Beruntunglah Alif terlahir sebagai wanita yang tidak suka mencampuri urusan orang lain. Sehingga dia enggan untuk menanggapi ocehan mereka.

"Kamu ambil uangku 18 juta di rekening."

"Bagaimana mungkin?"

"Kamu kan pegang token rekeningku yang bisa mengalihkan tabungan kemana saja. Lagian kan kamu ini seorang IT, hal yang mudah untuk melakukan itu. Menyesal aku naruh uang dia bank tempatmu bekerja." Andai Fauzi tahu, token itu sudah tidak bisa dipakai sejak satu tahun yang lalu karena sekarang internet banking itu sudah dilebur menjadi satu dengan mobile banking dan itu tidak lagi membutuhkan alat yang tersebut sebagai token melainkan hanya membutuhkan pin SMS banking dan hanya bisa diakses di HP yang sama dengan nomor yang telah terdaftar sebagai SMS banking.

Sebagai seorang IT, sangat mudah bagi Alif untuk mengutak-atik seperti itu. Namun tetap saja, dia tidak ingin mencuri. Apa artinya uang 18 juta dibandingkan dengan nama baik dan kinerjanya, tidak ingin Alif mengambil bahkan sampai terbayang saja tidak akan pernah ada.

Hingga yang membuat Alifia geram adalah, ketika cetakan rekening koran itu berbunyi penarikan di sebuah ATM yang terletak di rumah sakit yang tidak jauh dari rumah orang tua Fauzi. Apa mungkin Alif memindahkan uangnya sementara laporan di transaksi adalah tarik tunai ATM? Fauzi naif untuk tidak mau membaca rekening koran yang telah disampaikan Alif kepadanya.

Waktu berjalan hingga akhirnya sampailah pada keadaan dimana Alif tidak lagi nyaman berada di rumah. Dia lebih menikmati berada di kantor, bercanda dengan temannya atau memilih untuk melakukan kerja lembur tanpa upah. Hingga dia akhirnya menjadi dekat dengan rekan-rekan kantor yang memang rata-rata di devisinya adalah laki-laki. Masih dalam tataran yang sopan, Alif sering keluar untuk makan malam bersama dengan teman kantornya. Kadang dia keluar bersama-sama yang lain, kadang juga hanya berdua.

Sampai di suatu malam saat dia hanya keluar makan malam sebelum pulang kerja dengan Fadlan.

"Lif mau makan apa aku pesenin sekalian."

"Samain aja Mas Fad, udah laper ini. Ntar nyampe rumah pengen langsung tidur."

Sebenarnya hanya makan malam biasa namun menjadi tidak biasa saat di tempat yang sama Fauzi dan keluarganya juga memilih untuk makan malam di sana. Tanpa diduga sebelumnya tiba-tiba Fauzi mendatangi Fadlan dan langsung memukul pelipisnya.

Kaget akan hal itu akhirnya Alif memilih untuk tidak melanjutkan makannya dan memutuskan untuk pulang ke rumah. Meninggalkan suami serta kedua mertuanya di tempat. Mungkin karena Fadlan dan Alif keluar dari rumah makan tidak berselang lama, Fauzi mengira bahwa Alif memilih untuk ikut pulang Fadlan padahal mereka membawa kendaraan sendiri-sendiri.

Kemarahan itu pun akhirnya membuat Alif mengalah dan memutuskan untuk resign dari kantornya. Tidak ingin melibatkan Fadlan terlalu jauh dalam permasalahan rumah tangganya yang memang telah bermasalah sejak awal sebelum peristiwa makan malam itu.

"Aku bisa memberikan lebih banyak dari yang kamu hasilkan setiap bulannya." Fauzi mengatakan itu di depan keluarga Alif.

Nyatanya itu hanyalah sebuah isapan jempol belaka. Hingga Alif keluar dari tempat kerjanya hampir satu tahun, Fauzi hanya memberinya uang untuk membayar angsuran rumah yang kini sudah diminta kunci dan sertifikatnya. Alif bahkan sudah memilih kembali di rumah orang tuanya.

"Bagianku mana Mas?" kata Alif suatu ketika meminta haknya.

"Ngapain aku memberimu, kamu saja nggak pernah merawatku." Bayangkan saja, ketika masih bekerja dulu Alif bahkan bisa menghasilkan uang 18 juta setiap bulannya. Sedangkan Fauzi hanya memberinya uang 5 juta, satu juta diminta lagi untuk uang bensin dan yang 3.1 juta untuk angsuran mobil yang mereka miliki sekarang. Itu pun dalam setahun hanya diberikan 5 atau 6 bulan saja.

Taufik
Adiknya nggak mau dicarikan jodoh tapi kakaknya ngebet aja nyari yang baru.

Ada calon deket pondok ABC, anaknya Pak Kiai, dokter baru lulus.

Nanti aku antar ke sana

Alifia hanya meremas hatinya pilu, 'sakit ya Rabb'. Itu WA terakhir dari sepupu suaminya yang sempat dia baca dari gawai milik suami yang membuat tangannya bergetar dan seluruh tubuhnya menggigil.

"Aku yang akan mengembalikanmu kepada ayahmu sebagai jatuhnya talakku." Deg, di malam yang sama saat Alif mengkonfirmasi semuanya kepada Fauzi.

Udara memang masih memiliki volum yang sama namun tidak bisa terasa untuk melonggarkan sesaknya beban yang menghantam Alif saat itu.

"Mas Rendra sudah naik jabatan loh, Alhamdulillah besok bulan depan sudah mulai menjabat sebagai kepala dinas. Gajinya juga naik 5 juta katanya. Dik Anwar juga dapat tawaran dari Dubai, gajinya dollar kalau dikurskan setara dengan 60 juta sebulan." Suara mertua Alif yang mengajaknya bicara saat mereka sedang masak berdua. Ini maksudnya apa tiba-tiba ngomong masalah gaji dan jawabatan anak mantunya di hadapan menantu seperti Alif. Apa berniat untuk membandingkan?

"Oh iya Lif, itu uangnya kontrakan rumah yang kamu pegang bisa dipakai modal usaha kan?" Uang kontrakan rumah, Alif hanya sanggup memejamkan mata dan beristighfar dari dalam hati.

Jadi rumah yang dibeli bersama Fauzi itu dikontrakkan tanpa sepengetahuannya. Lalu perabotan rumah yang dibelinya dulu sekarang ditaruh dimana? Fauzi tidak pernah bercerita dan Alif juga enggan untuk bertanya. Cukup Fauzi pernah berkata 'untuk apa aku memberimu nafkah, kamu saja tidak pernah merawatku.'

Mobil, sepeda motor dan sepeda miliknya juga sudah raib tanpa jejak dan Alif tidak tahu kemana uangnya.

Hingga satu tahun berselang Fauzi tidak lagi memberikan uang cicilan rumah kepada Alif dan membuat Alifia memutuskan untuk bekerja di Arab sebagai TKW. Pernikahannya baru jatuh talak satu, itu pun mereka memutuskan untuk rujuk namun nyatanya tidak ada yang berubah dengan Fauzi. Taufik sendiri juga sudah meminta maaf kepada Alif terkait pesannya kepada Fauzi yang sempat terbaca oleh Alif dan memang sengaja Alif balas untuk melanjutkan saja.

"Doa ibu ya Nduk, baik-baik di sana."

"Nggih Bu, semoga Alif bisa nutup utang Alif. Maaf kalau ibu harus menjual tanah sepetak tinggalan embah untuk membantu Alif. Semoga Alif bisa mengembalikannya kepada ibu dan bapak."

"Westo Nduk sebenarnya ibu tidak ingin membebanimu dengan itu. Ibu sudah ikhlas untuk semuanya."

"Maafkan Alif, Bu. Alif berangkat dulu."

Dan kini 5 tahun berlalu Alif pulang dengan harapan dia bisa melanjutkan kembali hidupnya yang telah banyak menghasilkan air mata.

Alif hanya membawa 2 koper besar, dan dia sengaja memesan taksi untuk bisa pulang ke kampungnya. Menemui keluarganya yang sudah 5 tahun dia tinggalkan.

"Weh, Alif wes muleh. Piye Lif sabendino weruh wong ganteng-ganteng neng Arab?" Alif hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.

Dua hari dari kepulangan Alif, Fauzi datang dan meminta haknya setelah 5 tahun mungkin tidak bisa terlampiaskan. Namun setelah itu, entah bagaimana awalnya keduanya terlibat pertengkaran hebat yang membuat Fauzi akhirnya harus menjatuhkan kembali talaknya.

Alifia akhirnya memilih untuk mengurusnya ke pengadilan agama. Menyelesaikan urusannya dengan Fauzi membuat langkahnya ke depan mungkin tidak akan tersandung lagi. Namun ternyata gugatan yang dilayangkan Alif kepada suaminya itu justru membuatnya bisa melihat kenyataan bahwa Fauzi kini telah menikah kembali.

"Kamu pikir sendiri, Dik. Memangnya Fauzi itu dewa yang tidak ingin menyalurkan hasrat biologisnya. Kamu tinggal dia 5 tahun loh, sementara dia juga ingin memiliki keturunan." Zakia, kakak Fauzi mengatakan dengan gamblang meminta Alifia untuk berpikir.

"Lah iya, kalau memang sudah nggak cocok mengapa nggak dari berangkat ke Arab dulu diselesaikan to Lif." Suara ibu mertuanya menyambung. Ah mengapa justru Alif merasa segala kesalahan bertumpu padanya. Itu mungkin yang membuatnya semakin yakin untuk mengakhiri pernikahannya dengan Fauzi.

Hingga sidang gugatan perceraian diputuskan Alif hanya bisa mengucapkan alhamdulillah dan meminta maaf kepada orang tuanya karena telah membuat mereka kecewa.

"Wes saiki ditoto uripe, ora usah mikir rena-rena. Yen gusti Allah isih nakdirke mbalik kabeh bakalan dibalekke masio ora seko dalan sing padha."

Tidak ada jawaban, Alif memilih untuk  kembali membuat lamaran pekerjaan di beberapa perusahaan hingga diterimalah dirinya di suatu perusahaan Namun kondisinya adalah kini dia sedang mengandung.

"Maaf mbak Alif, di perusahaan kami belum bisa memberikan cuti melahirkan untuk pegawai yang belum bekerja selama satu tahun."

"Saya paham sepenuhnya Pak."

"Nanti bisa diberikan untuk cuti tahunan saja ketika melahirkan."

Alif mengangguk pasrah, dia senang dan sedih dalam waktu yang sama. Senang akhirnya setelah sekian tahun menunggu bisa hamil namun juga bersedih manakala melihat kenyataan bahwa mungkin anaknya kelak tidak akan pernah bertemu dan mengenal ayahnya. Karena Alif tidak akan pernah sudi untuk memberikan putranya kepada orang yang telah membuat jalan hidupnya bersimbah dengan air mata.

Bukan pegawai kantor dengan bayaran selangit namun cukup untuk bisa membuat hidup Alif dan anaknya kelak inshaallah.

"Sayang, dari awal memang kita hanya berdua. Semoga bunda bisa menjadi ibunda Siti Maryam untuk nabi Isa alaihissalam. Bismillah sehat ya Nak, bunda bekerja untuk kebaikan kamu nantinya semoga Allah ridho untuk jalan kita." Alif mengusap perutnya yang mulai membesar.

Hidup di ibukota provinsi yang jauh dari tempat tinggal keluarganya Alif menyewa sebuah kamar kos yang cukup untuk dirinya bernaung. Alhamdulillah, Allah masih memberikan kemudahan dirinya mencari sesuap nasi walau sudah label dengan cap mantan TKW yang seringkali dipandang rendah oleh kebanyakan orang. Terlebih dengan kondisi Alif setelah pulang dari Arab kemudian mengandung. Padahal selama 5 tahun menikah dengan Fauzi sebelumnya Alif tidak juga mengandung.

"Oleh-oleh dari Arab membekas sampai nanti ya Lif?" ucapan para tetangga Alif yang membuat hatinya terenyuh hingga sang ayah memberikan izinnya kepada Alif untuk mengambil tawaran kerja meski harus berpisah dengan keluarganya.

"Bapak tidak ikhlas mulut tetangga memfitnahmu seperti itu. Berangkatlah untuk bekerja lagi Lif."

"Matur nuwun, Pak." Alif masih sering meneteskan air matanya saat mengingat peristiwa itu. Menyakitkan sungguh di dalam hati terlebih saat keluarga Fauzi mengetahui dan juga berceletuk manja.

"Benar sudah Zi, kamu menikah lagi. Dia sudah meninggalkanmu selama 5 tahun pulang-pulang ternyata membawa janin dari orang lain, naudzubillah." Isnaini, istri Taufiq yang sengaja memperdengarkan suaranya di telinga Alif saat mereka bertemu di sebuah pusat perbelanjaan bersama Zakia dan mungkin juga istri Fauzi yang baru.

"Astaghfirullah," bibir Alif hanya bergumam lirih tanpa berniat untuk membalas ucapan itu dan dia memilih untuk berlalu. Allah memang telah menggariskan mereka untuk berpisah. Namun tetap menjaga silaturahim dengan sesama muslim adalah keharusan sayangnya mungkin Alif harus bisa menahan dirinya supaya tidak memiliki prasangka jelek untuk memilih menjauhi keluarga Fauzi.

"Sebegitu kelamkah penilaian semua orang terhadap mantan TKW sepertiku? Andai semuanya tahu apa yang menjadikan alasanku untuk tetap berangkat. Karena Mas Fauzi tidak lagi memberikan maisahnya kepadaku untuk menutup semua kewajiban yang seharusnya dia selesaikan setelah aku benar-benar mengajukan resign dari perusahaan." Alif hanya mampu menutup air mata yang selalu disembunyikannya dengan senyuman yang selalu ada di bibir sebagai penghiasnya.

Karena Allah tidak pernah tidur untuk memberikan keadilan. Menikah dengan orang yang berasal dari keluarga berkecukupan nyatanya tidak akan menjanjikan untuk bisa membawa kehidupannya bahagia. Padahal dari awal Alif memilih Fauzi karena dia sangat faham tentang agama namun kenyataannya semua sikap dia dan keluarganya terutama tentang beberapa ucapan ibu mertuanya membuat Alif bergidik dan memutuskan untuk berpisah segera.

Semua berjalan dengan baik, Alif juga telah bahagia dengan hidupnya. Membiarkan dirinya menikmati kebahagiaan dengan caranya sendiri. Menikmati pekerjaan dengan baik dan menyelesaikan tanggung jawabnya dengan baik.

Sampai akhirnya kehamilan Alif semakin membesar dan menyusahkannya untuk bergerak.

"Kuat ya Nak, sebentar lagi bertemu dengan bunda. Kita akan berjuang berdua nanti ya Nak." Alif mengusap perutnya dengan penuh sayang.

Begitulah caranya untuk berkomunikasi dengan calon anaknya yang masih versemayam di dalam rahimnya. Beberapa kali Alif merasakan bayinya bergerak dengan lincah dan membuatnya meringis kesakitan namun dia sangat berbahagia menantikan waktunya mereka bertemu dengan sabar.

"Posisinya sudah baik Bu Alif, si kecil sudah menunjukkan posisi yang siap untuk lahir normal. Beratnya juga sudah sesuai dengan usianya. Semoga dalam waktu empat minggu lagi dia bisa melihat dunia dan berkumpul dengan orang tuanya. Tapi mohon maaf Bu Alif, sebenarnya ada hal yang ingin saya sampaikan kepada bapak terkait dengan proses kelahiran bayinya nanti. Apa bisa untuk kontrol berikutnya saya bertemu dengan suami Bu Alif?" Tidak ada yang salah dengan pertanyaan dokter kandungan Alif, hanya saja jika itu berkaitan dengan Fauzi sebagai ayah dari bayi yang dikandungnya meski mungkin dia tidak mengakui bahkan mereka juga telah berpisah sepertinya Alif mengatakan yang sebenarnya kepada dokter kandungannya

"Saya tidak memiliki suami, Dokter."

"Maaf__" kata dokter kandungan itu namun buru-buru Alif meralatnya untuk memberikan klatifikasi atas ucapannya.

"Saya telah bercerai dengan mantan suami saya ketika saya baru mengandung dan waktu itu saya tidak menyadari kalau sedang mengandung. Ada yang bisa dibicarakan Dokter, mungkin untuk kontrol terakhir saya mengajak kedua orang tua saya atau sebenarnya saya ingin melahirkan di kota tempat lahir saya saja."

"Owh, maaf Bu Alif saya tidak tahu akan hal itu."

"Tidak apa-apa Dokter, memang ya begitulah kenyataannya."

Alif kemudian bersiap untuk kembali ke kosan dengan menggunakan taksi online yang sengaja dia sewa dari dari sebuah minimarket di seberang rumah sakit sekalian Alif juga ingin berbelanja kebutuhan hariannya untuk besok.

Malang tak dapat ditolak, mujur tak bisa diraih. Saat Alif menyeberang jalanan di depan rumah sakit yang sedikit ramai tiba-tiba ada sebuah mobil yang sudah menekan rem namun tetap saja menyenggol tubuh Alif hingga dirinya jatuh dan tergeletak di aspal.

"Astaghfirullah, innalillahi." Kecelakaan tak dapat terelakkan. Semua orang berniat untuk membantu Alif yang sepertinya sedang bersimbah darah.

"Pak, tolong bantu masukkan ke mobil. Saya akan membawanya ke rumah sakit, kebetulan juga saya harus bertugas malam ini." Dengan sedikit berteriak laki-laki yang keluar dari mobil yang menabrak Alif meminta salah seorang dari mereka untuk ikut di dalam mobil dan bergerak ke rumah sakit.

"Pak Alam, tolong ambilkan emergency bed brankart."

"Dokter Balfaz?"

"Saya habis nabrak wanita hamil dan sepertinya banyak mengeluarkan darah di dalam mobil. Tolong, saya akan menghubungi dokter Yermi untuk bisa menolongnya segera. Pak Parto, tolong ini kontak mobilnya parkirkan dengan benar." Balfaz memberikan kontak mobilnya kepada Parto driver ambulance yang stand by di IGD.

Balfaz membantu petugas untuk memindahkan Alif ke brankart dan Parto membersihkan mobil Balfaz yang terkena darah dari tubuh Alifia.

"Balfaz__"

"Yermi, tolong saya baru saja tanpa sengaja menabrak ibu hamil." Yermi melihat ibu hamil yang dimaksud oleh Balfaz.

"Bu Alif__?"

"Pasienmu?"

"Baru saja kontrol dari tempat praktekku, empat minggu lagi HPLnya. Ya Tuhan, blooding to much, must be deliver today. Prepare OK for SC." Namun tak lama kemudian Yermi memandang Balfaz dengan seksama, siapa yang akan bertanggung jawab atas tindakannya karena Alifia pingsan.

"Faz, dia janda dan keluarganya ada di luar kota. Siapa yang bertanggung jawab atas semuanya?" Balfaz menghentikan aktivitasnya dan melihat sekali lagi pada Alif. Ada nyeri di sudut hati Balfaz mengingat tentang keadaan Alif yang harus segera ditolong untuk melahirkan secepatnya.

"Yakin kamu Yer?" tanya Balfaz memastikan.

"Aelah, baru saja dia ke tempat praktek gue." Balfaz kembali menimbang dan akhirnya menarik nafas panjang sebelum berbicara.

"Aku yang akan bertanggung jawab."

"Sekalian nikahi dia, lo selalu bilang kan kasihan melihat anak tanpa orang tua lengkap."

"Lakukan yang terbaik untuknya, aku akan urus administrasi dan menyusul ke OK jika memungkinkan." Balfaz meninggalkan Yermi di IGD dan mendatangi administrasi sebagai wali pasien.

Satu setengah jam kemudian lahirlah seorang bayi perempuan secara prematur dengan bantuan Yermi dan juga Balfaz yang memilih untuk masuk di ruang operasi meski dia sedang tidak bertugas memainkan scalpel dan juga surgical blade.

"Beratnya masih kurang dan juga karena prematur dia wajib masuk incubator terlebih dulu." Dokter anak yang bersama mereka memutuskan membawa bayi perempuan itu ke dalam NiCu.

"Alif belum siuman__"

"Masukkan ICU saja terlebih dulu, aku hanya khawatir. Sementara aku urus dulu bayinya. Thanks Yer untuk semuanya."

"Mengapa aku melihat sepertinya kamu seperti bapak dari bayi itu ya Faz."

"Ngaco, ini adalah bentuk pertanggungjawabanku karena telah menabraknya."

"Semoga karena menabrak ini kamu bisa bertemu dengan jodohmu. Usiamu bukan remaja lagi untuk memilih." Balfaz menggeram lirih.

Dia tahu usia 45 memang tidak lagi bisa dikatakan muda, teman sebayanya bahkan sudah ada yang telah memiliki cucu, sedangkan dirinya, istri saja masih belum memiliki calon. Bagaimana akan menikah atau menikah dengan siapa, pertanyaan yang selalu berputar di benak Balfaz.

Memiliki tampang rupawan, bekerja sebagai dokter bahkan dia telah mendapatkan gelar sebagai dokter spesialis. Namun tak satu pun diantara wanita yang meliriknya bisa mengetuk hatinya hanya karena trauma di masa lalu.

"Kamu anaknya siapa? Ayahmu bekerja dimana? Punya apa dirimu berniat untuk mendekati putri kami? Sebagai orang tua kami harus tahu dengan jelas bagaimana bibit, bebet dan bobot laki-laki yang berniat untuk meminangnya." Masih teringat dengan jelas rentetan pertanyaan itu padahal sudah berpuluh-puluh tahun berlalu. Kala itu Balfaz yang menjadi mahasiswa kedokteran dengan full beasiswa dari salah seorang perusahaan karena nilai yang diperolehnya sewaktu di tingkat SMA ditambah juga karena kondisi dirinya yang sedari lahir memang telah tinggal di panti asuhan. Balfaz dan ibu panti yang mengasuhnya bahkan tidak tahu siapa orang tuanya karena dia dulu ditemukan di sebuah kardus di taman kota lalu diserahkan ke panti asuhan.

Balfaz yang baru pertama mengenal bagaimana hati berbunga merekah karena kuncupnya telah menemukan tambatan yang bisa membuat angannya melayang. Sayangnya sebelum benar-benar mekar harus terpaksa terpatahkan karena secepatnya dia sadar siapa dirinya. Dan karena itu yang memantik semangatnya untuk bisa menjadi yang terbaik di angkatannya.

Hasil tidak pernah mengkhianati usaha yang dilakukan. Asyik dengan belajar akhirnya Balfaz menjadi lupa bahwa dia juga memiliki kebutuhan untuk dirinya. Mengenyampingkan itu semua dan sibuk mencari beasiswa untuk mengambil spesialis karena dia sadar sebagai anak panti tidak akan bisa belajar dengan baik tanpa uang yang memadai.

"Faz, Alif itu muslimah. Kamu bisa bantu kan untuk mengadzani anaknya. Nggak mungkin gue kan yang ngelakuin, karena aku nggak bisa." Yermi memang seumuran dengan Balfaz dan mereka banyak memiliki perbedaan namun bersahabat baik. Salah satu diantaranya adalah keyakinan mereka berbeda. Dan perbedaan yang lebih mencolok adalah Yermi telah menjadi seorang ayah dengan 2 orang anak.

Balfaz bergerak ke NiCu dan menghampiri incubator yang ditempati oleh bayi Alif. "Apakah ada masalah Suster?"

"Tidak Dokter, namun ayahnya belum ada yang datang untuk mengadzaninya."

"Bisa dilakukan sekarang? Dokter Yermi meminta saya untuk melakukannya."

"Dokter ayahnya bayi?" pertanyaan macam apa itu yang bisa membuat mata Balfaz membola namun bibirnya denga  seketika langsung berucap 'YA' untuk menghindari pertanyaan selanjutnya yang justru membuat ribet.

Bibir Balfaz tersenyum setelahnya. Benar kata Yermi, Balfaz seolah menjadi ayah dari bayi yang terlahir prematur karena kecerobohannya. Andai saja tadi dia menyetir tidak dengan tergesa dan melamun mungkin tidak akan membuat Alif susah.

Tapi siapa yang bisa menolak takdir?

Tiga hari menyaksikan Alif dengan kondisi yang sama di ICU. Masih belum membuka matanya.

"Masih pendarahan?" tanya Balfaz.

"Pendarahannya sudah berhenti, hanya saja kondisinya memang belum naik seperti semula. Berdoa saja semoga ada keajaiban, bayinya?"

"Bayinya tidak ada masalah, berkembang dengan baik di NiCu." Balfaz memang baru saja dari NiCu untuk memastikan bayinya Alif.

Semua berjalan dengan semestinya. Balfaz  pun telah menyelesaikan semua administrasi yang telah terlewati. Hingga gawainya bergetar dan seorang perawat ICU memberitahukan bahwa Alif telah siuman. Balfaz akhirnya menelpon dokter Yermi dan berdiskusi tentang kondisi Alif hingga Yermi memberikan persetujuan untuk segera memindahkan Alif di ruang perawatan.

"Anakku__" Balfaz menemui Alif di kamar perawatannya yang masih histeris menanyakan kemana anaknya kini.

"Bu Alif, anak ibu masih di ruang bayi, dia telah lahir perempuan cantik seperti Ibu."

"Saya ingin melihatnya. Antarkan saya ke sana."

"Alif__" suara Balfaz membuat perdebatan antara Alif dan perawat itu terhenti.

"Siapa Anda?" tanya Alif. Balfaz memberikan isyarat kepada kedua perawat untuk meninggalkan mereka.

"Perkenalkan nama saya Balfaz, saya ingin meminta maaf karena telah menabrakmu kemarin." Alif membeo tidak percaya, wajah bersalah Balfaz membuat suaranya melemah. "Maaf, untuk semua yang telah kamu lalui hingga saat ini. Karena saya kamu harus berbaring di rumah sakit."

"Anakku__"

"Anakmu baik, dan sangat baik." Wajah Alif menampakkan kelegaannya. "Seperti yang dikatakan perawat, bayimu perempuan dan sekarang dia harus berada di incubator karena lahir prematur. Maaf juga kemarin saya yang dengan lancang mengadzaninya."

"Ya Allah, maaf merepotkan anda__"

"Tidak Lif, dokter Yermi mengatakan bahwa kamu__maaf, aku tidak bisa menghubungi keluargamu karena HP milikmu tidak bisa dinyalakan." Dari percakapan singkat itu membuat Alif mengetahui bahwa Balfaz adalah seorang dokter yang bertugas di rumah sakit yang sama dengan tempatnya di rawat.

Hingga akhirnya dokter Yermi memberikan rekomendasi kepada Alif untuk bisa pulang namun anaknya masih harus dirawat di rumah sakit.

"Kalau berat badannya sudah memenuhi, di juga diperbolehkan untuk pulang." Yermi tersenyum penuh makna ke arah Balfaz. "Mungkin caranya Tuhan mempertemukan seorang dokter Balfaz dengan tulang rusuknya ya memang harus lewat tabrakan begini, tabrak jodoh."

"Ngece kamu,"

Yermi justru semakin tertawa melihat wajah Balfaz, usia boleh dikatakan lebih dari cukup untuk berumah tangga nyatanya pengalaman yang minim membuat wajah itu terlihat lucu dan kaku. "Janda lebih pedas dan menggairahkan sekarang daripada cabe-cabean."

"Jaga bicaramu, Yer. Ini rumah sakit dan tidak etis seorang dokter berbicara seperti itu."

"Hei, selaw Brow jangan serius melulu. By the way beneran, Alif pasti butuh pendamping__" Balfaz menggeleng cepat. "Tidak semua orang seperti keluarga pacarmu dulu Faz, kejar kalau memang ini caranya Tuhan untuk mempertemukan kalian."

Kedua alis Balfaz bertemu seolah menceritakan bahwa dia sedang memikirkan perkataan Yermi. Tidak akan mudah namun bukan berarti sulit untuk mencoba memahami dengan mencobanya.

Perihal perasaan, pasangan, dan jodoh memang menjadi sebuah rahasia yang bahkan manusia sendiri tidak pernah benar-benar tahu akan jadi seperti apa. Mungkin, banyak di antara kita yang sudah menjalin cinta sampai memakan waktu tidak sebentar, namun berujung pada akhir yang membuat hati terluka. Ya, semacam takdir yang tidak bisa dilawan. Ibarat kata, meski kita sudah berusaha memperjuangkannya, tapi kalau bukan dia jodohnya, kita bisa apa?

"Dokter, saya bisa naik ojek." Tolak Alif saat Balfaz berniat untuk mengantarkannya.

"Saya antarkan saja dimana kosanmu?" mendengar jawaban Balfaz, Alif hanya bisa diam membeku di tempatnya. Baginya cukup dengan Balfaz bertanggung jawab membayar biaya rumah sakitnya saja tidak perlu sampai harus bertanggung jawab hingga mengantarkan Alif ke kosan.

"Maaf Dok tapi orang tua saya hari ini datang dan saya harus menjemput mereka ke stasiun terlebih dulu." Balfaz justru semakin memaksa Alif untuk menerima ajakannya justru dia menawarkan diri untuk menjemput orang tua Alif di stasiun dan mengatur jadwal praktiknya di rumah sakit dengan memberitahukan personalia di depan Alif.

"Apa ini tidak berlebihan, Dokter?"

"Panggil Balfaz saja, Lif." Alif masih membeku di tempatnya. "Mengenai Afra jangan pikirkan, saya akan menengoknya setiap hari dan tentang asi__"

"Saya juga akan ke rumah sakit setiap hari, Dokter__" mata Balfaz seketika memandang tajam ke arah Alif seolah enggan untuk mendengar wanita itu memanggilnya dengan sebutan 'dokter'. "Maksudnya Mas Balfaz." Mengerti maksud Balfaz, Alif segera memperbaiki ucapannya.

"Ayo naik saya antar kamu baru kemudian saya menjemput orang tuamu di stasiun." Tidak menerima bantahan. Mungkin benar apa yang Yermi ucapkan kepadanya, Balfaz harus berusaha untuk memperjuangkannya.

Ujung dari sebuah doa.

Tidak ada istilahnya lelah berikhtiar, namun manusiawi rasanya naif jika menafikan hal itu. Akan ada masanya dimana perasaan menyerah dan lemah atas segala usaha yang telah dilakukan.

Memangnya usaha apa saja yang telah Balfaz lakukan? Berkenalan dengan seribu wanita? Memasang foto paling tampan di sosial media? Menanyakan perihal jodoh kepada seluruh kerabat? Atau bahkan ikut serta dalam kegiatan biro jodoh? Balfaz justru belum melakukan satu pun dari semua itu. Jika kini diputuskan untuk berikhtiar jelas karena satu alasan mendasar, tidak ingin melihat Afra tumbuh sepertinya walau kenyataannya dia juga memiliki seorang ayah tapi cerita Alif? Ada baiknya Balfaz melakukan ikhtiar yang lebih mendasar dan sederhana.

Mematut diri di depan cermin, menenggelamkan diri sedalam-dalamnya ke masa lalu atas apa yang telah dilakukan untuk menjadi pribadi yang lebih salih. Tentang sejauh apa pengetahuan mengenai agama dan hukum muamalah, seberapa arif melerai masalah kehidupan, juga tentang bagaimana hari-hari kita di mata orang lain.

Balfaz memilih untuk berjuang.

✏ -- bersambung -- ✏

Blitar, 2 Juni 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top