🍒 Jodoh Pasti Bertemu
a stories by kiresha29
✏️✏️
Memulai lagi dari awal. Tak semudah mengatakannya tapi memang harus dilakukan. Mengawali sebuah hubungan yang baru dengan hati yang baru pula, butuh niat ikhlas yang juga harus baru. Tak ada pilihan lain karena semua yang telah lalu tak mungkin kembali lagi.
Sudah hampir satu jam Rana mengelilingi dan melihat-lihat buku di toko itu, tapi belum juga memutuskan buku mana yang akan dia beli. Hingga akhirnya dia hanya berdiam diri menatap deretan novel yang berjejer rapi dan seperti mengiba untuk di bawa dari raknya.
Apakah sosok pangeran sempurna itu hanya ada di dalam sebuah kisah cinta dalam novel? Apakah tak ada satu saja yang benar-benar nyata dalam dunia yang terlanjur fana ini. Rana hanya bisa menggelengkan kepala untuk mengenyahkan isi kepalanya yang belakangan ini terasa semakin membingungkan. Mengapa dia merasa seperti seekor hamster yang terjebak lari di tempat pada putaran tempat bermainnya. Seandainya dia tidak ingat dimana berada saat ini ingin rasanya dia berteriak lantang hingga bisa menghancurkan kaca-kaca di sekitarnya.
Rana melajukan scooternya membelah jalanan kota. Beriringan dengan pengendara lain menyusuri jalanan yang masih basah sisa hujan sejam yang lalu. Dan disinilah dia sekarang, duduk sendiri di bangku taman daerah tepian Mahakam. Memandang riak sungai yang terlihat seperti gelisah di dera oleh kapal kapal ponton yang memuat ribuan ton batu bara yang berasal dari tambang di daerah hulu.
Kejadian itu kembali mengusik pikirannya. Orang yang selama ini di yakini bisa di percaya ternyata mengembalikan kepercayaan itu dengan cara yang pahit.
"Sorry Ran, kita gak mungkin bisa lanjutkan semuanya, aku gak bisa jika harus menjalani jarak jauh seperti ini, hatiku ternyata tak sekuat yang pernah aku katakan dulu, aku sudah jatuh pada gadis lain disana..."
Jelas tegas dan tanpa raut penyesalan saat Rado mengungkapkan alasannya mengapa mereka harus mengakhiri hubungan yang sudah terjalin tiga tahun terakhir. Tak ada air mata memang, tapi rasa di hatinya melebihi sakitnya luka yang berdarah-darah di tebas senjata tajam. Bukan penyesalan pernah menerima dan bersama dengan sang mantan yang sampai kini masih menjadi pikirannya tetapi rasa bersalah pernah mengabaikan nasehat Ara, sahabatnya.
Rana mengambil cincin emas putih dari dalam tasnya. Di genggamnya erat seakan menyalurkan semua rasa di hatinya dan menitipkan rasa itu pada cincin yang pernah di berikan oleh Rado dulu. Setelah yakin dengan apa yang akan di lakukan dia berjalan mendekati bibir sungai dan sekali ayun tangannya berhasil melemparkan cincin itu ke dasar Mahakam. Biarlah semua kenangan tentang masa lalu bersama sang mantan ikut hilang tenggelam bersama cincin pemberiannya.
Beberapa bulan kemudian...
Hari masih menunjukan masih pukul 11.05 tapi ruangan yang terdiri dari beberapa kubikel itu sudah kembali riuh dengan berbagai macam suara. Suara ketikan di laptop maupun komputer di ruangan itu seperti bersaing milik siapa yang paling merdu. Tidak ketinggalan lirih suara musik mendayu juga ikut andil, dan suara printer yang berada di pojok ruangan lebih mendominasi di antara semuanya.
"Ran, makan siang di penyetan yuk, aku lagi ngidam nih."
"Makan soto aja yuk Ran, panas panas gini seger tahu makan yang berkuah."
"Sushi aja Ran biar bahasa Jepangmu tambah lancar."
Rana hanya memandang secara bergantian tiga orang yang mengajukan menu makan siang dengannya. Baru saja mulutnya akan terbuka mau menjawab ajakan ketiga rekan kerjanya, telepon di meja kerjanya berbunyi.
"Halo mas... Ada yang bisa di bantu?" Rana sudah terlalu hapal siapa yang menelpon di saat jam jam begini.
"Tolong orderkan saya makan siang ya, terserah kamu mau order apa."
"Berapa orang Mas?"
"Dua, untuk kamu satu."
"Terima kasih sebelumnya, tapi maaf hari ini saya pu-a-sa." Rana menekankan kata puasa dengan intonasi yang sengaja di keraskan biar semua orang di dekatnya mendengar. Dan benar saja ketiga orang yang mengajak makan siang langsung menenggelamkan diri masing-masing ke kubikelnya.
"Rana... Saya belum tuli gak usah teriak begitu."
"Sorry Mas Pras gak sengaja."
"Kamu beneran puasa hari ini?"
"Iya mas Prasta, saya lagi puasa."
"Oh ok, kalau gitu saya gak jadi order makan siang."
Tuttt..
Telepon langsung terputus. Rana hanya menghela napas panjang menghadapi kelakuan rekan dan atasannya. Pasti ada yang salah lagi dengan atasannya jika dia menutup telepon tanpa pamit begitu.
Prastawa Himawan, pria usia menjelang 30 tahun itu baru tiga bulan menjadi atasan Rana di HRD. Sejak pertama datang dia memang langsung terlihat akrab dan membaur bersama bawahan dan karyawan lain. Paras menawan, tinggi 180 cm, berkulit putih, hidung mancung dan rahang tegas di tambah sikap ramah kepada rekan sekerjanya cukup membuat beberapa singlelilah wanita mencoba menarik perhatiannya. Namun Prasta seolah menutup mata dan tak peduli dengan para fans yang seperti ingin menculiknya jika sedang berpapsan dan bertatap muka dengannya.
Rana dan Ara menikmati hari minggunya di salah satu cafe langganan mereka setelah kembali dari mengikuti kajian di salah satu masjid. Sejak hubungannya dengan Rado berakhir beberapa bulan yang lalu, Rana memang semakin rajin mengikuti kajian yang di adakan setiap minggunya. Kemantapannya berhijab semakin menguatkan keyakinannya bahwa segala sesuatu yang terjadi pada jalan hidupnya memang sudah di atur Yang Maha Kuasa dengan indahnya. Rejeki maut dan jodoh adalah hak Allah sepenuhnya untuk semua makhlukNya.
"Ran, kamu beneran sudah siap kalau cv ta'aruf mu itu ada yang menerima?" Ara mencoba mengorek keraguan dari mata sahabatnya, namun senyum di bibir Rana menegaskan bahwa sahabatnya itu tak akan menemukan apa yang di carinya.
"Aku sudah pasrahkan hidupku sama Allah Ra, siapa pun jodohku kelak dia pasti yang terbaik yang di kirimkan Allah untuk menjadi imam dan pembimbingku di masa depan. Bahkan sebenarnya ayahku beberapa waktu lalu sudah bilang berniat menjodohkan aku dengan anak sahabat ayah semasa SMA."
Ara menatap sahabatnya dengan rasa tak percaya mendengar penuturan Rana.
"Di jodohin Ran?" Rana menganggukan kepala dan memberikan senyum manisnya pada orang di depannya sebagai tanda bahwa tak ada paksaan apapun pada perasaannya. "Lalu bagaimana dengan cv mu? Bagaimana jika saat ini sudah ada ikhwan yang menerima cv ta'arufmu?"
"Sebelum aku mengirim cv itu aku sudah ijin pada ayah dan ibu, dan mereka tidak keberatan. Tetapi ayah juga meminta aku untuk mempertimbangkan usulan ayah tentang perjodohan itu, selama belum ada yang mengajakku melakukan ta'aruf."
Ara tersenyum bahagia melihat perubahan positif sahabatnya. Dia paham betul bagaimana gamangnya Rana saat harus berpisah dengan Rado. Tapi kini badai kegalauan itu sepertinya sudah benar-benar pergi dari hati Rana.
Selepas jam kantor selesai Rana melajukan motornya menuju komplek Islamic Center Samarinda. Setelah memarkirkan kendaraannya, dia bergegas masuk ke dalam Masjid Baitul Muttaqien yang merupakan masjid terbesar kedua di Asia Tenggara setelah masjid Istiqlal.
Masjid yang mampu menampung sebanyak 45.000 jamaah ini memiliki 7 menara dan menara utamanya memiliki tinggi 99 meter yang memiliki makna Asmaul Husna atau nama-nama Allah. Selain masjid, komplek Islamic Center ini juga meliputi fasilitas pendidikan dan Rumah Sakit yang semuanya berada dalam satu komplek tersebut.
Rana mengambil wudhu yang berada di dalam lantai dasar Masjid dan kemudian menaiki anak tangga yang berjumlah 33 untuk naik ke lantai utama kemudian melaksanakan shalat Ashar.
Setelah menyelesaikan urusannya dengan Sang Pemilik hidup, Rana keluar dari masjid tetapi tidak langsung meninggalkan tempat itu. Dia memilih duduk di pelataran masjid sambil melihat pemandangan berupa lalu lalang kendaraan dan orang-orang yang sedang berfoto ria yang mengambil background masjid Baitul Muttaqien.
"Rana?" Merasa ada yang memanggil namanya, Rana menoleh ke kanan dan ternyata orang yang memanggilnya adalah Prasta. Dan kini pria itu sudah duduk di sampingnya meskipun Prasta masih menjaga jarak mereka.
"Mas Prasta? Kesini juga?"
"Iya, setiap pulang kantor saya memang mampir dan shalat disini." Rana hanya ber-oh-ria mendengar alasan Prasta. Dan entah kenapa suasana di antara mereka menjadi canggung.
Setelah beberapa saat saling diam, akhirnya Prasta memilih undur diri lebih dahulu.
"Ran, saya duluan ya."
"Eh, iya mas, saya juga sudah mau pulang." Prasta beranjak dari tempatnya duduk, namun baru tiga langkah berjalan, dia berhenti dan kembali berbicara pada Rana.
"Rana, kamu masih ikut kajian setiap minggu?" Rana yang kembali di beri pertanyaan oleh Prasta merasa kaget darimana pria itu jika dirinya ikut kajian setiap minggu. Namun dia hanya menjawab dengan menganggukan kepalanya pelan.
"Terima kasih ya, saya duluan, Assalamualaikum." Prasta meninggalkan Rana yang masih berkutat dengan pertanyaan di kepalanya seputar atasannya di kantor itu. Seutas senyum tak Prasta lepaskan dari bibirnya setelah mendapat jawaban dari Rana, meski hanya sebuah anggukan kepala saja.
Hari berlalu dari pertemuannya dengan Prasta di Islamic Center, Rana sudah tidak ambil pusing dengan keingintahuan pria itu padanya. Apalagi sikap Prasta di kantor pun tetap sama seperti biasanya. Hingga satu panggilan dari gawainya membuat Rana merasa sedikit deg-degan.
"Assalamualaikum Ran, ini saya Rahma."
"Walaikumsalam kak Rahma, apa kabar?"
"Alhamdulillah baik Ran, maaf ya mengganggu waktu kerjamu sebentar."
"Nggak apa-apa kak, ada apa kok tumben kak Rahma yang telepon Rana, biasanya juga saya yang menelpon kakak ".
"Sesekali gak apa-apa Ran." Terdengar oleh Rana suara tawa di sebrang sana meskipun lirih, tapi kemudian Rahma melanjutkan bicaranya. "Sebenarnya saya menelpon Rana ingin memberi tahu kalau cv ta'arufmu sudah ada yang menerima, dan saya hanya mau menanyakan Sabtu sore besok punya waktu apa tidak, soalnya ada seseorang yang ingin saya dan kak Danu perkenalkan. Ini hanya pertemuan biasa Ran, hanya untuk mengetahui dan saling mengenal dulu."
"Inshaallah Rana bisa kak, nanti selepas pulang kerja saya datang." Walaupun masih terkejut dengan kabar yang di sampaikan Rahma tapi Rana mantap dengan jawabannya.
"Alhamdulillah, ya sudah kalau begitu maaf saya menelpon pas Rana kerja ya, wassalamualaikum."
"Iya gak apa-apa kak, walaikumsalam warahmatullah."
Rana masih terpaku melihat gawai di tangannya dan entah apa lagi yang ada di pikirannya. Secepat itukah Allah menjawab doanya. Tapi lamunan Rana buyar ketika line telepon di mejanya menginstruksi meminta untuk dijawab.
Sabtu sore seperti yang sudah di jadwalkan, Rana sudah berdiri menatap rumah minimalis dan asri di depannya. Setelah mengumpulkan keyakinannya, Rana lalu mengetuk pintu yang sudah terbuka. Dan tidak lama seorang wanita sambil menggendong seorang balita menyambut kedatangannya.
"Assalamualaikum kak Rahma."
"Walaikumsalam... Rana, ayo masuk maaf ya saya jadi meminta kamu ke rumah soalnya si kecil mendadak tidak enak badan."
"Gak apa-apa kak, lagian rumah kak Rahma kan searah sama rumah Rana."
"Oh iya, ikhwan yang ingin bertemu denganmu sudah datang, dia sedang bersama mas Danu."
Rana mengikuti langkah sang pemilik rumah masuk ke dalam. Terdengar suara dua orang sedang bicara dan sesekali tertawa bersama.
"Mas Danu, Rana sudah datang."
"Assalamualaikum Mas..."
"Walaikumsalam salam ukhti Rana, apa kabar?"
"Alhamdulillah baik Mas."
"Alhamdulillah... Oh iya, perkenalkan ini ikhwan yang menerima cv ukhti Rana dan meminta pertemuan ini di adakan." Danu menepuk bahu seorang pria yang sedari tadi diam dan menundukkan kepala. Merasa terpanggil pria itu kemudian berdiri dan sambil tersenyum menyapa kehadiran Rana di depannya.
"Assalamualaikum ukhti Rana..."
"Mas..."
.
.
.
.
Rana menatap pantulan dirinya di cermin, masih tidak percaya dengan penampilannya hari ini. Gugup, cemas dan bahagia berbaur menjadi satu. Ara, sang sahabat yang sejak tadi menemaninya menjadi gemas sendiri melihat kegelisahannya. Di genggamnya tangan sang sahabat agar menjadi lebih tenang menghadapi hari besarnya ini. Hingga akhirnya terdengar suara dari luar yang membuat keduanya bernapas lega.
Sah!
Sah!
"Alhamdulillah... Barrakallah Rana, selamat ya sahabatku tersayang, akhirnya resmi menyandang gelar istri seseorang." Ara memeluk sahabatnya itu penuh haru.
Setelah melewati perjalanan penuh liku akhirnya jodoh Rana telah bermuara pada seseorang. Seorang pria yang tak pernah dia sangka sebelumnya. Seseorang yang menerima cv ta'aruf miliknya ternyata juga adalah seseorang yang ingin diperkenalkan oleh sang ayah padanya.
Suara ketukan dan pintu terbuka membuat Rana tak bisa lagi menyembunyikan rona di wajahnya. Ara sudah meninggalkannya sendiri saat sang ibu memberitahunya bahwa pria yang sudah sah menjadi suaminya akan menjemputnya keluar. Dan disinilah mereka berdua saat ini, saling berhadapan dengan berbagai rasa di hati yang entah bagaimana mendefinisikannya.
"Assalamualaikum Syakirana Maulida, istriku..."
"Walaikumsalam Prastawa Himawan, suamiku..."
Keduanya hanya saling tersenyum dan perlahan saling menyambut tautan jemari yang kini telah halal untuk mereka genggam.
Kuasa Sang Penguasa hati manusia memang tidak ada yang bisa menandingi. Kemana dan dimanapun insan dunia berada, jika jalan takdir jodohnya sudah menunjukan jalurnya maka di satu titik muara pasti akan dipertemukan. Karena sekuat apapun manusia berusaha jika Sang Kuasa tidak menuliskan takdirnya maka tak kan ada pertemuan dalam satu ikatan jodoh, namun jika semua telah tertulis dengan indah di Lauhul Mahfudz jodoh pasti bertemu.
✏️ -- the end -- ✏️
Thanks udah bergabung dilapak ini 👏👏👏
Yang lain mana ini tulisannya...tetep yaaa aku tunggu di email
Caaaooooo 💋💋
Blitar, 25 September 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top