🍒 Istri Untuk Suamiku
a stories by @MarentinNiagara
✏✏
Jangan pernah tanyakan bagaimana kabarnya hati. Di dunia ini siapa yang bisa ikhlas menerima meskipun terbalut dengan sikap yang luar biasa tegar dengan sempurna, tapi hati adalah sesuatu hal yang tidak pernah sekalipun berbohong kepada kita.
Tidak ada seorangpun di dunia ini yang berharap mendapatkan sebuah qodar jelek, semua berharap bahwa Allah senantiasa bermurah hati memberikan limpahan rahmat untuk seluruh umat. Kesehatan yang selalu di damba, rezeki yang melimpah halal serta penuh kebarokahan untuk mengamalkannya, umur yang barokah dengan selalu berjalan dalam jalur nuz penuh ketaatan.
Jodoh, adalah salah satu iradhah Allah yang tentunya selalu ingin kita perjuangkan.
Bukankah Allah telah berjanji untuk memasangkan dari yang sejenis kita?
Prosesi lamaran di keluarga Mas Ngabei Dharmojan Harjokoesoema berlangsung sangat lancar. Semua berjalan sesuai yang direncanakan.
Rara Ayu Diahastuti Harjokoesoema yang kini sedang berbahagia telah menerima pinangan dari seorang pria yang menurutnya sangat pantas untuk bisa menjadi imamnya. Abbasyi Alwi, pemuda yang pernah mentaskhihkan dirinya di pondok selama 6 tahun seiring dengan pendidikan dunia yang dikecapnya.
Dua keluarga yang berbeda latar belakang akan dipersatukan dalam ikrar pernikahan Asti dan Abbas nanti.
"Mulai sekarang Asti dan juga Abbas mulai dijaga hatinya. Sampai nanti ikrar pernikahan semoga selalu dilancarkan." Kalimat penutup acara sakral untuk pinangan itu akhirnya membawa kembali Abbas kepada kenyataan bahwa mereka masih belum dipersatukan dalam kisah yang halal.
"Masih belum menjadi hak sepenuhnya ya Mas Abbas, jadi untuk hari ini masih harus ikut orang tua pulang." Selorok dari MC yang membuat semua orang yang berada di ruangan tak bisa menahan tawa.
Peristiwa 7 tahun lalu yang sampai saat ini masih terekam jelas diingatan Asti. Dua bulan setelah prosesi lamaran itu berlalu tibalah hari dimana menjadi impian setiap manusia. Menggenapkan separoh agama untuk memperoleh rahmat Allah dan juga melaksanakan ibadah sesuai yang di sunnahkan Rasulullah.
"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkuur, Haalan." Sebuah janji yang selalu menggetarkan arsy Allah telah dilafadzkan Abbas dalam satu tarikan nafas.
Doa dan air mata mengurai bersama perjalanan baru antara Abbas dan Asti.
Bahagia tentu saja, rekah bunga yang mewangi kini menjadi ratu di hati Asti. Hidup bersama Abbas adalah impian Asti. Sejak perkenalan singkat hingga akhirnya tumbuh rasa yang memang tidak bertepuk sebelah tangan.
Rasanya memang kebahagiaan di hari itu tidak akan pernah padam sampai kapanpun. Bahkan pada saat tersulit seperti ini rasa itu tetap mewangi menghiasi di setiap relief hati.
Abbas memang selalu menyayangi Asti. Itu terlihat dari sikapnya yang selalu membuat Asti menjadi orang yang paling dicinta.
Sayang dan sungguh sangat disayangkan, jika kebahagiaan mereka belum lengkap dengan tidak adanya tangis bayi sampai di usia pernikahan mereka yang menginjak 7 tahun.
Bukan tanpa usaha, Asti dan Abbas telah banyak melakukan apa yang orang katakan. Mulai minum jamu macan kerah, pijat di berbagai dukun bayi, sampai di bidang medispun telah diusahakan.
"In Vitro Fertilisation, satu satunya jalan untuk kalian setelah semuanya telah kita usahakan." Kata seorang dokter ahli kandungan berusaha memberkkan solusi untuk masalah Abbas dan Asti.
Dengan segera Abbas menggelengkan kepalanya. "Maaf dok, jika hanya jalan itu yang harus kita tempuh sebaiknya kami mundur."
Bayi tabung masih belum jelas dasar hukumnya menurut agama, itulah yang selama ini di dengungkan oleh keluarga Abbas yang memang berbasic sangat islami.
Asti hanya bisa memeras hatinya. Pilu tak terkira ketika setiap usaha yang dia lakukan membuahkan kegagalan. Tidak ada seorang perempuan yang tidak menginginkan menjadi seorang ibu. Mereka pasti ingin menghadirkan buah hati diantara keluarga untuk melengkapkan kebahagian keluarga kecilnya.
"Kita terus rayu Allah supaya mengabulkan doa kita." Kata Abbas membesarkan hati Asti.
Beban tetaplah menjadi beban. Apalagi gunjingan masyarakat dan orang orang terdekat Asti selalu menjadikannya sebagai bahan olokan bahkan tidak jarang sebagai tokoh utama ghibah mereka.
"Asti, memangnya suami kamu itu tidak bisa mengalah sedikit saja. Bayi tabung itu juga dari benihnya. Dokter itu juga disumpah loh. Nggak mungkin diambilkan dari benih orang lain." Suara bass milik Mas Bei Dharmojan Harjokoesoema membuka perbincangan antara ayah dan anak ini.
"Sampun to Romo. Mas Abbas mboten sarujuk, mangke malah tambah ndadosaken penggalih ingkang serik." Asti menjawab ayahnya bermaksud untuk menengahi. -- sudahlah ayah, Mas Abbas tidak setuju, nanti justru akan membuat sakit hati --
"Manut bojo kuwi pancen kudu, kanggone wong wadon ning yen trus kowe digunem sing ora ora aku ora lilo." -- menurut pada suami itu memang wajib bagi setiap perempuan. Namun ketika kamu jadi bahan omongan saya tidak rela --
"Sendiko dawuh Romo, sampun to. Asti ikhlas nglampahi." -- menuruti perintah ayah, sudahlah. Asti ikhlas menjalaninya --
Tidak ada habisnya membicarakan itu dengan kanjeng Romo. Ayahanda Asti memang masih dengan teguh memegang filsafat jawa. Sehingga mungkin akan rancu jika pandangannya dan pendapat keluarga Abbas dipersatukan. Kemungkinan akan terjadi pecah perang antar saudara.
Bukan berarti orang Jawa tidak taat kepada agama, namun ada cara cara yang mungkin masih dipakai oleh orang tua Asti tapi sudah ditinggalkan oleh keluarga Abbas karena memang tidak di contohkan oleh kangjeng Nabi Rosulullah SAW.
"Bojomu pancen paham agama, ning awas yen nganti tembe mburi ono cacating gawe cekleking atimu. Romo sing bakal tumindak." Mau bilang apa kalau Den Bei sudah berkata seperti itu. Bukan sebuah ancaman tapi ketahuilah itu merupakan bentuk sayang orang tua terhadap anaknya.
Tidak akan ada yang tahu bagaimana hari esok akan terjadi. Manusia hanya bisa berdoa untuk kebaikannya. Meminta kepada Allah untuk memberikan perlindungan di dunia dan di akhirat.
Siang itu, Asti diminta untuk menemui keluarga suaminya. Bukan tanpa alasan tapi jelas sepertinya akan ada pertemuan keluarga. Mungkin membahas sesuatu yang sangat penting.
Datang seorang diri tanpa Abbas, karena memang dia sudah berada di rumah orang tuanya sedari pagi. Setelah pulang dari kantor baru Asti bisa langsung menuju kediaman sang mertua.
"Ma, kita bukan tidak berusaha. Tapi Allah memang belum memberikan. Bahkan kemarin dokter sudah menyarankan untuk bayi tabung tapi Abbas menolaknya." Suara Abbas yang terdengar saat Asti hendak masuk ke rumah sang mertua. Kakinya berhenti, kebiasaan buruknya masih juga belum berubah. Dia lebih senang mendengar di balik pintu dengan jelas sebelum menampakkan diri.
"Bukan begitu Bas, kamu itu anak kami laki laki satu satunya. Keturunamu itu yang kami harapkan ada. Sekarang mana? Sampai di usia pernikahan ke 7 tahun belum ada tanda tanda Asti mengandung."
"Allah belum memberikan Pah." Jawab Abbas
"Mau sampai kapan kamu bersabar?" Kini ganti ibunda Abbas bertanya
"Bukan sabar namanya jika masih berbatas Ma. Ayolah, tolong jangan bahas masalah ini dengan Asti. Dia tidak ada cela untuk Abbas, hanya memang kami belum dipercayai oleh Allah untuk menimang seorang putra. Tolong Ma, kasihanilah kami. Dia sudah sangat bersedih mendengar omongan orang di luar sana, jangan ditambahi dengan perbincangan keluarga mengenai ini." Abbas sampai berlutut di hadapan kedua orang tuanya memohon supaya keduanya tidak membahas masalah yang memang sangat sensitif untuk Asti dan Abbas.
"Mama sudah memintanya untuk kemari Bas, mungkin sebentar lagi Asti akan sampai di sini."
Gemuruh sesak yang ada di hati Asti seperti ledakan guntur di atas awan hitam saat hujan akan turun ke bumi. Bukan hanya dari pihak luar telinga Asti mendengar jika dia belum sepenuhnya menjadi wanita yang sempurna. Kini telinganya benar telah mendengar sendiri bahwa kedua mertuanya sangat menginginkan keturunan dari Abbas.
Apalah daya, pilunya hati yang teremas perih membuat airmata yang sedari tadi ditahannya keluar dengan deras. Tidak terdengar percakapan setelahnya di balik tembok. Hanya jejak langkah kaki yang bergesekan dengan lantai menimbulkan suara lirih.
Berdosakah jika kita mengabaikan panggilan mertua sementara hati kita mungkin tidak akan mampu untuk menahan beban saat berbicara tentang itu. Mundur dan berbalik arah, keputusan yang mungkin mengecewakan untuk semuanya namun Asti butuh waktu sendiri untuk menenangkan hatinya. Dia memilih mengabaikan panggilan mertuanya hari ini.
Dalam perasaan pilunya dia mengendarai kendaraan. Air mata yang terus menerus mengalir membuatnya tidak terlalu berkonsentrasi dengan jalanan yang ada di depannya. Hingga sebuah lampu yang sangat menganggu penglihatan Asti membuat dia tidak bisa mengendalikan kendaraannya dengan baik.
Akhirnya tak dapat dihindarkan lagi sebuah kecelakaan menimpanya malam itu.
Sirine ambulance dan juga garis polisi mewarnai tempat kejadian perkara. Darah segar mengalir dari luka yang ada di tubuh Asti, dengan tak sadarkan diri Asti diangkat dan dibawa ambulance ke rumah sakit.
Dharmojan Harjokoesoema, tentu saja sangat terpukul. Kecelakaan yang menimpa Asti membuatnya harus merasakan dinginnya ruang operasi karena patah tulang dan juga sedikit benturan di kepalanya yang membuat dokter harus memastikan apakah kepala Asti mengalami gegar otak atau tidak.
"Owalah nduk, biasane ki ra nate banter yen numpak pit. Kenopo njur kecelakaan ngene." -- biasanya tidak pernah kencang kalau naik sepeda. Mengapa kecelakaan seperti ini --
Ibunda Asti hanya bisa menangis di samping suaminya saat Asti sedang berjuang di meja operasi.
Abbas yang baru mendapatkan telpon dari mertuanya langsung menuju ke rumah sakit. Memastikan bagaimana keadaan istrinya sekarang.
"Asti ki mau tekan daleme papamu to le?" Pertanyaan Dharmojan membungkam mulut Abbas. -- Apakah Asti tadi dari rumah papamu? --
Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Abbas. Dia memang berada di rumah orang tuanya saat mertuanya menelpon mengabarkan keadaan Asti yang kini tengah berada di rumah sakit karena kecelakaan. Namun selama Abbas berada di rumah orang tuanya dia memang tidak menemui Asti disana. Atau jangan jangan memang Asti ke sana namun belum sampai masuk ke rumah sudah mendengarkan pembicaraannya dengan kedua orang tuanya.
"Ya Rabb, ampunkan semua salahku." Bibir Abbas bergumam lirih.
Menunggu operasi selesai itu sama seperti menunggu bulan berlalu dan tahun berganti. Tiga jam yang terlalui seperti setahun menunggu jawaban tanpa kepastian.
"Operasi sudah selesai. Alhamdulillah semua berjalan dengan lancar hanya saja___", Suara menggantung dari dokter itu seketika memupus nafas bahagia yang baru saja dihirup oleh keluarga Asti
"Anak saya tidak apa apa kan dok?" Dharmojan langsung paham kemana arah dokter itu akan bicara.
"Respon Asti masih sangat minim terhadap rangsangan yang kami berikan. Mungkin nanti akan lebih jelas jika dia sudah siuman dari bius yang kami berikan. Semoga tidak ada masalah yang berarti."
Hingga akhirnya menunggu adalah jawaban yang paling tepat untuk semuanya.
Satu jam,
Satu hari,
Satu minggu,
Satu bulan____,
Kondisi Asti masih sama. Setia dengan bungkamnya. Setia dalam terpejamnya mata. Berbagai macam alat medis medis terpasang di tubuhnya. Sampai alat pendeteksi gerak jantung sebagai alarm untuk memberikan informasi kepada keluarga Asti bahwa dia masih hidup.
Dua bulan berlalu,
Setiap hari Abbas datang ke kamar rawat Asti. Menggantikan pakaian Asti, mengajaknya bicara meskipun Asti tidak merespon sedikitpun. Abbas masih dengan setianya mendampingi Asti yang kini tengah berjuang di batas kemampuannya.
"Kembalilah sayang, aku merindukanmu. Merindukan saat saat kita bersama dulu, tertawa, bahagia, meski Allah belum menganugerahi kita buah hati. Aku menyayangimu Asti. Jangan tinggalkan aku sendiri karena tanpamu sesungguhnya aku tidak akan pernah mampu." Abbas menitikkan air matanya.
Tidak ada guratan senyum sedikitpun. Lelah tentu saja, tiada ujung sebuah penantian. Meski ada tersisa harap bahwa Allah tidak akan pernah memberikan batasan umat untuk berusaha.
Empat bulan berselang,
Abbas masih setia berkunjung meski sudah tidak sesering dulu. Dulu bisa setiap hari kini dia hanya bisa berkunjung 3 hari sekali. Pekerjaan yang membuatnya harus mengalah mengorbankan waktunya untuk menemui Asti di rumah sakit.
Setahun berganti,
Bahkan Abbas sudah tidak pernah berkunjung menemui Asti sejak dua bulan yang lalu. Entahlah, karena alasan apa. Kini hanya Dharmojan beserta istrinya yang selalu bergantian menjenguk putrinya. Sawah, ladang dan sebagian hartanya yang lain sudah habis terjual guna membayar biaya pengobatan dan rumah sakit Asti.
Tidak pernah disesali karena selama jantung masih berdetak manusia masih memiliki harapan untuk bisa melihat dunia.
Tepat seminggu setelah tahun berganti. Mata Asti terbuka lebar. Bibirnya mulai bergerak meski belum bisa bersuara. Pita suaranya masih membutuhkan penyesuaian sama seperti tubuhnya yang tidak langsung bisa berjalan meskipun operasi yang dulu dilakukan sudah tidak memiliki efek yang signifikan.
Fisioterapi dipilihkan oleh dokter untuk terapi bagi kaki kaki Asti supaya bisa digerakkan kembali.
"Dulu setiap hari selalu ada laki laki yang menunggu mba Asti di kamar. Hingga berkurang tiga hari sekali, seminggu sekali sampai akhirnya sejak dua bulan kemarin tidak pernah kelihatan lagi di rumah sakit." Salah seorang perawat yang membantu Asti untuk melakukan fisio terapi menjawab pertanyaan yang diajukan Asti sebelumnya.
Pikiran Asti kembali berkelana. Apa yang terjadi? Bahkan mengapa sampai kedua orang tuanya tidak memberitahukan kepada Abbas suaminya bahwa dia kini telah siuman dari tidurnya yang panjang. Mengapa mereka memilih diam dan tidak sekecappun bercerita kepadanya bagaimana kondisi laki laki yang telah menikahinya selama 8 tahun itu.
"Selamat ya mba Asti, akhirnya dokter menyatakan kesembuhan total untuk mba. Semoga tidak akan kembali ke rumah sakit ini sebagai pasien." Perawat yang telah akrab dengan Asti mengantarkannya sampai ke lobi depan dengan menggunakan kursi roda.
"Alhamdulillah, terima kasih ya Mba sudah membantu dan merawat Asti selama disini."
"Itu sudah tugas saya."
Mobil yang kini di tumpangi Asti sudah memasuki halaman rumahnya. Namun Asti enggan untuk turun. Dia meminta sang sopir untuk melajukannya kembali bergerak menuju rumah mertua tanpa diketahui oleh kedua orang tuanya.
"Mba, nanti apa nDoro Bei mboten duko to?" -- nanti bapak tidak akan marah kan? --
"Aku sing tanggung jawab. Wes geh ndang mlaku." Jawab Asti dengan pasti. -- aku yang bertanggung jawab ayo segera berangkat --
Tiba di rumah Abbas, nampak beberapa orang hilir mudik. Sepertinya memang di rumah mertuanya sedang ada acara besar. Pakaian yang dipakai para tamu juga begitu istimewa lengkap dengan make up untuk membuat penampilan sempurna paripurna.
Tiba saat Asti berjalan hendak memasuki ruangan. Suara bass yang tidak asing di telinganya mengingatkan kembali bagaimana 8 tahun yang lalu dia begitu bahagia menjadi seorang wanita.
"Saya terima nikah dan kawinnya Restiwati binti Maman Sutarman dengan mas kawin tersebut diatas. Tunai."
Asti tidak bisa berkata apapun setelah semua saksi mengatakan sah dan melihat dengan kedua matanya siapa yang mengucapkan kalimat sakral dimana begitu dinanti oleh setiap wanita sebagai kalimat paling romantis. Janji seorang pria untuk tetap setia kepada pasangannya di depan Allah.
Bak palu godam menghantam hatinya yang merapuh. Terjawab kini alasan dari perbincangannya bersama perawat beberapa minggu yang lalu. Mengapa Abbas tak lagi berkunjung ke rumah sakit.
Air mata yang mengalir menjadi saksi betapa hancur dan terlukanya hati Asti. Otaknya kini mulai berpikir, mungkin karena ini jualah yang menjadikan alasan bungkam kedua orang tuanya. Tidak pernah menyinggung tentang Abbas meskipun dia telah sadar dari koma.
"Asti__sayang." Suara Abbas menggugah lamunannya. Ini bukan sebuah scene dalam sinetron Indonesia yang nggak jelas endingnya kapan. Ini adalah part of lifenya. Hidupnya, and it's a real.
Suaminya kini telah memperistri wanita selain dia.
Sejauh apapun Asti berlari dia tidak mungkin mengingkari kenyataan yang terjadi di depan matanya. Hingga kedua kaki yang baru saja kokoh menopang berat tubuhnya kembali tetap diam di tempatnya.
Mendengarkan penjelasan dari bibir Abbas meski hatinya menolak.
"Maafkan aku___" Abbas yang kini bersimpuh bahkan nyaris bersujud dihadapan Asti.
"Kami tidak pernah tahu sampai kapan kamu akan koma dan terbaring di rumah sakit. Sedangkan usia Abbas terus berjalan dan kami menginginkan keturunan darinya. Tidak masalah bukan menerima Resti menjadi teman berbagimu." Ibu mertua yang berdiri di belakang Abbas berkata seolah bukan seorang wanita yang tidak tahu bagaimana perihnya hati tersiram cuka madu.
Resti yang tidak mengerti apa yang tengah terjadi dengan keluarga barunya hanya diam terbengong.
"Jika kamu menerima dengan ikhlas surga jaminannya Asti." Sekali lagi suara sang ibu mertua mendominasi percakapan mereka.
Asti yang awalnya diam berteman dengan lelehan air mata. Akhirnya kini berani bersuara.
"Saya memang berharap bisa menggapai surga bersama mas Abbas, Ma. Tapi maaf bukan melalui pintu surga yang tidak pernah kami rindukan bersama. Saya tidak mungkin menambah hisapan suami di akhirat karena sampai kapanpun saya tidak akan rela memiliki madu. Sekali lagi maaf." Kata Asti yang akhirnya memilih untuk meninggalkan majlis akad suaminya.
"Astaghfirullah ternyata mas Abbas dan mba Asti adalah suami istri dan belum berpisah mengapa tidak ada yang menceritakannya kepadaku?" Suara Resti begitu menggelegar hingga majlis yang tadinya riuh bisikan miring tentang Asti menjadi sunyi.
Sama halnya dengan Asti, sebagai wanita Resti juga tidak ingin merasakan yang namanya madu di dalam rumah tangganya.
"Asti tunggu__", teriak Abbas bingung.
"Mbak Asti tunggu, maafkan kami. Pernikahan ini bisa dibatalkan karena saya merasa telah dibohongi dengan status mas Abbas sebelumnya. Kembalilah mba, bukan tempat saya disini. Ada mba Asti yang seharusnya tetap mendampingi mas Abbas sampai maut yang memisahkan kalian. Maafkan kehadiran saya yang sungguh tidak tahu akan hal ini." Air mata Resti kini telah terjun membasahi kedua pipinya.
Walau perih Asti mencoba tersenyum memandang wanita yang kini telah sah menjadi istri dari suaminya itu.
"Tidak Resti, keluarga mas Abbas menginginkan sesuatu yang sudah 8 tahun ini belum bisa aku hadirkan. Kini tugasmulah untuk menghadirkannya. Aku ikhlas kamu menggantikan posisiku, tapi selamanya aku tidak akan pernah ikhlas menjadi madumu." Ucap Asti dengan kesadaran penuh.
"Surga memang tujuan kita bersama, tapi bukan surga seperti ini yang kurindukan Mas. Aku tidak meminta cinta berlebih namun hanya ingin bisa sakinah. Sekarang, saat aku tahu Mas Abbas telah mengundang Resti ke istana kita, jujur perih rasanya hatiku, pudar sudah harapku bisa mawadah bersamamu. Jika sudah seperti ini bagaimana Allah akan memberikan rahmah kepada keluarga kita? Aku mundur mas, aku mengikhlaskan Resti menggantikan posisiku tapi jangan minta aku bisa kembali di posisiku yang lama. Izinkan aku mencari jalan surgaku sendiri." Asti membalikkan badan. Kakinya seolah kaku untuk digerakkan dipaksakan juga untuk berlalu meninggalkan majlis akad suaminya.
Bersama hati yang kini masih basah berdarah dan tersiram cuka. Asti meninggalkan cinta dan kenangannya bersama Abbas.
Allah lebih tahu untuk menyembuhkan hatinya ke depan. Haruskah dia tetap menangis atau kembali tersenyum.
✏ -- the end -- ✏
Blitar, 02 Agustus 2019
Mana yang nulis, yang nulissss inihhhh mana???? 😂😂😂😂
Silakan kirim ke email author ke
[email protected]
Akan saia publish tentunya melalui proses editing typo tanpa mengurangi isi cerita.
Berminat untuk gabung?
Ayo...ayooo...ayoooooo 😍😍😍
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top