🍒 Heal Your Heart
a story by Stroopsbaby and RisaliaIcha
✏✏
Zzztt... Zzttt... Zztttt
Segera saja ku geser ikon telepon berwarna hijau yang sejak tadi berdering menampilkan sebuah nama di layar.
"Assalamualaikum..."
"Waalaikumsalam, Arga..."
"Iya tante Mai, ada yang bisa Arga bantu?"
"Begini, Arga. Tante mau minta tolong, ada pasien yang akan tante rujuk ke RMC."
"Boleh tante silakan. Pasien kasus apa tante?" tanyaku semakin penasaran.
"Pasien anak, kebetulan pasien tante. Dia menderita kelainan jantung, bawaan sejak lahir dan harus di operasi. Kebetulan dokter BTKV di sini sedang tidak available dan tante sarankan ke wali pasien untuk di rujuk ke RMC dan kamu yang tante rekomendasikan sebagai dokter bedah yang akan menanganinya."
Aku terdiam sejenak setelah mendengar penjelasan dari dokter senior yang juga masih kerabat keluargaku ini.
"Arga?"
"Eh. Oya tante, saya bersedia untuk menangani."
"Alhamdulillah, terimakasih ya Arga. Untuk lebih lengkapnya nanti akan tante email medical recordnya supaya bisa dipelajari dahulu."
"Baik tante, saya tunggu. Assalamualaikum..."
Jantung? Bocor? Astagfirullah. Seketika saja terbersit nama Afika, anak perempuanku yang mengalami hal yang kurang lebih sama dengan pasien yang akan datang ke RMC.
Salsa namanya, sekilas ku baca data pribadinya sebelum mempelajari lebih jauh tentang penyakitnya. Usianya sama dengan putriku ketika mengidap penyakit yang sama namun sayang Afika pergi sebelum aku dan Biya nya menangani lebih lanjut.
"I'll take the case." gumamku lalu menutup laman email dan bergegas pulang.
Ting!
"Sayang, aku tunggu di mobil ya."
Seketika senyum terbit di wajahku saat pesan dari istriku muncul di layar lalu segera ku balas sebelum keluar dari ruanganku di lantai 8 ini.
.
.
.
"Kok lama?" pertanyaan langsung menyerang saat pintu mobil terbuka dan Nyonya Arga ada di dalam sedang menunggu.
"Ketemu koas tadi."
"Ohh. Kirain nyasar," kelakarnya membuatku tersenyum sambil menjalankan mobil keluar dari parkiran.
"Hahahaha ya kali nyasar, Sayang. Aku dari kecil main di sini, mustahil aku nyasar."
"Iya percaya..."
"Gimana hari ini? Aman?" pertanyaan yang selalu keluar ketika kami selesai bekerja adalah seperti itu. Shakiya yang menggantikan posisiku sebagai Chief di department Bedah, tepatnya kepala pendidikan bedah sejak aku menjabat sebagai direktur rumah sakit.
"Aman, Alhamdulillah." jawabnya dengan senyum menatapku. "Sayang, coba kamu ambil beberapa operasi lagi dy. Biar nggak kaku tangannya."
"Ada satu kasus menarik." kataku perlahan. "Baru aja ku baca medical records nya tadi dan aku bawa pulang untuk di pelajari, ada di ipad."
"Oiya? Dari siapa? Kok nggak ke aku?"
"Pasien rujukan. Dari tante Mai, pasien anak KMC."
"Hmmm..., Challenging. Kamu nggak pengin reunited gitu? Aku yang jadi asistenmu, dan pakai Freya buat anestesi." usulnya untuk tim operasi ke depan.
"Boleh, di operasi ini ya?"
"Tapi kudu kamu yg operasi. Aku cuma asisten."
"Iya sayang.." jawabku, wajahnya begitu semringah, semoga saja setelah ku beritahu kasusnya, Shakiya tidak syok mendengarnya.
"Kamu boleh baca dulu case nya dan kamu akan tahu alasanku kenapa aku ambil case ini."
Shakiya mulai menatapku heran dengan alis saling bertaut dan wajahnya nampak serius. "Kenapa?" tanyanya.
"Afi." ujarku.
"Afi?"
"Iya, Afika. Anak kita, kamu lupa? Hm?" langsung saja ku raih tangan kanannya sementara mataku terus fokus melihat jalan.
Shakiya menggelengkan kepalanya. "Nggak akan. Nggak akan lupa, Sayang." jawabnya mulai bergetar.
Tuhan.
Aku tahu betapa kehilangannya Shakiya saat anak kami pergi beberapa hari setelah Bunda dari istriku ini juga pergi meninggalkan kami semua. Cobaan bertubi yang datang membuat Shakiya down dan hampir kehilangan arah.
"Hhhhh..." helaan napas berat ku dengar dari wanita di sampingku. "Sudah 24 tahun berlalu..."
"It's been so long..." gumamku.
"Kalau dia masih ada, mungkin dia sudah menikah. 29 tahun, 5 tahun terpaut dengan Abang..."
"Ya dan harusnya kita sudah ada cucu yang lari-lari di rumah."
"Hhhaa tua ya pak." tawanya getir ku dengar.
"Hahaha iya bu. Rambutku udah mulai tumbuh uban, lihat nih."
"Nggak apa. Tetap ganteng, My Super Gaga." katanya saat mobil kami sudah berhenti di carport lalu kecupan manis mendarat di keningnya.
.
.
.
"Anakmu di rumah? Ada mobilnya." kata Shakiya sambil mendaratkan tubuhnya di sofa kamar.
"Mungkin di atas. Tidur kayaknya." jawabku sambil mengganti baju yang sudah tak karuan baunya ini.
Shakiya langsung sibuk di dapur menyiapkan teh untukku dan memanaskan makanan untuk Rayyan, anak kedua kami yang sepertinya sedang tidur akibat lelah jaga pagi ini.
"Bang..."
Nah itu dia keluar dari kamarnya dengan muka bantal, wajah-wajah mengantuk khas orang bangun tidur. Rayyan langsung menghampiri Biya nya di dapur sementara aku di ruang tengah mendengarkan percakapan mereka.
"Baru bangun? Pulang jam berapa?"
"Jam 2 tadi."
"Gitu gak pamitan biya. Sudah makan?"
"Nggak sempet Biy. Rame tadi di bedah, belum makan, keburu ngantuk tadi."
Lalu Shakiya menghidangkan makan malam untuk anak kami yang tinggal satu-satunya itu, masih bisa ku lihat dari jauh meski lelah Shakiya tetap melakukannya dan Rayyan segera memakan dengan lahap walaupun bukan Biya nya yang memasak.
Seandainya Afika masih ada mungkin saat ini dia sedang bermanja dipangkuanku. Bukan berarti Rayyan tidak pernah begitu, hanya saja Rayyan lebih manja dengan Biya nya.
Astagfirullah. Sadar Arga!
"Daddy. Ini teh nya sudah, mau ngeteh di mana?" tanya Shakiya sambil meletakkan cangkir teh di meja.
"Iya, sini aja. Di luar mendung." jawabku lalu menyeruput teh yang masih hangat itu.
"Mana file nya dy? Coba aku mau lihat?"
Ipad segera berpindah tangan ke Shakiya lalu dengan wajah serius ia membaca teliti medical record di hadapannya itu. Ada raut wajah sedih dan aku tak bisa lagi memahaminya, tapi satu yang pasti bahwa di matanya masih ada kesedihan di sana. Kesedihan akan kehilangan anak pertama kami yang belum lama kami limpahi kasih sayang namun Tuhan sudah memintanya kembali.
"Persis dy, usianya, case nya." sudah tak ku perhatikan wajah Shakiya yang heran menatapku termenung dan hanya diam.
"Daddy?" panggilnya sambil ku rasa ia menepuk pundakku hingga aku terlonjak kaget.
"Are you okay?" tanyanya lagi, aku hanya mengangguk walaupun pasti Shakiya tak percaya bahwa Suaminya ini baik-baik saja.
"Kita bahas lagi besok ya, kamu istirahat duluan." katanya sambil memberikan kembali iPad tadi padaku.
"I know, this is so hard. Tapi kamu mau bantu aku kan sayang?" tanyaku menatapnya dalam-dalam, Shakiya hanya mengangguk dan menggenggam tanganku erat.
"We'll do it. Besok pasiennya datang kan?"
Aku mengangguk.
"Nanti aku yang akan visit, kita bagi tugas. Kamu bisa sayang, aku percaya kamu."
💞💞💞💞💞
Hari-hari menjelang operasi pasien cilik bernama Salsa itu berjalan begitu cepat. Setiap selesai visit Shakiya selalu bercerita betapa ceriwisnya Salsa bila Shakiya datang dan memeriksanya. Salsa bahkan meminta Shakiya berfoto dengannya dan begitu Shakiya mengirimkannya padaku, ya Tuhan wajah mungil dan senyumnya begitu manis. Seperti Afika kami.
"Sayang." panggilku tepat sebelum kami turun dari mobil. "So.. Are you ready?"
"Iya sayang. Ready, selagi chief operatornya kamu. Aku kan asisten," jawabnya disertai senyum manis diwajahnya.
.
.
.
.
"Dokter Arga, visit terakhir sebelum masuk OK dok." ajak Shakiya.
Aku mengangguk, bersama dengan para koas dan PPDS kami semua menuju kamar yang berada di ujung koridor bangsal anak.
"Silakan dok." ujar Shakiya di sebelahku.
Ku tarik napasku dalam-dalam sebelum membuka pintu dihadapanku ini. Dengan begitu yakin dan hati yang berusaha kuat, ku buka pintu dengan senyum yang harus terpasang.
"Selamat siang," sapaku.
"Siang dok,"
"Perkenalkan saya dr. Arga. Yang akan membantu operasi Salsa hari ini." ujar ku memperkenalkan diri karena selama ini Salsa dan kedua orang tuanya hanya bertemu dengan Shakiya.
"Titip Salsa dok, saya mohon..." ujar Ibunya penuh harap.
"Tolong sembuhkan Salsa," tambah Ayahnya yang juga sangat berharap anaknya dapat sembuh dan kembali normal seperti anak-anak seusia Salsa pada umumnya.
"Saya akan lakukan yang terbaik. Bersama tim saya, Ibu dan bapak berdoa ya." kataku, tak mungkin ku janjikan dengan pasti karena tidak akan ada yang sanggup menjamin semua akan lancar dan berhasil.
"Salsa, jangan takut ya nak."
"Nggak takut kok pak doktel." jawabnya dengan suara imutnya.
"Iya Salsa kan pintar ya..." tambah Shakiya. Anak itu hanya mengangguk antusias tanpa ada sedikitpun rasa takut di wajahnya.
"Ya sudah, semua sudah siap ya. 15 menit lagi kita masuk ke OK, Koas, tolong di bantu ya." perintahku
"Baik dok."
"Nanti sebelum di mulai, Salsa ketemu sama dokter Freya dulu ya untuk anastesinya." tambah Shakiya.
"Kalau begitu kami permisi ya, kita ketemu di OK."
Buru-buru aku dan Shakiya keluar dari ruangan itu dan menuju ruang operasi dan bersiap di sana. Ada nyawa seorang anak yang harus kami selamatkan, ada asa sepasang Ibu - Bapak yang mengharapkan kesembuhan lewat tangan kami, tentu dengan pengharapan penuh pada Sang Maha Pemilik Kehidupan.
Harus kami kesampingkan semua ego dan kesedihan yang kadang menggelayuti hati ini. Menyelamatkan Salsa tentu tidak akan mengembalilan Afika pada kami tapi setidaknya kedua orang tua Salsa tak merasakan apa yang kami rasakan duapuluhempat tahun yang lalu.
"Gimana perasaanmu sayang?" tanya Shakiya sebelum kami masuk ke dalam ruangan dingin dengan Salsa sudah berada di dalam sana bersama Freya dan beberapa suster di sekelilingnya.
"Huftt, this is so hard..."
"Look at me, i trust you. You can!" Shakiya berusaha meyakinkanku sekali lagi.
"Betapa beruntungnya Salsa." gumamku sambil menatap Shakiya.
"Bisaaa...."
"Iya sayang. Aku akan berusaha sekuat mungkin. Kita akan selamatkan Salsa."
"Sure! Let's do it." ajaknya lalu kami masuk ke dalam ruangan.
.
.
.
Lega kami rasakan begitu prosedur operasi sudah selesai meski kendala sedikit saat tekanan darah Salsa menurun namun semua bisa di atasi dengan kerjasama tim yang baik dan tubuh Salsa yang bisa merespon semuanya.
"Alhamdulillah..."
"Alhamdulillah. Kita temui orang tuanya dulu."
Aku dan Shakiya keluar dari ruang operasi dengan lega dan wajah semringah yang bisa kami tampilkan setelah operasi yang cukup panjang dan memakan waktu pasti membuat siapapun cemas.
"Ibu, bapak..."
"Dok," kedua orang tua muda yang tangannya saling bertaut itu berdiri di hadapan kami berdua dengan wajah yang penuh harap, masih sama seperti tadi.
"Alhamdulillah operasinya sudah selesai dan berjalan lancar." ujar Shakiya.
"Alhamdulillah! Terima kasih dokter Arga, dokter Shakiya, terima kasih."
Kami hanya mengangguk, wajah mereka begitu bahagia, sesuai dengan harapan mereka meski kami tak menjanjikan apapun pada awalnya namun semua itu terbayar dengan berjalan lancarnya operasi kali ini.
Afika, Daddy dan Biya berhasil sayang..
"Untuk sementara Salsa akan berada di ICU sampai siuman lalu bisa di pindahkan ke ruang perawatan biasa setelah semuanya normal kembali." ujarku setelah bisa menetralkan gejolak yang ada di kepalaku.
"Baik dok, terima kasih sekali lagi."
.
.
.
.
"Relief?" tanya Shakiya saat semua sudah selesai.
"Sangat, sangat lega. Terima kasih sudah meyakinkan aku." ku peluk Shakiya di hadapanku dengan erat, aku tahu ia merasakan hal yang sama namun ia takkan menunjukkan hal itu di depan siapapun kecuali padaku.
"Sayang, aku mau ketemu Afika sore ini boleh?"
"Boleh, sekarang sudah sore. Sekalian kita pulang, kita mampir ketemu Afika." jawabku sambil mengusap kepalanya, manatap penuh matanya. Ada kerinduan di sana, kerinduan seorang Ibu pada putrinya.
Ku bawa Shakiya ke tempat di mana Afika di makamkan, tak jauh dari rumah kami, searah jalan pulang. Satu buket bunga matahari Shakiya beli di depan rumah sakit sebelum kami berangkat tadi.
Senyum di wajah Shakiya tak luntur meski mobil kami semakin mendekat ke arah blok tempat Afika. Aku tahu, hatinya pasti menangis namun tidak dengan wajahnya, Shakiya mampu sembunyikan semua itu.
"Afika, Biya datang." gumamnya masih bisa ku dengar begitu mobil kami berhenti.
"Ayo sayang." ajakku.
Doa kami rapalkan di depan makam putri kami ini, jelas sangat terpatri namanya, Afika Putri, matahari yang tak pernah redup sinarnya di hati kami, matahari yang selalu menyinari kehidupan kami meski semua terasa sangat singkat tapi kami bersyukur sempat merawat dan membahagiakannya.
Kami semua sayang padanya, namun ada yang lebih sayang dari kami semua.
"Fika, hari ini ada pasien Biya sama Daddy di rumah sakit namanya Salsa, dia buat Biya dan Daddy ingat kamu nak. Maafin Biya ya sayang."
Ku usap punggung Shakiya yang bergetar saat berbicara, seolah ia bercerita di depan Afika langsung.
Tak kuasa akhirnya tangis Shakiya pecah saat berbalik dan memelukku sampai air mata yang susah payah ku tahan sejak kemarin tiba-tiba meluncur begitu saja dengan derasnya tanpa bisa di tahan lagi.
"I know sayang, maafin aku." gumam ku sambil terus ku kecup puncak kepalanya, menenangkan Shakiya yang goyah begitu sampai di sini.
Afika Putri, Daddy dan Biya rindu. Terima kasih karena pernah hadir di kehidupan kami.
~~~No parents should burry their child. Time heal pain and sorrow, but when the process is reversed, the sorrow remains forever~~~
In collaboration
Iva & Icha
Cerita ini adalah salah satu karakter yang ada di Novel Heal Your Heart karya RisaliaIcha
Blitar, 12 November 2019
Published without editing 😆😆😆😆😆
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top