Berdamai dengan Masa Lalu (2)
Story by MarentinNiagara
Based on true story
Sebenarnya siapa di sini yang harusnya repot. Mengapa justru aku yang seperti berdiri di pucuknya duri? Seperti pepatah orang jawa mengatakan, ancik-ancik pucuking eri.
Nasihat pappous dan yaya agar aku tidak perlu ikut campur urusan kedua adik, orang tuaku dan juga pasangan mereka masing-masing. Masalah Roy dan Shanum ini pada akhirnya menjadi lebar sampai harus membawa pertengkaran antara papa dan tante Rossa begitu juga mama dengan om Ryo. Bahkan seolah semua salah dilimpahkan kepadaku.
Sebenarnya aku memberikan kontribusi apa hingga seolah masalah itu bersumber dariku? Tidak, semua bukan salahku. Bahkan karena keegoisan mereka pula aku harus hidup dan besar dalam asuhan pappous dan yaya.
"Dari awal pappous tidak setuju kamu mencoba menjembatani drama percintaan kedua adikmu Gavin. Mengapa masih juga kamu ngeyel untuk membantu mereka. Biarkanlah mereka menyelesaikan sendiri masalah mereka dengan keluarga mereka masing-masing. Dulu saja mereka seolah lepas tangan saat kamu masih kecil, giliran sekarang kamu berbaik hati, menyayangi kedua adikmu sama besarnya justru mereka menyalahkanmu. Orang tua macam apa itu?" jika pappous sudah berkata demikian itu artinya aku memang sudah harus berhenti.
"Cukup, biarkan saja Roy menyelesaikan masalahnya, kalau dia mencintai Shanum sebagai laki-laki biar dia berusaha, jangan kamu. Kamu juga harus berusaha tapi untuk jodohmu sendiri, bukan untuk jodoh adik-adikmu itu. Pappous tidak ridho untuk itu."
"Sudah Pap, jangan ngegas terus nanti tensinya naik lagi. Gavin pasti tahu, dia juga sudah merasakan bagaimana kedua orang tuanya saling menyalahkan. Dengarkan nasihat pappousmu, Vin. Lepaskan saja masalah mereka, tidak ada tanggung jawab seorang kakak untuk menikahkan adiknya ketika kedua orang tua mereka masih lengkap. Yaya setuju dengan pappous, stop it."
Aku hanya bisa mengangguk dan setuju, apalagi? Mereka orang tuaku, iya kakek dan nenekku tapi sudah aku anggap sebagai orang tua karena merekalah yang membentukku menjadi seperti sekarang ini.
Kembali lagi fokus dengan cita-cita dan masa depanku. Aku memang belum berniat menikah, tidak pula ingin pacaran, aku hanya ingin membahagiakan dan memanjakan pappous dan yaya tanpa harus membaginya dengan pasanganku. Setidaknya untuk menjadikan mereka puas memiliku dan mengenai pasangan, jelas aku laki-laki normal yang masih menyukai wanita.
Sudah hampir sebulan berlalu, aku tidak ingin lagi ikut campur dalam urusan keluarga mereka. Biarkan semuanya berjalan sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Aku tidak ingin menjadi duri dalam daging diantaranya. Namun baru saja aku memutuskan, baru saja tekad itu bulat dan waktu seolah menjadi saksi bahwa aku tidak lagi masuk dalam masalah mereka, ada sebuah pesan suara dari Shanum.
"Bang, mama kabur. Sepertinya semalam bertengkar hebat dengan papa bahkan__" aku hanya mendengar suara tangis Shanum setelahnya. Baru beberapa detik kemudian pesan suara berikutnya muncul. "Papa sempat berkata memberikan talak kepada mama."
"Astaghfirullah, mengapa jadi serumit ini masalah mereka," batinku dalam hati.
"Bang, aku tidak mungkin bicara dengan papa. Hanya abang satu-satunya harapanku untuk bisa bicara dengan papa dari hati ke hati."
Tidak ingin membalasnya namun aku langsung menekan nama Shanum dan kami terhubung dalam percakapan telepon selanjutnya. Ah mengapa papa mengulang lagi kesalahan yang pernah dia lakukan dengan mama dulu ketika aku masih kecil. Pernikahannya dengan tante Rossa kini justru akan masuk ke usia perkawinan perak. Apa tidak diingat kebaikan beliau selama mendampingi papa, mengapa beliau justru dengan ringan mengucapkan kata talak?
"Dek, abang sudah janji kepada pappous dan yaya untuk tidak ikut campur lagi urusan kalian. Cobalah untuk berbicara dengan papa, kalau perlu suruh papa minta maaf kepada tante Rossa. Mengapa jadi semakin rumit seperti ini?"
"Nggak mungkin Bang, papa bisa ngamuk juga sama aku kalau aku harus ngomong sekarang."
"Ya nggak harus sekarang juga, kamu kan pasti tahu kapan papa lagi landai, dan bisa diajak deeptalk masalah kalian."
"Tolonglah Bang, besok aku ke rumah abang. Aku yang akan bicara kepada pappous dan yaya."
"Heh, besok abang kerja."
"Ya habis abang pulang kerja. Aku main ke sana pokoknya."
Kalian pasti tahu kan bagaimana rumus penurunan genetika kepada seseorang? Sifat seorang anak akan cenderung ikut pada genetik ayah sedangkan kecerdasan seseorang akan ikut pada gen seorang ibu. Dan itu terbukti, Shanum itu sifatnya mirip sekali denganku mungkin karena kita memiliki papa yang sama. Sedangkan Roy, bahkan aku dan Roy memiliki hobby yang sama, jika kami sedang membahasnya dan menghitung kalkulasi dalam berbagai aspek akan banyak sekali sambungan yang tanpa kami sadari mama telah menurunkan genetik itu. Itu sebabnya mengapa aku mulai memasang target untuk mencari pasangan. Seolah mewajibkan pasanganku kelak adalah wanita yang cerdas dan pintar dalam banyak hal. Sehingga tidak lagi perlu harus mengadakan seleksi yang terlalu ketat. Jika wanita itu cerdas, dia pasti akan mengerti apa itu namanya kewajiban dan tanggung jawab. Baik itu kewajibannya sebagai seorang hamba, istri dan juga ibu untuk anak-anak kami kelak. Cerdas bisa mendidik anak-anak kami, mengarahkan apabila aku harus mencarikan nafkah untuk mereka. Setidaknya aku akan tenang meninggalkan mereka bekerja, karena istriku seorang yang cerdas.
"Bang__" baru saja Shanum mulai bicara padaku. Deru mesin motor Roy berhenti di depan rumahku.
"Kamu janjian dengan Roy? Kalau papa tahu bisa marah lagi beliau kepada abang. Kamu kan tahu Dek, kalau kemarin papa marah seperti itu kepada abang."
"Demi Allah, Bang. Aku tidak janjian dengan Roy. Dia pasti juga ingin ngomong dengan abang." Roy datang tanpa bicara, dia mengeluarkan sebuah amplop dan menyerahkannya kepadaku.
Melihat nama yang tertera seharusnya bukan untukku, namun loggo yang ada di pojok kiri atas aku hanya bisa menghela nafas dalam-dalam. Aku memang belum memiliki pengalaman dalam sebuah pernikahan namun tidak sedikit pun tersirat dalam benakku untuk berurusan dengan lembaga ini terkait dengan sebuah pernikahan.
"Mama menggugat cerai om Ryo? Gimana ceritanya?"
"Entahlah Bang, sepertinya masalah ini runyam banget sampai mereka harus bertengkar hebat. Mama tidak mau dituduh macam-macam sama papa. Yang benar saja masak mama dibilang ingin dekat dengan papanya Andhin lagi kalau sudah menjadi besan nanti. Papa juga cemburunya kebangetan."
"Memangnya sudah tidak ada jalan lain lagi selain perceraian?"
Kepalaku berdenyut semakin kencang. Belum juga masalah lama terselesaikan kini justru mereka harus menghadapi masalah baru. Dimana kedua orang tua mereka merencanakan untuk berpisah. Dan sekali lagi menurut untuk tidak mengambil tempat berurusan dengan mereka seperti nasihat pappous adalah hal yang paling bijaksana.
"Pulanglah kalian, bicarakan semuanya secara baik-baik dengan orang tua kalian. Dulu papa dan mama memutuskan untuk berpisah ketika aku masih sangat kecil. Sehingga aku tidak bisa mencegahnya, sekarang kalian sudah dewasa, sudah mengerti apa artinya pernikahan dan perpisahan, orang tua tidak selamanya benar demikian juga anak muda tidak selalu salah. Kalaian paham kan?"
"Maafkan kami ya Bang, makasih untuk semuanya."
Entah aku harus bahagia atau bersedih saat ini. Seperti membuka kembali file memori yang telah lama tersimpan dalam otakku. Bahkan aku berusaha untuk tidak mengingatnya walaupun sangat susah untuk dilakukan. Bahagia karena kedua adikku bisa memahami posisiku, tetapi sekaligus bersedih, mengapa mereka harus merasakan sakitnya menjadi anak yang harus menyaksikan orang tuanya berpisah, meski keduanya sudah dewasa untuk memahami itu.
Pahitnya kenyataan itu berderit bersama putaran waktu, kebetulan atau bukan yang jelas kedua adikku pada akhirnya merasakan apa yang pernah aku rasakan dulu.
"Ma, aku hanya ingin menikah dengan Andhin, titik."
"Memangnya di dunia ini perempuan hanya Andhin satu-satunya? Yang lebih baik dari dia banyak, Dek. Temannya abang juga banyak, mengapa harus Andhin, Andhin dan Andhin. Apa hebatnya dia?"
"Maaf Ma, pasti yang lebih baik dari Andhin banyak, tapi adik maunya dengan Andhin. Lebih baik adik tidak menikah seumur hidup adik jika bukan dengan Andhin." Mama sepertinya sudah tidak lagi memiliki cara untuk memisahkan Roy dengan Shanum. Satu-satunya jalan adalah dengan menemui papa lalu membicarakan semua ini dengan kepala dingin.
Meminta pendapatku juga tidak akan memberikan pengaruh apa pun karena aku telah berjanji untuk menarik diri. Ah cinta, sedemikian hebatnyakah pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari sampai orang bisa lupa apa itu mengalah, apa itu ikhlas, apa itu belajar. Harusnya mama bisa belajar dari apa yang telah kami lalui bersama namun sepertinya kata menekan ego itu jauh sekali dari kebiasaan mama.
Sayangnya semua itu mulai berbanding terbalik dengan sikan Shanum kepada Roy. Perlahan tapi pasti dia mulai menjauh. Entah karena alasan apa, adik perempuanku ini justru berubah menjadi gadis yang pendiam semenjak papa dan mamanya berpisah.
Hingga aku hanya bisa memberikan semangat saat kini dia mulai sering menemuiku di tempat kerja. Bukan, bukan untuk menemuiku namun sekedar menjemputku lalu kita pulang bersama. Tak ada lagi cerita Roy yang keluar dari bibir mungilnya. Ya, Shanum memang masih seperti dulu di mataku, gadis kecil yang banyak sekali pertanyaan hingga aku risih dan malas untuk menjawabnya.
Tidak ada perubahan yang berarti di depanku, sementara sangat jauh dari apa yang papa ceritakan.
Time flies so fast, dua tahun berlalu dari scary nightmare. Aku? Telah menemukan tambatan hatiku. Ayunda Gadis Hardjono. Gadis, wanita berjilbab yang aku kenal karena papanya memintaku datang ke rumah untuk membicarakan kerjasama perusahaan tempat aku bekerja dengan perusahaannya.
Gadis yang akhirnya membuat hatiku bisa bergetar hebat hanya dengan melihat santunnya sikap dan lembutnya sapa. Jangan lupakan rona pipi semburat merah muda yang selalu menjadi alasan untukku bisa menyebutnya dengan panggilan, ya khumairaku.
Tidak butuh banyak waktu, berkomitmen artinya aku harus siap, dengan segala resiko. Bekerja sama seumur hidupku, berjanji untuk bisa membahagiakan dia, menjadi pemimpin yang baik tentu menjadi kepala keluarga yang baik untuk keluarga kami nantinya.
Bahagiaku serasa lengkap, manakala tak hanya senyuman pappous dan yaya yang turut serta mendampingiku. Mama dan papa juga hadir memberikan dukungan mereka untuk kami. Ada Roy dan juga Shanum yang seolah menjaga jarak meski aku tahu hati mereka masih tetap sama, saling mencintai dan juga saling peduli. Terbukti, beberapa kali Gadis berkata kepadaku melihat tingkah kaku keduanya ketika saling memberikan perhatian.
"Mas, mereka itu terlihat seperti anak kecil ya? Lucu, menggemaskan tapi kasihan juga."
"Sudahlah, biarkan saja. Anggap kamu dan keluargamu tidak pernah tahu akan hal itu. Kita tentu tidak ingin privasi kita diganggu orang lain pun demikian dengan mereka aku rasa."
"Tapi kita berdua kakaknya. Seapatis itukah kamu sampai harus menutup mata melihat semuanya."
"Bukan apatis, aku membantu mereka, dulu. Sayangnya karena keegoisan seolah aku menjadi pangkal penyebab permasalahan itu. Hingga akhirnya pappous dan yaya melarang ikut campur urusan mereka lagi."
"Sebegitunya?" memang kenyataannya seperti itu, aku harus bilang apa?
Lagi-lagi berbicara tentang takdir. Angin berhembus bukan hanya semilir tapi seakan badai datang dan rasa tak percaya itu kembali menyapa. Aku bersiap mengantarkan Gadisku untuk bertemu dengan dokter, karena kami ingin sekali bertemu calon buah hati kami meski hanya melalui layar ultrasonografi. Gadis hamil setelah enam bulan kami hidup bersama.
Berusaha untuk mengecilkan masalah yang besar dan menganulir masalah yang kecil, kami berdua berusaha untuk menyelaraskan langkah, dan meredam ego.
HPku berbunyi saat kami hendak berangkat, satu notifikasi pesan singkat masuk dan aku tahu itu dari papa dan yang membuatku terkejut adalah berita yang papa bawa. Ah entahlah, terbuat dari apa hatinya. Hingga dengan mudah berkata bahwa dia akan kembali menikahi mama.
Apa kabar hati Roy dan Shanum?
Kenyataannya kehidupan tak pernah semulus dalam naskah drama. Aku sangat memahami akan hal itu namun nyatanya kesakitan itu berimbas pada kedua adikku.
Manusia tidak ada yang sempurna, dan aku harus mampu melakukannya. "Ya Royano Abrar bin Ryoko Herlambang, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan adik perempuan saya Shanum Dhinara binti Ervin Handito dengan maskawin uang tunai sepuluh juta rupiah dibayar tunai."
"Saya terima nikah dan kawinnya Shanum Dhinara dengan mas kawin tersebut, tunai."
Jika papa dan mama mulai bisa berdamai dengan masa lalu mereka dan merajut kembali apa yang telah terkoyak, maka izinkanlah aku hari ini mengesampingkan ego untuk bisa melihat kedua adikku bahagia.
✏ -- the end -- ✏
ᴼʳⁱᵍⁱⁿᵃˡ ʷʳⁱᵗⁱⁿᵍ ᵒⁿ ᴰᵉᶜᵉᵐᵇᵉʳ⸴ ¹ˢᵗ ²⁰²¹
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top