Story by MarentinNiagara
Based on true story
Perjalanan waktu mengajarkanku akan banyak hal. Tentang hidup dan kehidupan, tentang cinta dan kasih sayang bahkan pada akhirnya membawaku mencari siapa yang berhak atas rasa percaya ditengah perasaan gundah gulana tak berkesudahan.
Merasakan diri sebagai anak terbuang, entahlah. Tidak sepatutnya aku menyalahkan kedua orang tuaku yang telah menghadirkanku ke dunia namun andai saja setiap anak bisa memilih siapa orang tua mereka. Ah, kata andai itu seolah mendekatkanku kepada kufur nikmat yang sangat dibenci oleh Allah, astaghfirullah.
Semesta tidak pernah mencibir namun saat dunia dengan angkuhnya mengkotakkan warna, minoritas menjadi jauh dari kata digdaya yang selalu diagungkan oleh mayoritas mereka.
Hidup sederhana, bukan bersama orang tua. Namun demikianlah halnya aku memang besar bersama nenek, lebih tepatnya beliau adalah adik dari orang tua ibuku. Jika banyak pertanyaan mengapa? Kemana ayah dan ibuku? Lalu nenek dan kakekku sendiri? Perkenalkan namaku Orion Gavin, lahir dua puluh tujuh tahun yang lalu dari orang tua yang boleh dikatakan tidak berkekurangan bahkan bisa dikatakan lebih dari sekedar kata cukup. Sayangnya mereka memutuskan berpisah saat aku berusia tiga tahun bahkan belum juga mengerti apa yang tersebut dari perpisahan. Hingga akhirnya pappous dan yaya merawatku, atas izin mereka. Mengapa? Pappous dan yaya tidak memiliki anak sedangkan kedua orang tuaku memilih untuk menikah lagi dan mencoba bahagia dengan keluarga baru mereka, mungkin tanpa aku jauh lebih baik karena aku hanya akan mengingatkan masa lalu mereka yang 'katanya' menyakitkan.
Tumbuh dengan normal seperti anak-anak yang lain. Pappous dan yaya menyayangiku lebih, bahkan mungkin jauh lebih banyak dari apa yang diberikan oleh kedua orang tuaku. Dan besarnya rasa sayang dari mereka seolah menjadikan pembanding yang cukup menohok hati untuk bisa membedakan siapa mereka dan orang tuaku yang sudah seharusnya menghujaniku dengan sayang, cinta dan nasihat untuk membuatku menjadi sosok manusia tangguh.
Luka hati yang tak nampak membuatku seolah menutup mata. Belum pernah sekalipun aku menulis nama mereka di kolom orang tua saat aku mulai masuk sekolah atau mengisi formulir apa pun yang meminta keterangan itu. Bagiku lebih baik mengosongkannya atau menuliskan nama pappous dan yaya sampai akhirnya mereka yang mengkonfirmasi kepada pappous lalu pappous tanpa bosan menjelaskan bagaimana sebenarnya.
"Gavin, kamu sudah dewasa. Pappous juga sudah tua, jangan terus melihat kegagalan kedua orang tuamu dulu. Menikah itu ibadah, buktinya sekarang papa dan mamamu telah bahagia dengan keluarga baru mereka."
"Bahagia dengan membuang Gavin, Pap?" mengapa aku sedendam itu kepada mereka, aku sendiri juga tidak pernah tahu. Padahal yaya selalu mengingatkan, seburuk apa pun perlakuan mereka kepadaku, keduanya tetaplah orang tuaku. Tidak ada mantan anak dalam sebuah silsilah nasab atau keluarga. Namun kenyataannya semua kebutuhanku dari kecil memang telah dicukupi pappous dan yaya tanpa mereka.
"Tidak ada yang membuangmu. Pappous dan yaya yang memintaku untuk kami kepada mereka."
"Kalau mereka sayang Gavin tentu mereka akan mempertahankan, bahkan perpisahan itu tidak perlu dilakukan."
"Anggaplah bahwa itu suratan takdir yang harus mereka lalui."
"Lalu bagaimana dengan suratan takdir Gavin sebagai anak mereka, Pap?"
"Itu anugerah untuk pappous dan yaya bisa menimang, membesarkan dan mendidikmu hingga sekarang. Apakah kau tidak pernah bersyukur atas hal itu?"
"Pap, Gavin sayang pappous tidak terhitung berapa banyaknya. Memiliki pappous itu anugerah yang sudah seharusnya Gavin syukuri, mengapa pappous berkata seperti itu?"
"Berdamailah dengan masa lalumu. Usiamu sudah cukup untuk bisa menemukan pendamping hidup yang kelak bisa kamu ajak untuk berbagi atas segala hal. Pandanglah pappous dan yaya, ambil segala kebaikan dari kami yang bisa kamu jadikan contoh."
"Gavin masih ingin mengejar apa yang menjadi mimpi Gavin dalam waktu dekat ini. Pap. Dan maaf, menikah itu sekarang masih belum menjadi prioritas utama dari list mimpi-mimpi Gavin. Akan tiba masanya diantara tanda-tanda kuasa-Nya menciptakan manusia berpasang-pasangan."
Pappous akhirnya memilih menepuk bahuku lalu meninggalkanku sendiri di taman depan rumah kami. Benar, di usiaku saat ini sudah cukup sebenarnya untuk mulai memikirkan membuka hati, sayangnya pengalaman mengajarkanku untuk selalu menundanya karena aku beranggapan bahwa cinta itu adalah kebulshitan atas propaganda kebohongan yang tertunda.
Masih dengan tema yang sama di akhir pekan ini, me time bujangan seperti diriku ini memang lebih banyak menjadi kaum rebahan. Berkencan dengan bantal atau memeluk guling yang sesekali menscroll e-commerce untuk melihat beberapa kebutuhan yang memang harus aku beli untuk kebutuhan bulanan atau beberapa informasi yang memang harus aku penuhi. Hingga mataku harus kembali terbuka saat bunyi gawai yang lupa aku silent meraung-raung memintaku untuk merima panggilan dari seseorang.
"Abang, sekarang lagi di rumah kan, jomblo apalagi sih kerjaannya kalau akhir pekan begini selain malas-malasan? Jangan kemana-mana aku otw ke rumahmu." Royano, orang bilang itu adikku. Iya adik yang lahir dari rahim seorang wanita yang sebelumnya telah melahirkanku ke dunia meski kami memiliki papa yang berbeda.
"Ganggu abang aja sih lo, Roy."
"Kagak mau tahu, pokoknya gue ke rumah lo sekarang." Dan begitulah hubungan kami. Meski tidak tinggal satu rumah namun keluarga selalu berusaha untuk mendekatkan kami hingga Roy menganggapku sebagai satu-satunya kakak yang harus dia sayang.
Gagal sudah tidur siangku hari ini, aku bersiap menyambut adikku meski terkadang menyebalkan namun tidak bisa aku pungkiri kalau aku pun menyayanginya sebagai adikku meski bukan satu-satunya. Ya, aku masih memiliki seorang lagi dari papaku dan istrinya yang baru, Shanum Dhinara.
Roy, adik lelakiku ini doyan banget sama otomotif. Bahkan kuliah pun dia memilih teknik mesin dan kini dia mulai bekerja di sebuah perusahaan otomotif terkemuka di negeri ini. Bahkan kini dia sedang berusaha untuk membangun bengkel di tanah yang baru saja dibelikan papanya. Terkadang aku miris jika mengingat nasibku. Tapi sangat bersyukur bahwa Allah memberiku jalan ini berarti Dia percaya aku mampu melewatinya dengan baik. Aku dan Roy memang bekerja sebagai teknisi, hanya saja barang yang kami hadapi jelas berbeda. Jika Roy bekerja di perusahaan otomotif aku bekerja sebagai teknisi untuk mengecek layak atau tidaknya sebuah pesawat melakukan penerbangan.
"Bang, ada yang mau gue bilang ke abang."
"Apalagi sih Dek?"
"Gue lagi dekat sama seseorang, sepertinya emang gue pengen seriusin dia. Cuma__"
Aku mendengarkannya dengan baik, entah mengapa adik bujangku ini. Sudah tahu abangnya tidak pernah mengenal wanita masih juga sering curhat soal wanita padaku, lalu aku harus memberi masukan seperti apa. Pengalaman saja masih nihil.
"Lu bilang kan gue ini bujang lapuk, eh malah sekarang datang-datang bawa masalah soal cewek. Maksud lu apa? Nyindir gue gitu? Nggak sopan banget punya adik seperti itu."
"Ye, kagak gitu Bang. Justru karena gue ngehormatin elu sebagai abang gue," jawab Roy dengan muka sendu meminta belas kasihan. Aku menepuk bahunya perlahan, usia kami memang hanya selisih 4 tahun sehingga tidak banyak yang berbeda dalam menilai sesuatu hal.
"Kalau saran abang, sebaiknya lu ngomong ke mama dan om Ryo. Mereka pasti punya jawaban untuk putra terbaiknya ini."
"Jangan gitu napa Bang, abang juga putranya mama. Abang ikut pulang yuk ke rumah kami, biar bisa dekat setiap saat, nggak perlu jauh-jauh kalau mau ngobrol gini. Lagian mama kangen sama lu Bang. Lu nggak kasihan sama mama, hampir tiap malam gue lihat nangis doain lu." Aku tersenyum kecut. Ini bukan yang pertama Roy memintaku untuk tinggal di rumah mereka, bahkan mama dan om Ryo juga memintaku secara langsung. Sayangnya aku memilih untuk tetap tinggal bersama pappous dan yaya.
Sebenarnya sikap Roy tidak berbeda jauh dengan sikap manja Shanum padaku. Mungkin karena dia merasa menjadi adik perempuan satu-satunya sehingga membuatnya selalu ingin dekat denganku. Aku sendiri juga tidak pernah memberikan batas kepadanya. Selama aku bisa melakukan untuk adik tercintaku, pasti akan aku lakukan yang terbaik untuknya.
"Emang siapa wanita yang ingin kamu seriusin tadi?" akhirnya aku memilih untuk bertanya kepada Roy.
"Namanya Andhin, dia perempuan unik, lucu, dan meresahkan."
"Kok jadinya meresahkan?" tanyaku kurang paham.
"Meresahkan kalau tidak segera diseriusi, banyak yang naksir dia Bang."
"Ya jelaslah banyak saingan, ingin yang saingannya dikit?"
"Jelek berarti dia?"
"Cantik atau jelek itu relatif, Dek."
"Iya juga sih. Lalu siapa itu yang cuma sedikit saingannya? Penasaran gue kan jadinya."
"Pengen nyoba lu?" tanyaku dengan serius.
"Pengen tahu doang, siapa Bang?"
"Iya itu, kalau mau siapa tadi nama cewek yang lu taksir?"
"Andhin?"
"Iya, kalau mau sama Andhin ya lu kudu siap bersaing sama mereka yang juga sedang ngedapetin hatinya, hati orang tuanya. Kalau lu pengen yang nggak banyak saingannya, cari aja wanita yang sudah bersuami. Saingan lu jelas cuma satu yaitu suaminya sendiri. Gimana, masih penasaran mau nyoba?" kataku terbahak melihat muka manyun adikku.
"Gelo. Lu pikir gue pebinor."
"Jaman now yang namanya janda malah semakin menggoda."
"Janda pala lu, Bang. Masih punya suami lu bilang janda. Yang ada mah cari masalah. Lagian otak lu tuh perlu disterilisasi." Suara Roy meninggi melihatku terbahak. Lalu aku merangkulnya dan mengajaknya bicara dengan benar. "Memangnya Andhin sudah tahu maksud keseriusan hatimu?"
"Andhin sudah tahu, masalahnya__"
"Andhin sudah tahu, dia sudah setuju atau belum kamu berniat ketemu dengan orang tuanya untuk membicarakan ini?" cecarku kemudian.
"Andhin tidak menjadi masalah Bang, malah yang buat aku tidak enak itu adalah mama. Mama bilang nggak akan mengizinkan sebelum abang menikah lebih dulu." Jaman sudah berubah, mengapa pemikiran manusia masih terbelenggu dengan hal-hal yang sesungguhnya tidak perlu dipermasalahkan. Perkara jodoh tidak ada yang tahu, apa hanya karena sebagai kakak tertua belum menemukan jodoh harus menahan jodoh adik-adiknya. Bukankah itu perbuatan yang jauh dari syariat.
"Nanti biar abang yang menelpon mama dan bicara masalah ini." Roy mengangguk setuju, terlihat sekali raut bahagia di wajahnya.
Sampai aku bisa bertemu dengan mama dan juga om Ryo, aku mulai membuka obrolan tentang Roy yang ingin menikahi seorang wanita. Beberapa paradigma telah coba aku sampaikan kepada beliau namun mama masih juga bergeming dengan sikapnya yang dingin.
" Apa kamu sudah bertemu dengan wanita yang dimaksud adikmu itu?"
"Belum Ma."
"Mintalah adikmu untuk mempertemukanmu dengannya, dengan melihatnya kamu pasti tahu apa alasan sebenarnya mama tidak menyetujui pernikahan mereka." Ucapan mama jelas membuatku penasaran dengan sosok Andhin, wanita yang diinginkan Roy menjadi istrinya.
Aku jelas meminta Roy untuk mempertemukanku dengan Andhin yang dia maksud itu. Walau untuk itu aku berjanji untuk tidak jatuh cinta kepadanya, ah rupanya adikku enggan memperkenalkan siapa wanita yang dekat dengannya selama ini karena takut merasa tersaingi jika aku mengenal mereka.
"Awas lu Bang kalau sampai jatuh cinta kepada Andhin."
"Secantik siapa sih Andhin lu itu, Amanda Manopo, Glenca Chysara, atau Ranty Maria?"
"Sinetron banget sih hidup lu." Tidak butuh waktu lama, kopi yang aku pesan pun belum sampai tandas setengahnya. Wanita yang dimaksud Roy telah tiba, katanya. Roy berkata padaku akan menjemputnya di tempat parkir. Ya beginilah, demi menghemat waktu sedangkan kami juga membuat janji temu setelah pulang kantor sehingga tak perlu dijelaskan lagi bagaimana macetnya jalanan ibukota.
Aku bisa paham sikap mereka berdua, Andhin yang menolak dijemput Roy karena kantor mereka bertolak arah sehingga akan memakan banyak waktu. Sedangkan aku sendiri, beginilah, jomblo mau dijemput atau enggak menurutku ya sama saja, sendiri.
Dua menit berlalu aku melihat Roy kembali dengan seorang wanita. Melihat gestur mereka aku yakin bahwa wanita yang berjalan di sampingnya itu adalah Andhin. Namun sungguh, ketika mataku mengenali siapa pemilik nama Andhin itu seketika bibirku mengucapkan kalimat istighfar. Apakah dunia harus sesempit ini hingga aku menemukan mereka berdua di sini.
"Bang Ori?" sapa wanita itu kepadaku.
"Dek, kalian__"
"Ori siapa sih Ndhin? Iya Bang ini Andhin, yang aku ceritain kapan hari itu ke abang. Dan Andhin, ini abangku Gavin, kemarin dia minta untuk dipertemukan denganmu. Ganteng kan, tapi lebihan aku dikit." Roy memperkenalkan kami tapi sayangnya otakku sudah tidak selaras lagi dengan apa yang diucapkan olehnya.
Dengan melihat siapa yang dibawa Roy untuk diperkenalkan denganku, aku baru tahu mengapa mama sampai berkata seperti itu kemarin. Hubungan mama dengan papa memang tidak baik sedari dulu. Meski mereka berdua perhatian denganku namun dari awal aku memang telah dididik untuk tidak ember, membuka urusan keluarga mama di depan papaku pun juga dengan sebaliknya.
"Shanum, kamu kenal Royano?" belum sampai menjawab pertanyaanku, adik perempuanku ini justru memilih bicara dengan Roy.
"Roy, yang kamu bilang bang Gavin ini adalah orang yang sama dengan bang Ori yang sering aku ceritakan. Dia adalah abangku, Orion Gavin."
Allah, demi apa drama yang ada dihadapanku. Kedua adikku saling jatuh cinta dan mereka memutuskan untuk menjalin hubungan lebih jauh lagi.
"Papa dan tante Rossa sudah tahu tentang Roy, Dek?" Shanum mengangguk lalu menjawabnya pelan "itu sebabnya kemarin adek bilang, adek butuh abang untuk jadi orang terpenting di hari bahagia adik."
"Maksud kamu?"
"Papa tidak menyetujui hubungan kami, sama seperti mama Roy tidak memberikan restunya."
"Mengapa kamu tidak bilang Ndhin kalau bang Orimu dan bang Gavinku itu adalah orang yang sama?" kulihat Roy semakin gusar mendengar pengakuan Shanum. Jadi dia benar-benar tidak tahu kalau aku ini adalah kakak mereka.
Mengetahui hal ini pun aku mendadak pusing, mengapa ceritanya jadi rumit seperti ini, Esmeralda. Andai Royano tahu dari awal, sudah barang tentu dia yakin akan susah meyakinkan para orang tua mereka. Mengetahui sejarah namun tidak sekalipun melihat rupa, beginilah nasib mereka sekarang.
"Bang__"
"Bang__" suara keduanya terdengar nyaring di telingaku. Tidak ada yang keliru dengan cinta mereka, tidak ada yang salah. Mereka tidak memiliki hubungan darah dan dalam agama pun tidak ada larangan untuk mereka menyatukannya dalam pernikahan. Yang menjadi masalah adalah bagaimana mantan suami istri bisa dengan legowo, menenggelamkan ego, berdamai dengan masa lalu demi melihat kebahagiaan putra-putri mereka.
"Abang, satu-satunya alasan untuk mereka berdamai dengan masa lalu hanya satu yaitu abang. Bang Gavin tolonglah kami." Roy memohon kepadaku.
"Atau jika tidak mungkin, Bang Ori bisa kan jadi wali nikah adik? Kita saudara seayah, papa kita sama jadi bisa kan Abang mewakili papa untuk menikahkan adik dengan Roy?" hal gila apa lagi ini. Aku saja masih enggan untuk memikirkan bagaimana nasibku mendatang, aku akan menikah dengan siapa, mengapa ini justru dipusingkan dengan urusan kedua adikku yang ingin menikah dan aku ditodong menjadi wali nikahnya. Apa aku ingin membuka perang dunia ketiga dengan papa dan mama, rasanya tidak mungkin.
Tapi jika mengingat apa yang telah mereka lakukan pada masa laluku, rasanya saat ini pun aku ingin menyatukan kedua adikku ini supaya mereka juga mengerti, kesewenang-wenangan itu tentu telah memberikan banyak dampak negatif, untuk kami contohnya, anak-anak mereka.
"Bang, mau ya jadi wali nikah kami?"
"Yang benar saja, itu menyalahi aturan Dek. Lagian pappous dan yaya juga tidak akan setuju abang melakukan ini. Kita bicarakan bersama masalah ini dengan orang tua mereka. Biar pappous dan yaya menjadi penengah nantinya. Abang akan mencoba untuk membicarakan ini dengan pappous dan yaya baru nanti kalian main ke rumah kami."
Kita bisa merencanakan banyak hal, mencoba merangkai hari untuk bisa melangkah bersama. Terpenting dari semua hal di dunia ini adalah usaha dan doa. Bukankah Allah telah menjaminnya, ud'uuni astajib lakum, berdo'alah maka Aku akan mengabulkannya.
✏ -- to be continued -- ✏
ᴼʳⁱᵍⁱⁿᵃˡ ʷʳⁱᵗⁱⁿᵍ ᵒⁿ ᴺᵒᵛᵉᵐᵇᵉʳ⸴ ¹³ᵗʰ ²⁰²¹
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top