Yang Terlewatkan
Aku melangkah menuju mobil yang terparkir di sisi utara. Terik mentari terasa menyengat di parkiran mall yang cukup luas. Beberapa meter di belakang, anak-anakku mendorong sebuah troli berukuran sedang. Mereka berjalan sambil bercanda riang, membuat jarakku dengan mereka semakin menjauh.
"Sinna?" Aku sedang bersiap membuka pintu bagasi ketika telingaku menangkap suara yang menyebut namaku.
Kutoleh ke arah sumber suara, tampaknya pemilik Yaris putih di sebelah kiri mobilku.
"Eh, Rendra." Ternyata Rendra, seseorang dari masa lalu.
"Masih inget aku ya?" Dia tersenyum.
"Sama siapa, Sin?" tanya Rendra lagi.
Matanya menatap ke belakang punggungku. Tak salah lagi, dia pasti sedang melihat ke arah anak-anakku.
"Itu, sama anak-anak." Aku menunjuk ke arah anak-anak dengan daguku.
"Empat. Ikut semua ya?"
"Iya. Mumpung lagi liburan. Jarang-jarang bisa jalan lengkap gini." Aku tertawa kecil.
Dalam hati berkata
'Tau aja anakku empat, jangan-jangan Rendra suka ngepoin aku nih.'
"Anakmu yang pertama bukannya di pesantren ya?" Pertanyaan Rendra membuat aku semakin yakin kalau dia mengikuti kehidupanku.
Entah, mungkin melalui media sosial. Kami memang berteman di sana, meski aku tak begitu aktif menggunakannya. Begitu juga Rendra.
"Iya, ini lagi libur makanya empat ikut semua," jawabku.
Kuambil alih troli dari anak-anakku dan memasukkan belanjaan kami ke bagasi. Sementara anak-anak satu per satu bersalaman dengan Rendra sambil menyebut namanya masing-masing. Maryam, kelas 2 SMP. Yusuf, kelas 6 SD. Yahya, kelas 4 SD. Hafsah, kelas 1 SD.
"Masih sering datang ke kota ini?" tanyanya lagi.
"Iya. Paling enggak sebulan sekali. Kan anak-anak masih punya nenek dan pakde bude di sini."
"Oh iya, aku turut belasungkawa atas kepergian Zaki." Wajahnya menunjukkan simpati yang tak dibuat-buat.
"Iya, terima kasih. Mohon doanya ya, untuk Mas Zaki. Juga untuk kami." Anggukku seraya tersenyum dan menutup pintu bagasi.
"Kami duluan ya. Mari," pamitku.
Rendra membalas anggukanku, kedua tangan tertangkup di depan dada. Segaris senyum tersungging di wajahnya. Tak berubah, masih seperti dulu. Senyum yang diam-diam selalu kutunggu, meski bukan tertuju untukku. Aku merasa ada yang berdegup karena senyum itu.
'Ah sudahlah, Sinna. Dia hanya masa lalu.' bisikku pada diri sendiri.
Di balik kemudi, ingatanku berlari pada masa belasan tahun ke belakang.
Rendra.
Dia gebetanku belasan tahun silam, puluhan bahkan. Ketika kami sama-sama berseragam putih abu-abu. Sebenarnya tak ada hubungan apapun diantara kami berdua. Tentu saja, karena hanya aku yang diam-diam mengharapkannya, hingga bertahun-tahun kemudian. Eh, bukan sepenuhnya diam-diam juga sih, karena beberapa teman mengetahui perasaan yang kusimpan.
Pada akhirnya Rendra pun tahu, tapi tetap saja tak ada apapun diantara kami berdua, meskipun kami berada di kampus yang sama.
Dia mengabaikanku. Mengabaikan perasaanku.
Hampir tujuh tahun penantian, tiba-tiba Mas Zaki datang melamarku. Kakak kelasku, sekaligus teman satu angkatan dengan Rendra. Mas Zaki cukup dekat dengan Rendra. Dia bukan tak tahu kisah cintaku, yang bertepuk sebelah tangan tentu. Tapi dia tak mengambil hati, tak juga menjadikan itu masalah untuk hubungan kami.
Pada orangtuaku dia sampaikan bahwa dia memilihku karena melihat keistiqomahanku. Istiqomah dalam kesederhanaan dan sifatku yang apa adanya, tak dibuat-buat. Belakangan dia sering menggodaku, bahwa dia juga memilihku karena keistiqomahanku menanti Rendra. Berarti aku termasuk tipe perempuan yang setia, begitu selalu candanya.
Kehadiran Mas Zaki berhasil menghapus nama Rendra dari hatiku, meski ingatan tentu saja masih tetap ada. Aku kan tidak amnesia.
Kehidupanku dengan Mas Zaki sangat bahagia. Dia imam terbaik yang dikirimkan Allah untukku. Membimbing dan membersamai aku dan anak-anak kami dengan ilmu agama dan ilmu kehidupan yang mumpuni. Hidupnya yang sejak kecil dilalui dengan penuh keprihatinan menjadikannya seorang yang tangguh sekaligus rendah hati.
Maka ketika Allah mengambil kembali Mas Zaki, sedikit pun aku tak merasa berhak untuk marah atau protes pada keputusan-Nya. Dia telah memberiku kesempatan yang cukup panjang untuk mendampingi Mas Zaki. Dan Dia pula telah mencukupkan tugasku sebagai istri.
***
Sejak pertemuan tak disengaja tempo hari, Rendra mulai satu dua kali mengirim pesan untukku. Tak sering, paling hanya bertanya kabar serta basa-basi lainnya. Aku membalas seperlunya, meski terkadang ada yang berdesir di hati. Bagaimanapun juga, tujuh tahun bukan waktu yang singkat untuk memendam rasa. Karena seumur hidup hanya kali itu aku jatuh cinta. Maksudku dua kali, dengan Mas Zaki.
Kadang tersenyum sendiri, tapi segera kutepis bayangan yang berkelebat. Aku meyakinkan diri berkali, bahwa aku tak lagi menginginkan keberadaan seorang pendamping hidup. Aku hanya butuh kekuatan untuk mendampingi anak-anakku mempersiapkan masa depan. Dan aku yakin, Allah yang akan memberi kekuatan itu.
[Sinna, maafkan aku untuk yang sudah-sudah]
Pesan dari Rendra kembali kuterima.
[Maksudnya?]
balasku singkat.
[Maaf, karena dulu aku mengabaikanmu. Mengabaikan perasaanmu]
[Oh itu. Nggak apa-apa, cuma masa lalu. Sudah nggak penting bagiku]
[Kenapa begitu?]
Tak kujawab pertanyaannya.
[Sinna, tidakkah kau ingin memiliki seseorang yang menemani hidupmu lagi?]
Duh, pertanyaan apa lagi ini. Rasanya aku sudah tahu akan kemana pembicaraan ini.
[Tugasku sebagai istri sudah usai, bukan berarti aku tak punya tugas lain. Allah masih memberiku amanah untuk membesarkan anak-anak, membersamai mereka sebaik yang kumampu]
balasku pada pesan terakhir Rendra.
[Bukankah memiliki pendamping akan lebih baik untukmu, Sinna? Kau akan punya seseorang yang bisa kau ajak berbagi, terutama dalam membersamai anak-anakmu]
[Untuk saat ini tidak, entah nanti]
jawabku singkat.
[Tentu saja butuh waktu, Sinna. Nanti jika kau sudah siap, aku selalu ada untukmu]
"Gombal, nggak ingat aja bagaimana dulu mengabaikanku." batinku mencibir.
[Oya?! Tapi rasanya aku tak akan berubah pikiran. Dan tak ingin]
Aku mulai jengkel. Rasanya tak pantas Rendra mengatakan ini semua. Kalau dia pikir aku akan terseret pada cinta masa lalu, dia salah besar. Walau kuakui, kadang masih tergoda mengintip profil atau update statusnya ketika tak sengaja kutemukan namanya di beranda. Dan beberapa kali terasa desir saat menerima pesan-pesan darinya. Tapi rasanya hanya itu saja, tak lebih. Aku tak boleh terjebak pada perasaan yang tak seharusnya. Apalagi statusku kini adalah seorang ... janda.
[Apakah kau menyimpan dendam atas pengabaianku dahulu?]
Dia seakan menuduhku.
[Insya Allah tidak. Mas Zaki mengajarkan banyak hal padaku, salah satunya untuk tak mendendam pada kesakitan-kesakitan dari masa lalu. Termasuk keberadaanmu]
[Jika begitu, kenapa kau seolah yakin tak ingin memberi kesempatan padaku?]
[Rendra, aku sudah merasakan sakitnya seorang istri yang kehilangan suami. Aku tau bagaimana pedih dan sesaknya hati. Dan kupikir, kehilangan karena orang ketiga akan jauh lebih menyakitkan.
Aku tak mau itu terjadi pada istrimu. Apalagi jika orang ketiga itu adalah aku]
Sekuat hati kubendung air mata, sementara jemariku terbata mengetik jawaban.
[Istriku sudah sejak lama mengijinkan, karena memang sudah tak mungkin untuk memberikan kami keturunan]
Dia mengemukakan alasan.
[Alhamdulillah jika demikian. Kudoakan untuk pencarianmu, tapi ketahuilah bahwa orang itu bukanlah aku.
Pergilah!! Dan jangan pernah mencoba untuk mencari celah lagi dalam hidupku]
Pesan-pesan Rendra setelahnya tak pernah dan tak akan pernah lagi kubalas.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top