Ternyata ....

"Mas, Pak Har sekarang kok agak gimana gitu ya sama keluarga kita," kataku membuka sesi curhat pagi itu.

"Gimana lha gimana kok?" Mas Adit balik bertanya sambil menyeruput kopi hitam kesukaannya. Bikinanku tentu saja.

"Kaya benci-benci gimana gitu. Memusuhi gitu deh," ujarku lagi.

"Hush, ini bukan tuduhan sembarangan kan, Yes?"

"Ih, ya bukanlah. Kaya misalnya itu Si Rio sekarang udah gak pernah main lagi sama Petra dan Oila, gak boleh bapaknya. Trus Bu Har juga beberapa kali kalo pas lagi ngobrol sama aku tiba-tiba dipanggil suruh masuk sama Pak Har, udah gitu mukanya gak enak banget ngeliat aku. Sinis gitu. Trus aku pernah denger juga pas Bu Har mau pinjem tangga ke kita sama Pak Har gak dibolehin, dibela-belain susah payah minjem Pak RT. Kan aneh banget, Mas," terangku panjang lebar, kuakhiri dengan mencomot misro dan menggigitnya. Hmm, manis-manis gurih.

"Oh gitu ya. Sejak kapan tuh?" tanya Mas Adit, matanya tak beranjak dari gawainya.

Kulirik sekilas, seperti biasa dia mah tertariknya dengan berita online. Dari politik, ekonomi, olahraga sampai budaya dia simak semua. Kecuali perlambeturahan alias gosip. Jangankan gosip artis, isu-isu seputar komplek perumahan kami yang cuma diisi beberapa puluh rumah saja dia tak tertarik sedikit pun. Katanya dari sejak kecil sudah menjadi kebiasaan di keluarganya untuk tak perlu ingin tahu urusan orang lain jika tak dimintai pendapat ataupun diajakin curhat oleh yang bersangkutan.
Seperti obrolan pagi ini, dia mana tahu kalau bukan karena laporanku.

"Emm, sekitar satu bulan terakhir ini." jawabku pendek, masih sambil menikmati misro. Cairan gula jawa yang jumlahnya di atas normal meleleh manja di lidahku. Kesukaanku.

"Ya sudah, biarin aja. Nanti suatu hari juga Allah akan kasih tau kamu alasan dari sikap Pak Har ke kamu." Mas Adit sok bijak, menurutku.

"Aku? Kita kali? Kan sama anak-anak juga gitu. Kamu sih nggak care urusan begituan." Aku menyahut sewot.

"Ya tapi kan yang pengen tau kenapanya kamu, bukan aku."

"Hih, dasar ya bapak-bapak lempeng." Sengitku.

Kucubit perutnya, lalu beranjak menuju kamar mandi. Bersiap mau ngedate berdua, mumpung anak-anak menginap di rumah kakek neneknya.

Hartono nama panjangnya. Di komplek lebih dikenal sebagai Pak Har. Dia tetangga sebelah kanan rumah kami, sekaligus salah satu tetangga terdekat. Ya iyalah, tembok rumah kami saja nempel kaya amplop dengan perangko.

Sudah hampir empat tahun kami bertetangga. Meskipun keluarga Mas Adit tinggal di kota yang sama, tetap saja kami penganut faham 'tetangga adalah saudara terdekat yang kita miliki'. Maka sudah selama itu pula hubungan kami selalu terjaga dengan baik layaknya saudara. Hingga sebulan terakhir ini aku merasa Pak Har berubah. Tak ingin sendiri, dia pun mencoba memprovokasi istri dan anaknya untuk menjauhi keluarga kami. Tapi Bu Har, yang memang baik hati, tak pernah serius menanggapi provokasi sang suami. Apalagi Pak Har memang sering ke luar kota karena pekerjaannya.

***

09.23 waktu Casio di pergelangan tangan kiriku. Kami berdua meluncur menuju salah satu mall dengan pilihan kuliner terlengkap di kota kami. Hendak mencoba resto bermenu andalan bebek betutu yang baru buka minggu lalu. Biasa emak-emak, tergiur kabar berita dari sesama wali murid di sekolah si kembar yang pada cerita kalau masakan bebeknya mak nyuss.

Sengaja datang agak pagi agar tak terjebak antrian yang katanya masih mengular. Semua berjalan sesuai rencana, kami bisa memilih tempat yang nyaman dan strategis untuk menikmati si bebek. Dan ternyata memang tak butuh waktu lama, meja-meja yang tadinya tak bertuan kini hampir semua berpenghuni.

"Aku ke toilet dulu ya, Mas," ijinku pada Mas Adit.

"Eh, nanti aja lah kalo udah selese semua makan dan lainnya." Mas Adit tampak keberatan.

"Lah kebeletnya sekarang, masa iya suruh ke toiletnya nanti. Aneh." Aku tetap beranjak menuju toilet.

"Kalo toiletnya penuh gimana?" ujar Mas Adit, seperti mencari cara agar aku mengurungkan niat ke toilet.

"Ya gak pa-pa lah, yang penting ke sana dulu aja," sahutku sambil melangkah pergi.

Benar kata Mas Adit, toilet penuh. Aku keluar dari baris antrian. Kulangkahkan kaki menuju wastafel, memutuskan untuk mencuci tangan saja.

Seorang perempuan sekira umur 20-an akhir melangkah sejajar denganku. Kami sama-sama menuju ke wastafel.

"Pak Har," sapaku.

Kulihat tetangga sebelah rumahku ini sedang membantu seorang anak laki-laki mencuci tangan. Anak itu sekira umur tiga tahun, sebaya dengan Dude, keponakanku.

"Eh, oh, iya, anu, itu ... Bu Adit sama siapa?" jawab Pak Har, gugup.

"Siapa, Mas?" Perempuan yang tadi keluar dari antrian toilet berbarengan denganku bicara pada Pak Har.

"Eh, anu, itu ... tetangga di rumah lama." Pak Har terlihat salah tingkah.

Aku bingung, belum terlintas apapun di benakku, hingga lelaki kecil yang bersama Pak Har angkat bicara. Katanya, "Mama, aku sudah selesai cuci tangan sama Papa."

"Oh, iya. Mari Pak, Bu," pamitku pada Pak Har dan keluarganya. Keluarga yang lain mungkin.

Kali ini aku kembali mengubah keputusan untuk tak jadi mencuci tangan. Bergegas kembali ke meja di mana Mas Adit berada.

"Kenapa? Kok ngos-ngosan gitu? Cepet amat ke toiletnya?" sambut Mas Adit sesaat sebelum aku menaruh pantat di kursiku.

Aku berhenti sejenak dan mengatur napas yang terengah-engah. Menyedot es teh di hadapanku hingga tersisa separuh.

"Aku ketemu Pak Har...." Aku mulai bercerita.

"Sama keluarga... yang baru?"

Pertanyaan Mas Adit membuatku nyaris tersedak ludahku sendiri.

"Kok tau?" tanyaku dengan mata membelalak.

"Udah dari tadi aku lihat. Mereka duduk di meja arah ke toilet."

"Trus tadi Mas ngelarang aku ke toilet biar aku nggak lihat mereka gitu maksudnya?"

"Iya. Kuatir kalo kamu lihat trus nanti gak sanggup nahan mulut. Biasa, emak-emak," kata Mas Adit. Kalimat terakhir diucapkannya sambil menahan tawa.

"Embeeerrrr. Lah Mas kok tau kalo itu keluarga barunya?"

"Iya, aku udah tau. Lha wong tinggalnya satu komplek sama Nia. Satu blok malah, cuma dia di ujung utara, Nia di ujung selatan." Mas Adit menjelaskan dengan membawa-bawa nama Nia, adiknya.

"Oalah, lha kok Mas diem aja gak cerita ke aku?" protesku sedikit sewot.

"Ya itu tadi. Kalo aku ceritain, aku kuatir kamu kelepasan bicara."

"Sebenernya Nia tau dari awal Pak Har tinggal di sana, tau kalo dia tetangga kita. Tapi Nia juga diem aja. Aku taunya waktu pulang dari rumah Nia trus iseng lewat utara, lah kok ada Pak Har lagi nyiram taneman di luar. Istrinya juga di luar nemenin anaknya main sepeda. Begonya, aku spontan aja nyapa dia. Trus habis itu aku gak jadi pulang, balik lagi ke rumah Nia nanya-nanya. Ternyata udah hampir tiga tahun mereka tetanggaan. Tapi Pak Har nggak tau kalo Nia adikku. Lagian mereka juga kan jarang ketemu," terang Mas Adit panjang lebar.

Keluarga Mas Adit memang begitu. Mereka anti banget mengurusi sesuatu yang bukan urusannya. Kalau pun ada informasi -- lebih tepatnya gosip-- yang tak sengaja nyangkut, semboyan mereka ya "cukup berhenti di kita".

"Sejak kapan Mas taunya?"

"Yaaa kurang lebih sebulan yang lalu deh."

"Oh, pantesaaan ...."

"Pantesan apa?"

"Pantesan Pak Har akhir-akhir ini kaya sentimen banget ke kita. Ternyata dia kuatir kita laporan ke Bu Har. Lah aku aja nggak ngerti ceritanya. Aslinya yang kebangetan ini suamiku."

"Tapi inget, beritanya cukup sampai di kita aja ya," pesan Mas Adit padaku.

Aku cemberut. Sementara Mas Adit senyum-senyum malesin.

"Silakan, Pak, Bu menu bebeknya." petugas resto berseragam biru kuning menurunkan beberapa piring hidangan ke meja kami.

Lalu petugas restoran itu bergegas pergi. Diikuti selera makanku, yang turut berlalu bersama cerita Pak Har yang baru aku tahu.

***

Kuningan, 040619
Berdasarkan kisah nyata dari seseorang yang kami --saya dan suami-- kenal.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top