JODOH
Rania masih termangu menatap jalanan depan kost melalui kaca nako kamarnya. Sudah hampir dua tahun berlalu tanpa pernah melihat lagi sosok itu. Sosok yang sebenarnya biasa saja. Tingginya sedang, kulitnya sawo matang, tidak bisa dikatakan ganteng, meskipun tak pula buruk rupa. Tapi di mata Rania, wajah itu memancarkan keteduhan dan kharisma.
Dian namanya.
Dia bukan teman kuliah Rania, bukan pula teman satu fakultas. Mereka hanya berseragam almamater yang sama. Rania kuliah di Fakultas Ekonomi, sedangkan Dian anak Fakultas Teknik dua tahun di atas Rania.
Pun tentang data dirinya lebih mendalam, Rania tak punya keberanian untuk mencari tahu lebih jauh. Malu, jika perasaannya diketahui oleh orang lain, sekalipun sahabatnya.
Hanya beberapa kali Rania bertemu, ketika Dian datang ke kost-nya untuk menemui Mbak Hani, teman satu fakultas dan satu komunitas dengan Dian yang kebetulan satu kost dengan Rania. Itu pun hanya lewat di depannya, tanpa berani memandang wajahnya.
Sampai Dian menyelesaikan kuliahnya, Rania tak pernah sama sekali mengenal Dian. Hanya pernah sekali berbicara dengannya, itu pun ketika tak sengaja Dian datang untuk mencari Mbak Hani, dan Rania yang membukakan pintu karena penghuni kost yang lain sedang tak satu pun ada di kost. Noraknya lagi, Rania tak dapat menyembunyikan kegugupannya ketika berhadapan dengan Dian.
Dan Rania tahu, meskipun hanya berani menatap lewat kaca nako kamar kost-nya, tapi hatinya telah terjerat pada sebuah nama ...
Dian.
***
Siang itu Rania sedang sibuk membereskan buku-bukunya ketika ponselnya berdering. Di layar tertulis nama 'Bapak Ibu'. Rania segera menghentikan kegiatannya dan mengangkat telepon.
"Assalamualaikum" sapa Rania.
"Waalaikumsalam. Kamu sehat, Nduk?" Terdengar suara Bapak yang berat dan berwibawa.
"Alhamdulillah, Nia sehat Pak. Bapak Ibu sehat?" jawab Rania sembari balik bertanya.
"Alhamdulillah kalau kamu sehat. Bapak Ibu juga sehat, Nduk. Kamu besok jadi pulang kan, Nduk?"
"Insya Allah jadi, Pak. Ini Nia lagi beres-beres barang-barang yang bisa dicicil buat dibawa pulang besok Pak." Rania menjelaskan.
"Alhamdulillah kalau jadi pulang. Insya Allah keluarga Pak Haryo jadi mau berkunjung malam Minggu besok. Kamu sudah siap kan, Nduk?" suara Bapak terdengar penuh semangat.
Rania menghela nafas sesaat.
"Ya Pak, insya Allah Nia sudah siap." Rania berkata sambil tersenyum, meski hatinya dilanda galau.
"Yo wis, sampai ketemu besok ya Nduk. Hati-hati di jalan. Assalamualaikum." Bapak mengakhiri telepon.
"Waalaikumsalam." sahut Rania pendek. Lalu menaruh ponsel di atas tempat tidurnya.
Dia tidak bersegera melanjutkan kegiatannya membereskan buku-buku dan barang-barang yang akan dibawa pulang, malahan berhenti dan melamun. Galau.
***
Dua minggu yang lalu Rania baru saja melaksanakan sidang skripsi dan sudah dinyatakan lulus. Tinggal menunggu wisuda satu bulan yang akan datang.
Dan minggu lalu, Bapak dan Ibu memintanya pulang. Beliau berdua berniat menjodohkan Rania dengan putra Pak Haryo, sahabat Bapak jaman masih di kampung dahulu.
Ceritanya Bapak dan Pak Haryo tak sengaja bertemu ketika sama-sama menghadiri undangan pernikahan kerabat yang berasal dari kampung yang sama. Kemudian beliau berdua bertukar cerita. Dan bisa ditebak kelanjutannya.
Pak Haryo dan Bapak ingin mempererat kembali tali persaudaraan dengan menjodohkan Rania dan Wiwid, putra Pak Haryo.
"Nak Wiwid itu anak yang baik dan nggak neko-neko, Nduk. Dia sekarang kerja di salah satu perusahaan BUMN. Kebetulan dia dapat beasiswa untuk melanjutkan studi ke Belanda, sedangkan dia belum punya pendamping hidup. Maka Pak Haryo sangat bersemangat ketika tahu Bapak punya anak perempuan semata wayang yang baru lulus kuliah. Beliau ingin kalian segera menikah, sehingga ada yang mendampingi dan mengurus Nak Wiwid di Belanda. Sssttt... Nak Wiwid ini sama seperti kamu, Nduk. Ndak pernah pacaran. Hahaha.."
Rania terngiang-ngiang ucapan Bapak saat bercerita dengan penuh semangat dan sukacita. Dia pun tak sanggup menolak, demi mendengar nada suara nan penuh bahagia dari Bapak. Juga kebahagiaan Ibu, yang meski tak terlihat dan tak ikut bersuara, tapi Rania sangat yakin dengan perasaan Ibu saat itu.
Maka sejak saat itu, dibulatkanlah tekadnya untuk melupakan Dian. Seseorang yang cuma lewat dan Rania pun hanya berani menatap lewat kaca nako di kamar kostnya, sambil diam-diam mencintai dalam hati. Rania meyakinkan dirinya bahwa setiap orangtua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Begitu pun Bapak dan Ibu.
Lagipula, apa yang bisa diharapkan dari perasaannya kepada Dian?
***
Sabtu malam itu rumah Rania terlihat cukup ramai. Sejak siang tadi, beberapa saudara sudah datang, baik untuk membantu persiapan maupun untuk ikut menyambut kedatangan keluarga Pak Haryo.
"Nia, keluarga Pak Haryo sudah datang, siap-siap keluar ya Nduk." Suara Budhe Nunik, kakak perempuan Ibu, menyentak lamunan Rania.
Detak jantungnya berloncatan tak karuan. Rania gugup setengah mati. Bagaimana tidak? Dia akan bertemu untuk pertama kalinya dengan Wiwid, calon suami yang tidak pernah dia kenal sebelumnya.
Rania pun bangkit dari duduknya dan melangkah pelan di samping Budhe Nunik menuju ke ruang tamu. Sampai di balik tirai yang membatasi ruang tamu dan ruang keluarga, Rania menghentikan langkah dan mencuri pandang ke arah ruang tamu.
Seketika kerongkongannya tercekat. Jantungnya seakan berhenti berdetak. Rania shock dan tak tahu harus berkata apa ketika Budhe Nunik menunjuk seorang pria seraya berkata,
"Kae lho Nduk sing jenenge Wiwid, calonmu. Gak ganteng memang, tapi insya Allah soleh."
Mata Rania berkaca-kaca melihat seseorang yang duduk di ruang tamu diapit oleh kedua orangtuanya. Tangisnya seakan hendak meledak di tengah keharuan dan kebahagiaan yang membuncah di dalam dadanya.
Seseorang itu, pria yang duduk diantara Bapak dan Ibu Haryo, adalah seseorang yang selalu Rania sebut dengan malu-malu di dalam doanya. Seseorang yang baru malam ini Rania sadari siapa nama lengkapnya.
Rahadian Widhi Hastomo.
Dian.
Semarang,
10 Juli 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top