Apel Pertama

Siang itu ibu menyuruhku ke rumah Tante Desi mengantarkan oleh-oleh dari rumah nenek. Sebenarnya aku malas, tapi menolak perintah ibu adalah pantangan bagiku. Maka berangkatlah aku di tengah teriknya siang yang menyengat. Berganti bus dua kali dan dari perhentian bus yang kedua aku harus berjalan lagi hampir satu kilometer, itu pun dengan jalur yang melewati beberapa belokan, dan repotnya lagi, aku sudah lama tidak berkunjung ke rumah Tante Desi. Aku sendiri tidak yakin akan bisa dengan mudah menemukan alamat rumahnya.

Maka tanpa menunggu nyasar, aku memutuskan untuk menghampiri seorang gadis yang sedang berdiri di depan warung dan sibuk menaruh belanjaannya di stang sepeda. Nampaknya gadis itu baru saja berbelanja di warung tersebut. Mungkin sama sepertiku, disuruh ibunya.

"Maaf Mbak mengganggu. Mbak tahu alamat ini nggak ya?" tanyaku sopan.

"Eh, Damar ya?" suara gadis itu terdengar sangat antusias menyebut namaku. Sedangkan otakku langsung berfikir keras, mengingat-ingat siapa sebenarnya gadis ini, kok dia kenal aku?

"Eh iya, saya Damar," jawabku agak terbata. Penasaran.

"Lupa ya? Aku Reni temen SMP dulu. Yang sering kamu pinjem catatannya. Masak lupa sih?" Gadis itu menyebutkan nama. Dan mendadak senyum di wajah itu jadi tampak berkali lipat lebih manis dari sebelumnya.

"Astaga. Iya bener, Reni. Aku ingat sekarang. Rumahmu di daerah sini dekat rumah tanteku." Memori masa SMP berputar begitu cepat di otakku.

"Kamu mau ke rumah Bu Desi ya? Yuk bareng aku aja. Daripada nyasar. Masa iya rumah tantenya lupa." Reni pun tertawa. Manis.

Dan kami pun berjalan beriringan. Reni yang manis bercerita begitu ceria sambil menuntun sepedanya.
Sejak saat itu, kami jadi dekat. Kedekatanku yang pertama kalinya dengan seorang gadis.

***

Sore itu, aku janjian dengan Reni untuk main ke rumahnya. Apel lah kalo bahasa kerennya. Keluar rumah dengan penampilan seperti biasanya, hanya saja kali ini lebih rapi. Jeans sobek sana sini yang biasa jadi favorit berganti jeans bersih yang masih licin hasil seterikaan ibu. Kaos putih mengintip di balik kemeja flanel yang biasanya tak pernah aku kancingkan, tak lupa sneakers hitam kesayangan yang kembali tampak baru setelah berbulan-bulan tak bersentuhan dengan air.

Sampai depan rumah Reni, kuketuk pintu dengan sesopan mungkin. Sekali.. Dua kali.. Dan pintu pun terbuka sebelum aku mengetuknya untuk yang ketiga kali.

Sungguh, baru kali ini aku merasa gugup luar biasa saat bertemu dengan seseorang. Lututku bergetar, bukan... bukan karena lapar. Merinding pula kudukku, tapi bukan karena hantu. Lidah rasanya kelu dan tenggorokan pun mendadak kering.

"Cari siapa?" Seorang pria hampir setengah baya berdiri di hadapanku dengan tatapan penuh selidik, bertanya dengan suara berat yang berwibawa tapi terdengar bagai petir di telingaku.

"Cari A.. Agus, Pak." Aku asal menyebut nama, masih sambil salah tingkah.

"Agus?" bapak itu bertanya lagi.

"Oh maaf, Pak. Kelihatannya saya anu... eh itu... anu salah alamat." Aku menjawab sambil merutuk dalam hati. Oh, jadi begini rasanya apel pertama. Nyeseknya melebihi didatengin guru killer saat belum ngerjakan PR.

Dan sore itu, aku pun batal bertemu dengan Reni.

***

Aku tersenyum sendiri mengingat kejadian berpuluh tahun lalu. Kemudian menatap bapak mertuaku yang sedang mencoba baju koko baru untuk menyambut rombongan tamu nanti malam. Rombongan keluarga calon menantu yang akan melamar anak gadisku dan menikahinya esok pagi. Seorang pemuda yang beberapa waktu lalu dengan gagah berani datang ke hadapanku dengan langsung mengajak kedua orangtuanya. Tanpa melalui apel pertama yang noraknya setengah mati.

Aku kembali tersenyum. Dalam hatiku berkata, "Setiap Ayah pasti ingin melindungi dan mengharapkan yang terbaik untuk anak gadisnya."

***

"Mas, ngapain senyum-senyum sendiri lihatin Bapak?" Tiba-tiba terdengar suara istriku, Reni.

***
Semarang, 27 Juli 2018
Terinspirasi dari lagu Hari Moekti - Apel Pertama

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top