Warung Malam Mbah Abun

    Kutatap kembali wajah keriput yang ada di hadapanku, mbah Abun. Badannya tegap walaupun kurus. Ia adalah orang yang ramah walaupun garis mukanya  tegas. Ia suka bercanda. Saat ia tertawa, maka terlihatlah ompong yang hanya menyisakan dua gigi depannya.

    Setiap hari, mbah abun membuka gubug yang hanya berukuran 4 x4 meter ini untuk mengais rejeki. Yang menarik, ia hampir selalu terjaga dari jam 9 malam hingga waktu subuh. Padahal, ia hanya mencari nafkah sebagai...

    “Nang! Lha ini mau lanjut apa tidak wawancaranya? Simbah udah mau tutup warung ini lho...” Ucap mbah Abun membuyarkan lamunanku.

    “Ah maaf mbah,” ucapku sambil menggaruk-garuk kepala. “Tidak takut ketika beberapa pemuda mabuk-mabukan disini mbah?” Tanyaku membuka kembali wawancara yang sempat terhenti.

    “Sebenarnya, selama mbah nggak ganggu mereka, mereka nggak akan ganggu simbah, tapi kalau harus membubarkan mereka, takut di amuk.. simbah kan sudah tua, nggak bisa melawan.”

    “Warung simbah sering digunakan untuk pacaran atau berkumpulnya anak sekolah. Bagaimana pendapat simbah?”

    Belum sempat mbah Abun menjawab, samar-samar terdengar suara adzan dari masjid. Artinya, wawancara hari ini harus terhenti karena mbah Abun akan segera menutup warungnya dan beristirahat.

    Hari ini, seperti kemarin aku bangun pagi, –pagi buta tepatnya. Yah.. demi nilai Bahasa Indonesia. Aku sedang bersiap-siap untuk berangkat saat ibuku membuka pintu kamar.

    “Le, nggak usah ke warungnya mbah Abun, tadi malam ada orang meninggal disana karena minum miras, jadi warungnya tutup.”

Aku pun tidak jadi pergi ke warung itu.

    Sejak hari itu, setiap kali aku datang ke warungnya, aku hanya menjumpai gubug yang tak terawat. Hari ini, aku memutuskan untuk datang ke rumahnya. Setelah berjalan dan bertanya sana-sini, akhirnya kutemukan rumah mbah Abun.

    “Mbah?”

Mbah Abun yang sedang termangu di terasnya pun menengok ke arahku.

    “Lho, Anang tho,” Sahutnya.

    “Nggak ke warung mbah?”

    “Nggak le, warungnya sudah mbah jual, tanah simbah juga,”

    “Kenapa mbah?”

    “Mbah mau ke Jakarta, anak simbah sedang sakit, simbah mau nengok dan menetap disana, soalnya simbah tidak punya kerabat dekat disini,”

    Sepulangnya dari rumah mbah Abun, aku melewati warungnya. Tak ada lagi anak sekolah yang biasanya berkumpul disana. Mungkin karena takut?

    “Ada buruk, tapi ada baiknya juga ya..” gumamku.   

   

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top