SIBLING
Sesuai ekspetasi banyak orang, saudara kembar memang sering berselisih dalam berbagai hal di rumah. Nina dan Zeo mengisi hari sebagai sepasang saudara kembar dengan saling mengusili satu sama lain. Mereka sering bertengkar, kemudian melupakan pertengkaran tersebut beberapa menit kemudian. Tentu meski begitu, mereka tetap tidak akur.
“Bocil, buruan! Udah siang nih!” teriak Zeo sambil menggedor pintu kamar mandi.
Waktu menunjukkan pukul 6.30 pagi.
Setelah beberapa saat, akhirnya pintu kamar mandi terbuka. Nina keluar sambil mengusapi rambutnya dengan handuk.
“Elo mandi apa semedi?” Zeo masuk ke kamar mandi dengan tergesa-gesa. la pun langsung menutup pintu kamar mandi.
“Padahal dia sendiri yang telat bangun.” Celetuk Nina sambil berjalan menuju kamarnya.
“Apa jangan jangan dia sendiri yang semedi sambil tidur sampai kesiangan?” tambahnya iseng.
Sebenarnya dua remaja itu sedang menjalani masa libur setelah kelulusan. Mereka sibuk mempersiapkan diri untuk mendaftar di universitas yang mereka inginkan.
“Zeo, awas aja, ya. Elo nggak boleh ngikut kemanapun gue lanjut kuliah nanti.” Nina mencoba melihat layar laptop dihadapan Zeo. Namun, Zeo terus menghalangi pandangan gadis itu.
“Tenang aja, IQ gue sama elo terlampau jauh bedanya. Udah jangan ngintipin gue napa dah?”
“Sombong banget deh. Satu lagi, gue cuma mau memastikan kalo kita nggak bakal satu universitas lagi.” Nina mendorong bahu Zeo kesamping hingga ia bisa membaca layar di depannya.
“Widih, daftar ke luar negeri segala. Yakin bisa diterima?” ucap Nina setelah beberapa saat terdiam.
“Udah gue bilang, IQ gue itu—”
“Buktiin coy!” tantang Nina.
“Oke!”
Tibalah waktu pengumuman yang dinantikan oleh Nina dan Zeo. Nina di terima di salahsatu universitas negeri di Jogja. Nina segera memanggil Zeo.
“Nih, IQ gue yang elo remehkan bisa masuk kualifikasi di universitas negeri. Pasti nggak jauh beda, sama elo!”
“Iya ….” jawab Zeo singkat sambil memainkan beberapa kosmetik yang tertata di meja.
“Jadi, elo diterima di universitas mana?” tanya Nina pada Zeo. “Tapi di kota manapun itu, kayaknya gue bakalan kangen, deh, sama elo.”
“… Gue,”
“Tapi bo'ong wee—” ucapan Nina terhenti ketika ia merasakan goresan di dahinya. Spontan, gadis itu mengusapnya.
“ZEO! Elo coret jidat gue peke spidol, ya? Hah!” teriak Nina cepat ketika melihat noda hitam di telapak tangannya. Zeo yang mendengar hanya terkekeh, memainkan spidol yang ia gunakan barusan.
“Nggak papa, ini cuma spidol permanen.”
“Elooo!” Nina memukuli Zeo sekuat tenaga dengan bantal di tangannya. Setelah itu, ia melempar bantal tersebut, dan mulai mencubiti apapun yang bisa ia raih dari tubuh kakaknya.
“Argh! Pensil … ini cuma pensil alis, bocil!” erang Zeo.
“APA? elo pakai pensil alis gue?” Serangan Nina makin menjadi.
Beberapa hari setelahnya, sikap Zeo mulai berubah drastis. Ia begitu memperhatikan Nina, ia menjadi lebih lunak ketika berhadapan dengan gadis itu. Seperti saat ketika ia tiba-tiba mengajak Nina bersepeda bersama. Nina menuruti, namun benaknya menyimpan satu tanda tanya besar.
“Buruan, Nina.” Nina dipanggil dengan namanya, sedangkan biasanya "bocil" adalah panggilan yang sering Zeo gunakan untuk memanggil gadis pendek itu.
“Ih, elo apaan sih, Zeo!” Begitulah bentuk protes Nina terhadap perubahan saudaranya. Ia benar-benar tidak terbiasa.
Zeo menghela nafas panjang. “Nina, gue bakal kuliah ke U.S.”
“... Ha?”
“Maaf gue ngomongnya dadakan.”
Nina segera mengendalikan reaksinya. “Idih! Ini alasan elo ngajak pakai sepeda barengan hari ini?”
Zeo mengangguk.
“Zeo! Kita kan serumah, kenapa nggak langsung ngomong dari kemarin kemarin? Terus apaan ini ekspresi elo melas banget. Biasanya jahil, juga!” ucap Nina kesal, sebelum akhirnya meninggalkan Zeo dengan mengayuh sepedanya kencang. Sejak hari itu, Nina selalu menghindari Zeo. Seringkali bersikap kejam pada kakaknya itu. Berbanding terbalik dengan Zeo yang menunjukkan perhatiannya pada Nina.
BRAK!
Zeo membanting kopernya ke lantai kamar. Setelah memastikan pintu kamar tertutup dan terkunci, ia melemparkan tubuhnya ke kasur. Pikirannya sangat aktif dan kacau. Matanya nanar, jantungnya berdegup kencang.
Zeo beranjak dari kasurnya, dan menghampiri globe di meja belajar yang kini terlihat kosong tanpa buku. Ia mencari nama Indonesia, kemudian memutar bola tersebut untuk menemukan negara tempat ia akan melanjutkan pendidikan.
“Jauh juga, ya.”
Hari ini, Zeo sudah harus berangkat. Sebuah taksi yang akan mengantarkan Zeo ke bandara sudah terparkir di depan rumah.
“Ma, Zeo berangkat,” pamit Zeo sambil meraih koper dari tangan Mamanya. Endah, mama Zeo yang tidak kuasa menahan rasa sedih dan langsung memeluk puteranya. Nina hanya memandangi Zeo dengan tatapan gengsi. Akhirnya, Zeo berjalan meninggalkan dua perempuan dibelakangnya.
Zeo barusaja akan melewati pintu ketika sepasang tangan memeluknya dari belakang. Nina kini sesenggukan dibalik punggung Zeo, tidak bisa lagi menepis perasaannya. Meskipun selama ini mereka selalu bertengkar, sejujurnya Nina sangat menyayangi Zeo.
“Elo pergi, karena omongan gue waktu itu Ya?” Nina ingat ketika ia menantang Zeo, dan ketika ia meminta agar mereka tidak masuk satu universitas yang sama.
Zeo menghela nafas panjang. “Enggak, Nin. Gue udah bilang, kan, IQ gue itu .…”
“Hiks … masih, aja.” Nina meremas pinggang Zeo karena gemas, di sela isak tangisnya.
“Udah, gue bisa telat berangkat,” pamit Zeo. Nina pun melepas pelukannya. Meskipun berat, semua tidak mungkin ia urungkan.
Perpisahan kadang memberikan manusia kesempatan untuk menyatakan perasaan satu sama lain. Perpisahan ini juga mengenalkan apa itu rasa rindu. Bukan hanya yang ditinggalkan, melainkan juga bagi mereka yang pergi. Mereka merasakan hal yang sama, rindu yang sama.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top