BALADA BOLA SIHIR
(Ini adalah hasil kolaborasi Saya, mocha_and , fadilairaafadilairaa , nao-zeynao-zey, Zurarararaaa_ Zurarararaaa_, atas quest tambahan di #wga17an)
Hari-hari yang tenang seperti biasa di kota Meng, pusat dari kerajaan Sadh. Seorang pedagang tengah berjalan sambil melihat-lihat pasar untuk mencari produk yang menarik baginya. Awalnya semua berjalan lancar. Namun sesaat kemudian, sebuah cahaya tampak melesat dari langit, membuat beberapa orang teralihkan pandangannya.
"Aduh!!" Bola itu mengenai kepala si pedagang, hingga lelaki itu tersungkur ke tanah. Bola itu kembali meluncur entah kemana setelah memantul dari kepala si pedagang.
Setelah meluncur dan membuat kehebohan kecil, bola itu terbang kembali ke arah prajurit yang sedang melakukan tugasnya mengawal pangeran. Kepalanya mengenai bola cahaya itu, tetapi ia tidak tersungkur. Melainkan hanya terdiam dengan tatapannya yang kosong.
"Kau tidak apa-apa?" tanya teman di sampingnya.
Prajurit itu linglung. Ia justru bertanya kembali, "Saya siapa? Saya di mana?"
Teman prajurit tersebut tentu saja sangat terkejut. Ia mengabaikan kondisi temannya yang linglung dan dengan refleks ia berteriak, "Peringatan! Ada serangan!"
Bola yang mengenai prajurit tadi masih utuh. Dilihat dari pergerakannya, bola tersebut akan mencari korban lain. Karena ia tidak ingin menjadi korban selanjutnya, ia bergegas untuk menemui Pangeran. Namun, bola itu justru mengikutinya.
Sesampainya di depan kamar sang Pangeran, teman prajurit itu membuka pintu dan bersiap untuk memberitahukan bahwa ada serangan di luar. Namun tanpa diduga, si bola sihir tersebut mendahuluinya dan mengincar kepala pangeran.
Bola sihir itu mendarat tepat di wajah Pangeran. Pangeran pun terjatuh. Prajurit yang sedang mengawal Pangeran panik. Bola sihir itu mengudara kembali, entah apa yang dia tuju.
"Apa - apaan bola itu?" Prajurit itu kebingungan. "Pangeran! Apakah anda baik-baik saja?" Ia membantu Pangeran untuk bangun. Pemuda itu kini berdiri tanpa ekspresi.
Beberapa hari semenjak kejadian itu, tersebar kabar bahwa sebuah bola sihir telah menyerang pangeran, membuatnya menjadi hilang ingatan. Si pedagang juga mendengarnya. Ia pun melaporkannya kepada petugas pengamat sihir di kerajaan.
"Aku tidak lupa ingatan, hanya saja aku terpental olehnya. Tapi, aku yakin itu adalah bola sihir yang sama."
Tentu kabar itu mengejutkan bagi petugas pengamat sihir kerajaan. Hingga akhirnya, kabar itu pun terdengar sampai ke telinga raja. Raja yang mendengarnya sangat marah. Ia tidak terima bahwa anak semata wayangnya hilang ingatan.
"Cari bola sihir itu sampai ketemu! Tidak peduli siapa yang memilikinya, tangkap ia dan bawa ke hadapanku!"
Sedangkan itu, bola sihir itu melayang layang di langit. Bola tersebut terbang ke arah barat, dimana di sana ada sebuah Gunung dengan hutan yang lebat. Bola tersebut menyusuri hutan belantar hingga sampai di sebuah gubuk tua.
Di gubuk tua itu terlihat seseorang dengan pakaian compang camping dan bertopeng. Bola itu diambil oleh orang itu, bak seseorang yang mengambil mobil-mobilan remot kontrol miliknya. Lalu orang itu masuk kembali kedalam gubuk tua dan hanya menyisakan keheningan di hutan.
Sedangkan, di sisi lain prajurit sedang melakukan perintah raja. Mencari ke seluruh kota agar mendapatkan bola cahaya itu. Mereka tidak tahu, bola cahaya itu sudah kembali ke pemilknya.
Petugas pengamat sihir kerajaan sedang berada di kamar pangeran. Ia mengamati, penyihir mana yang melakukan hal ini.
"Sepertinya, penyihir ini tidak terlalu profesional dan miskin."
"Bagaimana kau tahu?" Tiba-tiba terdengar suara wanita dari arah pintu.
"Hormat saya, Yang Mulia Ratu." Petugas itu langsung membungkuk menyambut kedatangan ibunda dari sang pangeran.
"Katakan, bagaimana caranya agar pangeran bisa segera sadar kembali." Sang Ratu duduk di samping anaknya yang kini tengah tertidur karena obat.
"Begini, Yang Mulia. Saya rasa, bola itu melahap ingatan Putra Mahkota."
"Lalu?"
"Jika ingatan itu dicuri oleh orang lain, maka pemiliknya pasti bisa menemukannya. Hanya saja, harus dilakukan ritual khusus. Itu akan sangat menguras energi Pangeran."
Ratu Elyana menghela napas berat. "Menurutmu, mana yang lebih baik?"
"Saya akan segera menyiapkan ritualnya, Yang Mulia." Lelaki tua itu pun, pamit undur diri.
Keesokan harinya, kamar Putra Mahkota telah dipenuhi oleh lilin di setiap sudut ruangan. Aroma wangi dari minyak khusus yang telah disiapkan tercium hingga luar kamar.
Kini, petugas itu tidak sendirian. Ia didampingi oleh beberapa muridnya untuk membantu merapalkan mantra.
Sebuah kain diukir mantera dengan aksara kuno. Setelah itu, darah tiap orang diteteskan ke kain itu. Sambil tetap merapalkan kata-kata keramat, kertas itu di ikat untuk menutupi wajah sang Putra Mahkota. Seketika, pemuda itu pun terbangun dan mulai berjalan.
Para penyihir kerajaan itu tidak mengeluarkan suara selain untuk merapalkan mantra. Mereka terus mengikuti langkah pangeran. Hingga tengah malam tiba, mereka berada di depan sebuah gubuk. Langkah pemuda itu tampak semakin berat. Ia mulai menunduk, lalu merangkak dengan susah payah untuk masuk ke gubuk tua.
"Hah!" Seorang pria tua muncul sebelum para penyihir sempat menyadarinya, dan mengarahkan pisaunya ke leher si pangeran.
Seketika mantra mereka buyar.
"Hentikan!" Raja datang dengan membawa pasukan. "Apa yang akan kau lakukan pada penerus kerajaan ini?" Raja berteriak marah.
"Aku ingin bebas!" sahut lelaki renta itu. "Aku ingin bebas!"
"Apa maksudmu?"
"Yang Mulia, saya rasa saya kenal orang ini. Dia adalah salah seorang buronan kerajaan."
"Dia bilang... mereka bertiga tahu letak buku itu. Buku rahasia tempat para penyihir mendapatkan keagungan dan kebebasan mereka. Aku harus memilikinya. Dia bilang mereka tahu!" Tangannya yang memegang pisau bergetar, sedikit demi sedikit menggores leher Putra Mahkota tanpa mereka sadari.
"Apa yang kau katakan?" Penyihir kerajaan angkat suara. "Tidak pernah ada buku seperti itu."
"Siapa yang kau maksud? Siapa yang bilang begitu?"
Slap!
Sebuah lubang muncul di dahi lelaki tua itu, menumbangkan ia dan sanderanya.
"Selamatkan Putra Mahkota!"
Para penyihir yang merasakan hawa bahaya secara tiba-tiba, mulai membentuk tameng untuk melindungi tuannya.
Bola cahaya mendadak keluar dari kepala lelaki yang telah mati itu, dan masuk ke kepala pangeran. Sang raja turun dari kudanya, berlari, dan langsung mendekap putranya yang masih tidak sadarkan diri.
"Cepat panggilkan tabib!" serunya menyadari luka di leher pemuda itu.
***
Wanita itu berjalan gusar di sebuah kamar penuh perhiasan.
"Siaaal!" Ia menerjang segala benda yang ada di hadapannya, menimbulkan suara yang keras memenuhi ruangan.
"Ada apa ibu?" Seorang pemuda buru-buru masuk ke kamarnya. Melihat ruangan ibunya yang kacau, pemuda itu pun menjadi panik.
"Apakah kita gagal, ibu?"
Tiba-tiba, sebuah suara terdengar dari arah depan rumah mewah itu.
"Ayo kita lari, Louis!"
Tanpa bertanya apapun, pemuda itu berlari mengikuti ibunya ke sebuah pintu rahasia. Melewati lorong gelap selama beberapa menit, akhirnya mereka menemukan pintu keluar.
"Astriya."
Dua orang itu terbelalak ketika menyadari bahwa mereka telah dikepung.
"Kau dan putramu ditangkap atas percobaan penghianatan, dan secara terencana melukai Putra Mahkota."
"Apa maksudmu, jendral?" Astriya mencoba bersikap tenang.
"Kau tidak perlu mengelak. Meskipun buronan suruhanmu sudah mati, tapi Pedagang, prajurit, dan Putra Mahkota sudah menjelaskan semuanya pada Raja."
"Tidak mungkin ...."
"Padahal Pangeran Dabi sudah berbaik hati, tidak melaporkanmu pada Raja. Dia juga sudah memberimu berbagai hal agar kau puas. Tidak cukupkah dirimu menjadi sepupu Raja? Sampai kau melakukan sejauh ini."
"Aampun ... tolong ampuni kami, -tidak. Tolong lepaskan Louis. Selamatkan anak kita." Astriya memohon.
"Ibu, tidak!"
Sayang sekali, permohonan wanita itu sudah tidak ada artinya. Ia akan dihukum bersama putranya.
***
Malam itu, Penyihir tua dan murid-muridnya tengah mengadakan pesta kecil, merayakan keberhasilan mereka menyelamatkan negeri. Bernyanyi bersama, dan makan enak sepuasnya.
"Oh iya, guru." Seorang murid bertanya. "Kenapa pedagang itu tidak hilang ingatan?"
"Hm... setelah ku selidiki, dia rupanya sedang membawa jimat pusaka ketika ia diserang. Sepertinya pelaku tidak menyadari kegagalannya, karena tidak terjadi serangan ulang."
"Wah... pedagang itu sangat beruntung." Semua murid mengangguk-anggukkan kepala.
"Ambilkan aku minum," seru sang guru. Salah seorang murid pun, mengambilkan segelas arak untuk si penyihir.
Si penyihir tampak menikmati tegukan demi tegukan dari benda kaca itu.
"Tapi, guru. Kalau pada akhirnya ingatan prajurit juga kembali saat ingatan Putra Mahkota kembali ...."
"Iya?"
"... kenapa kita tidak melakukan ritual berbahaya itu pada prajuritnya saja?"
Seketika lelaki tua itu menyemburkan minuman dari mulutnya, membuat semua orang di ruangan itu terkejut.
Sang guru pun terbatuk-batuk sebentar, dan memijat pelipisnya.
"Kita rahasiakan pembahasan ini dari siapapun," ujarnya kemudian. "Maaf, saat itu begitu genting. Aku tidak terpikirkan hal itu."
Semua muridnya menepuk dahi.
*_END_*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top