Selalu Ada di Sampingku
"Aku punya cerita lucu malam ini," kataku tersenyum kemudian menatap Mia. "Kamu tau temen aku yang namanya Yogie kan? Aku udah banyak cerita tentang dia kan? Kamu tau gak, tadi siang dia kesandung sepatunya sendiri terus nabrak Reza sampai dua-duanya jatuh. Ha ha ha."
Mia tertawa tanpa suara dan terlihat sangat geli mendengar ceritaku ini. Kami tertawa bersama. Namun hanya tawaku yang terdengar sangat jelas. Tawa Mia sangat lembut, sampai-sampai tak terdengar olehku. Mia tak berhenti tersenyum. Itu membuatku lega. Soalnya, akhir-akhir ini Mia terlihat sedang serius memikirkan sesuatu. Jarang sekali di tertawa atau tersenyum di malam-malam sebelumnya. Oleh karena itu aku sengaja menceritakan cerita lucu padanya agar dia terhibur. Untungnya berhasil. Mungkin sampai sini kau masih belum mengerti tentang aku dan Mia kan?
Mia adalah seorang perempuan seumuranku, 16 tahunan, yang tak lain dan tak bukan adalah teman berbincangku saat malam tiba. Teman. Iya, teman. Setiap hari, ketika jam menunjukkan pukul delapan malam, aku selalu pergi ke bukit yang ada di dekat rumahku. Di puncak bukit itu, aku dapat melihat luasnya langit hitam bertaburan bintang yang berkerlap-kerlip, ditambah cahaya utama, cahaya rembulan.
Setiap malam, di puncak bukit itu pasti ada Mia. Pasti. Dia selalu berada di sana. Aku tak perlu khawatir jika tak ada teman untuk berbicara pada malam hari, aku hanya perlu menaiki bukit itu, dan Mia sudah duduk manis di sana.
Pertemuan pertamaku dengan Mia yaitu beberapa bulan yang lalu. Saat itu aku sedang kesal sekali karena suatu hal. Malam hari jam delapan malam, aku menaiki bukit dan duduk di puncaknya, menatap bintang untuk menenangkan diriku. Aku sedang menatap langit ketika tiba-tiba tanpa kusadari seorang perempuan sudah berada di sebelahku. Aku terkejut. Dia adalah Mia. Dia tersenyum padaku seolah-olah sedang menyapaku. Pada awalnya aku bingung, apa yang harus kulakukan, tapi akhirnya aku angkat bicara juga. Aku menanyakan namanya. Dia menjawab, tanpa bersuara. Dia menjawab dengan hanya menggerakan mulutnya. Aku dapat membaca gerak mulutnya, dan aku yakin sekali namanya Mia saat itu.
Setelah aku memperkenalkan diri, tanpa berjabat tangan, tak ada dari kami yang berbicara. Aku sebenarnya menunggu Mia mengatakan sesuatu, tapi dia tak kunjung mengatakan sesuatu juga. Dari situ aku menyadari bahwa akulah yang harus memulai. Awalnya, aku bertanya apakah namanya benar-benar Mia atau bukan. Dia mengangguk. Ternyata benar. Kemudian aku menanyakan apakah dia sering ke bukit ini atau tidak. Dia menggeleng. Berarti jarang atau mungkin baru sekali itu. Mia tak berbalik menanyakan pertanyaan yang sama padaku. Dia hanya menatapku. Menunggu sesuatu. Dapat terlukis di wajahnya, dia sedang menunggu sesuatu. Saking herannya Mia tak mengatakan sesuatu dari tadi, aku pun bertanya apakah dia ingin mengatakan sesuatu atau tidak. Dia menggeleng. Mia saat itu mungkin sedang tak ingin berbicara apapun, mungkin dia hanya ingin mendengar cerita orang lain.
Aku pun menanyakan apakah dia ingin mendengarkan ceritaku atau tidak. Dia mengangguk cepat dengan senyuman lebar. Dia terlihat sangat bersemangat. Ya mungkin dia lebih suka mendengar cerita daripada bercerita. Tanpa menunggu lama lagi, aku pun menceritakan hal yang membuatku kesal hari itu dari awal sampai akhir tanpa henti. Mia benar-benar bersemangat mendengar ceritaku. Dia mendengarkan dan menghayati kata demi kata yang kuucapkan. Aku sungguh senang, aku sungguh lega, dapat menceritakan masalah yang mengusikku pada orang lain.
Setelah aku bercerita, aku diam dan menatap Mia. Aku menunggu respon atau komentarnya tentang masalahku itu, tapi Mia benar-benar bungkam. Dia masih tersenyum saat di akhir cerita, tapi saat aku diam menunggu responnya, senyumnya perlahan sirna. Wajahnya berubah menjadi cemas. Dia terlihat cemas. Entah apa yang dia cemaskan, tapi yang pasti ceritaku tak ditanggapi. Aku berusaha berpikir positif, mungkin dia hanya ingin mendengar kisah orang lain dan membuat orang itu lega. Hanya mendengarkan saja, tanpa komentar.
***
Hari demi hari terlewati, aku melakukan hal yang sama setiap hari. Aku bercerita apa yang terjadi pada hari itu. Mia mendengarkan, tanpa komentar. Aku selalu menanyakan apakah dia ingin bercerita atau apa setiap malamnya, tapi dia menggeleng. Selama itu juga, aku tak penasaran pada latar belakang Mia. Aku berkomitmen pada diriku sendiri, dan mungkin Mia berkomitmen juga, bahwa kami takkan menyinggung apapun mengenai hal yang bersifat personal. Cukup hanya sebagai teman bercerita saja. Ya, itu sudah cukup, tak perlu mengenal lebih dalam satu sama lain. Biarkanlah tetap menjadi temanku di malam hari yang selalu berada di sampingku. Tapi ... aku gagal menjaga komitmen itu.
Sebulan yang lalu, tanpa disengaja aku pada akhirnya tahu segala sesuatu tentang Mia. Segalanya. Tanpa sepatah kata pun. Hanya dalam satu malam. Aku hampir tak bisa menerimanya, karena itu semua mengubah pemikiranku tentang Mia. Seharusnya aku menjaga komitmen itu, agar aku dapat menikmati waktuku yang menyenangkan bersama Mia, tanpa mengetahui hal itu. Aku telah mengetahui segalanya tentang Mia, yang mungkin tak kau ketahui.
***
Saat ini, hari ini, aku telah menceritakan kisah lucu padanya. Untungnya dia tersenyum. Dia jarang tersenyum akhir-akhir ini. Kupikir, aku tahu sebabnya. Akhir-akhir ini, aku sering menceritakan tentang Nisa, perempuan yang kusukai belum lama ini. Aku sering menceritakan perkembanganku dengan Nisa padanya. Di saat aku bercerita tentang Nisa itulah, Mia melenyapkan senyumannya yang manis. Tetapi dia masih mendengarkan ceritaku. Ada kemungkinan dia cemburu, tapi bagaimana bisa?
Aku tahu, jika seandainya Mia mencintaiku, aku adalah orang yang paling tidak berperasaan di muka bumi ini. Aku menceritakan orang yang kusuka padanya, padahal dia mencintaiku. Tapi aku tidak bisa mencintai Mia, padahal dialah yang selalu berada di sampingku. Mungkin saja benar Mia melenyapkan senyumannya karena hal yang sudah kukatakan itu, tapi yang pasti aku tahu alasan utama kenapa dia seperti itu.
Aku masih tersenyum melihatnya cekikikan tanpa suara saat ini. Aku tahu aku akan membuat senyuman Mia sirna saat ini, tapi aku harus melakukannya, aku ingin memberitahu Mia tentang hal ini.
"Mia, aku mau cerita tentang Nisa," kataku memberitahu. Benar saja, senyuman Mia langsung hilang, tapi dia masih menatapku menunggu aku untuk melanjutkan.
"Mia, kamu tahu? Aku sama Nisa udah deket banget, dan Nisa pun udah ngasih respon yang positif. Aku mau nembak Nisa besok. Gimana menurut kamu?" kataku dengan suara pelan.
Mia terlihat terkejut mendengar perkataanku. Sesaat dia diam, tapi akhirnya di memaksakan dirinya untuk tersenyum, lalu mengangguk dengan perlahan. Aku berterimakasih atas pengertiannya, dan kami pun lanjut menghabiskan malam dalam kesunyian.
Keesokan harinya, tanpa diduga Nisa memang benar menyukaiku dan menerimaku sebagai kekasihnya. Aku sungguh senang. Aku tahu, aku orang yang tak berperasaan terhadap Mia, seharusnya dia kan yang ada di posisi Nisa? Tidak. Kau akan mengerti.
Malam harinya, jam delapan malam, aku menaiki bukit seperti biasa. Aku tak yakin Mia akan datang, tapi aku yakin Mia akan datang. Dan ternyata Mia sudah duduk manis di puncak bukit sedang menatap ke langit. Aku menghampirinya dan duduk di sebelahnya.
"Hai, Mia," aku menyapanya. Mia tak merespon. Dia masih menatap langit yang dipenuhi bintang yang indah. "Mia, hmm ... aku sama Nisa udah pacaran. Tadi siang dia nerima aku."
Mia menutup matanya, kemudian di menundukkan kepalanya dengan tangannya yang memeluk kedua kakinya. Dia diam sejenak. Kemudian, dia menatap lurus dengan tatapan kosong, dan mulai tersenyum.
"Mia, apakah kamu suka padaku?" tanyaku karena penasaran. Mia mengangguk pelan. "Maafkan aku, Mia. Aku tahu kamu yang selalu ada di sampingku setiap hari, menemaniku setiap malam, mendengarkan segala ceritaku tanpa lelah. Sungguh, aku ingin mencintaimu, tapi aku tak bisa. Mia, maafkan aku, sungguh, maafkan aku."
Mia menutup matanya, kemudian air mata mengalir melewati pipinya. Mia menangis, tanpa suara. Namun dia masih tersenyum. Aku benar-benar tak tega melakukan ini, tapi apa lagi yang bisa kulakukan? Aku tak bisa berbuat apa-apa.
Setelah beberapa lama, Mia menatapku. Air mata masih mengalir di pipinya, senyuman masih mengembang di bibirnya. Dua perasaan yang berlawanan terlukis di wajah cantik Mia. Sungguh, aku tak mau ini terjadi, tapi aku harus melakukan ini. Aku mau hidup normal. Aku sadar, inilah saatnya. Akhir dari hubunganku dengan Mia, yaitu disaat tugasnya telah selesai.
"Terima kasih, Mia," kataku berbisik.
Mia pun perlahan menghilang bersamaan dengan angin yang berhembus kencang. Mia telah pergi, dan aku yakin dia takkan kembali.
Tugasnya telah selesai. Mia akan selalu ada dalam hati dan pikiranku. Terima kasih banyak Mia, atas waktumu yang sangat berharga, walaupun kutahu waktu tak berarti bagimu. Aku hanya ingin berpesan, Mia, kau telah mengisi kekosongan dalam hidupku akhir-akhir ini. Aku sadar, aku tahu, aku telah mengatakannya berkali-kali, kau lah yang selalu ada di sampingku. Aku ingin sekali mencintaimu, tapi aku tak bisa, aku tak ingin. Itu mustahil. Aku hanya ingin menjalani kehidupan normal, Mia. Andai saja, andai saja kau nyata. Sekali lagi, aku ingin sekali mencintaimu dan hidup bahagia denganmu, tapi apa daya kau hanyalah teman imajinasiku.
SELESAI
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top