Sebuah Perumpamaan

Kabut pagi yang dingin dan menyegarkan menerpa kulitku. Kuhirup udara segar pagi dengan penuh antusias. Hari baru telah dimulai. Hari baru di sebuah kota kecil ini. Kota kecil yang tidak berpenghuni. Hanya aku. Kota ini, tidak lebih besar daripada sebuah stadion sepakbola. Tempat sekecil ini memang tidak pantas disebut sebagai sebuah "kota", namun aku bersikeras tempat ini sangat amat pantas disebut demikian. Dengan populasi hanya satu orang. Kecil sekali kota ini dibandingkan dengan kota-kota metropolitan yang berada tak jauh dari kota ini. Bangunan-bangunan yang ada di kota ini pun masih jarang, dan bergaya kuno.

Percaya atau tidak, aku sendiri yang membangun kota ini. Aku yang membangun bangunan pertama di tanah lapang yang gersang ini sehingga dapat berubah menjadi kota yang lebih layak. Sedikit demi sedikit, dengan seluruh kekuatanku, dengan seluruh waktu yang kupertaruhkan, bangunan demi bangunan berdiri kokoh. Aku sendiri tidak tahu apa sebenarnya kegunaan bangunan-bangunan itu. Aku hanya membutuhkan satu bangunan saja sebagai rumahku, namun aku terus membangun bangunan-bangunan lain. Aku berpikir, sebuah kota harus mempunyai banyak bangunan kan?

Faktanya, aku sangat bahagia dapat tinggal di kota ini. Aku sangat bahagia dapat membangun satu per satu bangunan-bangunan di kota ini. Sangat bahagia dapat merawat kota ini. Pernah sekali, kota kecilku ini terombang-ambing sampai hancur sebagian. Angin puting beliung datang secara tiba-tiba, menghancurleburkan beberapa bangunan di dalam kotaku ini. Untung saja, tidak sedikit pula bangunan yang masih utuh. Selamat. Setelah itu, perlahan aku mulai membangun kembali bangunan yang hancur lebur itu, sampai saat ini.

Pagi ini, aku berniat untuk langsung melanjutkan kembali membangun bangunan yang hancur itu, agar hidupku lebih bahagia. Sampai pada saat aku melihat seseorang di kejauhan sana. Seseorang di luar pagar pembatas kotaku ini. Benar-benar ada seseorang di sana. Aku pun segera mendekati dirinya, ternyata dia adalah seorang perempuan. Ia terlihat kebingungan, melirik kanan-kiri menyelidik kota kecilku ini.

"Apa yang sedang kau cari?" tanyaku kepadanya.

Ia hanya tersenyum, tidak menjawab. Ia terlihat sangat tenang namun penuh selidik. Ia hanya diam di luar pagar, tidak bergerak. Hanya menatap lurus menuju kota kecilku yang lenggang.

"Maaf aku harus pergi untuk membuat kota kecilku ini semakin sempurna. Jika kau ingin melihat-lihat, silahkan saja," ujarku.

Aku pun segera pergi meninggalkannya sendiri di luar pagar. Ketika aku meninggalkannya, ia tetap diam di tempatnya. Tidak bergerak.

Tak terasa hari sudah senja ketika aku menyelesaikan satu lagi bangunan yang saat itu rata oleh tanah. Aku pun berjalan-jalan sebentar di tepian kota. Ketika aku sedang menyusuri pagar pembatas, tiba-tiba aku kembali bertemu dengan perempuan yang kutemui tadi pagi. Ia sudah bergerak ke sini, ke sisi lain tepian kota kecil ini.

"Kau masih di sekitar sini? Sedang apa kau diam di luar pagar sampai menghabiskan waktu sepanjang hari?" tanyaku heran.

"Entahlah, aku tertarik dengan kotamu," katanya dengan suara yang terdengar sangat halus.

Aku baru menyadari ketika aku menelisik parasnya dengan seksama, ternyata ia sungguh cantik. Dengan senyumnya yang tak pernah sirna dari wajahnya itu, aku sungguh tertarik padanya.

"Tapi Nona, apa yang membuat kau bisa tertarik pada kotaku ini? Kota ini hanyalah sebuah tempat kecil yang berantakan."

"Tidak. Aku tertarik saja."

Aku terdiam. Jika ia benar-benar tertarik pada kotaku ini, kenapa ia tak masuk ke dalam saja? Kenapa ia hanya diam di luar pagar pembatas? Entahlah. Aku pun tak ingin menanyakannya secara langsung.

"Jika kau ingin pergi mengurus kotamu kembali, pergi saja. Jangan hiraukan aku, mungkin aku akan lumayan lama berada di luar sini," katanya diiringi dengan senyuman hangat.

"Oh baiklah, jika itu maumu."

Aku pun pergi meninggalkannya di tengah matahari terbenam. Meninggalkannya sendirian melewati malam yang kelam. Sedangkan aku tidur di dalam salah satu bangunan yang kusebut dengan rumah.

***

Matahari pagi menghangatkan tubuhku, membuatku semakin bersemangat untuk menyempurnakan kota ini. Namun, yang terlintas di pikiranku pertama kali pagi ini adalah perempuan itu. Tanpa pikir panjang, aku segera berjalan ke tepian kota, dan ternyata ia sudah tak ada di luar pagar. Aku menyusuri tepian kota namun aku tak dapat menemukannya. Kekecewaan tumbuh di dalam hatiku.

Tiba-tiba, aku mendengar suara panggilan. Aku melirik kanan-kiri dan menemukan seseorang di kejauhan sana. Ya, dia perempuan itu! Dia sekarang sedang berada persis di depan gerbang masuk kota ini. Aku segera berlari menuju gerbang.

"Kau masih di sini?" tanyaku terkejut.

"Ya, begitulah. Aku sungguh tertarik dengan kotamu," katanya dengan senyum yang tak pernah berubah.

"Emm ... kalau begitu, tidakkah kau ingin masuk dan melihat lebih dalam lagi?" ajakku dengan ragu.

"Benarkah? Aku boleh? Bohong kan?"

"Tidak, aku serius."

"Oh baiklah kalau begitu. Terima kasih!"

Ia pun perlahan melangkah masuk melewati gerbang kota kecilku, dan pada akhirnya ia benar-benar sudah berada di dalam. Jujur saja, aku tak pernah menemukan orang sepertinya. Dengan senang hati memerhatikan kota kecilku ini dari luar, dan pada akhirnya masuk ke dalam kota kecilku ini. Menemaniku.

Percaya atau tidak, aku tidak pernah membiarkan seseorang masuk ke dalam kota kecilku ini. Lebih tepatnya, tidak ada yang mau. Paling tidak banyak orang yang hanya melihat dari jauh, dan langsung melanjutkan perjalanannya tanpa berkunjung.

"Siapa namamu?" tanyaku canggung.

"He he." Ia terkekeh. "Tidak perlu tahu, tidak penting."

"Oh, baiklah," kataku dengan nada heran. "Oh iya, aku akan melanjutkan menyempurnakan kota kecilku ini, jika kau ingin berkeliling di sekitar kota ini silahkan saja."

"Oh begitu? Kalau begitu aku akan ikut menyempurnakan kotamu ini. Aku akan membantu."

"Benarkah? Terima kasih banyak!"

Akhirnya ia membantuku. Tentu saja ia tidak membantuku membangun sebuah bangunan. Ia hanya sebagai peningkat semangat dan moral, dengan cara menemaniku mengobrol seharian penuh tanpa henti. Karenanya, pekerjaanku menyempurnakan kota kecilku ini dua kali lebih cepat dari biasanya.

Malam pun menjelang, pekerjaanku telah kuselesaikan dan aku berniat pergi beristirahat. Aku berkata pada perempuan itu silahkan pilih bangunan mana saja yang ingin ia tinggali. Ia mengiyakannya dan segera pergi mencari tempat yang cocok. Sedangkan aku pulang menuju ke rumahku dan beristirahat.

***

Keesokan harinya, aku bangun dan segera mencari di mana perempuan itu berada. Ternyata ia sudah berada di dekat lokasi bangunan yang sedang kubangun. Menungguku di sana dengan senyuman yang tak pernah berubah. Semenjak saat itu, setiap hari kebahagiaanku di sini semakin bertambah. Lama ... terasa lama sekali ia tinggal di kota kecilku ini. Menemaniku selalu. Setiap hari. Namun ... suatu hari ia terdiam, membisu. Tak sepatah kata pun ia ucapkan dari mulutnya. Aku terdiam, aku bingung. Mungkin ia hanya bosan. Lama-kelamaan pasti akan membaik. Nyatanya tidak begitu. Keadaan semakin memburuk. Suatu hari kami berdua tidak menyapa satu sama lain. Mulai muncul berbagai pertanyaan di dalam benakku.

Apakah ia akan terus seperti itu?

Apakah aku harus melakukan sesuatu?

Apakah aku harus bertanya sesuatu padanya?

Akankah kami terus-menerus seperti ini?

Akankah ... ia pergi dari kota kecilku ini?

Ia hanyalah seorang pengunjung di kota kecilku ini, ia berhak pergi dan kembali kapan saja. Namun ... entah kenapa, ada sedikit perasaan tidak rela muncul dalam hatiku.

Mungkinkah aku membutuhkan dirinya? Ya.

Mungkinkah aku menyukai dirinya? Ya.

Mungkinkah aku menyayangi dirinya? Ya.

Mungkinkah aku mencintai dirinya? Ya!

Ia yang telah menjadi bagian dari kota kecilku ini, satu-satunya orang yang kupersilakan masuk ke dalam kota kecilku ini, satu-satunya orang yang bersedia masuk ke dalam kota kecilku. Aku ingin terus bersamanya, aku ingin ia terus di sini.

***

Suatu hari di hari yang mendung, satu lagi bangunan yang telah runtuh telah selesai kubangun kembali. Aku berniat untuk beristirahat sejenak. Tentu saja hal yang pertama kulakukan adalah mencari perempuan itu. Ia dapat menumbuhkan kembali energi baru dalam diriku yang lemah. Cukup lama aku mencari dirinya, dan akhirnya aku menemukannya. Satu hal yang menggangguku, aku menemukannya tepat di dekat gerbang masuk kota kecilku. Menatap lurus ke dunia luar sana. Aku pun mendekatinya dengan perlahan.

"Sedang apa kau di sini?" tanyaku memulai.

"Kurasa aku harus pergi," ujarnya tanpa mengalihkan pandangannya.

Aku terdiam. Mematung tak bergerak, dengan hati yang terbakar.

"Sejak awal, aku belum merasakan kebahagiaan sebenarnya di sini. Lagipula, lama-lama kota kecil ini berubah menjadi membosankan. Maaf, tapi aku ingin mencari kebahagiaanku sendiri. Jika kau mempersilakan, dan memang seharusnya begitu, aku ingin pergi dari sini," ucapnya tanpa ekspresi. Aku masih terdiam, namun akhirnya mulutku dapat bergerak.

"Baiklah ... aku tak dapat berbuat apapun. Aku tak dapat memaksakan kehendak," kataku.

"Terima kasih. Suatu saat, pasti ada seseorang yang berkunjung ke sini. Ia akan menunjukkan ketertarikan terhadap kota kecilmu ini dengan sebenar-benarnya, karena kota kecilmu ini merupakan kota kecil miliknya juga. Pada akhirnya ia akan tinggal di kota kecilmu ini, selamanya."

"Kau tidak perlu mengatakan hal seperti itu," kataku lalu menghela napas. "Semoga kau menemukan apa yang kau cari. Mendapatkan yang kau mau. Mencapai yang kau idamkan."

"Terima kasih sekali lagi. Selamat tinggal."

Bersamaan dengan diucapkannya kata selamat tinggal, ia langsung melangkahkan kakinya keluar dari kota kecilku ini. Meninggalkanku seperti sediakala. Sendirian. Tak lama, langit semakin mendung, angin semakin kencang. Aku memandangi pusat kota dari kejauhan, angin topan mengamuk di sana. Menghancurkan kembali bangunan yang baru kurampungkan.

Satu ...

Dua ...

Tiga bangunan rata dengan tanah. Bangunan yang kubangun saat perempuan itu masih berada di sini, lenyap.

***

Pada akhirnya, aku kembali sendiri di kota kecilku ini. Kota kecil, amat kecil, yang telah kubangun dengan susah payah sendirian di tengah berkembang pesatnya kota-kota metropilitan. Aku harus terus menjaga kota kecil ini, jika kota kecil ini lenyap, maka diriku pun akan lenyap. Kota kecil ini ... sebenarnya mempunyai nama. Kau tahu apa nama kota kecilku ini? Akan kuberitahu, kota kecilku ini bernama ... "Kebahagiaan".

Oh, dan kau tahu bahwa kota-kota metropolitan di sekitar sini juga mempunyai nama? Ya, beberapa diantaranya bernama "Kesedihan", "Kepedihan", "Keputusasaan", "Kesenduan", dan masih banyak kota metropolitan yang lainnya. Namun, hanya ada satu kota kecil. Kebahagiaan.

Aku harus menjaga kota kecilku ini karena kota kecil ini harus dibangun oleh usahaku sendiri. Harus kubangun dengan tanganku sendiri. Berbeda dengan kota-kota metropolitan. Mereka semua dapat berkembang pesat, tanpa kusentuh sekalipun. Mereka dapat berkembang sendiri, terus berkembang bahkan tanpa kusadari. Kota-kota metropolitan itu dapat lenyap hanya dengan satu cara, menjadikan kota kecilku ini menjadi sebuah kota super besar. Namun nyatanya, kota kecilku ini terus terkikis seiring berjalannya waktu. Susah payah aku membangun semuanya sendiri, namun kota ini dapat hancur kapan saja. Kota kecilku ini sangat rapuh...

***

Aku berhenti mengetik cerita ini di komputerku. Aku tak sanggup mengetikkan kata "SELESAI" di bagian paling bawah ceritaku ini.

Lucu sekali. Betapa absurd-nya cerita yang telah kubuat ini jika cerita itu bukanlah sebuah perumpamaan ... dari apa yang kualami saat ini. Inilah aku, seorang penulis—tidak, pengarang. Orang yang dapat menciptakan sebuah dunia baru sebagai sebuah perumpamaan dari berbagai kisah hidupnya.

SELESAI

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top