Mey Lani
Hujan yang sangat deras turun hari ini. Saking derasnya, aku hampir tidak bisa mendengarkan lagu yang kuputar lewat earphone. Kududuk di kursi yang kuhadapkan ke jendela, sehingga aku dapat melihat daun-daun pepohonan menari-nari diterpa oleh butiran-butiran air hujan. Aku masih membayangkan betapa serunya berbincang dengan orang yang kita sukai disaat suasana seperti ini. Hanya kubayangkan saja. Aku tak berani untuk memulainya.
Kutatap handphone-ku yang dari tadi kugenggam dengan erat, berharap benda itu bergetar. Berharap dia memulai chat denganku. Namun, sebenarnya aku sudah sadar bahwa hal itu mustahil. Aku pasti akan memulai percakapan dengan dia sedari dulu, jika aku punya cukup keberanian. Bukannya aku ini laki-laki cemen dan penakut, tapi aku sudah kapok dan trauma jika aku harus memulai percakapan dengan perempuan yang kusukai, tapi aku belum mengetahui apa-apa tentang dia.
Aku tidak ingin seperti dulu lagi. Saat itu aku masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Saat itu aku menyukai seorang perempuan. Aku hanya mengaguminya dari jauh, aku tidak berani mendekatinya. Aku berpikir, kalau aku tiba-tiba mendekatinya dan mengajaknya mengobrol, aku bagaikan orang yang ke-pede-an. Ditambah, dia adalah cewek populer di sekolah yang kesehariannya berkumpul dengan cewek-cewek lainnya. Aku tidak mempunyai ruang dan waktu untuk berbicara dengannya langsung. Jadi aku berusaha secara tidak langsung, yaitu melalui SMS.
Entah kenapa saat itu aku langsung menyatakan perasaan dan menembaknya tanpa sadar. Aku belum pernah mengobrol secara dalam dengannya, tapi aku mengambil langkah yang sangat jauh. Kau tahu apa yang terjadi selanjutnya? Tentu saja dia menolakku. Tentu saja aku baru tahu kalau dia sudah punya pacar. Tentu saja dia menganggapku aneh dan semakin menjauhiku. Tentu saja dia menceritakan semuanya pada teman-temannya sampai hampir seluruh sekolah tahu akan hal itu. Dan tentu saja semua temanku mengejek hampir setiap hari. Sungguh, aku menyesal sekali melakukan itu. Bukan karena hasil akhir dari apa yang telah kuperbuat, tapi karena aku tidak melakukan persiapan sebelum aku melakukan hal nekat seperti itu.
Flashback itu memberiku pukulan yang sangat keras. Rasanya aku tak mau menemui teman SMP-ku lagi. Dari kejadian itu aku dapat menyadari dua kesalahanku sehingga semuanya bisa gagal. Pertama, aku belum mendapat informasi yang cukup tentang orang yang kusuka. Kedua, aku bergerak terlalu cepat. Aku akan perbaiki kedua kesalahanku itu seandainya hal itu terjadi lagi. Kenyataannya, saat ini memang hal itu terjadi lagi.
Aku duduk di bangku SMA saat ini. dan memang aku sudah mengagumi seseorang. Cepat sekali aku bisa mengagumi orang. Nama perempuan yang kukagumi adalah Mey. Nama panjangnya Mey Lani. Dia mempunyai rambut hitam lurus sepunggung yang hampir selalu diuraikan di depan kedua pundaknya. Tingginya sepantaran denganku. Sebenarnya parasnya biasa saja, tapi hal yang membuatku suka padanya adalah sikapnya yang ramah pada semua orang, termasuk aku.
Di saat aku sedang merenung sambil menatap tetes-tetes air hujan yang masih turun dengan derasnya, tiba-tiba handphone yang sedang kupegang erat-erat ini bergetar. Aku terkejut sekaligus penasaran. Aku berharap itu dari Mey, tapi sayangnya bukan. Ternyata itu adalah Daniel. Dia hanya menuliskan pesan yang berbunyi: "Hai...". Dia memang seperti itu, tapi dialah sumber informasiku.
Semenjak aku menyukai Mey, aku sadar aku harus memperbaiki kesalahanku. Mulai dari yang pertama, yaitu menggali informasi sedalam-dalamnya. Jadi aku mengandalkan Daniel. Kebetulan Daniel adalah teman SMP Mey. Dia juga teman untuk berbicara yang baik. Aku sangat mengandalkannya kali ini.
Kutatap handphone-ku sejenak. sampai aku lupa untuk membalas chat Daniel. Baru saja aku ingin mengetik sesuatu, Daniel sudah mengirim pesan yang lain. Pesan itu berbunyi: "Gue punya info baru, Tam. Tapi ngomongnya disekolah aja besok, biar enak...".
Aku hanya tersenyum kecil setelah membaca pesan itu. Apa lagi yang dia dapat? Sebelumnya aku memang sudah dapat beberapa informasi darinya. Salah satunya yang terpenting, yaitu kutahu darinya bahwa Mey tidak mempunyai pacar saat ini. Aku juga jadi tahu bahwa Mey mempunyai seorang mantan, yaitu salah satu teman SMP nya.
***
Keesokan paginya, kulangkahkan kakiku dengan mantap ke sekolah. Kuingin mendengar apa yang Daniel dapatkan kali ini. Kujajaki satu per satu langkah menaiki anak tangga, menuju ke kelasku yang berada di lantai tiga.
Aku masuk ke dalam kelasku dan memandang sekitar sejenak. Aku dapat melihat ada beberapa orang di dalam kelas. Ada Kevin, teman sebangkuku. Dia duduk di bangku belakang barisan dekat pintu. Lalu, kulihat Mey di bangku terdepan barisan paling jauh dari pintu. Dia sedang membaca buku, mungkin ia sedang belajar. Aku pun berjalan menuju ke sebelah Kevin di bangku belakang. Kevin sedang mendengarkan musik lewat earphone-nya, dengan muka suram. Kevin ini mempunyai kebiasaan aneh, dia akan berwajah suram dan sangat pendek sumbunya saat pagi hari sebelum bel masuk. Namun ketika bel sudah terdengar, dia kembali normal. Entahlah.
Baru saja aku duduk ketika Daniel menyambar masuk ke dalam kelas dengan gaduh. Daniel segera menyimpan tasnya di depan bangkuku dan Kevin. Dia menanggalkan jaket yang setiap hari dia pakai dan duduk menghadap kearahku.
"Ayo ...," katanya dengan nada melengking.
"Ke mana eh?"
"Keluar aja."
"Disini aja kenapa," kataku protes, tapi Daniel cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke Kevin dan dia menggerakan kepalanya ke arah Kevin seolah menunjuknya. Aku mengerti maksudnya.
"Lah dia kan pake earphone ini," kataku bersikeras.
"Bukan masalah earphone-nya. Udah ayo keluar aja," ajak Daniel yang cepat-cepat beranjak dari tempat duduknya dan berjalan keluar. Aku pun mengikutinya.
Di ambang pintu, kami berpapasan dengan Bani, teman se-SMP sekaligus teman sebangku Daniel. Daniel menepuk pundak Bani, aku juga. Lalu Daniel dan aku berdiri di koridor depan kelas yang menghadap ke lapangan.
"Oke lo bisa mulai sekarang," kataku.
"Oke gini, jadi lo tau kan si Mey sekarang gak punya pacar? Iya kan?"
"Iya kan gue tau dari lo."
"Nah si Mey gak punya pacar itu bukan berarti lu gak punya saingan, iya gak?" tanya Daniel serius dengan memicingkan matanya kearahku.
"Maksud lo, ada yang ngincer Mey selain gue?"
"Exactly," kata Daniel dengan aksen British-nya.
"Siapa? Siapa?" tanyaku semakin penasaran.
"Huh ... hati-hati aja nih ya. Orang yang suka sama Mey selain lo itu ... dia— Kevin!"
Kevin! Kevin? Aku tak mengerti bagaimana bisa. Aku tidak menyadari sama sekali bahwa dia suka pada Mey. Pintar sekali dia menyembunyikan hal itu.
"Tau dari mana lo?" tanyaku memastikan.
"Dia cerita sendiri. Kemaren dia nge-chat gue, terus gue langsung nge-chat lu kan?"
"Iya ... iya oke deh."
"Tenang, Tam. Gue bakal bantu lo kok, gue gak bakal bantuin Kevin."
"Sip... Trims."
KRIIING
Bel masuk pun berbunyi. Aku dan Daniel bergegas masuk ke dalam kelas. Aku jadi agak canggung juga sama Kevin, tapi aku berusaha biasa saja. Kulihat Kevin sudah normal, dia sedang tertawa bersama Bani. Kulihat Mey masih belajar, dan saat itu juga aku baru menyadari ... hari ini ada ulangan — Fisika! Jam pelajaran pertama kebetulan pelajaran kewirausahaan, jadi aku bisa mencuri kesempatan untuk belajar. Tapi sia- sia! Aku tidak mengerti apa yang sedang kupelajari. Aku tak mengerti fisika!
Tanpa terasa, jam istirahat sudah datang. Buku fisika yang tadinya kusimpan di laci meja, kuangkat dengan mantap ke atas mejaku. Kulihat Kevin juga sedang belajar fisika. Aku harus cepat, karena pelajaran fisika mulai sehabis istirahat. Aku mencoba menghafalkan rumus, entah rumus apa. Ketika sedang serius-seriusnya menghafalkan rumus, tiba-tiba seseorang menggeser sebuah kursi ke depan sisi samping mejaku, dan dia duduk di kursi itu. Kulihat rambut hitam lurus yang terurai di depan kedua pundaknya, wajah dengan senyuman manis yang membuatku menelan ludah, dia itu— Mey!
"Tama, ajarin gue fisika dong," katanya memulai.
Oh tidak ... Bagaimana bisa aku mengajari orang lain kalau aku sendiri pun tidak tahu apa yang sedang kubaca ini. "Ehm... gimana ya... Mey gue—"
"Kan lo jago matematika, Tam ... ajarin fisika lah, gue gak ngerti nih," potong Mey.
Tidak, tidak. Jago matematika bukan jaminan jago fisika juga. Yang jago fisika baru sudah pasti jago matematika. Aku masih gelagapan menghadapi Mey. Apa coba yang harus kukatakan padanya.
"Gue juga gak—"
"Sini gue ajarin," sela Kevin.
Kevin! Kevin? Sejak kapan dia jago fisika? Setahuku kemampuan fisikanya setara denganku. Mungkin dia ingin terlihat heroik di depan Mey. Ujung-ujungnya juga pasti bertanya pada Bani, yang diam-diam jago fisika.
Ternyata aku salah! Aku baru ingat bahwa Kevin baru saja mengikuti sebuah bimbingan belajar yang sudah terkemuka di Indonesia. Dan sekarang aku yakin bahwa dia sudah diajarkan bab fisika yang akan ulangan ini di tempat bimbel nya. Sekarang aku diapit oleh orang yang kusukai dan sainganku yang sekarang sedang mengajari orang yang kusuka yang kelihatannya dia kagum pada sainganku itu.
Semua berjalan semakin buruk, Daniel tidak membantuku. Dia sedang asyik belajar. Aku tidak tahu lagi hal yang lebih buruk apa lagi yang akan terjadi selanjutnya. Tanpa menunggu lebih lama lagi, hal yang lebih buruk itu datang dengan segera. Bel masuk berbunyi, dan aku masih belum hafal satu rumus pun! Mey dan Kevin yang sedang belajar pun melirik jam dinding.
"Kevin, makasih ya, setidaknya gue udah ngerti dikit. Tinggal ngapalin rumusnya dikit lagi aja," kata Mey berterima kasih dengan senyum manisnya.
"Oke sip," balas Kevin.
"Dah Kevin, dah Tama."
"Dah," kataku dan Kevin serempak.
Mey pun menarik kursi yang dia bawa tadi kembali ke tempatnya. Kemudian dia kembali ke tempat duduknya. Aku jadi teringat senyum yang Mey berikan pada Kevin tadi. Kevin pasti sangat gembira saat ini. Aku menoleh ke arah Kevin, dia masih saja tersenyum lebar. Aku juga akan seperti itu jika hal tadi terjadi padaku. Aku benar-benar merasa bodoh tadi.
Tak lama, masuklah Bu Rina, guru fisika kami. Satu hal yang membuatku bingung saat setelah Bu Rina masuk ke kelasku, beliau tidak membawa kertas-kertas ataupun buku di tangannya. Beliau berdiri di depan kelas dan tepat berada di tengah tengah.
"Nak, sebelumnya Ibu mohon maaf Ibu harus harus mengundur ulangan kalian dikarenakan Ibu ada urusan di luar sekolah," jelas Bu Rina.
Kudengar kelas penuh dengan desisan "Yess". Aku salah satunya. Tidak dengan Kevin, dia terlihat sangat kecewa. Kupandang Mey, reaksi dia terlihat biasa saja, tapi dapat kulihat dia agak lega.
"Jadi Ibu beri kalian tugas, buka LKS halaman 13 dan kerjakan. Jika sudah selesai dikumpulkan ya, Nak. Itu buat bahan ulangan minggu depan juga," kata Bu Rina. Sekarang kelas dipenuhi suara halaman dibolak-balik. " Yasudah, Ibu pergi dulu. Selamat pagi!"
"Pagi, Bu!" seru sekelas serempak.
Aku pun langsung mengerjakan soal-soal LKS dengan melihat jawaban dari Bani. Aku benar-benar tidak mengerti fisika, tapi aku harus bisa agar Mey dapat belajar bersamaku, dan kagum padaku. Aku akan belajar fisika dengan sungguh-sungguh. Aku akan membuktikan pada Mey bahwa aku bisa. Bukannya hanya menjadi penonton tak berdaya saja. Aku harus! Aku benar-benar harus! Ini mungkin langkah awal dari kesalahanku yang nomor dua. Aku akan membuat dia kagum padaku secara berkala dalam waktu yang cukup lama.
Sepulang sekolahnya, dengan semangat aku membuka buku tebal fisika, dan mulai belajar. Membaca kalimat demi kalimat secara teliti. Aku mulai tahu cara kerjanya. Ternyata hanya diperlukan baca teliti, hafal rumus, dan pemahaman soal. Aku pun mencoba mengerjakan soal dengan masih melihat rumus. Lama-lama aku hafal satu rumus, kemudian rumus lainnya, dan yang lainnya. Wow, fisika tak sesulit yang dikira.
Selama seminggu, setiap pulang sekolah aku selalu membuka buku fisika. Kebetulan, tidak ada ulangan lainnya selama itu. Aku sudah makin mahir pada bab yang akan dijadikan ulangan itu. Bahkan saking mahirnya, aku sudah mengintip-intip bab berikutnya.
***
Seminggu setelah hari di mana ulangan fisika dibatalkan, tepatnya hari Selasa, aku pun menghantamkan kaki ke kelasku dengan mantap. Aku melihat Mey sedang belajar seperti minggu kemarin. Aku pun duduk di tempat dudukku. Belum ada Kevin, Daniel, maupun Bani. Aku pun mengambil buku fisika dari tasku dan membukanya, hanya sebagai formalitas. Aku melihat Mey menoleh kearahku, kemudian dia kembali lagi pada bukunya. Tak lama, Daniel masuk ke dalam kelas dan langsung duduk didepanku. Dia melepaskan jaketnya dan langsung menghadap kearahku.
"Gimana?" tanya Daniel. Pertanyaan itu sudah sangat familiar di telingaku. Itu pertanyaan untuk menanyakan bagaimana perkembanganku dengan Mey.
"Tenang, jika perkiraan gue benar, hari ini akan menjadi langkah awal."
"Oh ya? Gimana ceritanya?"
"Liat aja nanti."
Tiba-tiba Daniel diam, dan dia langsung menghadap kedepan. Aku memanggilnya berkali-kali, tapi dia tidak merespon. Tiba-tiba ada seseorang duduk di kursi sebelah kiriku. Aku tidak merasakan aura suram si Kevin. Aku menoleh ke arah kiriku dan mendapati Mey sedang duduk manis di sebelahku, dia tersenyum.
"Hai!" sapanya.
"Hai."
"Mana Kevin?" tanya Mey bingung.
"Entahlah. Kena macet kali dia," jawabku.
"Oh gitu. Fisika udah ngerti, Tam?"
Ini dia saat yang sudah kutunggu-tunggu semenjak minggu yang lalu. Ini dia langkah awal dari semuanya yang akan kulewati nanti. Aku tak akan menyia-nyiakannya.
"Udah dong," kataku mantap.
"Wah... Ajarin gue dong. Waktu itu gue baru ngerti dikit diajarin Kevin, dan gak mudeng kalau belajar sendiri."
"Oke ...," kataku senang. "Udah sampai mana waktu itu?"
"Dari awal aja deh."
"Yaudah."
Aku pun mulai mengajarinya semua yang aku mengerti dari awal sampai akhir bab. Aku kadang-kadang melihat Mey tersenyum lebar. Lebih lebar daripada minggu kemarin. Dia menatapku dengan kagum setiap kali dia mengerti apa yang kumaksud. Saking asyiknya kami belajar, kami sampai tak sadar bel masuk telah berbunyi. Betapa beruntungnya aku, Kevin belum datang sampai selesai aku mengajari Mey. Aku tidak tahu lagi keberuntungan apa lagi yang akan terjadi padaku.
"Kevin belum datang juga ya?" tanya Mey.
"Gak masuk kali dia," jawabku.
"Oh yaudah deh, gue duduk disini aja dulu kali ya. Kewirausahaan ini."
Tentu saja, hal-hal buruk yang terjadi secara beruntun minggu kemarin telah terbayar lunas dengan hal-hal yang terjadi pagi ini. Kevin ternyata memang benar-benar tidak masuk sekolah entah kenapa.
Selama pelajaran Kewirausahaan, aku tidak belajar fisika lagi, melainkan memperhatikan Pak Tono di depan kelas. Kulihat Mey, dia sedang mengerjakan latihan soal saat ini. Kadang-kadang Mey memberikanku soal yang dia tak mengerti, dan aku mengerjakannya dengan benar. Setiap dia memberikan soal padaku, dia selalu memberi pesan di samping soalnya, seperti 'Caranya?', 'Kalau ini?', 'Hayo!', 'Ini pasti gak bisa.', 'Semangat!', dan lainnya. Sampai akhirnya dia mengerjakan soal sendiri dan memberikan soalnya ketika ia selesai padaku, ada pesannya yang berbunyi 'Bener gak gue?'. Kuperiksa dan ternyata jawabannya benar. Kutulis pesan di samping pesannya, 'Hebat!'. Kukembalikan bukunya, dan setelah dia membaca pesanku, dia tersenyum. Akhirnya senyuman Mey, senyumnya ditujukan padaku. Sungguh, hari ini aku sedang beruntung
Pelajaran Kewirausahaan pun selesai, dan tanpa terasa jam istirahat pun selesai pula. Mey beranjak dari tempat duduk Kevin dan dia berterimakasih padaku dengan senyumannya yang manis. Kemudian dia kembali ke tempat asalnya. Tak lama, Bu Rina masuk dan langsung membagikan soal ulangan. Aku langsung mengerjakan soalnya dengan cermat. Aku bisa mengerjakannya dengan mudah.
Seminggu setelah itu, hasil ulangan pun dibagikan. Aku mendapatkan nilai 87, sangat memuaskan. Aku langsung menanyakan Mey, dia ternyata mendapat nilai 85. Dia kembali berterimakasih padaku. Kulihat Kevin yang saat itu mengikuti ujian susulan, nilainya 80. Kemudian kucek Daniel, nilainya sama seperti Mey, yakni 85. Dan terakhir kutanyakan Bani, dia ternyata mendapatkan nilai 90. Pasti suatu saat kukalahkan dia.
Semenjak itu, aku selalu belajar bersama Mey setiap kali ada ulangan. Kevin tidak bisa berkutik. Sebab Mey memang memintaku untuk mengajarinya, bukan dia. Kadang Kevin suka mencari kesalahanku saat kami sedang belajar bersama Mey, tapi aku bisa menyangkalnya. Pengetahuan yang kudapatkan dari belajar sendiri ternyata lebih banyak daripada Kevin yang les di bimbel terkemuka. Aku juga naik peringkat. Aku tak menyangka, hanya karena aku ingin bisa dikagumi Mey, aku termotivasi untuk belajar lebih giat dan menjadi lebih baik.
Masalah saingan, Kevin, sudah kuanggap selesai. Dia sudah skak mat jika ingin bersaing denganku. Sekarang muncul permasalahan lain. Aku sudah memulai mendekati Mey, aku sudah mulai memperbaiki kesalahan masa laluku. Namun bagaimana caraku menyelesaikannya? Apakah aku akan benar-benar berhasil?
***
"Gimana?" tanya Daniel sambil memakan makanannya.
"Ada peningkatan. Cuma gue bingung, gue juga masih ragu," kataku agak berseru karena suasana kelas yang ramai di jam istirahat pertama ini.
"Yaudah tanyanya secara tersirat aja, jangan langsung."
"Gimana caranya?"
"Yaudah sih. Gini ya, lo ke si Mey, terus lo ngobrol sama dia. Tapi kali ini jangan ngomong tentang pelajaran."
"Iya dah. Tapi biar tambah mantep, lo bantuin gue ya. Kapan-kapan lo ngobrol kek sama dia. Terus lo yakinin dia supaya ... ya gitulah sama gue."
"Ya oke sip," kata Daniel mengiyakan.
Saat ini, sudah terhitung tiga bulan aku selalu belajar bersama Mey. Sudah semakin dekatlah kami. Namun hanya sekedar itu saja, oleh karena itu aku akan mulai membicarakan hal lain nanti jika aku mengobrol dengan Mey, jika ada waktu yang tepat. Lagipula aku sudah meminta bantuan Daniel untuk meyakinkan Mey. Daniel benar-benar sahabat sejati, pikirku.
Pada hari ini juga, saat jam istirahat kedua, aku melihat Daniel membawa buku dan berjalan menuju Mey. Oh dia sudah memulai, pikirku. Aku melihat Daniel membawa buku sejarah. Ketika itu juga aku baru sadar, bagus sekali strategi dia. Dia ingin menyontek PR sejarah yang jelas-jelas Mey ahli dalam pelajaran itu. Kebetulan juga aku sudah selesai mengerjakan PR itu, jadi biarlah Daniel saja yang lakukan hari ini. Aku memperhatikan dari belakang. Kadang Daniel menunjukku dengan jempolnya yang mengarah padaku, tapi keduanya tak ada yang menengok ke arahku. Mereka terus mengobrol, dan kadang Mey tertawa. Daniel berhasil, pikirku. Aku akan menanyakan nanti apa yang mereka obrolkan.
Sepulang sekolah, aku berjalan keluar sekolah bersama Daniel. Biasa, dia memakai kembali jaketnya saat pulang sekolah sama seperti saat dia berangkat ke sekolah. Saat hampir di depan gerbang sekolah, aku baru mulai menanyakan perihal tadi.
"Gimana tadi?" tanyaku memulai.
"Ngobrol sama Mey seru loh."
"Eh gue bukan nanya itu. Lo ngobrol tentang gue gak?"
"Oh ya gue tanya langsung tadi," kata Daniel santai.
"Hah? Apaan?"
"Eh ... ehm, gak selangsung itu juga kali. Gue cuma nanya menurut dia lo tuh gimana. Terus dia jawab lo tuh pinter."
"Udah?"
"Udah."
"Lah terus lo ngobrol selama itu ... segitu doang?" tanyaku heran.
"Iya. Selanjutnya gue ngobrol hal random sama dia."
"Oh yaudah. Makasih deh."
Setelah itu, Daniel pamit karena dia pulang mengendarai motor. Sebenarnya, aku merasakan ada sedikit hal yang janggal yang tak pernah terbesit sedikitpun di dalam benakku. Tapi hal itu kucoba buang jauh-jauh dari pikiranku. Aku akan fokus saja pada Mey, dengan mengandalkan bantuan-bantuan Daniel.
Malam harinya, aku mencoba untuk chat Mey. Sebelumnya, aku memang sudah berkali-kali chat dengan Mey. Dia menanggapinya dengan sangat baik. Dia benar-benar ramah. Biasanya aku hanya membicarakan tentang pelajaran saja, sangat jarang kami berbicara hal lain. Itu pun tidak berhubungan dengannya. Namun malam ini, aku akan mencoba berbicara yang berhubungan dengannya.
Pada awalnya, aku bertanya perihal pelajaran. Cukup lama kami membicarakan hal itu. Setelah topik tentang pelajaran habis, aku mencoba menanyakan hal-hal lainnya. Seperti hobi, aku jadi tahu dia suka membaca novel Goosebumps, dia suka menonton film Harry Potter, dan lainnya. Aku juga mengobrol tentang apa saja yang berhubungan dengannya, tetapi tentang mantannya tidak kutanyakan. Biarlah hal itu menghilang dari pikirannya seiring berjalanya waktu. Sebenarnya, Mey-lah yang lebih banyak membuat topik pembicaraan.
Kadang-kadang Mey lama sekali membalas chat-ku entah kenapa. Ketika kutanya sedang apa dia, dia menjawab dia sedang chat dengan Daniel juga. Oh, bahkan malam hari pun dia membantuku. Aku pun segera menanyakan tentang hal itu pada langsung pada Daniel. Dia pun mengakui dia sedang mengobrol dengan Mey. Lalu kutanya apakah yang sedang dia bicarakan dengan Mey. Lalu dia menjawab bahwa dia belum berbicara apa apa tentangku. Apakah Daniel benar-benar membantuku? Aku mulai ragu.
***
Beberapa minggu telah terlewati. Semua berjalan sangat datar, dapat dibilang menurun. Daniel, dia semakin sering mengobrol dengan Mey di sekolah, tetapi informasi yang dia berikan padaku semakin sedikit. Aku tak yakin Daniel akan membantuku untuk waktu yang lebih lama lagi, atau lebih buruk dari itu. Saking seringnya Daniel mengobrol dengan Mey disekolah, aku menjadi tidak mempunyai waktu berdua untuk mengobrol dengan Mey. Aku hanya mengandalkan sosial media. Untungnya, hubunganku dengan Mey di dunia maya itu berjalan baik.
Aku berpikir sangat keras kali ini. Aku berpikir tentang kesalahanku di masa lalu yang membuatku gagal. Yang pertama, aku belum mendapat informasi yang cukup. Saat ini apa lagi informasi yang kubutuhkan? Kurasa Daniel pun takkan memberikanku informasi lagi, dan lagipula aku dapat cukup informasi dari Mey-nya sendiri. Kesalahanku yang kedua, aku bergerak terlalu cepat. Semenjak aku menyukai Mey sampai sekarang, sudah empat bulan lebih terlewati. Kurasa ini waktu yang wajar. Aku sudah berpikir keras akan hal ini. Aku sudah cukup memperbaiki hal-hal yang telah membuatku gagal di masa lalu. Sekarang aku sudah siap.
***
Senin pagi, setelah upacara bendera berakhir, masih ada waktu kosong sebelum jam pelajaran pertama dimulai. Aku ingin memanfaatkan waktu ini untuk cerita pada Daniel. Cerita pamungkas.
"Niel...," panggilku.
"Apa?" kata Daniel sambil berbalik menghadapku dari kursinya. Kebetulan Kevin dan Bani tidak ada di sekitar.
"Gue mau bilang," mulaiku.
"Bilang apa?"
"Makasih bantuan lo selama ini. Gue mau menyelesaikan ini. Gue mau nembak Mey."
"Serius lo?" tanya Daniel terbelalak.
"Serius. Gue rencananya mau besok. Kalo hari ini kayaknya gak mungkin deh."
"I-iya sih, kalo menurut gue sih secepetnya ya. Keburu diembat orang."
"Lah? Siapa yang mau ngembat? Si Kevin kan udah ciut dia."
"Nothing's impossible. Semua bisa terjadi, bahkan tanpa diduga-duga," kata Daniel. "Oh iya, lu rencana nembaknya gimana? Langsung atau gimana?"
"Langsung aja, mungkin di taman sekolah, megang tangannya dan sebagainya. Oke ini alay, tapi bodo ah," jelasku.
"Oh. Good luck ya."
"Thanks."
Saat jam istirahat pertama datang, kulihat Daniel tidak mengobrol dengan Mey seperti biasa. Melainkan dia pergi keluar kelas dan entah kemana.
Aku pun menghampiri Mey yang sedang membaca sebuah novel. Kulihat judulnya "Perpisahan di Taman". Aku menyapanya dan mulai mengobrol dengannya. Kami sungguh menikmati pembicaraan kami. Aku sangat yakin akan berhasil. Tinggal tunggu besok.
Saat pulang sekolah, aku mengajak Daniel untuk ke bawah bersama, tetapi Daniel bilang tidak bisa karena ada urusan lain. Dia pun langsung berlari keluar kelas. Kulihat sekitar, Mey sudah tidak ada, Bani juga. Terpaksa aku pulang sendiri. Aku memutuskan untuk pulang lewat kantin dan taman sekolah yang ujung-ujungnya akan ada gerbang belakang sekolah.
Aku pun masuk menuju kantin. Di sisi lain kantin, aku dapat melihat pemandangan taman sekolah. Kupandang lebih jauh lagi melewati taman, dapat kulihat gerbang belakang sekolah. Tiba-tiba aku merasa haus, aku pun berjalan menuju salah satu kios di kantin dan membeli es teh. Aku berjalan menuju salah satu tempat duduk di kantin itu dan memandang kearah taman. Betapa terkejutnya aku. Aku melihat hal yang biasa kulihat, tapi ini di tempat yang tak biasa.
Aku melihat Mey dan Daniel sedang duduk di tempat duduk batu dan aku dapat melihat mereka berdua sedang serius mengobrol. Cukup lama aku memata-matai mereka, ketika Daniel tiba-tiba memegang tangan Mey. Dia mengatakan sesuatu dengan cepat saat dia baru menggenggam tangan Mey. Setelah itu, Daniel berbicara dengan tempo lambat. Aku dapat melihat mereka berdua saling menatap dengan serius. Daniel berhenti berbicara, diikuti dengan keheningan diantara mereka berdua. Tiba-tiba Mey mengangguk dengan senyum manisnya. Mereka berdua pun tertawa. Mey menonjok pundak Daniel dengan senangnya.
Ada yang tidak beres. Benar-benar tidak beres. Apakah benar dugaanku saat itu yang telah kubuang jauh-jauh itu? Tidak. Tidak mungkin. Aku tidak boleh mempunyai presepsi seperti itu terhadap Daniel. Walau bagaimanapun, Daniel-lah yang membantuku agar aku berhasil mendapatkan Mey.
***
Malam harinya, aku berencana ingin chat dengan Mey dan menanyakan soal apa yang kulihat sore tadi. Berlebihan sih, tapi apa salahnya? Aku hanya ingin tahu, apa sih yang terjadi antara Daniel dan Mey. Aku memang memakluminya pada awal mereka berdua mulai sering bercengkrama, tapi kejadian sore tadi telah menembus batas penasaranku.
Sebelum aku mulai chat dengan Mey, aku melihat-lihat dahulu status yang ditampilkan di profil teman-temanku. Ketika sedang asyik membaca status temanku satu demi satu, tiba-tiba aku terbelalak, terkejut, rasanya wajahku mulai memanas. Aku membaca status dari Mey yang membuat hatiku rasanya tertusuk jarum pentul. Ribuan jarum pentul.
Luv Daniel <3
Itulah status yang ditulisnya, yang dipajangnya dengan rasa tak bersalah sehingga dia tidak sadar ada seseorang di sini yang tengah menganga dan menatap tak percaya apa yang sedang dilihatnya. Setelah beberapa detik merenung aku cepat-cepat mencari kontak Daniel untuk melihat statusnya. Ternyata status Daniel bertuliskan 'Akhirnya...'
Kepalaku terasa pening, aku tak percaya apa yang terbesit di pikiranku itu, benar adanya. Aku telah membuang itu jauh-jauh, segala kemungkinan itu sudah kuanggap tak ada, tapi hal itu sekarang berubah menjadi fakta, kebenaran, nyata.
Ternyata Daniel menyukai Mey juga dari awal. Sekarang aku berpikir, aku ragu Kevin sahabatku, menyukai Mey. Apakah Daniel menjadikannya kambing hitam? Kemudian terlintas di pikiranku juga, apakah Daniel memberikan informasi palsu tentang Mey selama ini padaku? Aku pun mulai menyadari Daniel mengobrol dari awal dengan Mey bukan untuk membantuku, melainkan untuk pendekatan dirinya dengan Mey. Yang terakhir, Daniel mencuri skenarioku, mencuri kesempatanku, mencuri Mey didepan mata kepalaku sendiri. Aku tahu siapa saja berhak melakukan itu, mengingat Mey belumlah menjadi milikku, tapi Daniel ... Daniel tidak etis. Bayangkan saja, dia berpura-pura membantuku dan semacamnya, lalu tiba-tiba dia sudah berpacaran dengan Mey. Bukankah itu yang dinamakan tidak etis? Satu hal yang membuatku bingung saat ini, kenapa Daniel tidak memberitahuku dari awal saja?
***
Keesokan paginya, aku melangkahkan kakiku ke kelas dengan pikiran yang masih berputar-putar di dalam kepalaku. Sudah ada Mey, dia sedang memainkan handphone-nya. Aku segera duduk di sebelah Kevin yang sedang duduk terdiam. Dia tidak sedang memakai earphone! Ini aneh, biasanya dia selalu memakainya untuk menghindari percakapan dengan sekitar saat pagi-pagi. Mungkin dia sudah menghilangkan kebiasaan lamanya? Entahlah, tapi sekarang yang jelas ada kemungkinan aku bisa mengajak ngobrol Kevin kali ini. Aku harus mencobanya.
"Pin," panggilku dengan nada rendah karena masih sepinya kelas. Awalnya tak ada tanggapan apa-apa darinya, tapi akhirnya dia menggerakan mulutnya juga.
"Apa?" tanyanya.
"Gue pingin nanya."
"Nanya apa?"
"Gini. Gue pingin lo jawab yang bener ya, soalnya gue butuh jawaban lo. Gini nih, gue mau nanya, lo suka gak sih sama si Mey?" tanyaku.
Kevin langsung bertingkah aneh. Dia juga memicingkan matanya kearahku. "Tau dari mana lo?"
Kevin ternyata memang menyukai Mey. Jadi hal yang satu ini memang informasi yang benar. Daniel memberiku informasi yang benar. Aku mulai berpikir, mungkin ini satu-satunya informasi yang asli yang dia pernah berikan padaku, dan mungkin ini hanya sebagai formalitas saja bahwa dia memang benar benar membantuku. Ataukah dia dapat informasi itu untuk dirinya sendiri? Dia sebenarnya mendapatkan informasi yang banyak dan dia hanya memberitahuku sedikit saja sehingga dapat mengulur waktuku, dan ketika aku menceritakan aku akan menembak Mey padanya, dia cepat-cepat bertindak. Itu bagian dari rencananya, pikirku. Pantas saja dia mau menolongku dengan sepenuh hati. Lalu aku mulai berpikir lagi, kenapa dia harus berpura-pura membantuku? Kenapa dia tidak bersaing denganku secara sehat saja seperti Kevin? Mungkin dia tak enak padaku jika menolak permintaanku agar dia membantuku. Karena kami sahabat, jawabku sendiri.
"Woi!" panggilan Kevin memecah lamunanku.
Aku paling tidak suka jika ada orang yang menggangguku di saat aku sedang melamun, itu sangat menyebalkan, "Tau dari mana lo? Dari Daniel ya?"
"Oh, gue mah tau aja. Gue bisa baca bahasa tubuh," kataku membual.
"Oh ... jangan bilang siapa-siapa ya," pintanya.
"Tenang aja," kataku mantap. "Paling minggu depan satu sekolah udah pada tau," lanjutku dalam hati.
Tak lama, Daniel dan Bani masuk ke dalam kelas berbarengan. Cepat-cepat aku mengambil buku fisika dari dalam tasku dan membukanya. Entah karena sugesti atau apa, Kevin juga mengambil dan membuka buku fisika. Daniel mempercepat langkahnya menuju kearahku. Dia langsung duduk didepanku dan langsung menghadapku.
"Gimana? Hari ini jadi kan? Gue yakin lo berhasil," sembur Daniel.
Basa-basi tak berguna, pikirku. Tidak usah seperti itu juga untuk menjaga image, karena aku sudah tahu semuanya. Untuk apa coba dia menanyakan hal itu, sudah pasti jawabannya 'Ya' jika dia tidak mengacaukan semuanya kemarin. Tunggu dulu, benar juga. Untuk apa dia menanyakan hal itu, toh dia juga sudah berpacaran dengan Mey. Secara logika, dia kan sudah mencapai tujuannya, lalu kenapa dia masih mengusikku dengan pertanyaan itu. Pertanyaan itu hanya akan merepotkan dia sendiri seandainya aku tidak mengetahui apa-apa. Ah, entahlah. Ini semua sungguh rumit.
"Heh, gimana?" tanya Daniel memecah lamunanku, sama menyebalkannya seperti Kevin tadi.
"Ehem ...." Aku menempelkan jari telunjukku ke depan bibirku. "Ssttt ... ada dua orang yang sedang belajar disini."
"Oh ...," kulihat Daniel menatap kearah buku yang aku dan Kevin sedang baca. "Bukannya ulangannya udah ya?"
"Belajar tak mengenal situasi."
"Oh oke. Good luck aja ya."
Aku tak menjawab, aku hanya mengangguk kecil. Daniel kemudian menghadap ke depan. Aku dapat melihat Mey memutar badannya dan menghadap ke arah Daniel. Daniel menyadarinya. Aku yakin Mey juga menyadari aku sedang menatapnya. Lalu Mey mengacungkan jempolnya pada Daniel. Setelah beberapa saat, Daniel pun membalas dengan acungan jempolnya. Oh tentu saja, 'Melambaikan tangan' sudah tak zaman lagi bagi mereka. Aku berusaha untuk tidak peduli.
***
Sepulang sekolah, aku ingin langsung pulang saja. Aku tak peduli bahwa ini adalah Hari-H dari berbulan-bulan yang telah kulewati, tapi aku benar-benar butuh teman. Kemudian aku sadar, di serong depan kiriku masih ada yang dapat kupercaya, Bani.
Aku mengajak pulang Bani, dia menyetujuinya. Aku dapat melihat Mey masih duduk di kursinya, tetapi Daniel sudah tidak ada di kelas. Janggal. Padahal mereka baru saja jadian. Aku dapat merasakan Mey menatapku dengan heran. Aku berusaha tak peduli, dan aku pun langsung keluar kelas dengan Bani dan pulang.
***
Malamnya, aku ditanyai Daniel perihal rencanaku yang gagal itu. Untuk apa Daniel menanyakan hal itu? Untuk apa Daniel peduli padaku? Rasanya bukan alasan yang tepat lagi jika dia hanya ingin menjaga image. Aku benar-benar tidak habis pikir, teganya Daniel melakukan hal itu. Aku tidak membalas chat-nya, aku sudah muak, biar saja agar dia sadar aku tahu semuanya. Sudahlah, semua sudah berakhir. Aku benar benar sudah habis akal dan tenaga. Aku menyerah.
Keesokan harinya, semua berjalan sangat canggung di sekolah. Tidak ada yang berbicara antara aku, Mey, Daniel, Kevin, dan Bani. Hanya sesekali saja aku mengobrol dengan Kevin, karena sebenarnya Kevin adalah teman mengobrol yang asyik. Semua berjalan seperti ini sampai bel pulang berbunyi.
Aku kembali mengajak Bani untuk pulang. Aku melihat Mey sedang berada di bangkunya, dia menunduk menatap lantai. Aku dan Bani sedang berjalan keluar kelas, ketika Daniel menghampiri Mey dengan langkah yang berat. Apa yang terjadi dengan mereka? Ah, aku tak perlu peduli. Aku harus membiasakan diri dengan keadaan ini.
Kami sudah sampai di depan gerbang sekolah, ketika aku baru sadar Bani selalu bungkam selama ini. Aku ingin menanyakan tentang Mey pada Bani. Aku tahu aku seharusnya sudah tak peduli lagi, tapi apa salahnya. kan? Tahu saja Bani tahu apa yang tak ku ketahui.
"Ban...," panggilku.
"Ya?"
"Lo kenal deket gak sama Mey?" tanyaku agak bimbang.
"Mey? Mey Lani?"
"Iya. Gue gak tau lo kenal deket sama dia atau gak. Jangan tanya kenapa gue nanya gitu. Gue cuma pingin tau."
"Oh, gue gak bakal nanya kenapa kok. Lagian udah lo jawab kalau gue tanya juga," kata Bani berpikir kritis.
"Oke, ngomong-ngomong pertanyaan gue yang pertama tadi belum dijawab."
"Oh iya, for your info aja nih ya, gue mantannya Mey."
Bani! Bani? Bagaimana bisa aku tidak tahu? Oh tentu saja Daniel tidak memberitahuku. Ataukah Daniel sendiri pun tidak tahu akan hal ini? Aku tidak peduli, aku masih terkejut.
"Beneran lo Ban?" tanyaku terburu-buru.
Tanpa menunggu jawaban dari Bani, aku menyeret Bani kembali ke depan gerbang sekolah, di sana ada tempat duduk yang dinaungi pohon lumayan besar sehingga teduh. Kami pun duduk disitu.
"Beneran lo Ban?" tanyaku sekali lagi.
"Iya beneran."
"Gimana ceritanya?"
"Ya gitu, waktu SMP gue pacaran sama Mey, tapi gak lama gue putusin karena gue sadar, gue ga bisa belajar buat UN kalo pacaran."
"Oh gitu ...."
"Dan si Mey pernah bilang dia pasti mau balikan sama gue seandainya gue ajak dia balikan."
"Gak, bukan hal itu yang gue pingin denger. Oh iya, Daniel kan satu SMP sama lo berdua, si Daniel gak tau lo sama Mey pernah pacaran?"
"Daniel? Gak. Beda kelas kita," kata Bani.
Daniel ternyata memang tidak tahu menahu soal ini.
"Lo sama Mey masih komunikasi sampai sekarang?" pertanyaan itu muncul tiba-tiba.
"Ya, sampai kemaren pun masih. Masih sering curhat sama gue dia."
Masih sampai kemarin? Curhat? Apakah itu benar? Kalau benar, dia pasti tahu sesuatu dengan apa yang terjadi antara Daniel dan Mey.
Tiba-tiba Bani melanjutkan ceritanya, "Oh iya, si Mey sering curhat sama gue akhir-akhir ini. Dan lo tau apa yang dicurhatinnya? Itu elo. Dia suka sama lo, Tam."
Apa yang sebenarnya terjadi? Aku benar-benar bingung. Tak ada perasaan senang setelah Bani mengatakan hal tersebut. Aku malah tambah bingung.
"Lah? Bukannya si Mey udah jadian sama Daniel kemaren lusa?"
"Jadian? Pfft... ga pernah ngomongin Daniel dia, kaga mungkin. Mey suka sama lo, Mey bilang berkali-kali ke gue, sampe kemaren malahan."
"Tapi-tapi... so-soal... y-ya... I-itu...,"
Tanpa menyelesaikan kalimatku, aku langsung menyambar masuk ke dalam sekolah. Aku yakin Mey masih berada di sekolah. Aku tidak melihat dia melewati gerbang depan tadi. Aku berlari menuju ke kelasku, tetapi tak ada dia di sana, hanya ada beberapa temanku yang sedang kerja kelompok. Aku baru sadar bahwa ada gerbang belakang sekolah! Aku pun melesat turun ke kantin. Sesampainya di kantin, aku dapat melihat Mey dengan Daniel sedang duduk di tempat duduk batu. Aku menghampiri mereka dengan langkah pasti sambil mengatur napasku. Aku dapat melihat Mey sedang menunduk.
"Tama!" seru Daniel ketika aku sudah tepat berada di depan mereka.
Terlihat Mey langsung mengangkat kepalanya. Dia murung sekali.
Daniel melanjutkan perkataannya, "Tam, terus terang aja nih ya, Mey sedih rencana lu, lu gagalin sendiri kemarin."
"Loh kok Mey tau?" tanyaku pada Daniel.
"Oh jadi gini—"
"Tama," potong Mey. "Gue udah tau semuanya, dari Daniel. Gue udah tau lo suka sama gue. Daniel udah cerita ke gue dari awal banget gue sering ngobrol sama dia. Dan gue juga langsung kasih tau kalo gue suka lo ke Daniel. Gue minta Daniel ga usah bilang gue suka sama lo ke lo, biar gue tau usaha lo sendiri gimana. Tapi, pas Daniel bilang apa yang akan lo lakukan kemarin itu, ternyata gagal gara-gara lu sendiri, gue kecewa, Tam."
"Tam, ada apa sih kemaren?" tanya Daniel.
"Maaf ya kalian berdua, gue udah salah paham. Gue kira lo berdua pacaran. Tapi gue sadar setelah dikasih tau Bani kalo Mey suka sama gue. Maaf ya, gue bener-bener minta maaf," kataku mengakui kecerobohanku.
"Loh kok bisa ngira gitu?" tanya Daniel.
"Gini. Kemarin lusa gue liat kalian berdua disini, gue liat lo megang tangan Mey. Gue kira lo lagi nembak Mey, dan diterima. Terus status lo berdua pas malemnya itu udah ngedukung banget. Gue masih bingung sampe sekarang," tanyaku kebingungan.
"Oh waktu itu. Gue kan waktu itu langsung kasih tau Mey kalau lo mau nembak dia. Gue bilang lo pengen nembak dia di taman sekolah. Jadi gue sama Mey ke sini dan melakukan simulasi kecil. Bodoh memang, bodoh banget ide gue itu. Kita berdua gak nyangka lo bakal liat dan berpikiran kayak gitu," jelas Daniel.
"Terus tentang status gue yang itu, masa lo ga inget gue suka Harry Potter?" tanya Mey padaku.
Harry Potter? Ya aku tahu dan aku ingat betul Mey suka menonton Harry Potter, tapi apa hubungannya? Aku berpikir keras. Oh tentu saja! "Daniel Redcliffe?" tanyaku memastikan.
"Nah!" seru Mey. Dia ternyata fans berat Daniel Redcliffe, pemeran Harry Potter dalam film Harry Potter.
"Semua jelas sekarang. Gue salah. Gue udah salah paham tentang ini. Maafin gue, gue udah bener-bener buat geger," kataku menyesal.
"Sip lah." Daniel memaafkanku. "Aduh masalah kayaknya udah selesai. Gue serahkan sisanya pada kalian berdua. Dah." Daniel pun pergi lewat gerbang belakang. Aku segera duduk di sebelah Mey.
"Mey, langsung aja nih ya. Lo suka sama gue?" tanyaku tanpa ragu lagi.
"Iya."
"Kalo gitu mau gak jadi pacar gue?" aku tak merasa deg-degan lagi saat ini. Kegegeran yang baru saja kulewati secara bertubi-tubi membuat aku sudah cukup kuat. Tiba-tiba Mey tersenyum licik.
"Mmm ... gini nih. Lo udah buat gue kecewa dan sedih selama sehari dari kemarin, karena salah lo sendiri. Gue merasa digantung. Jadi gue juga mau ngasih jawabannya besok. Ha ha, biar tau rasanya gimana," kata Mey.
Cerdik sekali dia. Tapi aku tak apa-apa, ini untuk menebus kecerobohanku, toh hanya sehari. Padahal sudah jelas-jelas jawabannya 'Ya'. Setelah itu kami mengobrol tentang hal ini sebentar. Setelah itu aku mengajaknya pulang, tapi dia baru ingat dia ada kerja kelompok di kelas, jadi aku berjalan bersamanya hanya sampai tangga. Setelah itu aku keluar lewat gerbang depan.
Di luar sekolah, aku melihat Bani sedang membeli kebab di depan sekolah. Kebetulan setelah aku menepuk pundaknya, dia juga baru mendapatkan kebabnya.
"Huh ngantri panjang gila," keluh Bani. "Oh iya, habis darimana lo?"
"Habis ngecek beberapa hal," kataku sambil tersenyum. "Yuk balik."
"Ya."
Kami pun berjalan melewati gang sekolah. Aku benar-benar tidak bisa melupakan pengalaman seperti ini. Segala tujuanku tercapai besok. Dan kesalahan masa laluku dapat diperbaiki besok. Benar-benar pengalaman yang aneh.
"Tam," Bani memecah lamunanku. "Lo belum pacaran sama Mey kan?"
"Hah?" Aku heran kenapa Bani menanyakan hal itu. Aku pun menjawab sesuai keadaan sebenarnya, mengingat aku belum benar-benar pacaran dengan Mey. "Belum, kenapa emang Ban?"
"Enggak," senyum licik mengembang di bibir Bani. "Gue cuma mau ngajak Mey balikan."
SELESAI
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top