Bukan April Mop

"Reina, aku suka sama kamu. Mau gak kamu jadi pacar aku?" Suara Fajar dapat terdengar jelas di telingaku walaupun kelas sangat ramai.

"Ehm, boleh ulang gak, Jar? Gue gak denger tadi," kataku berbohong. Aku hanya ingin memastikan apa yang dikatakan Fajar itu selaras dengan apa yang kudengar.

"Aku bilang, aku suka sama kamu, Reina. Mau gak kamu jadi pacar aku?" tanya Fajar sekali lagi.

"Ehm, gimana ya, Jar. Ehm, aduh kok tiba-tiba sih?" Aku sungguh bingung sekarang, seakan kata 'Ya' dan 'Tidak' tak pernah ada di dalam kamusku.

"Jawab aja, Na. Aku butuh jawaban kamu," kata Fajar agak memaksa.

"Aduh ...." Aku memejamkan mataku seolah sedang berpikir. Memang aku benar-benar sedang berpikir keras. "G-Gue gak bisa jawab, Jar."

"Huff ...." Fajar menghela napas. Dia menatapku dengan matanya yang cokelat dibalik kacamatanya. "Sebenernya sih, selain itu aku mau bilang sesuatu yang lain."

"Apa?"

"April Mop," katanya dengan santai. Kemudian dia pun tertawa terbahak-bahak. Terdengar sekumpulan anak yang berada di suatu meja bersorak-sorai. Fajar beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri sekumpulan anak itu. Dia memberikan tos satu per satu pada mereka.

Arrrggh! Fajar! Kenapa dia selalu menjahiliku? Baiklah hari ini dia mendapatkan kesempatan menjahiliku tanpa bersalah karena hari ini tanggal 1 April. Fajar, anak laki-laki berambut hitam, berkacamata, dengan postur tubuh lebih tinggi dariku, selalu saja membuatku kesal. Bukan hari ini saja, hampir setiap hari dia menjahiliku entah kenapa. Kadang dia mengacak-ngacak rambutku yang hitam lurus sebahu, kadang dia mengacak-acak isi tempat pensilku, kadang dia mengambil sesuatu dari tasku dan menyembunyikannya, dan masih banyak lagi.

"Si Fajar ngapain lagi, Na?" tanya suara yang tak asing lagi di telingaku. Riri, sahabatku. Dia menghampiriku dan duduk disebelahku.

"April mop."

"Udah tau, pasti dia lakuin itu. Pasti tanggal ini yang ditunggu-tunggu dia. Tapi, gimana spesifiknya kejadian tadi?"

"Duh ... masa harus diceritain juga."

"Iya lah, gue udah terlanjur dengerin kejadian sebelum-sebelumnya, ya jadi gue harus tau kan kejadian apa lagi yang terjadi."

Iya sih. Aku memang sering curhat kepada Riri perihal kejahilan Fajar. Riri selalu memberi tanggapan dari segala kejahilan-kejahilan Fajar yang kuberitahu padanya. Karena Riri juga, aku dapat memaafkan Fajar setiap kali kejahilannya sukses dilakukan. Riri selalu mendengarkanku dan memberiku jalan keluar kalau aku ada masalah, terutama masalah Fajar. Riri pernah berkata padaku mungkin Fajar suka padaku sampai-sampai dia menjahiliku terus. Mungkin sih, tapi aku tak menganggapnya terlalu serius.

"Heh, Reina Flowerina, kok bengong sih? Buruan kasih tau gak, kepo nih," kata Riri memecah lamunanku.

"Ehm, oh iya, buru-buru amat sih. Tadi tuh si Fajar cuma pura-pura nembak gue. Dan akhirnya ya gitu, april mop."

"Iya?" Bola mata Riri menatap ke atas dan dia pun mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari telunjuk. "Mungkin itu kode kali, Na."

"Tau Fajar gimana kan? Udah ah ga usah mikir yang macem-macem."

"Mungkin aja, Na. Hampir separuh cowok kelas kita pernah nembak lo loh."

"Iya Fajar juga pernah. Barusan," kataku sambil memutar bola mataku.

"Maksud gue yang serius, bukan yang main-main."

"Udah ah, makin ga jelas aja obrolan kita lama-lama."

"Terserah deh mau percaya atau gak juga."

Aku tak menanggapi perkataannya karena memang aku tidak percaya. Hmm ... bukan tidak percaya, hanya saja aku tak mau membuang-buang waktu untuk hal yang tidak pasti. Fajar? Orang seperti dia mana mungkin bisa menyukai perempuan, atau mana mungkin bisa disukai perempuan.

Pulang sekolah, aku biasa pulang naik angkot. Biasanya sambil menunggu angkot datang, aku mengobrol dengan Riri tentang apa saja, dan biasanya Riri selalu pulang duluan karena memang angkot yang mengarah ke rumahnya lebih dominan daripada yang mengarah ke rumahku. Jadi biasanya cukup lama aku menunggu sendiri sampai angkot datang.

Hari ini pun begitu, Riri sudah pulang terlebih dahulu dan aku sedang menunggu angkot yang mengarah ke rumahku. Ketika aku sedang bersenandung sendiri, tiba-tiba ada sebuah motor berhenti tepat di depanku yang dikendarai oleh seorang laki laki yang sedang memakai helm. Ketika dia membuka helmnya, aku langsung tahu siapa dia. Dia adalah Fajar. Dia menatapku dengan heran.

"Eh, Na. Sendirian aja?"

"Gak bisa liat?" tanyaku ketus.

"Galak amat, Na. Mau bareng gak, Na? Rumah lo di mana sih?" ajaknya.

"Wih, mau nganterin ceritanya?"

"Lo pikir?"

"Bohong. Lelucon. Bercanda," kataku sinis.

"Yaudah kalo gak mau." Ia kemudian memakai kembali helmnya.

"Eh iya deh, mau mau," kataku cepat mengingat keuntungan yang kudapat jika aku diantar olehnya.

"Yaudah naik." Aku pun menaiki motor Fajar dan duduk di belakangnya. "Di mana rumah lo?"

"Di Jalan Mangga," kataku memberitahu.

"Oh pas searah kita."

Setelah itu, Fajar langsung memacu motornya. Aku memeluk tasnya yang memang hampir tak berisi apa-apa. Aku selalu heran, apa sih yang anak laki-laki bawa di tasnya? Kurasa mereka hanya membawa buku tulis saja. Selama perjalanan, Fajar tak mengatakan apapun. Mungkin dia berkonsentrasi mengemudikan motornya. Akhirnya, kami sampai di depan gang rumahku dan aku berniat turun di sini saja.

"Jar, di sini aja."

"Hah? Di sini aja? Serius?" tanyanya seraya menghentikan motornya tepat di depan gang.

"Iya."

Setelah motor benar-benar berhenti, aku langsung turun dari motornya. Aku mengatur letak tas punggungku dan menatap ke arah Fajar. Dia membuka helmnya dan menatap ke arahku dengan serius.

"Serius, Na?" tanyanya lagi.

"Gue udah turun masih aja ditanya. Yaudah, makasih banyak ya, Jar. Beneran deh," kataku sambil tersenyum. Entah kenapa aku tersenyum.

"Sama-sama, Na."

"Yaudah deh, dah," kataku pamit, tapi sebelum sempat aku berbalik, Fajar sudah menyambar pergelangan tanganku.

"Reina, mau jadi pacar gue gak?"

Aku sangat terkejut pada awalnya, tapi akhirnya aku dapat mengendalikan diri karena aku tahu itu hanya sebuah lelucon, dan aku masih ingat hari ini masih berlaku yang namanya April mop. Tak lama, aku melepaskan genggamannya di pergelangan tanganku dan berbalik.

"Ha ha, lucu. Gue gak punya waktu, bye!" Sebelum sempat aku berjalan, Fajar mulai mengatakan sesuatu yang membuatku terhenti.

"Reina Flowerina, ini bukan kayak yang di sekolah tadi, yang ini bener-bener serius," kata Fajar dengan wajah yang sangat serius. Aku tak pernah melihat Fajar seserius ini. Bahkan ini melebihi keseriusan saat dia sedang menyusun rencana kejahilannya.

"Eh ... em ... ini beneran, Jar?" tanyaku yang masih agak bimbang.

"Iya, Na. Serius ...."

Aku mulai bingung. Fajar memang terlihat benar-benar serius saat ini. Apakah yang dikatakan Riri tentang Fajar itu benar? Aku benar-benar bingung. Di satu sisi aku memang pada dasarnya tak pernah percaya pada Fajar dan menganggap ini lelucon, tapi di sisi lain aku percaya dia tak berbohong karena wajah seriusnya itu. Pikirku telah terbelah dua saat ini. Ketika aku hendak mengatakan sesuatu, Fajar melanjutkan:

"... Reina, gue serius. Iya, serius—April mop-nya," kata Fajar dengan senyuman puas di wajahnya.

Sial, aku tertipu. Bagaimana bisa aku mempercayainya? Bagaimana bisa? Baiklah, mungkin wajah seriusnya membuatku agak percaya, hanya sedikit. Ada hal lain yang membuatku percaya akan omongannya tadi. Entah apa itu, tapi yang pasti dia mengerjaiku lagi saat ini.

"Fajar!!!" geramku seraya berbalik dan mulai berjalan cepat menjauhinya.

"Eh, eh, Na! Maaf ya!"

Aku tak peduli. aku tak menoleh sedikitpun ke arahnya. Aku terus berjalan menjauhinya. Sebenarnya amarah telah meluap-luap dari dalam diriku, untung aku dapat menahannya. Entah bagaimana. Ada hal yang dapat menahan amarahku yang meluap-luap ini. Aku seharusnya tidak mempercayainya, walaupun hanya satu tetes dari seluruh air laut di muka bumi ini.

Setelah kejadian itu, tak banyak yang berubah. Hanya saja dia mengurangi intensitas kejahilannya padaku, tapi tetap saja sebenarnya, paling hanya berkurang sekitar lima persen saja. Pokoknya membuatku kesal, deh. Oh iya, semenjak itu, Fajar jadi mengantarku pulang hampir setiap hari. Dan kau tahu? Dia selalu menanyakan pertanyaan "itu" padaku. Pertanyaan itu sudah bagaikan salam perpisahan kami setiap hari.

***

Tiga bulan berlalu semenjak kejadian April mop itu, artinya sekarang sudah bulan Juli. Aku sedang menikmati liburan semester. Aku naik ke kelas 11 dengan nilai yang baik. Aku menanyakan Riri di kelas mana dia nanti. Aku menanyakan hal itu karena memang teman-teman kelas sepuluhku akan diacak secara random sehingga hanya beberapa dari kelas kami yang akan bersama lagi, sisanya dari kelas yang lain. Riri ternyata sekelas denganku lagi. Wah, betapa beruntungnya aku! Namun kemudian Riri memberitahuku bahwa Fajar juga sekelas lagi dengan kami berdua. Pada awalnya aku merasa kesal, tapi aku merasa senang juga. Selama liburan aku merasa hampa, biasanya Fajar selalu menjahiliku dan membuat heboh. Sebenarnya, aku tak kesal sepenuhnya saat Fajar menjahiliku. Bahkan, aku senang dijahili olehnya karena aku merasa diperhatikan. Aku bahkan berharap dia akan menjahiliku pada hari pertama masuk sekolah nanti. aku rindu padanya. Entah kenapa, aku ingin cepat cepat bertemu dengannya.

***

Hari pertama masuk sekolah pun tiba, saat pagi-pagi ketika Fajar datang, dia menyapaku dengan senyumnya yang licik. Aku rindu senyumnya, sungguh, dan aku senang dapat melihatnya lagi hari ini. Ketika istirahat, aku hendak ke koperasi sekolah bersama Riri. Tetapi tiba-tiba Fajar menghampiri kami berdua.

"Eh, Reina, Riri, mau ke koperasi ya?" tanya Fajar.

"Iya."

"Oh, kalau gitu, gue nitip ya," kata Fajar.

"Nitip apa?"

Setelah aku bertanya, Fajar tersenyum licik. Dia berbalik dan menempatkan kedua tangannya di samping mulutnya sebagai pengeras suara.

"Teman-teman! Reina mau ke koperasi! Ada yang mau nitip gak?!" teriak Fajar.

Seketika itu juga kelas menjadi gaduh. Aku hanya bisa tersenyum saja melihat tingkahnya. Teman-temanku, baik yang lama maupun yang baru menghampiri Fajar yang sedang menulis daftar di kertas. Agak lama kami menunggu sampai akhirnya Fajar memberiku sejumlah uang dan daftar pesanan teman-temanku. Akhirnya, aku dan Riri pun berjalan menuju ke koperasi.

Di perjalanan menuju koperasi, aku masih saja tersenyum karena tingkah Fajar tadi. Aku juga senang, setelah sekian lama akhirnya aku dijahili olehnya lagi. Memang sih kedengarannya terlalu aneh, tapi aku memang benar-benar merasa senang ketika Fajar menjahiliku. aku tak mengerti perasaan ini.

"Eh Na, lo kok malah senyam-senyum aja dari tadi. Gak kesel apa sama Fajar?" tanya Riri dengan wajah kesal.

"Ehm ... gak terlalu sih ...," kataku dengan cepat menghilangkan senyumanku.

"Masa gak kesel sih? Si Fajar udah keterlaluan tau. Ini baru hari pertama masuk loh. Kasian ya lo, sekelas lagi sama Fajar."

"Gue senang kok sekelas lagi sama Fajar," kataku menyanggahnya dengan spontan.

Riri menatapku dengan serius. "Maksud lo?"

"Hmm ... gini nih ya. Entah kenapa waktu liburan kemarin gue merasa kehilangan Fajar, gara-gara seringnya dia ngejahilin gue. dan ketika itu gue sadar, gue suka sama Fajar, Ri," kataku dengan cepat menyimpulkan.

"Hah? Sumpah?" Riri terbelalak kaget.

"Iya."

"Tuh kan bener kata gue. Waktu itu aja lo ga mau dengerin gue. Eh sekarang lo malah suka sama dia."

"Gak nyangka gue juga, Ri."

"Yakin lo suka sama Fajar?"

"Ya. Gue merasa butuh dia."

"Good luck aja deh," kata Riri.

Saat pulang sekolah, seperti biasa aku sedang menunggu angkot sendirian ketika tiba-tiba motor yang sudah kukenal berhenti di depanku. Fajar akan mengantarku lagi. Aku punya dua alasan sekarang kenapa dengan senang hati aku ingin diantar pulang olehnya. Kau tahu lah.

Ketika sudah sampai di depan gang rumahku, aku kembali memintanya untuk berhenti dan aku turun. Aku sudah berterimakasih padanya dan hendak pergi, ketika dia bertanya pertanyaan Reina, mau gak jadi pacar gue-nya lagi. Tentu saja aku benar benar takkan percaya pada pertanyaan itu lagi, walaupun dengan wajah seserius apapun. Aku pun meninggalkannya sambil berterimakasih lagi tanpa menghiraukan leluconnya.

Semenjak itu, entah kenapa intensitas kejahilan Fajar padaku berkurang terus. Tak apa-apa, selama aku masih diperhatikan olehnya. Aku benar-benar berharap Fajar cepat sadar kalau aku suka padanya, tapi sulit untuk meyakinkannya. Tidak mungkin aku yang menyatakan perasaanku padanya. Fajar yang harus melakukan itu, dengan sungguh-sungguh.

Bulan demi bulan berlalu, tak terasa sekarang sudah di penghujung bulan Maret. Aku sadar, dan aku tahu betul, besok adalah tanggal 1 April, hari di mana kejahilan Fajar memuncak. Besoklah hari yang kutunggu, tapi aku tidak yakin Fajar akan menjahiliku. Sudah dua minggu ini Fajar tak pernah menjahiliku. Terakhir kali dia menjahiliku yaitu pada saat dia menyembunyikan sepatuku. Ya, hanya itu, dan itu yang terakhir. Memang, akhir akhir ini hubunganku dengan Fajar tiba tiba menjadi sangat renggang. Hampir tak ada komunikasi diantara kami, dan terakhir kali dia mengantarku pulang yaitu seminggu yang lalu. Saat aku turun dari motornya dan berterimakasih, dia hanya berterimakasih kembali. Fajar tidak menanyakan pertanyaan itu. Aku sudah bercerita tentang ini pada Riri, tapi dia pun tidak mengerti kenapa. Aku takut. Aku takut ini semua akan berakhir.

***

Tanggal 1 April pagi hari, aku sudah di sekolah dan sedang menunggu kehadiran Fajar, tapi yang datang malah Riri. Dia duduk di sebelahku dan langsung berbicara.

"Udah siap, Na?" tanya Riri.

"Gue gak yakin dia bakal lakuin itu," kataku pesimis.

"Reina Flowerina, ini momen setahun sekali buat dia. Mana mungkin dia diem aja hari ini."

"Tapi gue ragu, gue kan udah cerita tentang yang itu ke lo."

"Yaudah liat aja nanti," kata Riri yang masih berusaha meyakinkanku.

Tak lama, Fajar datang tanpa ekspresi. Dia tidak menyapaku atau apalah. Bahkan dia tidak melirik ke arahku. Aku sudah putus asa, tapi Riri terus menyemangatiku. Pada pelajaran jam pertama, yaitu pelajaran sejarah, ada tugas kelompok yang diberikan oleh Bu Eli. Kebetulan Fajar sekelompok denganku, tapi Fajar benar-benar tak berbicara sedikit pun padaku. aku pun tak mencoba untuk berbicara dengannya. aku tak ingin memperburuk keadaan.

Saat istirahat tiba, aku diam sejenak di kelas karena hari ini kepalaku terasa pening. Namun akhirnya, Riri mengajakku ke kantin, aku menyetujuinya. Saat sudah sampai di kantin, aku melihat sekitar dan sesuatu menarik perhatianku. aku melihat Fajar, dia duduk berhadapan dengan seorang perempuan dan mereka terlihat sedang mengobrol. Fajar melihatku, ya, dia melihatku dan menatapku. Kemudian dia memegang tangan perempuan itu, dan tersenyum padanya.

Aku tidak tahan melihatnya. Aku merasa sangat sakit melihat Fajar dengan perempuan itu. Kepalaku tambah pening, ingin rasanya aku menangis. Aku mulai berlari keluar kantin menuju kelas. aku benar-benar tak habis pikir, kukira Fajar juga menyukaiku walaupun hanya sedikit, tapi ternyata tidak sama sekali. Dia menjahiliku memang murni karena ingin menjahiliku, bukannya ada maksud lain seperti apa yang dikatakan oleh Riri. Aku terlalu berharap. Aku selalu berpikir bahwa mudah sekali membuat seorang laki-laki suka padaku, tapi aku salah. Aku terlalu percaya diri.

Aku dapat mendengar Riri memanggil-manggilku saat aku berlari. Aku masuk ke dalam kelas dan berlari menuju ke bangkuku. Tak banyak temanku yang memperhatikan, tak ada yang peduli, tapi itu bagus, mereka tak perlu tahu. Tak lama, Riri masuk ke dalam kelas dan berjalan kearahku kemudian duduk di sebelahku.

"Na, Na, Sabar," kata Riri berusaha menenangkanku.

"Gue gak bisa, Ri. Lo liat kan tadi Fajar? Gue ... gue gak habis pikir, Ri."

Tiba-tiba, Fajar masuk ke dalam kelas dan langsung melihatku kemudian dia menghampiriku. Riri beranjak dari tempat duduknya dan digantikan oleh Fajar. Fajar menatapku dengan heran.

"Na, ada apa?" tanyanya dengan wajah tanpa dosa.

"Fajar, lo liat gue kan waktu di kantin tadi?"

"Iya, gue liat lo. Terus?"

"Lo gak ngerti, Jar?" tanyaku dengan nada rendah. "Tadi lo sama pacar lu di kantin?"

"Iya," jawab Fajar santai.

Ternyata benar itu pacarnya Fajar! Aku telah bertanya padanya secara langsung dan mendapatkan jawaban langsung darinya. Wajahnya terlihat serius, aku tak dapat melihat raut wajah bohong. Kenapa? Kukira Fajar akan menyukaiku dengan mudah, tapi kenyataannya dia tak menyukaiku sedikit pun. Aku hanya sebagai objek kejahilannya yang ideal. Hanya itu, dan sekarang aku membayangkan saat aku senang ketika dijahili Fajar, semua kesenangan itu sia-sia! Fajar tak menyukaiku.

"Fajar, kok lo tega sih? Kok lo tega? Selama ini gue nyangka lo suka sama gue. Oleh karena itu gue berusaha suka sama lo. Gue berusaha enjoy setiap kali lo jailin gue. Dan sampai akhirnya gue suka sama lo, tapi lo udah gak peduli lagi sama gue, dan tiba-tiba lo udah punya pacar. Gue su— suka sama lo, Jar. Kenapa sih lo gak ngomong dari awal aja kalo lo gak suka sama gue? Jadi— jadi gue gak berharap kayak gini. Gue ... gue ...."

"Aduh, Reina. Lo terlambat. Asal lo tau aja ya, gue juga suka sama lo waktu itu, tapi sekarang udah nggak. Lo tau? Hampir sejak setahun yang lalu, setiap hari gue nembak lo, Na. Udah sampai ratusan kali. Saat itu, setiap hari, gue serius. Gue bener-bener serius nembak lo. Cuma lo nganggep itu cuma lelucon. Gue udah cukup berusaha. Ada saatnya gue capek juga, Na. Akhirnya gue move on dan sekarang gue udah punya pacar," jelas Fajar dengan wajah serius.

"Tapi ... tapi, Jar ... gue gak tau. Gue gak tau kalo lo serius. Maafin gue, gue gak percaya. Gue ...." Tak sempat lagi aku menyelesaikan kalimatku, air mata sudah mengalir melewati pipiku. Dengan segera aku menutup kedua mataku dengan kedua telapak tanganku.

"Maaf, Reina. Udah terlambat. Gue udah punya pacar. Gue udah gak suka lagi sama lo. Maaf."

Mendengar kata-kata itu dari Fajar langsung, membuat aku merasa hancur. Aku tak pernah merasa sesia-sia ini. aku benar-benar terlalu berharap, dan aku juga benar-benar bodoh. Aku selalu menganggapnya bercanda dalam segala hal, padahal ada saatnya dia serius, dan dia serius disaat aku menginginkan itu serius, tetapi aku menganggapnya bercanda. Yang bodoh itu aku!

Aku melepaskan telapak tanganku dan menatap Fajar, dia sedang menunduk tanpa ekspresi. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu, atau mungkin sedang menunggu sesuatu. Riri, yang dari tadi memperhatikan kami dari jauh pun menghampiri kami. Dia berdiri di sebelah Fajar, senyum mengembang di wajah bulatnya, lalu dia menepuk pundak Fajar.

"Jar, udah. Udah cukup. Kasian," kata Riri kepada Fajar. Riri menatapku kemudian tertawa kecil. Fajar yang sedang memasang wajah datar, tiba-tiba tersenyum lebar.

"Udah nih? Padahal masih bisa lanjut loh," kata Fajar seraya menatap Riri. Riri hanya mengangguk saja. Lalu, mereka berdua menatapku.

"Ada ... apa sih?" tanyaku keheranan.

"Ha ha ha ... Reina Flowerina, gue cuma mau bilang— April mop!" seru Fajar.

"Hah?!"

"Nih, gue ulang sekali lagi ya. April to the mop!".

"Hah?!" ulangku dengan nada yang sama. "Tunggu ... bisa jelasin apa yang terjadi?"

"Yang terjadi ya lo kena April mop," kata Fajar.

"Ceritain dari awal aja deh, Jar. Dia belum ngerti kayaknya," ujar Riri.

"Nih ya, Na. Riri udah cerita ke gue kalo lo suka sama gue dari berbulan-bulan yang lalu. Gue kaget loh denger itu. Memang sih waktu itu juga gue suka sama lo, cuma belum bener-bener yang suka banget. Tapi gara-gara setiap hari gue nganterin lo pulang, gue jadi suka sama lo. Yang bener-bener. Lalu gue berpikir, 1 April yaitu saat hari April mop adalah waktu yang tepat untuk penyelesaian. Terus gue susun rencana ini sama Riri," jelas Fajar.

"Sorry ya, Na," kata Riri cekikikan.

"Oh iya, cewek yang di kantin itu sepupu gue, ya," lanjut Fajar.

"Emm ... gue pergi dulu ya bye," kata Riri cepat dan dengan segera meninggalkan kami berdua.

"Reina, sebelumnya gue mau bilang gue serius kali ini. Gue sungguh-sungguh. Tampar gue kalau gue tiba-tiba bercanda atau buat lelucon," Fajar menghela napas sebentar, "Reina, gue suka sama lo. Mau gak lo jadi pacar gue?"

"Sialan," kataku sambil tersenyum, "Ya, tapi gue mau lo buat janji."

"Apa?" tanya Fajar.

"Janji, jangan bohongi gue dan jangan ngejahilin gue lagi, biar gak ada kesalahpahaman nantinya, oke?"

"Oke!"

Akhirnya, Fajar, yang selama ini selalu membuatku kesal, akhir-akhirnya menjadi kekasih hatiku juga. Aku sungguh tak menyangka hal itu dapat terjadi di dunia ini.

***

Keesokan harinya, aku datang ke sekolah dengan hati yang gembira dan berbunga-bunga. aku masuk ke dalam kelas dan melihat Fajar sudah menungguku di tempat dudukku. Aku menghampirinya sambil tersenyum.

"Hai!" sapaku dengan bersemangat. Fajar hanya menatapku dengan muka datar.

"Reina, gue harus ngomong sesuatu," kata Fajar dingin.

"Apa?"

"Kita harus putus, Na. Kita bener-bener harus putus."

Aku tertawa cukup keras setelah Fajar berbicara hal itu. Cerdas juga leluconnya, pikirku. Tetapi tawaku semakin pelan ketika aku melihat Fajar yang tak tertawa, tersenyum pun tidak. Dia menunjukkan ekspresi paling serius yang pernah kulihat. Kemudian tawaku menjadi tawa gugup ketika aku ingat janji Fajar kemarin. Lalu aku berhenti tertawa ketika aku sadar hari ini tanggal 2 April, bukan April mop.

SELESAI

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top