Miracle in December 1


🌷🌷🌷

Udara dingin menyambut Katherine ketika dirinya keluar dari gedung apartemen. Matanya mengawasi petugas pembersih salju melakukan tugasnya. Mengeratkan long coat H&M sebelum benar-benar meninggalkan tempatnya untuk berjalan kaki menuju tempat kerja di kawasan Maddison Avenue yang hanya berjarak tiga puluh menit bila berjalan kaki. Katherine melangkah dengan hati-hati sebab jalanan licin oleh sisa-sisa salju. Lalu lalang kendaraan baik umum maupun pribadi mulai memenuhi jalan raya dan Katherine berbaur bersama pejalan kaki lainnya.

Suasana hatinya membaik bila memasuki bulan ini. Desember merupakan bulan yang ia sukai, sebab suasana natal mulai terasa. Pohon-pohon hijau tertutup salju, lampu kerlap kerlip tampak disetiap sisi rumah dan masih banyak lagi. Toko-toko berhias secantik mungkin menyambut kedatangannya. Pernak-pernik natal pun tak lupa ikut memeriahkan. Tanpa Katherine sadari hal itu mampu memicu rasa bahagianya dan ia ingin mengulang masa kecilnya yang bahagia.

"Hai, Jo," sapa Katherin saat di depan food trolly langganannya.

"Hai, Ms. Katherine," balas Joshua. "Seperti biasa?" Tawar Joshua.

Katherin mengangguk kecil disertai senyuman. "Bagaimana kabar putramu? Sudah sembuh? Aku harap dia baik-baik saja," ucap Katherin sembari menggosok-gosok tangannya yang terlindung sarung tangan.

"Sudah, hanya flu biasa tapi kami begitu khawatir. Kau tahu bukan kami mengharapkan kehadirannya begitu lama," jelas Joshua sembari menyiapkan pesanan Katherin.

"Ya dan syukurlah aku ikut lega mendengarnya. Sampaikan salamku untuk Ana dan Kevin." Katherin mengulurkan uang pada Joshua lalu mengambil espresso di depannya.

"Thank's and have nice day," balas Joshua.

****

"Pagi, Selly," sapanya ramah pada gadis berusia awal dua puluhan ketika membuka pintu kaca untuknya. Udara hangat langsung terasa sebab penghangat ruangan sudah dinyalakan.

"Pagi, Ms. Katherin," balas Selly. "Kau ditunggu Mrs. Abraham di ruangannya," beritahunya lagi.

"Terima kasih, Selly."

Katherin memilih masuk ke ruangannya sebelum menemui atasannya. Melepas mantel hangatnya lalu menggantung di gantungan kayu. Setelah rapi barulah menemui Mrs. Abraham. Saat di lantai dua tampak wanita paruh baya itu membelakangi dirinya menyaksikan keadaan di luar. Bersendekap dengan cangkir kopi disalah satu tangannya.

"Mrs. Abraham."

Perempuan berambut coklat sebahu tersebut menoleh pada Katherine. Senyuman lebar dia berikan pada manager tokonya yang kompeten itu. "Dear, duduklah. Ada yang ingin kukatakan padamu."

Katherine mendudukkan dirinya du kursi depan meja kerja Mrs. Abraham. "Boleh aku tahu itu apa?" Tanya Katherine setelah Mrs. Abraham duduk di kursinya.

"Mulai besok aku ingin kau membimbing keponakanku untuk mengenal seluk beluk pengelolaan toko ini," pintanya.

Kening Katherine mengernyit dalam. "Haruskah? Maksudku apa kau tidak takut dia mencurangimu di kemudian hari?"

Mrs. Abraham menggeleng pelan sembari tersenyum maklum. "No, aku percaya padanya, amat sangat percaya."

Meskipun tak setuju dengan Mrs. Abraham tetapi Katherine tak bisa membantahnya. Itu bukan kapasitasnya. "Baiklah. Pukul berapa dia datang? Boleh aku tahu namanya agar tak salah?"

"Hugo Petterson," jawab Mrs. Abraham. "Sekitar pukul sepuluh, bantu dia. Aku percaya padamu, Kat." Mrs. Abraham menegaskan sekali lagi.

Katherine mengangguk kecil. "Apa ada lagi?" Tanya Katherine.

"Tidak." Saat Katherine beranjak dari kursinya, Mrs. Abraham menahannya. "Eum, bisakah kau memanggil Madeline untukku?"

Katherine mengiakan permintaan Mrs. Abraham. "Segera setelah dia sampai." Setelahnya ia berlalu dari hadapan Mrs. Abraham.

***

Katherine duduk gelisah di bawah tatapan Hugo Petterson. Iris abu kebiruan itu terus mengikuti gerak-gerik Katherine sekecil apapun. Andai itu sebilah samurai mungkin tubuh Katherine penuh sayatan terlalu lekat ditatapnya dan Hugo jelas-jelas tak berusaha menutupi aksinya.

"Ada yang bisa aku bantu Mr. Petterson?!" Tanya Katherine pada pria dengan tangan di kantung celana jeans yang bersandar pada tembok dengan suara sedikit membentak. Ia bukan wanita yang suka dipandangi dengan tatapan kurang ajar seperti itu karenanya ia keberatan.

Hugo tampak tak terusik dengan intonasi suara Katherine, tenang itu yang ia tampilkan pada wajah yang mampu menarik kaum hawa mendekat. "Tidak. Aku hanya mengagumi kecantikan dirimu, itu saja," jawabnya tak menutupi niatnya dengan ketenangan yang mampu membuat jengah Katherine.

"Tolong hentikan itu Mr. Petterson, aku keberatan dan tidak menyukainya terlebih lagi menjadi objek fantasi pikiran kotormu."

Alis Hugo terangkat tak percaya mendapati ketidaksukaan Katherine, padahal di luaran sana banyak wanita suka rela menjadi teman penghangat ranjangnya. "Wah, aku tak menyangka kau memiliki pemikiran seperti itu tentang pandanganku. Apa kau juga menjadikanku objek fantasimu, Katherine?" pancingnya.

Wajah Katherine memerah karena emosinya, menatap tajam pada Hugo yang menggulum senyum. "Kau! Apa orang tuamu tak mengajarimu untuk menghormati wanita? Hingga berani bersikap kurang ajar pada wanita!" hardiknya keras. Ia tak peduli jika pria itu keponakan Mrs. Abraham.

"Kurang ajar? Memang apa yang aku lakukan? Aku hanya mengagumi ciptaan Tuhan yang begitu indah. Dan, kau benar aku ingin sekali mencium bibirmu sampai kau tak bisa bernapas," sahut Hugo tenang tetap di posisinya lalu seringai muncul di sudut bibirnya.

Merentak berdiri hingga kursinya berderit terdorong ke belakang dengan kemarahan dalam dirinya. "Kau!" Geramnya. "Kau sungguh ti-"

Ucapan Katherine terputus dalam sergapan bibir Hugo. Pria itu berjalan cepat tanpa disadari oleh Katherine. Bibir penuhnya membungkam bibir Katherine, memaksanya untuk membalas godaannya. Katherine berusaha melepaskan diri dari dekapan Hugo namun sia-sia. Tekanan pada punggungnya lebih kuat hingga melekatkan tubuhnya pada Hugo. Pukulan kecil Katherine pada dada pria itu tak mempengaruhi tekanan bibirnya pada bibir manis Katherine.

Katherine menggigit bibir Hugo kuat hingga pria itu melepaskan dirinya dan meringis merasakan perih. Mengangkat tangannya menampar Hugo kuat. Kemarahan tampak jelas pada mata hijau bening itu. Napas tersengal mereka saling bertabrakan. Hugo tak menyangka Katherine akan memberinya tamparan dan baginya ini tamparan kedua setelah mommy-nya.

"Tak mengira?! Jangan menyamakan aku dengan wanita-wanitamu, Mr. Petterson," tekannya. "Ingat itu!" Setelahnya Katherine berlalu dari hadapan Hugo yang memegangi pipinya bekas tamparan Katherine.

Mengusap panas di pipinya dengan tersenyum lebar. "Menarik. Aku akan mendapatkanmu Katherine Frost."

***

Hugo tak menyerah terus saja mendekat, memberi perhatian-perhatian pada Katherine namun membuat perempuan itu frustasi. Ia tak ingin sampai jatuh hati pada pria playboy tersebut, tak ingin menderita karena cinta seperti ibunya. Cukup ibunya saja yang bodoh karena cinta tetapi tidak Katherine oleh karenanya ia tak ingin mengenal cinta.

Namun ia gelisah sejak kedatangan Hugo, pria itu mampu meruntuhkan benteng diri yang ia bangun jika terus menerus mendekat padanya. Katherine tahu Hugo tipe pria yang tak akan setia pada satu wanita, pria itu terlalu tampan dan menggoda untuk ditolak, sebab itulah ia tak ingin tergoda pada Hugo agar ia tak merasakan yang namanya patah hati.

"Makanlah, kau terlalu fokus bekerja sampai melupakan makan siangmu," tutur Huga meletakkan kotak foam di depan Katherine.

Katherine menengadah memandang Hugo dengan pandangan terima kasih. "Terima kasih, kau tak perlu melakukan ini Mr. Petterson," balasnya sambil mendorong kotak putih itu kembali pada Hugo.

"Ayolah, Katherine. Ini hanya makanan siang tanpa maksud apa-apa." Hugo kembali menggeser kotak itu pada Katherine.

Dia bukan orang yang suka membuang makanan, mau tidak mau ia menerima. "Kali ini saja, lain kali tidak."

Sudut bibir Hugo terangkat hingga mencapai matanya. Senyum mempesona menghiasi wajah tampan Hugo. "Aku tidak janji."

"Apa maumu sebenarnya Mr. Petterson?" Katherine tak suka mendengar ucapan Hugo.

Pria itu menatap Katherine rekat. "Hugo dan biasakan itu, Katherine," ralatnya. "Tidak banyak, hanya ingin lebih dekat denganmu."

Katherine membalas tatapan Hugo dengan raut tak percaya. "Apa kau kehabisan stok wanita sampai ingin mendekatiku? Tidak ada yang istimewa dariku, jadi menjauhlah. Aku tidak ingin menjadi salah satu koleksi wanita yang kau patahkan hatinya Mr. Petterson."

Hugo tidak mengalihkan pandangannya dari rupa cantik Katherine. Entah apa yang membuatnya susah menembus pertahanan wanita itu. "Apa aku mempunyai salah sampai kau membenciku?" Pertanyaan itu akhirnya keluar dari bibir penuh Hugo.

"Tidak. Tapi aku memang menghindari pria sepertimu. Pria yang menganggap wanita sebagai koleksi dan mematahkan hatinya tanpa memikirkan perasaan mereka."

"Benar, kah? Apa kau pernah mengalaminya? Atau ...."

Katherine menggeleng. "Tidak dan tak akan pernah masuk di dalamnya. Jadi buang keinginanmu untuk mendekatimu Mr. Petterson," tekan Katherine kembali. Wanita itu bangkit meninggalkan Hugo dengan pemikirannya sendiri.

***

Bunyi bel menghentikan aktifitas Katherine membuat makan malam. Siapa yang datang, pikirnya. Pasalnya Katherine tidak mempunyai janji dengan siapapun terlebih menjelang natal seperti ini, teman-temannya akan sibuk menyiapkan acara natal untuk keluarga masing-masing. Meskipun ia gembira menyambutnya namun tak bisa ia pungkiri bahwa ia juga ingin berkumpul dengan keluarganya, tetapi keluarga mana yang harus ia datangi? Ia sendiri di kota ini setelah kepergian ibunya dan memutuskan pindah kemari, sedang ayahnya? Ia tak tahu ke mana perginya.

Benda kecil itu menampakkan wajah orang yang ia hindari. Dengan wajah tak bersahabat Katherine membuka pintu selebar dirinya. "Ada apa?" Tanyanya singkat tak ingin berbasa-basi.

Hugo tersenyum kecut mendengar pertanyaan tak bersahabat Katherine. "Apa kau tak menyilakan aku masuk?" Hugo tak menjawab pertanyaan Katherine.

"Tidak, jadi lebih baik kau pulang Mr. Petterson."

Hugo merubah mimik wajahnya memelas. "Ayolah. Kau tak akan setega itu padaku, lagipula aku juga kelaparan."

"Banyak restoran dan food truck di sepanjang jalan atau kau bisa ke Eleven Maddison Park atau di manapun tapi tidak di sini," tolak Katherine.

Laki-laki itu meringis sembari mengusap perutnya, hal itu tak luput dari pengamatan Katherine. "Perutku terlalu lapar untuk ke sana, lagipula apa salahnya membagi makan malam dengan temanmu, Kat," desak Hugo tak menyerah. Wanita di depannya itu begitu rapat menutup diri untuk memberi celah baginya masuk dalam hati dan hidup Katherine, namun Hugo tak akan menyerah.

Menghela napasnya sebelum mempersilakan Hugo masuk lalu menutup pintunya. Pria itu mengamati apartemen kecil dan sederhana Katherine. Tidak banyak barang di dalamnya, apartemen ini mencerminkan kepribadian Katherine yang lembut juga feminim tetapi berbanding terbalik dengan perangai wanita itu.

"Aku sedang malas dan hanya ada spageti kalau kau tak keberatan." Cekatan Katherine membagi spageti untuk dua piring cekung dengan saus bolognese di atasnya, tidak lupa garlic bread dengan irisan sedang.

Hugo diam-diam tersenyum. Katherine bukanlah wanita dingin, bukti nyatanya dia dengan suka rela menjelaskan masakan yang akan mereka santap. "Tak masalah," celetuknya. "Apa kau tinggal sendiri?" pancingnya mencoba menggali informasi tentang Katherine.

Perempuan itu menghentikan tangannya yang menggulung mie Itali itu, memandang tak suka pada Hugo. "Iya, jika itu bisa membungkam mulutmu. Cepat habiskan dan segeralah pergi dari sini." Katherine benar-benar tak suka pada Hugo, namun bodohnya ia mengizinkan pria itu masuk ke ruumahnya.

Hugo mengangguk kecil. Matanya bergerak liar ke seluruh ruangan. "Tak ada pohon natal? Kau tak merayakannya? Apa keluargamu tidak berkunjung? " Tanya Hugo lebih jauh lagi. "Apa kau tak menyukai kedatangannya? Bukankah natal selalu penuh keajaiban dan cinta kasih."

"Apa kau berali profesi menjadi wartawan? Lebih baik cepat habiskan dan pergi."

"Apa kau selalu begini jika ada pria yang tertarik padamu, Kat? Menarik diri sejauh mungkin dan menutupnya dengan rapat. Apa kau takut jatuh cinta? Cinta bukan hal yang menakutkan dan memberi warna pada hidupmu."

Mata hijau itu menatap tajam tepat di retina Hugo. Pria ini tidak tahu apapun sehingga dengan mudahnya mengatakan hal itu. "Itu bukan urusanmu Mr. Petterson. Dan aku minta kau pergi dari sini. Pintunya di belakangmu."

Mungkin untuk saat ini ia mundur sebelum melangkah lebih dekat untuk meraih Katherine dalam dekapannya. Wanita itu terlalu sayang bila mengisi hari-harinya dengan hitam serta putih dan Hugo berjanji akan memperkenalkan pelagi dalam hidup Katherine. Hugo beranjak meskipun makanannya masih setengah. "Aku pergi, terima kasih untuk makan malamnya." Hugo memutari meja, mengecup puncak kepala Katherine lalu mengambil kesempatan akan keterkejutan Katherine dengan mengecup bibir yang selalu menggodanya. "Good nigth, Honey."

🌟🌟🌟

Komen donggg ...

Apa yang beda dengan cerita ini?

Sudah keluar dari ciri khas Batikk belum?

Intinya. Lagi pengen belajar bikin ala-ala terjemahan gitu 😂 tapi nggak tahu deh bisa apa nggak 😂😂


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top