Jebakan Cinta
Hahaha.. Aku coba bikin cerpen. Nggak tahu gimana menurut kalian. Moga aja kalian berkenan 😁😁
🌷🌷🌷
Bagiku hari ini, hari terberatku. Bayangkan saja, harus melihatnya dia dengan kekasih cantiknya di teras balkon kamarnya yang berhadapan langsung dengan balkon kamarku. Meskipun tidak jelas tapi aku bisa melihat mereka berdua. Padahal tadi di tempat kerja aku sudah disuguhi pemandangan yang sama. Tak cukupkah di kantor mereka terus bersama? Ingin rasanya aku melempar pot bunga ini agar mengenai mereka.
Aku merasa sakit setiap kali melihatnya bercengkrama dengan wanita lain, ya meskipun aku mengenal perempuan itu. Ya Tuhan, seperti ini ternyata rasanya menyukai seseorang sebelah pihak. Andai saja rasa suka ini bisa dengan mudah dibuang, alangkah gembiranya aku. Salahku sendiri kenapa harus menyukai dia yang tidak akan pernah melihatku selain sebagai adik.
"Fir, tolong anterin kue yang Bunda taruh di wadah plastik unggu di dapur ke rumah Tante Marta," pinta bunda dari pintu kamarku
Aku merengut dengan bibir mencebik. "Kenapa nggak Bunda, aja?" jawabku sembari mengekor di belakang bunda. Apa bunda tidak tahu aku paling malas melihat Hara bersama pacarnya.
Bunda berhenti lalu berbalik menghadapku, untung saja jarak kami sedikit jauh. "Bunda lagi buru-buru ke toko, tadi ayah udah teleponin terus terusan. Tolongin Bunda ya, ya, ya? Nanti Bunda bawain martabak manis deh," bujuk bunda padaku agar tidak cemberut.
"Janji ya, Bun. Kalau lupa, aku bakal minta uang saku yang banyak," ancamku pada bunda.
"Beres. Buruan gih."
🌷🌷🌷
"Tanteee!" Teriakku begitu aku masuk ke dalam rumah dengan bangunan lebih besar dari rumahku. Wajar saja Om Iqbal kan pengusaha sukses jadi sebandinglah, tapi yang aku salut Om Iqbal tidak sekalipun memandang rendah pada orang lain.
"Di belakang, Fir. Sini!" Jawab tante Marta.
Langsung saja aku menuju halaman belakang dengan taman bunga aneka jenis dan warna, beserta gazebo dari bulatan-bulatan bambu yang dirangkai kuat untuk melepas lelah. Aku meletakkan kotak kue di depan Tante Marta yang di kelilingi benda-benda kecil cantik serta kotak-kotak apik warna unggu cerah dengan tutup plastik mika bening, baru kemudian aku ikut duduk di gazebo.
"Kok sendirian, Tan? Mas Hara mana?"
Tante Marta melihatku sebentar lalu kembali sibuk dengan benda-benda kecil di depannya. "Itu lagi sama Wulan di atas."
"Oh. Siapa yang mau nikah, Tan? Kok banyak banget hiasan-hiasan buat seserahan gitu," tanyaku ingin tahu. Mungkinkah job sampingan Tante Marta? Tapi itu tidak mungkin, mengingat betapa cintanya Om Iqbal pada tante Marta pasti tidak akan dibiarkan kekurangan, atau ada sanak saudaranya yang minta tolong?
Tante Marta memberiku senyuman manis, aku pun membalasnya. Tapi aku tak tahu arti dari senyuman itu. "Buat Hara dong, Fir. Dia kan mau ngelamar cewek yang dia cinta," sahut Tante Marta dengan wajah gembira. "Akhirnya anak itu bakalan nikah juga. Tante aja sampai takut dia trauma gara-gara putus sama Sita," imbuhnya Tante Marta.
Seketika senyuman di bibir ini, aku tarik sedikit demi sedikit. Lidahku terlalu kelu untuk langsung membalas kata-kata Tante Marta. Aku meringis mendengarnya. Kenapa semakin sakit begini rasanya. Serasa tubuhku di hancurkan sampai tak bersisa, lebur tersapu ombak di lautan. Ya Tuhan. Kenapa harus hadir rasa ini bila akhirnya akan membunuhku. Air mataku mulai menggenangi pelupuk mata, butiran bening ini hampir menetes jika saja mataku tak berkedip-kedip. Tidak! Aku harus menahannya. Aku tak boleh menangis di depan Tante Marta. Meskipun harus menangis tapi senyuman tetap kutampilkan.
"Ta-tante kenal sama calon Mas Hara?"
Tante Marta menepuk lenganku ringan. "Jelas dong. Orangnya sering kemari, jadi kami udah akrab."
"Oh, bagus kalau gitu, biar nggak recokin aku terus," sahutku cepat dan kubuat segembira mungkin. "Eum, Tante, aku pulang dulu. Badan lengket semua belum mandi hehehe."
"Hati-hati ya, Fir. Bilang makasih sama bundamu," pesan Tante Marta, kujawab dengan anggukan kecil.
Kupacu kaki ini untuk segera keluar dari rumah Tante Marta. Saat lewat di tangga terdengar tawa mereka dari lantai dua. Telingaku berdenging, mata ini langsung mengeluarkan cairan bening dengan derasnya. Kututup mulut ini dengan kedua telapak tangan agar isakanku tak lolos dari bibir. Sakit. Teramat nyeri dan perih bagai luka bertabur air cuka. Kaki ini kupacu lagi berlari pergi dengan wajah bercucuran air mata. Hancur sudah harapanku untuk menunjukkan rasa ini. Terlambat.
🌷🌷🌷
Satu bulan sudah sejak aku menangisi cintaku yang hancur, aku berhasil menghindari Mas Hara baik di rumah maupun di kantor. Awalnya sulit karena kami terbiasa berangkat dan pulang bareng, tapi semakin ke sini berhasil walaupun efek patah hatiku masih berlanjut. Aku pun jarang membuka pintu balkon serta gordennya jika petang, sebab Mas Hara akan berdiri di sana menatap lekat kemari. Aku tak ingin semakin mencintai dia dan semakin sakit olehnya.
Terkadang bila aku benar-benar rindu padanya, hanya membuka sedikit gorden dan mengintipnya. Aku sudah seperti seorang pencuri saja mengintai target sasaran. Benar kata Nella Kharisma sepet ning pinggir embong, kalah cepat diambil orang. Tapi bagaimana aku bisa memberitahu perasaanku padanya kalau dia saja tak menganggapku sebagai seorang perempuan.
"Malam minggu kok ngelamun aja, jomblo sih. Cari cowok sana." Mas Hara melempar dirinya tidur di sebelahku.
"Ngapain sih di sini, ganggu aja."
Mas Hara bangun dari rebahannya lalu duduk bersila di depanku. "Ikut Mas, yok. Bantuin Mas cari barang-barang buat seserahan nanti."
Alisku terangkat tinggi. Aku? Gila memang orang ini. Apa dia ingin menambah sakit yang aku rasakan. "Kenapa ngajak gue? Sama Wulan dong. Lagian gue nggak mau ya jadi kambing congek kalian. Mending gue bobok cantik di rumah," tolakku. Enak saja mereka bahagia di atas penderitaanku.
Mas Hara merebut novel yang aku pegang. "Aku kamu, Ra. Bukan gue lo," ralat Mas Hara. "Wulan lagi nggak bisa. Tadi aku udah bilang mo ngajak kamu, kata dia nggak apa-apa. Lagian ukuran kalian sama dan Wulan percaya pilihan kamu pasti bagus sesuai selera dia. Kan kalian udah lama temenan."
"Males, Mas. Pergi sendiri aja. Gue mau baca novel ini, mumpung nggak ada acara," tolakku lagi. Kutarik lagi buku novel dari tangan Mas Hara. Kubuka halaman yang baru saja aku baca, untung tadi kubatasi kalau tidak bisa lupa.
"Mas, nggak mau tahu. Kamu temenin Mas sekarang, nggak terima bantahan. Buruan."
🌷🌷🌷
Sialan!
Aku memaki dengan umpatan kasar juga kotor yang kutahu dalam hati untuk Mas Hara dan pacarnya, Wulan, yang duduk di hadapanku. Katanya tidak bisa ikut nyatanya saat berangkat ke mall, Mas Hara menjemput Wulan dulu. Alasannya urusan Wulan sudah selesai. Bullshit banget, kan?
Poor me. Aku jadi obat nyamuk buat mereka yang asyik bercengkrama mesra di depanku. Rasanya ingin marah tapi pada siapa? Tak tahukah mereka jika saat ini aku ingin sekali menangis. Aku cemburu, hal itu membuatku terluka semakin dalam.
"Aku ke toilet dulu," pamitku pada mereka yang tampaknya tak terlalu menghiraukanku. Aku pun tak peduli asalkan secepatnya menyingkir dari hadapan mereka. Air mata ini hampir luruh. Lagipula semua barang yang Wulan inginkan sudah terbeli semua.
"Hati-hati." Mas Hara menatapku sebentar lalu kembali menoleh pada Wulan.
Aku tidak berjalan ke arah toilet tapi ke pintu keluar mall. Aku sudah nggak sanggup menahan rasa cemburuku. Terlalu sulit untuk terus menekan rasa cemburuku agar tidak naik ke permukaan, tapi pertahananku runtuh dalam sekejap termasuk air mataku. Sembari berjalan aku mengusap buliran bening mengalir di pipiku, tak peduli dengan tatapan heran orang-orang yang berpapas denganku. Aku hanya ingin pulang lalu menangis sepuasnya.
Kakiku terus berjalan tanpa arah, menabrak beberapa orang, stand-stand yang ada hingga mendapat makian dari pemiliknya. Setengah berlari menuju jalan raya, air mataku tak berhenti juga.
"Ayolah, Fir. Ada apa dengamu. Kenapa kamu jadi cengeng begini," kataku pada diriku sendiri. "Kamu nggak berhak cemburu ataupun marah. Dia bukan siapa-siapamu. Kamu hanya adik kecilnya," lanjutku lagi disela-sela tangisku.
Kupukuli dadaku yang bergemuruh penuh kesakitan. Perihnya terasa ke sekujur tubuhku. Astaga. Kenapa rasanya seperti ini. Apa yang bisa aku lakukan agar rasa sesak ini hilang. Tangisku semakin keras. Isakku pun juga lolos dari bibir. Aku menangis di tengah tatapan aneh orang-orang berlalu lalang.
"Cewek cantik itu nggak pantes nangis, ntar hilang cantiknya. Mendingan senyum karena senyummu mengalihkan dunia."
Aku melihat sapu tangan biru tepat di depan wajahku. Aku melihat ke samping, sosok pria dengan senyum menawan tengah tersenyum padaku. Laki-laki itu mengangkat kain persegi itu agar ku ambil. Senyumnya makin lebar kala aku ambil sapu tangan dari gepitan jarinya. "Makasih."
Pria itu mengangguk kecil. "Kembali kasih," balasnya saraya tersenyum. "Gue Danta, lo ...."
"Fira, Zafira."
"Lo nangis bukan karena kehilangan selendang dan nggak bisa balik ke kahyangan, kan?"
Otakku tidak bisa diajak berpikir dengan jernih sampai tak bisa mencerna maksud Danta. "Selendang? Kahyangan? Maksudnya?" tanyaku heran. Apa hubungannya semua itu denganku?
Pria yang kukenal baru beberapa menit lalu, berdecak kesal mendengar pertanyaanku. "Ck, udahlah nggak penting. Lo mau ke mana? Ayo gue antar," tawarnya.
Aku menjauh, memberi sedikit jarak untuk kami. "Nggak usah makasih. Gue bisa pesan taksi online kok." Jelas aku menolaknya. Kami baru daja kenal, aku tidak tahu maksud dan tujuan dia padaku.
Danta tertawa di tengah kebingunganku. "Tenang aja gue nggak bakal culik lo. Gue cuma kasihan aja ada cewek cantik kok nangis sendirian di sini. Jadi keinget adik gue aja."
"Oh."
"Jadi?" Tanya Danta.
"Jadi apa?"
"Gue antar pulang? Udah malem juga ini, cewek nggak baik pulang sendiri," ujar Danta.
"Boleh."
Meskipun awalnya aku ragu, tapi melihat wajahnya yang menentramkan, rasa raguku hilang.
🌷🌷🌷
Sejak perkenalan malam itu kami jadi dekat. Walaupun kami merasa cocok tapi dia sudah menegaskan dari awal kalau aku hanya adik baginya, sebab dia sendiri sedang mengejar cintanya. Danta juga tahu kalau aku mencintai Mas Hara dan kini aku tengah patah hati. Dia mau saja kujadikan tempat sampah kala aku marah, cemburu juga menangis karena melihat Mas Hara dan Wulan.
Ya ampun sulit sekali menghapus bayangan Mas Hara dari benakku, padahal aku sudah berjanji tidak akan menangis untuknya. Juga untuk move on darinya, tapi apa daya rasaku ini terlalu kuat menamcap dalam diriku.
"Fir, ada Danta itu di bawah," panggil bunda.
"Danta?" ulangku. Perasaan kami tidak punya janji, tapi tetap saja aku turun menemuinya. Benar saja laki-laki itu sudah duduk bercengkrama dengan abang dan Mas Hara? Tumben kemari, biasanya dia sibuk sama Wulan. "Hai, Dan. Udah lama?" tanyaku pada Danta setibaku di ruang tengah dan duduk di samping Bang Hakim.
"Nggak juga, sih. Lagian nggak bakal kerasa juga nunggunya kalau diajakin ngobrol sama mereka," sahut Danta biasa saja, tapi aku yang tidak nyaman karena ada Mas Hara.
Aku tidak tahu apa yang tengah dipikiran Mas Hara tentangku, pasalnya tatapan matanya tajam terjurus padaku. Lekat dan cukup kuat menghipnotisku.
Mas Hara memutus kontak mata kami, berdiri serta pamitan pada Bang Hakim. "Gue cabut dulu, Bro. Wulan udah nungguin."
"Yoi," sahut Bang Hakim, setelah itu abangku pamitan juga mau ngapelin pacarnya, Mbak Sinta.
Ah, andai kisahku sama kayak Mbak Sinta dan Bang Hakim yang akhirnya bersatu setelah kesalahpahaman di masa lalu mereka, pasti saat ini aku sudah duduk manis dan bermanja ria dalam dekapan Mas Hara. Sayangnya itu semua cuma halusinasiku yang hakiki, sampai kapanpun tak mungkin terjadi, apalagi sebentar lagi Mas Hara akan melamar Wulan, lebih baik aku mengibarkan bendera putih memilih untuk menyerah.
"Kenapa?" Danta bertanya mungkin karena menyadari perubahan diriku.
Aku tak mampu menjawabnya, air mata sialan ini lagi lagi turun seenaknya sendiri tanpa terkontrol. Aku menutup wajah agar sedu sedanku tak terdengar nyaring hingga membuat orang tuaku bingung. Entahlah, mengapa begitu sukar mencabut akar cinta ini dari hati juga pikiranku.
"Kenapa nggak bilang aja kalau lo cinta dia?" Danta rupanya tahu sumber tangisanku.
Aku menggeleng kuat, membuka tangan yang menutupi wajahku lalu menyeka air mata yang mengalir di pipi. "Terlambat, Dan. Dua minggu lagi dia bakal ngelamar Wulan. Lagian gue nggak mungkin nyakiti temen gue sendiri," jelasku dengan terisak kencang hingga tubuhku ikut bergetar.
Danta menggapai dan memelukku untuk memberi ketenangan, namun tangisku semakin menjadi. Butiran bening ini bertambah volumenya yang keluar sampai kemeja yang di pakai Danta basah. Harapanku kini benar-benar hancur karena rasa pengecutku yang tidak mau berjuang meraih pria yang aku cinta.
🌷🌷🌷
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top