Cinta Dalam Diam 2


✳️✳️✳️

Aku menatap tajam pria yang duduk santai di sisi ayah. Sebenarnya apa tujuan Kavin ke rumah pagi-pagi begini? Dia ingin menunjukkan apa? Datang tanpa pemberitahuan dan mencoba sok akrab dengan ayah. Dan anehnya mereka sudah asyik ngobrol sama seperti teman lama, padahal ayah bukan tipe yang mudah akrab dengan orang baru, terutama laki-laki. Tapi dengan Kavin ...

"Bapak ngapain ke sini? Pagi-pagi bertamu itu merepotkan orang," ucapku ketus. Aku sudah janji akan bersikap profesional dengannya, tapi kalau dia terus masuk dalam keluargaku, sia-sia saja usahaku tiga bulan ini.

"Kamu kok nggak sopan gitu sama masmu," tegur Ayah. "Udah bagus dijemput malah ketus gitu. Kasihan to masmu," lanjut Ayah kemudian menoleh Kavin. "Kamu jangan kaget, Neta ya gitu kalau lagi ngambek. Ayah masuk dulu, kalian cepet berangkat mumpung belum macet."

"Iya, Yah, sudah biasa sama ambekannya," jawab Kavin. "Kami berangkat, Yah."

Aku masih berdiri, diam mencerna ucapan ayah. Masmu? Apa maksud ayah?

"Kerutannya banyak, nanti berkurang cantiknya," goda Kavin mengusap berulang-ulang untuk mengurai kerutan di keningku. "Ayo berangkat." Laki-laki ini dengan seenaknya menarikku masuk ke mobilnya dan bodohnya aku cuma diam menurut seperti orang dihipnotis.

Kenapa pagi ini otakku kosong melompong hanya untuk mencerna omongan ayah butuh waktu selama ini. "Bapak kenapa ada di rumah saya, terus Bapak bilang apa ke ayah saya kok ayah panggil Bapak masmu?" cecar Neta ketika kesadarannya pulih.

"Bilang apa adanya."

"Apa adanya yang bagaimana?" desakku. Bisa saja dia berkilah dan bilang yang tidak-tidak, sebab mana mungkin ayahku berkata demikian jika dia bilang atasanku.

"Ya apa adanya, Neta. Memangnya kamu mau saya bilang apa?" jawabnya membingungkan tanpa memberitahukan apa yang dibilangnya pada ayah.

"Iya. Tapi apa?!"

"Ya, apa adanya."

Aku memilih diam saja tanpa mau memperpanjang perdebatan yang akan mempengaruhi moodku yang sudah buruk belakangan ini. Kuanggap saja dia kerasukan jin jeruk purut jadi kelakuannya aneh. Begitu mobil berhenti di parkiran, aku langsung turun tanpa mengucapkan terimakasih dan langsung pergi lebih dulu. Biar saja dianggap tak sopan, aku tak peduli.

***

Sari menatapku heran saat aku menemuinya waktu istirahat siang di kantin dengan wajah masam. "Kenapa, sih? Muka kayak kertas diremes aja," celetuk Sari begitu aku duduk di depannya.

"Biasa. Heran gue, akhir-akhir ini dia suka banget bikin jengkel gitu. Ada aja ulahnya," keluhku. "Kalau gini, gimana gue bisa ngilangin cinta gue ke dia, Sar? Usaha gue bakal sia-sia kalau dia terus ngulah gini," lanjutku lagi.

Sari tertawa mendengar keluhanku. Apa yang salah dengan keluhanku coba? Memang benar begitu, kan? Akan sia-sia saja upayaku jika Kavin terus mendekat terlebih sekarang ini dia mulai mendekati keluargaku.

"Habis lo juga lucu. Kemarin berharap dia perhatian sama lo, nyadari kalau lo orang yang diam-diam kasih dia burung kertas di lokernya, yang suka kasih roti coklat kesukaan dia. Sekarang dia mendekat bingung, mau lo gimana coba?"

Aku mendesah lesu. Memang tapi itu sebelum dia membawa pasangan di acara perusahaan beberapa bulan lalu. "Lo tahu alasannya, Sar. Gue nyerah dan gue nggak mau ngerasain sakit hati lagi. Udah cukup gue ngerasain gimana rasanya cinta sama orang tapi nggak bisa ungkapin."

"Bawa pasangan kan belum tentu dia ceweknya, Net, bisa aja saudaranya. Jangan nethink dulu. Bilang sana perasaan lo, siapa tahu dia juga cinta lo," saran Sari berusaha membuatku semangat.

Aku melotot tajam pada Sari, gampang sekali dia menyuruhku untuk mengatakan perasaanku pada Kavin. Bisa malu aku kalau ditolaknya. "Mau bunuh gue, lo? Gila aja. Gue sadar posisi kali, Sar. Dia siapa gue siapa, mana mau atasan sama karyawan biasa kayak gue," tampikku.

Sari mendengkus keras tak menyetujui ucapanku. "Ck, cemen lo. Gimana dia tahu lo suka dia," gerutunya. "Stop!" Tangan Sari terhenti di wajahku ketika aku ingin membantahnya. "Ini emansipasi wanita, kita nggak harus nunggu pria nyatain cinta lebih dulu. Kalau cinta dan nggak mau dia diambil orang lain buruan ngomong. Kalau nggak yo wis palingan nanti gigit jari aja."

"Gue ...."

"Pilihan di tangan lo. Mau bahagia atau meratapi nasib."

"Gue nggak yakin, Sar. Gue takut di–"

"Dipikir keri kalau ditolak, yang penting lo lega dan dia tahu kalau lo ada rasa sama dia."

Aku tak tahu yang akan kulakukan, menuruti saran Sari atau memilih memendam rasa ini. Aku bukan orang yang bisa dengan mudah mengungkapkan apa yang kurasa seperti Sari, aku akan membungkam bibirku dan mengambil jalan mundur yang aman.

***

Jam kerja usai dan aku bersiap pulang saat Kavin membuka pintu ruangannya dan menginterupsi kegiatatku. "Neta, saya tunggu di ruangan."

Tumben memanggil langsung? Biasanya juga melalui interkom. Dengan berat hati aku melangkah masuk membawa tas yang sudah tersampir di pundakku. Setengah keras aku menutup pintu hingga Kavin melihatku. "Ada yang bisa bantu, Pak?" Tanyaku sedikit sengit begitu berdiri di depan mejanya. Ini jam pulang tapi pria di depanku malah menyuruhku menghadap. Sialan, kan?

"Duduk dulu setelah itu kita bicara."

"Tidak bisa ditunda besok, Pak? Jam kantor kan sudah lewat dan saya ingin segera pulang," debatku. Aku lelah dan ingin segera pulang lalu tidur.

Kavin terlihat menatapku dengan tatapan menghunus tajam. "Saya tahu tapi kamu masih dalam kawasan kantor, jadi apa sopan membantah kata-kata saya?"

"Maaf, Pak." Aku melesatkan pantatku dengan kekesalan tak terbendung.

Pria itu memanfaatkan posisinya untuk menahanku, tak tahu kah jika aku ingin menjauh darinya. Aku sudah lelah mengharapkan cinta darinya, salahku juga sih sebenarnya. Kavin bukan cenayang, dia tak tahu apa yang aku pikirkan bila aku tak mengatakannya tetapi aku sendiri juga tak mungkin mengaku cinta sebab aku pengecut.

Bila kata orang mencintai dalam diam itu melelahkan, ya aku setuju. Menahan semua rasa sendiri tanpa bisa membaginya dengan dia. Cemburu, bahagia juga sedih semua hanya kita yang rasakan dan orang yang kita cintai tenang tanpa tahu apa-apa.

"Saya tahu saya tampan tapi bisakan biasa saja melihatnya. Kamu seolah ingin menelan saya bulat-bulat," selorohnya tapi dengan wajah minim ekspresi.

Mataku membulat menangkap ucapannya, aku tidak sadar jika menatapnya seperti itu. "Saya berharapnya begitu, dengan begitu perasaan saya puas bisa melenyapkan Bapak yang menyebalkan."

"Ck, yakin ingin melenyapkan saya? Nanti kamu rindu saya lagi, nanti nangis-nangis lagi," balasnya lagi.

Aku melemparkan tatapan sinis padanya. Sialan. Dia percaya diri sekali tapi memang benar, tak melihatnya sehari saja rinduku menumpuk. "Percaya diri sekali, Bapak. Memang siapa Bapak sampai harus saya rindukan?" bantahku cepat dan seakan-akan terlihat biasa saja.

"Laki-laki yang kamu suka."

"Apa, Pak?"

Kavin menjawab terlalu cepat dan singkat, aku tak bisa memdengarnya jelas karena itu aku bertanya.

"Tidak ada. Sudah jangan bicara lagi biar saya cepat menyelesaikan kerjaan saya terus kita bicara."

***

Bicara yang bagaimana maksudnya jika hampir satu jam lebih diam menunggui dia bekerja, setelahnya kami langsung pulang. Benar-benar menjengkelkan! Andai bukan atasan dan orang yang kucinta sudah ku maki-maki dia.

"Kita cari makan dulu, saya lapar."

"Saya kira Bapak robot tidak punya lapar," balasku ketus.

Kavin melirikku sebentar lalu kembali fokus pada jalanan. "Kenyang kalau yang saya makan kamu."

"Memamg saya makanan, sembarangan kalau ngomong. Bapak mau jadi kanibal makan saya. Aneh-aneh saja!"

"Ya tidak apa kanibal, asal bisa makan kamu."

"Dih, Bapak makin ngawur kalau ngomong," kataku semakin kesal. "Sudah antar saya pulang. Saya capek nungguin atasan tidak jelas."

"Tapi saya lapar, Neta."

Aku mendengkus sebal. Apa dikira aku juga tidak lapar. "Ya terus?! Bukan Bapak saja yang lapar, saya juga lapar, capek ingin istirahat."

"Neta, tega kamu biarin saya mati kelaparan di tengah jalan?" rajuk Kavin dengan wajah memelas.

Astaga! Orang ini kenapa menyebalkan sekali. "Banyak warung makan, kan bisa mampir setelah antar saya. Salah sendiri memaksa mengantar pulang," bantahku.

Kembali Kavin menolehku dengan wajah memelas. "Saya tidak yakin bertahan sampai tempat makan, jalanan macet dan makan sendiri tidak enak. Saya se–"

"Stop! Bapak nggak usah banyak omong. Cepat antar saya pulang. Nanti saya kasih makan. Buruan!"

Wajah Kavin berubah ceria seperti tanah gersang mendapat hujan. "Siap, Bu Eko."

"Bu eko, memang saya paket buka ekonomis!"

***

"Net, itu masmu mbok ya diambilin makanannya," perintah ayah.

Aku mengembuskan napas besar jengah. "Bapak lauknya mau yang mana?" Tanyaku masih tak bersahabat. Dia punya tangan tapi malah minta dilayani. Dia pikir siapa? Dibaiki malah ngelunjak.

"Kamu itu, nanyain masmu kok kayak orang mau malak gitu. Yang pelan, baik-baik gitu," tegur bunda.

Salah lagi. "Pak, Bapak mau lauk yang mana?" Ulangku dengan intonasi bicara kubuat selembut mungkin dan senyum kecut untuk Kavin. Geram sekali aku.

Setelah acara makan malam yang didominasi percakapan tak kumengerti antara orang tuaku dan Kavin, mereka pindah ke ruang tamu. Aku sendiri disuruh bunda untuk membuatkan kopi susu buat Kavin. Sesudah itu aku memilih masuk ke kamarku, melepas lelah berbaring nyaman di tengah ranjang.

Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan tapi sepertinya serius dan tak ingin mengganggu mereka. Pikiran, hati juga tubuhku cukup lelah untuk menerka obrolan mereka jadi aku memilih tiduran saja.

"Net." Aku menoleh ke arah pintu, kepala bunda menyembul diantara celah pintu yang terbuka. "Itu masmu mau pulang, temuin bentar."

"Buat apa? Kan bisa pulang sendiri dia."

Bunda terlihat tak suka dengan ucapanku maka dibuka lebar pintunya. "Bunda nggak suka ya kamu seperti itu, Net. Marahan boleh tapi tetep dijaga itu sopan santunmu sama Kavin. Nggak pantes tahu," tegur bunda. "Cepat keluar kasian dia nungguin kamu yang ambekan gini. Untung dia sabar kalau nggak udah ditinggal kamu."

Keningku berkerut dalam. Ini ada apa sebenarnya? Kenapa malah aku yang kena omel bunda? Memang aku ngambek soal apa? Pasti Kavin ngomingy yang aneh-aneh ini. Segera saja aki turun dari kasur, keluar untuk mengantarnya pulang. Sampai di depan pagar, aku menarik tangan Kavin.

"Bapak ngomong apa sama orangtua saya?" Aku tak ingin berbasa basi untuk bertanya.

Dia terlihat biasa saja seolah tak terpengaruh dengan ucapanku. "Tidak ada," jawabnya.

Aku tak akan terima hanya dengan jawaban begitu saja. "Nggak mungkin. Pasti Bapak bilang sesuatu yang membuat mereka berpikir saya marah sama Bapak."

"Oh, itu."

Aish! Laki-laki ini benar-benar menguji kesabaranku. Apa sih yang dia mau?

"Bapak! Bisa tidak langsung saja cerita apa yang Bapak bilang sama orang tua saya. Jangan muter-muter seperti ini," hardikku. Persetan dia bosku, kesabaranku sudah menipis menghadapi ulahnya beberapa bulan ini.

Bukannya menjawab, tangannya malah menepuk ringan kepalaku. "Saya pergi dulu. Mimpikan saya."

Setelahnya dia masuk ke mobilnya dan melajukan dengan pelan menjauh dari rumahku. Mimpikan aku katanya? Ogah!

***

Tidurku terganggu dengan suara-suara berisik di luar kamar. Belum lagi nyawaku terkumpul, Sari masuk dengan dandanan rapi. Kebaya hijau mint membalut pas lekuk tubuhnya, wajah cantiknha tampak bersinar hasil sulap alat make up. Tapi tunggu dulu, apa yang dilakukan Sari sepagi ini di rumahku?

"Lo–"

"Udah nggak usah banyak omong, buruan mandi." Ditariknya aku turun dari ranjang dan mendorongku cepat ke kamar mandi.

Ini ada apa? Kok aku seperti orang bodoh yang tak tahu apa-apa. Apa ada yang kulewatkan dari omongan bunda?

"Net, buruan. Udah siang ini."

Lima belas menit kemudian aku keluar dari kamar mandi, Sari langsung menarikku duduk di depan meja rias. Tanpa banyak kata mulai mendandaniku.

"Sar, ini ada apa sih?" Tanyaku penasaran.

"Udah diem aja lo."

Aku menghentikan gerakan lincah tangan Sari memus blush on di pipiku. "Enak aja. Gue kayak orang bego nggak tahu apa-apa, Jaenab!" bantahku. "Sekarang kasih tahu gue ada apa ini? Cepat Fulgoso."

Tak!

Keningku menjadi korban pukulan Sari memakai gagang kuas blush on. "Lo kira gue anjing, Nyet." Sari melanjutkan pekerjaannya merampungkan meriasku.

"Habis gue bingung ada apa ini? Suer, gue nggak tahu apa-apa ini."

Kini Sari beralih menata rambutku menjadi sanggul kecil dan simpel. Sari begitu cekatan hingga tidak memerlukan waktu lama. Sekarang dia menyuruhku ganti baju dengan kebaya yang sidah siapkan olehnya.


#anggap Neta ya 😁

"Beres!" Serunya semangat. "Lo cantik juga ya, Nyet."

Aku yang masih bingung tak membalas guyonan Sari. "Maemunah!Gue tanya nggak jawab-jawab lo. Ini ada apa? Lo mau ngajakin gue ke kondangan?" Tanyaku sekali lagi.

"Ck, ngaco lo. Mana mungkin gue ke kondangan ngajakin lo, mending ngajakin berondong gue."

"Terus?"

"Ya–"

Belum sempat Sari menjawab, pintu kamarku dibuka dari luar. Bunda berdiri dengan cantik dan berkebaya senada dengan Sari. "Ayo keluar. Itu calon suamimu udah datang."

Aku tertegun, calon suami?

✳️✳️✳️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top