Hujan (By: @Khafidtazshafanz)
Cuaca mendung, sang surya bersembunyi di balik awan. Membuat tak ingin beranjak dari kasur sama sekali. Udara berhembus di ventilasi semakin dingin, semakin ingin bersembunyi di balik selimut. Tak ingin berpisah dan beranjak sama sekali. Jam beker berbunyi nyaring namun tak dihiraukan olehnya. Setelah hampir tiga puluh menit tertidur matanya nyalang membuka, menatap jam di atas pintu. Langsung ia bergegas menuju kamar mandi yang berada di dalam kamarnya. Bibir mungilnya mendumel, entah apa saja yang telah dikatakan oleh dia.
"Mati aku, mati aku, telat!!! Sekarang ujian matematika!!!" bibirnya melontarkan kata-kata itu. Entah sudah berapa kali. Mandinya saja lima menit, orang bilang mandi seperti itu mandi bebek. Bergegas menuruni anak tangga menuju ke lantai dan langsung menjabat tangan mommy-nya untuk berpamitan.
Mommy-nya yang melihat tingkah laku anak semata wayangnya seperti itu hanyalah menggelengkan kepala kecil. Terlalu hafal dengan sikap dan sifatnya. Namun langit semakin mendung, sangat gelap. Takut akan hujan deras turun membasahi seragam putih abu-abu anak semata wayangnya. Anaknya bernama Ghassan Lucy Arundati, namanya sangat cantik. Pantas seperti siluetnya.
***
Hujan turun semakin deras, Lucy hanya terdiam di halte. Menunggu bus yang bahkan dari tadi tidak nampak. Sebuah mobil CRZ menepi di halte tersebut, pengemudinya berseragam putih abu-abu keluar dari mobil tersebut. Menghampiri Lucy yang merenung akan hukuman yang diberikan oleh Mr. Joe jika dirinya terlambat masuk kelas.
"Hai, Ghassan?" ucap pemuda laki-laki itu. Lucy hanya tersenyum tipis, bingung siapa pemuda itu. Namun Lucy tahu bahwa pemuda itu berasal dari gedung sekolah yang sama. Bagaimana dia bisa tahu? Logo di saku pemuda itu sama dengan logo sakunya, jadi sangat mudah.
"Hai, iya aku Ghassan. Ada apa?" tanya Lucy to the point.
"Ayo, berangkat denganku. Hujan semakin deras, sedangkan bus tidak kunjung datang. Kita sudah telat Ghassan," ucapnya sedikit terburu-buru. Namun Lucy terdiam, kata-kata cowok itu memang benar, namun dirinya takut. Bahkan dia saja tidak mengenal siapa cowok itu. "Aku tahu apa yang ada dipiranmu. Trust me, please! Kita tidak punya banyak waktu bukan?" entah apa yang membuat hatinya mengikuti saran cowok tersebut, dengan mudahnya Lucy mengangguk dan memasuki mobil cowok itu. Jarak rumah Lucy dengan sekolahnya memanglah cukup jauh.
Jika mengendarai mobil kurang lebih dua puluh menit. Lucy risih dengan suasan dalam mobil, sepi dan hening. Diantara mereka tidak ada yang bercakap-cakap, semuanya diam. Alunan musik dari radio pun tidak, atmosfer yang sangat tidak berkesan bagi Lucy.
"Nyalain aja radionya kalau mau," ucap cowok itu seakan-akan dia tahu bahwa Lucy tidak nyaman sama sekali. Lucy menyunggingkan seulas senyum manis dari bibir mungilnya itu.
"Gak papa kok, oh iya aku kan belum tahu namamu. Siapa namamu?" Lucy bertanya dengan sangat sopan, seakan-akan apa yang dia lakukan tampaklah bodoh.
"Deka Valora Demetria, terserah mau panggil apa."
"Eng... aku panggil... Valo gimana?" tanya Lucy sambil mengulas senyum lebar menatap tepat di manik lensa mata Valo, Valo yang ditatap seperti itu hanyalah tersenyum tipis.
"Up to you, bentar lagi nyampek nih." Lucy hanya menanggapinya dengan anggukan kecil. Untung saja gerbang terbuka lebar-lebar dan satpam juga tidak ada yang berjaga, huft... untunglah.
Mulai dari hari itu, Lucy dan Valo menjadi sangat dekat bahkan bersahabat. Semenjak pertemuan di halte dan dengan bantuan hujan itu Lucy bisa bertemu dengan seorang malaikat. Lucy di sekolah ini tentu banyak teman, bisa dibilang di sini dia juga famous bahkan Valo yang Lucy tidak tahu namanya saja mengetahui Lucy. Lucy bisa dibilang most wanted, siluetnya begitu menawan bak peri dari kayangan.
***
Waktu terus bergulir, hari ke hari, bulan ke bulan, menjelang tahun. Tak terasa mereka sudah bersahabat selama satu tahun, kelas baru menunggu. Seperti biasanya, berangkat sekolah menaiki bus. Lucy berasal dari keluarga yang sangat mewah, namun anehnya dia tak pernah bersombong diri. Pagi ini menyambut sangat meriah, udara sejuk dengan burung yang berceloteh. Lucy menginjakkan kakinya di gerbang sekolah ter-famous di kotanya ini.
"Lucy," sapa Greta Ilona, sahabat terdekat Lucy.
"Hai Gre."
"Gimana sama surat secret admirer mu itu? Apa dia udah beri tahu identitasnya?"
"Entah Gre, mungkin hari ini dia juga kasih suratnya itu ke gue. Yuk masuk kelas, kelas kita tetep sama hehehe...."
"Hahah, iya tetep."
Lucy dan Greta melangkahkan kaki bersama menuju kelasnya yang hampir tiga tahun akan dihuni olehnya. Mendadak mata Lucy terbelalak saat menemukan selembar notes berwarna cokelat di loker mejanya.
"Wah, ada lagi." Kata Gre dengan senyum tipisnya. Notes itu berisi,
"Sudah hampir satu tahun kita bersama, dalam pertemuan yang sedikit... ah tidak, sangat tidak berkesan. Aku... mungkin kamu sudah bosan denganku, maaf. Tapi yang harus kamu ingat, tetap bersamaku entah apa saja cobaannya. Trust me, please! Entah apa saja tantangannya. Aku... aku pelindungmu, namun maaf untuk kali ini tidak bisa. Tetap bersamaku. Love- Pelindung bintang di angkasa."
Alis Lucy mengkerut samar, ini surat ke lima puluh yang diterima oleh Lucy, biasanya si penulis surat mengalunkan untaian kata yang indah. Biasanya membaca suratnya mampu mengulas senyum indah. Tapi kali ini berbeda, dia menuliskan kata-kata yang tidak seperti biasanya. Seorang guru memasuki kelas, dengan membawa seorang cowok seusia Lucy, hiruk-piruk teman sekelas bagaikan suara lebah sedang berdengung. Tidak biasanya anak baru namun tak ada gosip yang menyebar sebelum anak itu masuk.
"Morning, ini teman kalian yang baru. Ibu harap kalian dapat menerimanya dengan baik," ucap Mrs Evelyn sejenak. "Baik, perkenalkan dirimu"
"Hei, nama Fatih Alvaro Azzamy, kalian bisa panggil Alva. Senang berteman dengan kalian semua."
Memang tampangnya sangat lah tampan, namun ada yang menarik. Lucy sangat tidak tertarik oleh cowok tersebut, cowok tersebut berjalan menuju kursi yang kosong di belakang Lucy dan Gre. Cowok tersebut tersenyum kepada Lucy, melihat itu rasanya pingin muntah saja. Gre yang melihat hanya menaikkan alis samar.
Pelajaran berjalan, namun pikirannya bercabang entah kemana saja. Lucy memikirkan, siapa secret admirer-nya? Berbagai hipotesisnya bermunculan, entah telah berargumen apa saja. Bel istirahat berdering, gerombolan anak cewek menghampiri Alva. Namun tidak dengan Lucy dan Gre.
"Kantin yuk?" ajak Gre.
"Gak ah, sendiri aja. Gak mood, jarang-jarang dia meuliskan untaian kata seperti itu."
"Oh... mikirin pengagum rahasiamu itu toh... cie... mulai jatuh cinta nih?"
"Apaan sih! Gak jelas kamu ah! Sudah sana ke kantin," usir Lucy.
"Heh... Valo gak masuk deng!" kata itu langsung membuat kepala Lucy menoleh ke arah bangku belakangnya. Dan jackpot!! Yang ada malah Ava tersenyum kepadanya, kini bangku Valo ditempati oleh Alva. Membuat Lucy bergidik ngeri. Namun lagi-lagi pikirannya melayang, kata trust me, please! Di surat itu mirip dengan apa yang diucapkan oleh Valo.
***
Sudah dua minggu Valo tidak masuk sekolah, membuat hati Lucy semakin cemas. Semua social media nya terbenggalai, tidak pernah ada tanda-tanda kehidupan. Baru saja mengandai-andai, namun bunyi notification BBM menyadarkan kembali. Ada sebuah BBM dari Valo.
"Maaf, ini mengagetkan. Selama ini aku secret admirer mu, maaf kali ini aku memberikan harapan palsu. Nenek ku bersih keras menjodohkan ku, dengan seorang wanita yang sama sekali di hatiku tidak ada dirinya. Aku berjanji akan selesaikan semua ini. Trust me, please! Maafkan aku, tetap bersamaku. Aku sayang padamu, ku harap dirimu pun begitu."
Chat itu membuat badan Lucy ambruk ke lantai, bulir-bulir air tak dapat dipendam. Ternyata kini orang yang mengirimkan suratnya ialah orang yang ia cintai juga. Cintanya tidak bertepuk sebelah tangan, tapi harapannya pupus sudah. Apa daya jika Valo dijodohkan? Dirinya tidak dapat berbuat apa-apa.
Perasaannya kini campur aduk, namun juga ada sebesit rasa pedih. Namun Lucy mengikuti kata Valo agar tetap bersamanya. Ya, Lucy yakin semuanya akan selesai dengan baik.
***
Awan mendung kembali, terpaksa harus menunggu di halte. Sekolah telah usai, tinggal dirinya seorang di halte ini. Sebuah mobil CRZ putih menghampiri, sepertinya tidak asing. Apa benar mobil Valo? Seorang pemuda membuka pintu bersama dengan seorang wanita paruh baya.
"Hei," suara yang kini dirindukan oleh Lucy masuk kedalam indera pendengarannya. Lensa matanya sudah hampir menjatuhkan bulir-bulir air mata.
"Va- Valo?" Ingin rasanya Lucy memeluk tubuh cowok itu, rasa kangen yang ia pendam kini sedikit terobati.
"Maafkan aku, kenalkan ini nenek ku." Mendengar itu badan Lucy rasanya lemas kembali. Harapannya pupus kembali.
"Kamu Ghassan? Maafkan nenek, kamu tahu? Valo sangat mencintaimu." Mendengar itu Lucy bagai melayang ke langit tujuh.
"Benarkah? Nenek tidak salah kok. Aku juga sayang cucu nenek."
"Maafkan nenek ya..., yasudah nenek tinggal dulu."
Mobil itu perlahan menjauh, atmosfer hening tercipta. Canggun, itu satu kata yang pantas. Sudah lama tidak bertemu.
"Mau peluk aku?" tanya Valo langsung, semburat merah tercetak jelas di pipi Lucy. Tanpa ragu Lucy langsung memeluk erat tubuh Valo, sangat erat. Seperti tidak ingin kehilangan lagi.
"Maafkan aku Ghassan," Valo sambil mengecup dan mebalas pelukan Lucy. Sungguh rasa kangen tak dapat dipendam lagi. Bulir air mata sudah tak dapat ditahan oleh Lucy. Mengalir begitu deras, namun ini bukanlah tangis kesedihan melainkan sangat bahagia.
Hujan, bukanlah hal yang buruk. Bagi Lucy dan Valo hujan adalah penyelamat. Membawa kisah tersendiri bagi mereka. Bertemu dari hujan, dan kembali bertemu dalam hujan. Hujan membawa kesan tersendiri, bagaikan penyatu untuk mereka. Bagi mereka hujan ialah hal terindah.
—-
@Khafidtazshafanz
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top