3》Mengubur Rasa
Hawa panas menyengat. Usai pelajaran terakhir, Ratna--teman dekatku, paling bersemangat di antara teman-teman kelas. Kurasa, ada sesuatu yang membuat hatinya menari-nari. Semringah wajahnya seolah berkata seperti itu.
"Tira, aku duluan. Assalamualaikum!" Ratna bergegas melangkah cepat dan berjalan setengah berlari. Bahkan aku belum sempat membalas salamnya. Aku kemudian menjawab salam itu lirih.
"Ratna kenapa, ya?" Aku heran.
Setelah memastikan tak ada yang ketinggalan di kelas, aku mengecek sosok Ratna yang entah hendak ke mana. Sempat kulihat, punggung Ratna di antara puluhan siswa yang juga baru keluar dari kelasnya. Aku pun menelusuri arah yang Ratna tuju. Dia pergi ke taman sekolah.
🍃🍃🍃
Esok harinya, aku menyempatkan diri untuk bertanya perihal di hari sebelumnya.
"Kemarin ke mana, sih? Buru-buru begitu. Sepertinya sangat penting, ya?" Aku penasaran. Sebagai teman dekat Ratna, aku merasa aneh jika ada hal disembunyikan olehnya, meski aku juga tidak memaksa jika Ratna tak bersedia untuk bercerita.
Embusan napas terdengar dari Ratna.
"Tahu nggak, Ra?"
"Enggak." Aku menjawab spontan sambil mengamati ekspresinya yang menahan tawa dan kekesalan bersamaan.
"Ya, makanya aku mau cerita," ujarnya.
"Asyik." Aku antusias memasang badan untuk mendengarkan.
"Dasar, ya." Ratna menggeplak pundakku pelan dengan buku tulisnya.
Sesaat kulihat wajah Ratna mulai serius.
"Kemarin aku bertemu Aral."
Keningku berkerut, jika Ratna menyuruhku mencari tahu siapa itu, aku angkat tangan.
"Siapa?" tanyaku.
Ratna berdecak, "Makanya sekolah itu sesekali bergaul. Enggak baca buku dan menggambar melulu."
Aku menyengir. "Ya, bagaimana, dong. Sukanya gitu."
"Anak kelas X 3." Ratna pun memberi tahu.
"Oh," responsku. "Apa katanya?"
"Dia ngungkapin perasaannya sama aku," bisik Ratna.
"Wah!"
"Shut..." Ratna memintaku memelankan suara.
Aku mengamati air muka Ratna yang terlihat lesu.
"Kenapa lemas begitu wajahmu? Kurasa kemarin padahal kamu semangat sekali hendak menemuinya."
Ratna kembali berdecak. "Kamu tahu 'kan aku lagi ikut lomba artikel itu kukira dia mau kasih tahu informasi tentang itu. Eh, ternyata..."
"Seru, dong." Aku tersenyum menggodanya.
"Kamu percaya enggak dia punya perasaan padaku?" Ratna seolah ragu.
"Memangnya kamu tidak percaya?"
Ratna terdiam, lalu menopang dagunya.
"Masa, sih?"
"Kamu bisa suka sama Pak Wijaya, kenapa Si Aril itu tidak bisa?" Aku memberi alasan, padahal Ratna tidak memintanya.
"Aral." Ratna mengoreksi ucapanku.
"Iya, itu Aral." Untung saja mulutku tak terpeleset mengucap koral.
"Kalau masalah Pak Wijaya, sih, cuma buat asyik-asyikan aja. Lagian perasaanku nggak mungkin dibalas sama beliau." Ratna menunduk.
Temanku ini memang sudah ngefans berat sama Pak Guru bahasa Jepang kami itu. Tentunya, bukan hanya Ratna, sih. Banyak juga teman-teman yang lain suka. Maklum, guru lajang. Kabarnya jomlo. Wah, sasaran empuk buat dijadikan idola.
"Kenapa enggak? Kamu cantik, semua orang berhak memiliki perasaan." Aku mencoba menghiburnya.
"Katanya Pak Wijaya sukanya sama murid pinter. Kamu, gih, daftar. Siapa tahu hoki."
Kini gantian aku yang menggeplaknya dengan buku tulis.
"Makanya cerita kamu suka sama siapa. Masa aku terus yang cerita."
"Ya, memang nggak ada yang kusukai, kok," tandasku.
"Eh, gimana, ya, kabar Pak Wijaya?"
"Ehem, kangen, nih, ye."
"Enak, aja."
"Hayo, bilang aja jangan malu-malu." Aku memang paling suka menggoda Ratna yang sedang kasmaran pada guru kami itu.
"Shut, sudah. Nanti ada yang dengar." Ratna menempelkan jari telunjuknya, membuatku langsung bungkam, lalu menunjukkan simbol OK dengan jemari.
"Memangnya kamu nggak suka Pak Wijaya?" Ratna malah menyulut pembahasan lagi.
Aku menggeleng. "Aku suka sama pelajarannya. Suka sama Pak Wijaya ya sebatas karena beliau guru. Untuk mengidolakan, itu bagian kamu, Rat. Semangat, Temanku."
Huehehe. Ucapanku sukses membuat wajah Ratna bersemu merah.
"Kamu memang maniak Jepang. Nggak merasakan penderitaan eyang uyut saat dijajah, sih." Ratna berniat berbalik menyerang.
"Sudahlah, jadikan pelajaran. Lagian, mereka bangsa yang kuat dulu, makanya bisa menjajah. Terusan, karena pendudukan Jepang juga kita bisa lepas dari jajahan Belanda, loh. Ingat Laksamana Tadashi Maeda yang bantu proses kemerdekaan Indonesia."
Ratna menyengir, "Malah belajar sejarah."
"Sejahat-jahatnya penjajah Jepang, masih banyak bangsa Jepang yang baik. Mereka adabnya bagus dan disiplin. Bahkan ingat, deh, peristiwa pengeboman Hiroshima dan Nagasaki. Itu adalah kejahatan perang, lho. Bayangkan betapa banyak orang tak bersalah yang jadi korban dengan mati mengenaskan? Itu pulalah yang menyebabkan kita bisa merdeka. Dengan kata lain, kemerdekaan kita yang disebabkan oleh kekalahan Jepang merupakan dampak dari nyawa-nyawa bangsa Jepang yang mati akibat pengeboman oleh Amerika Serikat."
Oppenheimer, sebagai penemu dari bom atom bahkan menyesali itu. Dia sedih menyaksikan temuannya telah menjadi maut penghancur dunia dan membunuh banyak nyawa.
"Iya, Ra, iya. Heran, deh. Kamu jadi cerewet kalau bahas tentang Jepang.
🍃🍃🍃
Bel masuk berbunyi mengajak semua siswa masuk kelas dan melanjutkan aktivitas belajar.
"Ihir, yang mau ketemu doi." Aku mencari gara-gara.
"Berisik." Ratna pura-pura menutup telinganya.
Aku hanya menahan tawa hingga kemudian guru gebetan temanku masuk kelas.
Pak Wijaya mengucapkan salam dan mulai mengajar. Aku mengedarkan pandangan ke penghuni kelas. Melihat tatapan memuja dari beberapa siswi. Hem, entah di sinetron atau kisah fiksi, bahkan di dunia nyata, ada saja cerita anak murid jatuh hati dengan gurunya. Suka sebatas guru sebagai orang tua, sih, wajar. Ya, mereka suka sebagai lawan jenis juga wajar, sih. Walaupun aku masih tak tahu alasan besar apa yang sangat berpengaruh.
Mau bagaimana lagi, yang memang terjadi, ya terjadi.
"Ada yang ditanyakan?" Dengan gayanya yang berwibawa, Pak Wijaya menyapukan pandangan ke kelas.
"Tanya, Rat."
"Ih, buat apa coba?"
Aku dan Ratna mengobrol bisik-bisik.
"Buat Pak Wijaya natap kamu."
"Ngajarin nggak bener. Kamu saja sana tanya."
Kami tak sadar bahwa kasak-kusuk kami ketahuan oleh Pak Wijaya.
"Itu berdua kenapa? Ada yang mau ditanyakan?" tegur Pak Wijaya.
Aku dan Ratna spontan melihat Pak Wijaya dengan takzim.
"Tidak, Pak," jawab Ratna.
"Silakan salin catatan dari saya. Itu tak ada di buku."
🍃🍃🍃
Saat yang menyenangkan di sekolah adalah berada di perpustakaan. Aku bisa puas meminjam buku.
"Tumben ikut ke perpus dengan suka rela?" tanyaku pada Ratna yang tiba-tiba gelendotan.
"Lagi pengen baca buku. Katanya ada novel best seller terbaru."
"Besok nabung buat beli."
"Halah, kamu aja masih suka nebeng di perpus, kok."
Kami pun segera memasuki lorong rak-rak buku.
"Ratna." Ada suara cowok memanggil.
Aku melihat sosok siswa sedang menatap Ratna dengan tatapan lembut. Kupikir, ini cowok yang tempo hari diceritakan oleh Ratna. Aku tidak mengenalnya karena memang beda kelas.
"Kamu cari ini?" Anak bernama Aral itu menyodorkan buku pada Ratna.
Ratna membaca judul buku yang dipegang anak itu.
"Ya, bener. Kok, kamu tahu?" Ratna bertanya curiga.
"Aku mendengar percakapanmu sama Tira tadi. Kebetulan aku juga mau pinjam."
Aku membalikkan badan dan siap meninggalkan mereka berdua. Namun, tarikan tangan Ratna menghentikan aksiku. Kulirik tatapan jengkel Ratna seolah mengancamkku dengan kalimat 'Mau pergi ke mana kamu? Awas, ya!'
Aku pun menemani Ratna hingga cowok bernama Aral itu pergi.
"Hiuh, aman." Ratna mengelus dada.
"Kamu bener-bener nggak suka dia?"
"Tul."
"Sukanya cuma Pak Wijaya?"
"Tul."
"Pak Wijaya lebih keren?"
"Tul."
"Keren, masih muda, cerdas, perhatian lagi."
"Tul."
"Dari tadi tal-tul melulu. Macan tutul?" Perkataanku membuat Ratna nyengir, sedangkan aku mendengkus.
"Kalau dipikir, Aral itu tulus, Rat."
"Ya, sana kamu aja yang sama dia."
"Ogah."
"Mau?"
"Kagak."
"Kamu bisa bahasa Betawi."
"Mboten¹ bisa."
"Bisanya apa?"
"Dak pacak galo-galo²."
"Hih, kumat. Mumet aku ngomong sama kamu, Ra."
"Aku juga, Rat."
🍃🍃🍃
Aku dan Ratna memang lengket kayak permen karet habis dikunyah. Siang itu, kami berdua jalan-jalan ke embung desa. Usai membeli es krim, kami duduk di salah satu gazebo.
Saat sedang asyik berbincang, Ratna tampak melihat suatu pemandangan mengejutkan.
"Ra!"
"Ada apa, Rat?"
"Itu Pak Wijaya bukan, sih?"
Aku pun mengikuti arah pandangan Ratna, dan menemukan sosok mirip guru bahasa Jepang kami.
"Iya, mirip. Sama siapa, ya?" Aku penasaran dengan perempuan manis yang berada di samping Pak Wijaya.
"Pacarnya mungkin," sahut Ratna dengan suara lirih dan wajah lesu.
Aku masih mengamati interaksi sosok yang makin lama makin jelas bahwa itu memang Pak Wijaya. Mereka tampak mesra berjalan di tepian embung menuju taman bunga mawar.
"Mungkin itu adiknya Pak Wijaya," hiburku.
Ratna hanya terdiam. Lalu beranjak pergi tanpa mengajakku. Huah, cinta memang bisa menyakitkan.
🍃🍃🍃
Setelah kejadian di embung, Ratna berubah murung. Bahkan hari berikutnya, makin kusam saja wajahnya itu. Di sekolah, hampir tak ada percakapan selain tampang kecewa di wajahnya. Sepulang sekolah, aku mencoba menghiburnya.
"Ratna, aku punya koleksi buku baru. Mau pinjam, nggak?"
Ratna hanya menggeleng.
"Aku ditawari poster BTS terbaru dari sepupuku, kamu mau nggak?" Aku mengubah strategi dengan mengetag grup idola dari negeri gingseng yang menjadi favorit Ratna. Meskipun aku tak hobi dengan grup idola, aku akan rela menampung pemberian sepupuku itu untuk Ratna. Asalkan dia tak murung lagi.
Sayangnya, lagi-lagi Ratna menggeleng. Tumben, biasanya dia akan langsung semringah setiap kali mendengar nama grup idola kesukaannya disebut.
"Ratna kenapa, cerita dong. Masih masalah di embung kemarin?
Ratna menatapku dengan sorot mata suram. "Lebih menyakitkan dari itu."
"Apa itu?" Aku sebenarnya tak tega untuk bertanya. Khawatir dia semakin tidak nyaman.
"Pak Wijaya mau menikah." Bola mata Ratna berombak.
Kemudian terdengar isak lirih. Aku menoleh kaget.
"Duh, jangan nangis, dong, Rat." Aku merangkul Ratna, mengelus pundaknya.
"Kesalahanku dari awal mau nekat suka sama Pak Wijaya, Ra."
"Itulah cinta, Ratna. Tak ada cinta yang abadi selain cinta pada Allah."
Ratna menyingkirkan tanganku. "Kayaknya, aku memang nggak berhak disukai."
"Hus, jangan bilang gitu. Kita berhak untuk suka dan disukai."
"Iya, Ra. Lagian tak ada gunanya suka sama guru berlebihan. Lebih baik, aku harus mengubur dalam-dalam perasaanku terhadap Pak Wijaya."
"Harus semangat! Masih banyak yang perlu kita capai. Kita masih muda Ratna." Aku menyemangati Ratna.
"Mana poster BTS-nya." Ratna menagih.
"Aduh."
"Bohong, ya."
"Iya, iya.. Ratna! Aku hubungi sepupuku dulu. Soalnya aku sempat nolak."
"Dasar!" Ratna mengelap bekas air matanya yang menetes. Aku senang dia tidak terlalu berlebihan sakit hati.
○Selesai○
Footnote:
¹ [Jw.] Tidak
² [Plg.] Tidak bisa semuanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top