Cerpen||Aya Sofya dan Sepasang Manusia
Aya Sofya. Bangunan itu masih ramai dimasuki oleh para turis dan wisatawan. Tak terkecuali seorang lelaki yang terlihat cengo melihat arsitektur bangunan yang teramat megah itu. Ia tak menyangka, setelah menempuh perjalanan sejauh 440 kilometer, akhirnya ia bisa melihat kubah yang pernah menjadi kubah terbesar di dunia, sebelum akhirnya roboh dan dibangun kembali dengan ukuran yang berbeda.
"Merhaba! Perkenalkan namaku Emira, masih muda dan penyuka kofta," ucap seorang gadis dengan tudung putih berenda yang menutupi separuh rambut sandy blonde-nya. Lelaki itu terperanjat oleh kehadirannya yang tiba-tiba. "Pardon, aku telah mengagetkanmu, ya? Tapi sepertinya kau sedang kebingungan, Tuan."
"Merhaba, Nona. Perkenalkan, namaku Muhammad Aditya, kau bisa memanggilku Adit dengan aksen Turkimu. Ah, betul sekali, aku sangat penasaran dengan arsitektur bangunan yang megah dan historis ini."
Emira mengernyitkan alisnya yang senada dengan warna rambut, ia seperti terlihat kebingungan. "Ah ... ini. Aya Sofya dibangun dengan arsitektur Byzantium dan Osmani. Aya Sofya disebut lambang keagamaan antar dua agama. Bahkan di antara tulisan Allah dan Muhammad, ada mozaik Bunda Maria yang kentara jika dilihat dari lantai dua. Namun, sekarang mozaiknya ditutup oleh kain," papar Emira sembari berjalan dengan santai, diikuti oleh Aditya yang kini sejajar dengannya.
"Hm, penjelasan panjangmu mengingatkanku pada pekerjaan yang disebut tour guide ...."
Emira berhenti sejenak, kemudian memutar badannya 90°, dan menampakan almond eyes-nya yang khas.
"Tapi aku bukan tour guide! Aku setiap hari memang suka mengunjungi Aya Sofya, meski otoritasnya sebagai museum telah berubah."
Aditya sangat gugup ketika berhadapan dengan gadis itu, sehingga bicaranya terdengar gelagapan. "Bu-bukan begitu maksudku."
Emira kembali memutar badannya ke depan, kakinya melangkah dengan santai tanpa mempedulikan Aditya yang tertinggal. Lelaki itu mempercepat langkahnya untuk menyusul Emira. Lantas membenarkan tas besar yang digendongnya.
"Ngomong-ngomong tentang penjelasanmu tadi, bisakah kau mengantarku ke lantai dua? Aku tidak melihat adanya tangga atau semacam lift."
Gadis bernama Emira itu terkekeh pelan. "Aku akan mengantarmu ke lantai dua, tetapi sini tidak ada tangga yang megah, Tuan."
"Hmm ... mungkin 'Tuan' terlalu tegang, bisakah kau memanggilku Adit? Bukankah tadi aku sudah memperkenalkan diri."
"Eh? Pardon, aku tidak mendengarnya karena riuh. Aditya ... namamu Aditya? Sepertinya kau bukan orang sini, 'kan? Aku tidak pernah mendengar nama itu," ujar gadis itu keheranan.
Aditya tersenyum sembari menggaruk pipinya yang tidak gatal. "Ah, itu, aku berasal dari Asia Tenggara, tepatnya dari negara yang terkenal akan pulaunya yang banyak, Indonesia."
"Hebat! Bahkan Aku tidak tahu apa keistimewaan negeriku. Namun setahuku, Turki membentang dari Semenanjung Anatolia di barat daya Asia sampai ke Wilayah Balkan di Eropa tenggara. Itu berarti negeriku diapit oleh dua benua sekaligus."
"Keren, aku saja baru tahu hal itu, padahal aku sudah lama tinggal di ibu kotanya."
Kali ini Aditya yang kagum dengan penjelasan dari Emira mengenai negara tempatnya mengenyam pendidikan kini.
"Kau sudah lama di sini? Pantas saja aksenmu bagus," puji gadis itu sambil melukiskan segaris senyum di bibir tipisnya.
"Iya, aku berkuliah di Universitas Ankara."
Gadis itu memutar kepalanya ke arah Aditya sembari menampakan raut kagum. Pupilnya turut mengecil, membuat lensa hazel-nya terlihat begitu kentara. Sadar Emira memandangnya, lelaki itu terlihat gugup sembari menunduk. Tak lama kemudian Emira melanjutkan pembicaraannya mengenai Aya Sofya.
"Kau tahu karpet hijau yang ada di sana? Ia memang menutupi pualam, tetapi warnanya sangat serasi dengan lampu-lampu jingga yang tergantung di sana," ucapnya sembari menunjuk karpet hijau yang terbuat dari beledu.
Aditya hanya menanggapinya dengan anggukan. Tak lama kemudian mereka memasuki sebuah lorong dengan bangunan yang sangat jauh berbeda.
"Saat berjalan di lorong ini, rasanya seperti kembali ke zaman dulu," ujar Aditya sembari mengabsen setiap dinding dengan mata cokelatnya.
"Memang, dari dulu tempat ini tidak pernah berubah."
Mereka pun berjalan menyusuri lorong gelap yang penuh bebatuan. Auranya sangat berbeda dengan tempat sebelumnya. Setelah cukup lama berjalan di dalam sana, akhirnya mereka berdua sampai di lantai dua.
"Nah, kita sudah sampai. Aku izin pamit, sebentar lagi azan berkumandang, 'kan?
Tidak baik jika aku mengganggu kalian."
Aditya menampakan senyum tulusnya kepada Emira. Lantas ia pun berkata, "Aku menyukai ... toleransimu, Nona Emira."
"Tentu, meski berbeda keyakinan, kita harus tetap saling menghormati. Ayahku yang mengajarkan hal itu."
Setelah berkata seperti itu, pipi Emira bersemu merah serupa buah ceri, freckles yang ada di wajahnya membuat gadis semampai itu terlihat semakin manis.
"Terima kasih juga, Nona Emira. Baru kali ini aku melihat gadis dari Kristen Ortodoks yang mau berbicara panjang lebar dengan lelaki sepertiku."
"Sama-sama Tu-eh maksudku A-dit-ya. Berkatmu, aku punya alasan lain mengapa aku mengagumi Aya Sofya."
"Apa itu?"
"Rahasia."
Gadis itu memutar badannya, melenggang pergi dari hadapan seorang lelaki jangkung bernama Aditya, lantas ia menghilang dengan cepat di antara kerumunan orang-orang.
"Emira, andaikata Aya Sofya adalah manusia, maka kaulah perwujudannya," gumam Aditya dalam hati.
Entah apa yang ada di benaknya saat ini. Apakah gadis Kristen Ortodoks bernama Emira, atau keindahan Aya Sofya? Yang jelas, sekarang ia harus menunggu azan yang akan berkumandang, dan bersiap untuk beridah kepada Sang Ilahi Rabi.
================================
Catatan kaki :
1. Kofta : adalah kuliner yang terbuat dari daging giling dengan bumbu-bumbu spesial berbentuk oval pipih sampai dengan bulat yang dimasak dengan cara dipanggang atau pun digoreng dengan sedikit minyak.
2. Merheba : Halo
3. Pardon : Maaf
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top