Kucing dan Bebek
Tetangga majikanku punya seekor bebek baru. Warnanya kuning, tidak seperti kebanyakan bebek kampung lain yang biasanya berwarna abu-abu kusam. Malahan, si bebek ini juga sukanya mandi di kolom karet alih-alih menyeburkan diri ke dalam got. Setiap sedang duduk-duduk di dekat pagar, bokongnya yang penuh bulu dan montok itu akan melenggang melewatiku.
Sombong.
Dia tidak pernah menyapaku. Padahal aku selalu mengeong memanggilnya.
"Meow! Bebek!"
Aku terabaikan. Niatku untuk mengajak dia berteman tak mendapat tanggapan. Menyedihkan.
Saat aku bersiap berbalik, mendadak saja sebuah suara cempreng terdengar.
"Kwek! Kamu kucing punya Mbak Zaidani, kan?"
Aku langsung melompat menyeberangi pagar, mendekati si bebek yang sepertinya berniat mandi lagi. "Meow! Iya. Aku pikir kamu gak mau temenan sama aku."
"Kwek! Kemarin sakit tenggorokan, makanya aku gak bisa balas panggilan kamu."
Oh. Ternyata itu alasannya. Tidak aku sangka ternyata bebek juga bisa sakit tenggorokan.
Bebek ini mulai mencelupkan tubuh ke dalam kolam karet. "Kwek! Kamu mau ikut mandi nggak?"
Aku langsung menggelengkan kepala. "Meow! Aku benci air," jawabku kemudian melangkah menjauhi kolam.
Si bebek tertawa. "Kwek! Ya udah. Aku mau mandi sendirian, ya. By the way, nama kamu siapa?"
"Meow! Namaku Aoshouki. Panggil aja Shou. Kalau kamu?"
Si bebek tersenyum. "Kwek! Namaku Ra."
. . .
Sejak hari itu, aku dan Ra jadi sering bermain bersama-sama. Ra ini sering ditinggal sendirian oleh mbak Rayyanisa, pemiliknya, sebab setahuku mbak Rayyanisa ini suka bolak-balik bepergian mengantar baju ke sana-kemari. Berbeda dengan majikanku, Zaida, yang sukanya mengurung diri di kamar terus. Kalau tidak baca komik, ya dia menggambar. Mana hasil gambarnya tidak bagus. Soalnya yang dia gambar bukan aku, sih. Mew, mew, mew. Itu aku sedang tertawa.
Sore ini, aku menemani Ra mandi untuk ke sekian kali. Berlari menjauh setiap Ra dengan sengaja mengepak-ngepakkan tangan supaya air di kolam menyiprat mengenaiku. Hasilnya, dia puas tertawa. Manis sekali.
"Kwek! Emangnya kamu gak pernah mandi ya, Shou?"
Mendengar pertanyaan itu, aku langsung saja membasuh kepala sendiri menggunakan telapak tangan yang sudah dibasahi. "Meow! Ini, aku mandi."
Wajah Ra tampak ketus saat mengatakan, "Kwek! Mandi yang betulan, Shou. Kamu disabunin, di-shower, atau disikat gitu. Masa gak pernah?"
Aku meringis. "Meow! Beberapa kali. Dan aku gak suka. Zaida kalau mandiin suka lama. Soalnya dia sambil ngajak aku main."
"Kwek! Kamu seharusnya senang dong diajakin main sama Mbak Zaidani. Mbak Rayyanisa-ku sibuk terus. Jarang ada waktu. Hari ini dia janji mau ngajak aku ngejahit bareng, tapi belum juga bangun dari tidur."
Aku jadi kasihan pada Ra. Akhirnya, ragu-ragu aku mendekat untuk kemudian menepuk kepalanya. "Meow! Nggak apa-apa, Ra. Kan ada aku di sini, yang bakalan nemenin kamu terus."
Ra mengepakkan tangannya penuh semangat. Membuat aku kewalahan karena terkena air mandinya. Dingin. "Kwek! Makasih, Shou. Aku senang punya teman kayak kamu."
Aku baru ingin membalas kata-kata Ra ketika sebuah suara terdengar dari dalam rumahnya.
"Ra! Kamu dimana, Cantik? Jadi nggak mau ikut Mbak ngejahit?"
Itu mbak Rayyanisa. Dia pasti baru bangun tidur. Duh, aku harus bagaimana? Apakah sebaiknya pulang saja?
"Kwek! Mbak Rayyanisa, aku di sini!"
Lalu sosok Mbak Rayyanisa yang menawan dan cantik muncul. Kulitnya putih. Wajahnya bundar, dengan rambut lurus yang bagian bawahnya sedikit bergelombang. Hidung mancung, bermata bulat, dengan kantung mata hitam yang terlihat jelas. Tampaknya dia rajin begadang. Senyumnya mengembang, dan tatapannya berbinar-binar begitu menangkap keberadaanku.
"Loh, Ra ternyata ada temen. Pantesan aja betah," ucap mbak Rayyanisa seraya berjalan mendekatiku. Tanpa diduga, tubuhku langsung saja digendongnya. "Hai, Kucing. Makasih udah mau nemenin Ra main, ya. Rumah kamu di sebelah, kan? Mau Mbak antar pulang?"
Aku menggeram keenakan dalam gendongan mbak Rayyanisa yang juga mengelus dan menepuk-nepuk punggungku. Akhirnya cuma bisa membalas, "Meow!" sebagai tanda bahwa bersedia diantar pulang olehnya.
"Ra, tunggu di sini, ya. Mbak mau antar kucing ini pulang. Habis ngantar, kita mulai ngejahit bareng."
Ra menyahuti pesan Mbak Rayyanisa, "Kwek! Dadah, Shou!" sambil melambai-lambaikan tangan ke arahku. Dan aku hanya bisa tersenyum.
Jangan cepat-cepatlah sampai ke rumahnya. Belaian lembut dari mbak Rayyanisa bikin aku betah dimanja. Akan tetapi, sekarang kami sudah saja berdiri di depan pintu rumahku. Mewww! Kucing kecewa.
Mbak Rayyanisa mengetuk pintu. Tak lama, seseorang membukanya dari dalam. Seseorang yang seharusnya bisa berpenampilan yang lebih enak dipandang. Apa-apaan itu? Masa Zaida membukakan pintu sambil mendekap semangkuk camilan di sisi ketiak. Mana rambut pendeknya tampak berantakan. Dan wajahnya sama sekali tidak terlihat segar. Dia pasti baru keluar dari dalam kamar. Dasar.
Mbak Rayyanisa dan Zaida saling beradu pandang seperkian detik. Sebelum akhirnya Zaida buru-buru menaruh camilan yang dibawanya entah ke mana. Kemudian dengan gaya malu-malu merapikan rambut sambil menepis debu-debu yang tak terlihat dari kaus serta celana training-nya.
"Aduh, euh ..., " Zaida kelihatan kesulitan bicara. "Itu ... kucingku, kan?"
Kamu pikir aku kucing siapa? Meow! Bikin kesal saja perempuan tukang gambar ini.
Mbak Rayyanisa langsung tertawa mendengar pertanyaan kikuk dari Zaida. Dengan lembut, tubuhku dipindahkan ke pelukan Zaida yang badannya bau jagung. Aku tidak suka jagung.
"Iya. Tadi dia lagi main sama Bebek aku, Ra. Karena sehabis ini Ra sama aku mau ada kegiatan, kucing ini aku antar pulang."
Jawaban mbak Rayyanisa entah kenapa mendatangkan senyum aneh di wajah Zaida. "Makasih banyak, ya. Eum, Rayyanisa, kan?"
Mbak Rayyanisa mengulurkan tangan penuh percaya diri. "Iya. Zaidani, kan?"
Wajah Zaida mendadak memerah sesaat setelah namanya disebutkan oleh mbak Rayyanisa.
Setelah keduanya selesai berjabat tangan, mbak Rayyanisa berucap, "Kita udah lama tetanggaan tapi kayaknya jarang banget bisa ketemu, ya."
"Karena kamu sibuk," respons Zaida cepat. Dan sok tahu. Meskipun kenyataannya memang begitu.
Mbak Rayyanisa tersenyum kian manis. "Ah, iya. Tapi, syukurlah hari ini ada kesempatan untuk ketemu. Kucing kamu lucu. Lain kali, bolehlah kalian sering-sering main ke rumah. Nemenin aku sama bebekku main bareng."
Zaida tubuhnya agak tersentak mendengar ajakan itu. "Apa boleh? Nggak akan ngeganggu kerjaan kamu?"
Mbak Rayyanisa tertawa. Bahkan suara tawanya terdengar anggun sekali. "Boleh, dong. Sekalian nanti aku mau minta tolong Zaidani buat kasih penilaian ke desain pakaian yang aku buat. Kalau nggak keberatan."
Wajah Zaida terlihat berseri-seri seketika. "Ng-nggak. Tentu aja nggak. Aku nanti bakalan main ke tempat kamu. Kapan lagi bisa ngintip rancangan dari desainer terkenal?"
Wajah mbak Rayyanisa mendadak tersipu-sipu dihadiahi pujian itu. "Zaidani bisa aja."
Ada apa dengan kedua perempuan ini? Aku jadi obat kucing, nih?
Mbak Rayyanisa melangkah mundur. "Ya udah. Kalau gitu aku pamit pulang lagi, ya. Ada janji sama Ra."
Zaida mengangguk. "I-iya, Ra-Rayyanisa. Sampai ketemu lagi," balasnya sambil memasang senyum sok cakep.
Mbak Rayyanisa melambai padaku. "Dadah, Kucing."
Zaida menggerakkan sebelah tanganku untuk digunakan membalas lambaian tangan mbak Rayyanisa yang lalu lenyap, berbelok ke arah kediamannya sendiri. Begitu aku dibawa masuk dan pintu ditutup, mendadak saja Zaida mengangkat tubuhku tinggi-tinggi sembari diajaknya menari.
"Ya ampun! Mimpi apa gue semalam sampe bisa ketemu dan ngobrol sama Rayyanisa!" Lalu badanku dipeluk dan dicium bertubi-tubi. Bau jagung. "Makasih banyak, Shou. Berkat elo, gue jadi bisa punya kesempatan untuk kenal Rayyanisa lebih dekat."
"Meow!" Terserah apa katamu, Zaida. Jangan ciumi aku lagi. Risih tauk! Lagipula, tidak pernah tahu bahwa selama ini majikanku yang menyebalkan ternyata punya rasa suka terlarang terhadap mbak Rayyanisa.
Huh. Kalau seperti ini, hubunganku dan Ra mau dibawa ke mana dong? Seperti aku dan Ra ada hubungan saja. Meuuuw! Aku sedang sedih.
. . .
"Kwek! Shou?"
Aku masih memandang malas ke depan ketika Ra terdengar memanggil. "Meow?"
"Kwek! Mereka niat ngajak kita main, kan? Kenapa malahan mereka yang asik berduaan?"
Mew! Aku malas memikirkannya. Alih-alih aku dan Ra, sepertinya Zaida dan mbak Rayyanisa lebih cocok dianggap sebagai kucing dan bebek yang sebenarnya. Lihat itu. Masa mereka berdua asik berendam di dalam kolam karet? Mengabaikan aku dan Ra yang sedari tadi cuma bisa menonton dalam kejenuhan.
"Meow! Kalau tahu begini, waktu itu mendingan aku pulang sendiri."
___TAMAT___
Note: Rayyanisa dan Zaidani adalah nama versi cewek dari Rayyan Nareswara dan Shouki Al Zaidan, ya.
Happy Birthday (nanti), Kak Shou! 😆😆😆
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top