Kubiarkan Suamiku Pergi
Oleh : Salsa Azzam
Mendung menepi menampakkan indahnya langit biru di sore itu. Cerah, secerah hati Nana yang ikhlas membiarkan suaminya pergi. Wanita berjilbab lebar itu masih mengintip keberangkatan suaminya dari balik jendela. Senyumnya terukir bersama bulir-bulir bening yang mulai gugur dari kelopak matanya. Terharu.
Di luar pagar rumah, Fadli beserta rombongan yang berjumlah lima orang itu sedang melingkar, membentuk bulat. Fadli memimpin jema'ah yang lain untuk membaca doa safar sebelum berangkat. Dengan khusuk, para jema'ah mengikuti bacaan doa yang dipimpin Fadli.
Masing-masing dengan niat yang kukuh di hati. Yaitu, ingin memperbaiki diri dan berdakwah. Mengikuti jejak para sahabat Nabi dengan enam sifatnya sebagai pedoman mereka dalam khuruj fi sabilillah.
Setelah rombongan jema'ah pergi, Nana segera bergegas ke kamar. Ia tidak sabar ingin segera membaca isi buku mini berwarna pink yang diletakkan suaminya di atas nakas, di samping ranjang. Sebelum keluar dari rumah, Fadli berpesan agar istrinya sudi membaca isi buku itu. Buku tentang isi hatinya yang sengaja dia tulis sebelum melaksanakan niatnya. Dalam khuruj kali ini Fadli mengambil jangka waktu yang paling lama.
Dinda, kali ini aku pergi dengan waktu yang tidak sebentar. Kumohon kau ikhlas atas kepergiaku ... Karna ini merupakan perintah dari Dzat yang telah menancapkan getaran di hati sehingga tumbuh rasa cinta kasih di antara kita.
Percayalah dinda ... kepergianku tidak sia-sia. Allah telah menjanjikan istana surga untuk kita sebagai balasan. Jika sepanjang kepergianku nanti kau sendiri tanpa aku di sisimu ... jangan kau merasa sedih. Berbahagialah ... karena tak banyak orang memiliki keistimewaan sepertimu.
Bukankah suatu keistimewaan memiliki seorang suami yang berjihad di jalan-Nya? Jangan risau duhai bidadariku. Surga telah menanti. Aroma firdaus akan menyambangimu.
Derai air mata kian deras membanjiri pipi Nana, ia terisak dalam sepi. Hanya dentuman jam dinding kamar yang terdengar di sela-sela tangisnya. Baru saja ia membaca beberapa bait dari tulisan suaminya. Batinnya tersentak oleh kata-kata yang bak mengalun merdu di telinga, namun menancap kuat di relung hatinya.
Yang mampu membuat Nana memutar otak, kembali teringat ke masa beberapa bulan yang lalu. Dimana satu kampung heboh, membicarakan Fadli yang keluar fi sabilillah di saat masih bergelar pengantin baru.
****
"Kok mau-maunya Nana sama si Fadli, yang kerjaannya cuma keluar tidak jelas begitu, ya!" Cibir orang kampung yang tidak mengerti dengan kegiatan Fadli.
"Alah anak muda jaman sekarang, otaknya cuma dipakai sekedar mikir senengnya saja." Timpal yang lain. Ketika hati sudah tidak suka, maka mulutpun ikut meng-ghibah.
Nana menggigit bibir. Menekuk lututnya yang tidak sakit. Sesekali ia menutup telinga, meski tidak ada suara keras di sampingnya. Bukan, bukan karna suara keras ia menutup telinga, melainkan cibiran orang-orang kampung itu. Nana mengusap wajahnya gusar. Bahkan keluarganya pun turut memojokkannya.
"Apa suamimu kurang waras, Na? Ditengah harum-harumnya pernikahan kalian, ia malah pergi meninggalkanmu!" Kata Aliya kakak Nana. Nana terdiam. Ia hanya wanita biasa dari kalangan masyarakat yang tak begitu mendalami Agama.
Menikah dengan Fadlillah, lelaki sholeh yang sering khuruj fi sabilillah. (Jema'ah Tabligh) karna profesinya itu Fadli menjadi bahan gunjingan. Di kampung Nana, khuruj seperti yang dilakukan Fadli tidak biasa. Bahkan bisa dibilang penduduknya belum ada yang mengenal apa jema'ah Tabligh sebelumnya.
Nana dilanda bimbang. Perasaannya tidak tentu arah. Baru satu bulan menikah Fadli sudah tega meninggalkannya. Tapi bukankah Nana sudah tahu profesi suaminya sebelum ia memutuskan menikah dengannya? Nana hanya belum terbiasa. Hatinya belum benar-benar ikhlas saat Fadli meminta persetujuannya malam itu.
"Dinda, aku sangat bahagia dengan pernikahan kita ini. Saking bahagianya, aku berniat keluar Fi Sabilillah selama tiga hari. Sebagai bukti rasa syukurku kepada Allah atas segala nikmat yang Dia berikan kepada kita." Lembut suara Fadli terdengar. Nana tidak bisa membantah kehendak suaminya.
"Bagaimana Dinda, apa kamu setuju?" Tanyanya kemudian. Nana mencipta senyum dalam gelisah.
"Pergilah Mas. Aku akan selalu setuju apa pun yang menurutmu itu baik," Lirihnya. Sedangkan dalam hatinya ia begitu enggan Fadli pergi.
"Hanya tiga hari kan, Mas?" Sambil bergelayut manja di sisi Fadli, Nana bertanya sekedar memastikan. Fadli mengangguk dan tersenyum.
"Kenapa? Takut tidak pulang?" Di tengah gemuruh hati sang istri kian menjadi, Fadli malah bercanda. Menggoda istrinya hingga menyebabkan Nana sedikit cemberut. Melihat itu Fadli terkekeh geli.
****
Nana masih asik dibuai kata-kata suaminya lewat tulisannya dibuku mini itu. Ia terus saja membaca tanpa merasa bosan sedikit pun. Bibirnya terus menyunggingkan senyum. Meski sesekali air matanya kembali menetes, ketika ia teringat akan pristiwa lama yang mengusik batinnya.
Nana baru saja keluar dari kamar mandi waktu itu. Puji syukur kehadirat Allah SWT ia panjatkan berkali-kali. Tidak menyangka bahwa dirinya akan secepat itu di percaya Allah akan titipan janin dalam rahimnya. Di ruang tamu, Nana mundar mandir gelisah. Sesekali ia melihat keluar jendela sekedar memastikan suaminya telah pulang.
Nana tidak sabar menunggu kepulangan Fadli dari masjid. Ia ingin segera menyampaikan kabar gembira itu kepada suaminya. Testpack yang menunjukkan dirinya positif hamil masih digenggam. Rasa bahagia menyelimuti. Sebentar lagi ia akan menjadi seorang Ibu.
Tidak lama kemudian pintu dibuka dari luar.
"Assalamu alaikum ..."
"Wa'alaikum salam," seraya menjawab salam, Nana menghambur kedalam pelukan suaminya. Fadli sudah hafal dengan kelagat Nana. Kalau sudah seperti itu berarti istrinya sedang bahagia.
"Hemm, sepertinya Mas mencium sesuatu yang membuat istriku tercinta ini bahagia. Apa itu, Din?" Nana melepaskan pelukannya. Ia menatap suaminya lama sebelum memberitahukan kabar kehamilannya.
"Ya Allah ... Benarkah, Sayang?!" Testpack yang digenggam Nana dari tadi, diberikan kepada Fadli. Melihat benda kecil sepanjang ukuran jari dengan dua garis merah bertanda positif itu, Fadli merasa bahagia tiada tara.
Namun, raut wajahnya seketika berubah muram. Karena sehabis sholat asyar tadi di Masjid, Fadli mentasykil dirinya keluar Fi Sabilillah, empat bulan. Sekarang setelah mengetahui kehamilan Nana ia seakan merasa tidak tega harus meninggalkannya.
"Ada apa, Mas? Kok tiba-tiba muram, gitu?"
"Dinda, Mas mentasykil keluar empat bulan."
"Oh ya! Bagus dong ... Lantas karna itu, Mas murung?"
"Mas tidak tega meninggalkanmu dalam keadaan hamil."
"Pergi saja, Mas. Dinda tidak apa-apa kok. Jangan karna kehadiran calon anak kita ini, kamu jadi ragu dalam niat baikmu itu. Jadi kapan, Mas berangkat?"
"Insha Allah ... Dua bulan lagi."
Buku mini itu Nana tutup. Ia kembali meletakkannya di atas nakas setelah selesai membacanya. Kini Nana tidak merasakan lagi perasaan tidak ikhlas ditinggal khuruj oleh suaminya. Karena atas izin Allah, Fadli sudah berhasil mem bimbing Nana menjadi wanita yang lebih baik dari sebelumnya.
****
"Kapan suamimu pergi?!" Datang-datang Aliya bukannya mengucap salam. Tapi ia langsung menanyakan kapan Fadli pergi khuruj. Kakak kandung Nana itu memang tidak berapa suka dengan adik iparnya.
"Assalamu alaikum, kak." Ucap Nana, sembari menyambut kakaknya dari ambang pintu.
"Wa'alaikum salam." Jawab Aliya datar.
"Ayo masuk, Kak!" Nana mempersilakan kakaknya masuk, sembari berjalan menuju sofa yang terletak di ruang tamu sederahanya. Aliya mengikuti Nana dari belakang.
"Na, pertanyaan kakak belum kamu jawab." Ungkit Aliya seraya merebahkan punggungnya di atas sofa.
"Pertanyaan apa kak? Nana bikinkan minum dulu ya!"
"Tidak usah, Na. Kalau kakak haus nanti kakak bikin sendiri. Sini duduk!" Pinta Aliya. Nana tersenyum dan memilih duduk didekat kakaknya.
"Sudah seminggu Mas Fadli keluar."
"Berapa lama?"
"Cuma empat bulan, kok kak." Aliya melotot.
"Cuma, Na?" Nana mengangguk cengengesan menawan tawa dengan ekspresi kakaknya.
"Empat bulan kamu bilang, cuma?" Tanya Aliya lagi. "Iya." Jawab Nana sambil menepuk paha Kakaknya pelan. Nana tahu kakaknya pasti mengkhawatikannya.
"Dari mana kakak tahu kalau Mas Fadli keluar?" Tanya Nana. Karena seingatnya, ia belum pernah mengabari keluarganya. Nana enggan memberitahu mereka. Karena ujung-ujungnya mereka pasti mempermasalahkannya.
"Dunia ini tidak selebar daun kelor, kamu pasti tahu itu, Na."
"Dari Orang kampung lagi?"
"Sudahlah, tidak penting kakak tahu dari mana. Na, apa iya kamu percaya seratus persen sama suamimu? Apa tidak sedikit pun kamu merasa curiga atas kepergiannya?"
"Maksud kakak?"
"Gini lo Na. Apa kamu tidak curiga kalau suamimu punya istri simpanan di luar sana. Tanpa sepengetahuanmu dia menikahi wanita lain. Kamu kan tidak tahu apa kegiatan suamimu selama dia keluar." Nana terdiam. Dia tidak menyangka kakaknya setega itu melukai perasaannya.
Meskipun seandainya Fadli mau menikah, apa salahnya selagi dia bisa adil terhadap istri-istrinya. Nana tidak mempermasalahkan hal itu. Yang ia tidak habis pikir adalah kakaknya yang segitu tidak percayanya terhadap Fadli. Nana masih terdiam.
"Maaf, Na. Kakak tidak bermaksmud menyakiti perasaanmu. Kakak cuma tidak suka sama Fadli yang sering keluar meninggalkanmu, seperti ini.. Apalagi sekarang kamu dalam keadaan hamil. Seharusnya ia lebih fokus menjagamu. Kalau Ayah dan Ibu tahu, pasti mereka akan marah lagi." Mendengar Orangtuanya dibawa-bawa, Nana mendongak.
"Kak, Nana mohon jangan kasih tau mereka ya ...! Insha Allah Nana akan baik-baik saja sampai Mas Fadli pulang." Aliya tersenyum. Dia mengangguk dan memeluk adiknya.
"Maafkan kakak, ya!"
"Iya Kak. Nana juga minta maaf."
Sejak kejadian itu, Aliya sepertinya banyak berubah. Dia tidak mempermasalahkan lagi tentang Fadli. Dia juga sering datang menjenguk Nana. Kadang ia juga menginap kalau adiknya itu kurang sehat. Aliya juga menepati janjinya tidak ngomong kepada Orangtuanya. Hingga usia kehamilan Nana tujuh bulan. Tapi semakin kesana Nana semakin sering sakit-sakitan.
****
"Suamimu sungguh keterlaluan, Na! Empat bulan bukan waktu yang sebentar. Apalagi kamu sedang hamil sekarang. Sebentar lagi kamu akan melahirkan, apa suamimu tidak tahu itu. Hah?!" Suara Ibu Nana terdengar nyaring, memekakkan.
Nana terbaring lemah tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Jarum infus menancap rapi di punggung tangannya. Bau obat di ruang inap itu menyesakkan Nana, ditambah lagi lontaran kata-kata Ibu dan Ayahnya yang tak berhenti sedari tadi mereka datang. Nana sungguh merasa tidak betah berada di situasi seperti itu. Kedua Orangtuanya saling menyalahkan suaminya.
"Satu bulan lagi Mas Fadli pulang kok, Bu." Lirih Nana.
"Bu, sudahlah jangan ngomel terus. Kasian Nana butuh istirahat." Timpal Aliya.
"Pokoknya Ibu tidak terima Al, adikmu ditinggal terus seperti ini. Katanya yang dilakuin itu sunnah, dapat pahala. Lah terus bagaimana hukumnya kalau sering meninggalkan istrinya sendirian di rumah? Apalagi dalam keadaan hamil yang rentan sekali sakit. Ibu tidak habis pikir. Benar-benar keterlaluan!"
"Cukup Bu," lirih Nana lagi dalam isak tangis yang tertahan.
"Na, sebaiknya kamu pisah saja dari Fadli, Ayah sudah sangat muak dengan tingkahnya."
"Astaghfirullah. Ayah?!" Ayahnya terlihat gusar saat Nana menatapnya dengan linangan air mata yang tak dapat lagi dibendung. Ia mengalihkan pandangan, seperti menghindari sorot mata putrinya. Perlahan ia beranjak dari duduknya dan berlalu pergi meninggalkan ruangan. Beberapa detik kemudian Ibunya menyusul. Nana semakin terisak, kata-kata pisah dari Ayahnya sangat menyakitkan.
"Maafkan kakak Na," Nana bergeming. Aliya semakin merasa bersalah telah menceritakan semua kepada Orangtuanya. Pagi itu ia sangat panik saat menemukan Nana pingsan di kamar mandi. Tanpa banyak pikir ia pun menelepon Ibunya.
"Sudahlah kak. Semua sudah terjadi," ucap Nana. Ia tak mengubris kegiatan kakaknya yang sedang mengelap air matanya dengan tisu yang di ambilnya dari atas nakas di samping ranjang.
"Laa haula wa laa quwwata illa billah ..." desah Nana ketika teringat sebait kata dari buku mini yang diberikan suaminya.
Dinda ..., jika setelah kepergianku, musibah, ujian dan sejuta masalah datang menghampirimu, maka, segera tanyakan pada hatimu!! Kemana kamu hendak pergi mencari pertolongan? Ingat dinda, saat itu Allah melihat seberapa besar imanmu.
****
Sangat sulit mencairkan kerasnya keputusan Ayah Nana. Sejak kepulangannya dari khuruj, Fadli sudah berkali-kali datang menemui Ayah mertuanya itu. Namun ia selalu pulang dengan tangan kosong. Karna istri yang sangat ia rindukan tidak diizinkan dibawa pulang.
Sejak keluar dari rumah sakit Nana di gotong ke rumah Orangtuanya, dengan alasan tidak ada yang menjaga jika tinggal di rumah Fadli. Sedangkan Aliya sudah bersedia merawat adiknya di sana. Perpisahan anaknya yang mereka inginkan.
"Ayah, sampai kapanpun saya tidak akan pernah menceraikan dinda. Selain perceraian itu sangat dibenci oleh Allah, saya juga tidak punya alasan untuk menceraikannya. Perceraian tidak boleh dibuat main-main tanpa alasan yang kukuh." Tutur Fadli.
"Nana itu manusia, bukannya batu yang tak berperasaan, yang bisa seenak jidatmu ditinggal begitu!!" Mendengar lontaran kata yang tak sepatutnya diucapkan sang Ayah kepada Suaminya, Nana ikut mencela.
"Ayah, semua ini salah Nana. Nana yang menyuruh Mas Fadli pergi ..." belum selesai Nana bicara, tiba-tiba perutnya terasa sangat sakit. "Awww." Rintihnya. Seketika daster yang dipakai Nana dari bagian paha kebawah basah oleh air ketuban yang sudah pecah.
Semua yang ada di ruangan itu menjadi panik, terutama Fadli. Belum waktunya Nana melahirkan kalau mengikut perkiraan dokter yang menanganinya. Tapi Tuhanlah yang Maha Tahu atas segalanya. Manusia hanya bisa memprediksi saja.
****
Di ruang tunggu rumah sakit, Fadli duduk di kursi dengan mushaf di tangannya. Ia membaca surah Maryam. Berharap dengan lantunan qur'an itu, Allah memudahkan proses persalinan istrinya yang tengah berjuang melahirkan buah hati mereka di dalam sana.
Tidak jauh dari Fadli, seseorang yang selama ini sangat keras kepala memperhatikannya. Ayah Nana, hatinya terenyuh melihat ketekunan menantunya yang tidak pernah menyerah meski sudah berulang kali dirinya maki-maki.
Dan perempuan yang ada disampingnya, sangat kelihatan khawatir. Mereka sibuk dengan alamnya masing-masing. Meski yang mereka pikirkan adalah hal yang sama. Yaitu keselamatan Nana dan anaknya.
"Keluarga Nana Maulidiya !" Panggil Dokter.
"Iya Dok. Saya suaminya." Sanggah Fadli.
"Selamat Bapak. Anaknya laki-laki." Fadli mengikuti Dokter masuk ke dalam ruangan. Ucap syukur kepada Sang Maha pencipta tidak lepas dari bibirnya. Disambut senyum bahagia oleh istrinya. Meski lelah dan bekas keringat masih terukir jelas di wajah Nana.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top